ketika membaca fic ini, saya sarankan untuk mendengarkan lagu yang sendu/sangat sendu, atau lagu R&B yang benar-benar menggetarkan, karena fic ini tidak memiliki perasaan sama sekali. semua datar.

hum, terima kasih.

enjoy, enjoy!


dark_uchiha: cherry blossoms

sakura_blossom: bukan, namaku Sakura Haruno

dark_uchiha: Sakura, hn. Kamu bukan bunga, kan

sakura_blossom: bukan, tapi aku lahir waktu bunga Sakura mekar :)

dark_uchiha: oh

sakura_blossom: hum, iya-iya. Lagi ngapain?

dark_uchiha: ngisi waktu luang

sakura_blossom: eh? nggak ada kerjaan lain?

dark_uchiha: membaca buku, belajar, belajar,

belajar, menulis, main gitar

sakura_blossom: ooh! Bisa main gitar?

dark_uchiha: iya

sakura_blossom: belajar di mana?

dark_uchiha: otodidak

sakura_blossom: hm, iya-iya.

dark_uchiha: ya


.

THE GARDEN

Genre: Drama/Romance

Rating: T

Pairing: sasusaku

Disclaimer

Naruto©Masashi Kisimoto

Gotta Find You©Joe Jonas—Camp Rock

story and plot© Sharon Himawari

.

.


The 1st Melodies,

Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih indah, lebih dalam, lebih menakjubkan, dan lebih menusuk-nusuk hatiku untuk ikut bernyanyi bersamanya, untuknya. Suara inilah yang mengajaku untuk selalu datang ke Taman ini, Taman terindah yang pernah aku temui. Taman di mana aku biasa menghabiskan waktu luangku sepulang sekolah, Taman di mana aku biasa melatih vocalku di waktu libur, ataupun hanya sebagai penenang di saat aku sedang marah, sedih, atau pun senang.

Semua berawal ketika aku tengah termenung bosan di kelas vocal. Guru pembimbingku, Tsunade –sensei, menegurku untuk memperhatikan pelajaran. Namun entah kenapa aku menolak. Aku benar-benar bosan. Dan karena alasan itulah, Kakashi –sensei, salah satu guru favoritku, menyarankanku untuk berlatih vocal di Taman. Ia membanggakanku sebagai satu dari seribu orang yang memiliki kesempatan untuk terjun ke dunia tarik suara dengan mudah. Pria beramput putih keabu-abuan itu berkata bahwa ia ingin aku terus berlatih, untuk mempertahankan prestasiku. Dan karena tidak punya alasan untuk menolak, maka dengan segan aku datang ke Taman itu—Taman ini.

Hari pertama aku pergi ke Taman: semua lancar. Aku benar-benar senang, karena aku bisa mengekspresikan suaraku seperti yang aku inginkan, tidak seperti Tsunade–sensei yang berkata bahwa semua hal itu punya aturan; termasuk vocal. Ia bagai mengekangku di kotak kecil bercat putih beranama kelas. Dan aku memutuskan untuk datang lagi ke Taman ini esok hari.

Hari kedua aku pergi ke Taman: semua terasa sama. Aku senang, benar. Aku merasa nyaman, betul. Namun ada satu hal yang mengganjal di tenggorokan, yang menyiratkan dan berkata bahwa; aku mulai merasa bosan, sama seperti yang aku rasakan di kelas vocal. Dan ketika aku pergi ke sekolah di hari setelahnya, Tsunade–sensei kembali menegurku. Ia mengadukanku pada Kakashi–sensei, dan memintanya memberikan pencerahan. Pria itu kembali menyuruhku pergi ke Taman. Aku menolak dan memberi pembelaan yang jelas bahwa aku sudah pernah pergi ke sana, dan aku tidak merasakan perubahan besar pada diriku. Namun aku kembali luluh dengan kata-kata indah Kakashi–sensei yang mengatakan bahwa besok akan ada perubahan, dan ia yakin. Aku kembali tidak bisa menolak. Aku akan meminta pertanggung jawaban padanya, apabila aku masih tetap bosan dan belum mendapatkan motivasiku yang dulu.

Taman yang dimaksud Kakashi–sensei bukanlah sebuah taman bunga luas dengan berbagai jenis bunga warna-warni di dalamnya. Bukan juga taman fantasi yang benar-benar dapat menghilangkan penat dengan menaiki berbagai wahananya. Bukan. Taman ini hanyalah taman bermain biasa, di mana manusia dari berbagai umur datang kemari dengan berbagai tujuan.

Anak-anak biasanya bermain ayunan, perosotan, bermain di kotak pasir, atau sekedar bermain petak umpet dan kejar-kejaran biasa. Anak remaja tanggung, seperti berumur 9 sampai 11 tahun bermain sepeda, sepatu roda, atau piknik kecil-kecilan ala mereka. Remaja SMP biasanya hanya datang ke taman untuk kumpul-kumpul, bergosip, dan tertawa-tawa. Anak-anak SMA juga melakukan hal yang sama dengan teman sesama jenis mereka. Namun kebanyakan dari mereka hanya pergi berduaan saja dengan lawan jenis mereka. Alias nge-date. Dan kata itu tak pernah terdaftar dalam kamus hidupku.

Hari yang cerah di akhir musim dingin bagaikan pertanda baik bagiku untuk memulai hari baru. Di hari minggu inilah, aku kembali pergi ke taman ditemani bekal semangat bahwa sebentar lagi musim semi akan tiba. Dengan jaket merah, sebuah tas laptop hitam dan dengan beberapa lembar partitur not balok beserta liriknya, aku berangkat meninggalkan rumah.

Dan di sinilah aku berada. Berdiri diam tepat di depan sebuah bangku kayu taman yang tidak lagi bagus bentuknya. Terpaku memandangi seorang manusia ciptaan Tuhan dengan lekuk-lekuk wajah yang tak henti-hetinya membuatku ternganga. Hitam rambutnya berpadu tegas dengan kaus putih yang di kenakanya, sebelum diselimuti oleh sebuah jaket tipis berwarna hitam yang menutupi seluruh badan tegapnya. Celana biru menghiasi seluruh permukaan kulit kakinya yang bersih.

Ia ada di sana, sekitar 6 meter di depanku. Lelaki dengan iris mata sehitam batu onyx. Ia duduk—setengah berdiri—di tepian air mancur besar di tengah taman. Rambut dengan gaya ravenya hampir menyentuh air yang memancar dari kolam. Apabila ia sedikit saja lengah dan mundur ke belakang, maka tak akan di ragukan lagi bahwa ia akan jatuh terbenam ke dalam kolam.

Tak ada satu kata pun yang terlontar dari mulutku. Ia nyaris sempurna. Bahkan benar-benar sempurna untuk seorang laki-laki seusianya. Mataku tak bisa berhenti berkedip. Bukan karena panas, melainkan karena aku meragukan bahwa saat ini aku sedang bermimpi, dan beberapa detik lagi aku akan bangun dan kembali hidup menghadapi kenyataan. Dan itu salah. Ini kenyataan, karena ini memang bukan mimpi.

Selang waktu berikutnya, aku baru menyadari satu hal. Bahwa aku terpesona kepadanya bukan karena keadaan fisiknya, melainkan karena sesuatu yang sedang dikerjakanya. Dan aku memejamkan mataku. Berusaha untuk menikmati apa yang sedang di tekuninya. Ia tidak bermain seperti kebanyakan orang memainkanya. Ia menggunakanya dengan cara yang berbeda, dengan cara pandang yang berbeda. Aku merasa familiar dengan caranya bermain.

Aku tahu ini. Aku hafal nada hafal chord guitar-nya. Bahkan sekarang, aku tengah menggenggam partitur not baloknya di tangan. Dan ketika ia menggerakan jari-jarinya untuk menggesek senar gitarnya lagi, aku menyadari bahwa ia memainkan lagu favoritku, lagu idamanku.

nHnHnHnHnH

dark_uchiha: siapa

sakura_blossom: saya?

dark_uchiha: ya

sakura_blossom: Sakura Haruno

dark_uchiha: cherry blossoms

sakura_blossom: bukan, namaku Sakura Haruno

dark_uchiha: Sakura, hn. Kamu bukan bunga, kan

sakura_blossom: bukan, tapi aku lahir waktu bunga Sakura mekar

dark_uchiha: oh ngapain di sana

sakura_blossom: di mana?

dark_uchiha: di sini, di YM

sakura_blossom: ooh, chatting dong. Memangnyakamu ngapain di sini?

dark_uchiha: ngisi waktu luang

sakura_blossom: hum, iya-iya. Lagi ngapain?

dark_uchiha: ngisi waktu luang

sakura_blossom: eh? nggak ada kerjaan lain?

dark_uchiha: membaca buku, belajar, belajar, belajar, menulis, main gitar

sakura_blossom: ooh! Bisa main gitar?

dark_uchiha: iya

sakura_blossom: belajar di mana?

dark_uchiha: otodidak

sakura_blossom: hm, iya-iya.

dark_uchiha: ya

sakura_blossom: eh, siapa namamu tadi?

dark_uchiha: aku belum menyebutkan nama

sakura_blossom: kalau begitu, maukah kau sebutkan namamu?

dark_uchiha: panggil aku Uchiha

sakura_blossom: oooohh!

dark_uchiha: kenapa Kamu kenal Uchiha

sakura_blossom: nggak, bukan. Maaf.

dark_uchiha: apa

sakura_blossom: haha, namamu kan tertera di situ; 'dark_uchiha'. Dasar aku bodoh! Haha.. XD

dark_uchiha: hn iya

.

nHnHnHnHnH

.

Lagi-lagi aku termangu menatapnya. Ini sudah sebulan sejak aku pertama kali bertemu denganya. Denganya. Dan entah karena apa, aku masih tetap mengaguminya. Mengagumi caranya memegang gitar, mengagumi betapa lagu-lagu pilihanya begitu memikat,—meskipun ia tidak melantunkan liriknya. Secara, ia hanya memetik gitar—bahkan aku mengagumi ponselnya, dan cara khasnya memainkan ponselnya itu.

Aku tidak tahu, memang. Sampai detik ini, aku bahkan tidak tahu namanya, tempat tinggalnya, terlebih lagi siapa orang yang disukainya. Namun begitu, aku tetap duduk di sini, di bangku kayu ini. Menunggunya setiap hari hanya untuk melihatnya bermain gitar, menunggunya hanya untuk mendengar alunan melodi yang dibuatnya, menunggunya setiap hari hanya untuk melihat senyuman manis dari bibirnya.

Aku menatapnya lagi, lebih dalam dari sebelumnya, lebih penuh pengharapan dari sebelumnya. Berusaha mencuri-curi pandangan matanya. Berusaha mengatakan bahwa aku menanti senyumnya.

Bagaikan mendengar perkataan gombal dari naruniku, ia mengalihkan pandangan dari ponsel hitamnya. Dan untuk beberapa detik, ia menatap mataku sejenak. Sama halnya denganku yang menatap dirinya setiap hari.

Ia—laki-laki itu, tersenyum padaku. Senyuman manis yang dibumbui dengan seulas lesung pipit di pipi kananya. Senyum menawan yang secara rutin ia berikan padaku. Ingin rasanya aku melompat bangun dari bangku ini dan bersorak kegirangan. Namun hal itu tidak akan kulakukan, karena aku tahu diri dan aku tidak akan mempermalukan diriku sendiri dihadapanya. Dan secara refleks—aku membalas senyumanya.

Dan acara senyum-senyum berdurasi hitungan detik itu berakhir—terputus. Dikarenakan seorang anak kecil baru saja menarik-narik rok hitamku, yang hampir saja membuat laptop merah-putih-mililku-satu-satunya itu terjatuh. Aku menggeram. Bukan hanya hampir menjatuhkan laptop, tapi ia juga telah mengakhiri momen terindah yang pernah aku bayangkan saat ini. Dan baru saja aku hendak membentaknya—ketika aku mengalihkan mukaku dan menatap wajahnya, aku mengurungkan niatku. Aku malah tersenyum untuknya.

"Sakura-nee?" gadis kecil itu membalas senyumanku. "Ayo bernyanyi, Reina dan yang lainya sudah tidak sabaaar~" rengeknya.

Aku tertawa kecil melihat tingkah laku gadis itu—atau Reina, lebih tepatnya. Ia dan teman-temanyalah yang menjadi salah satu faktor, mengapa aku betah untuk selalu datang ke tempat ini. Taman ini.

Aku mengangguk. Sebelum pergi, aku harus membereskan laptopku dulu. Aku memandang monitor itu. Ah, aku bahkan belum keluar dari tab, di mana tadi aku ber-chatting ria dengan . Dan sang pemilik nama Uchiha itu juga belum pergi. Ia masih di sana, masih online. Karena merasa tidak enak, maka aku berniat untuk pamit pergi darinya.

sakura_blossom: Uchiha-san, aku off dulu ya. Ada yang harus kulakukan. Ketemu lagi nanti! Bye~

dark_uchiha: Ya. Oke. Bye

Memang kebetulan, atau entah apa. Kami berdua off bersamaan. Aku segera mematikan laptopku, dan mengembalikanya dengan aman sentosa menuju kediaman di mana ia biasa menghabiskan hari-harinya. Di tas laptop hitamku. Aku juga mengeluarkan selembar partitur beserta liriknya dari rok sekolah hitamku.

Setelah semua beres ke dalam tas, aku berdiri dan merenggangkan tanganku sebentar. Kulihat Reina masih tetap di sini, di sampingku dengan senyum manis yang senantiasa mengembang di bibir merah marun-nya. Dan seorang lagi? Kulirik sang lelaki bermata onxy yang tak jauh berada di depanku.

Ia masih di sana. Tak beranjak pergi satu meter pun. Barusan—beberapa detik yang lalu, ia masih berkutat dengan ponselnya. Sekarang? Ia tengah mengeluarkan gitar coklat mudanya dari dalam tas dan sedang mencoba memetik gitar itu sedikit. Terpampang jelas di sana, wajah lesu—padahal tadi cerah—dari wajah manisnya. Dan aku pun ikut menghela nafas lesu.

Reina menangkap hembusan lesu dariku. Ia lalu menoleh ke atas untuk melihat wajahku. Gadis kecil berambut pirang itu mengerutkan keningnya. Lalu mata coklat bersinar gadis itu mengikuti arah pandangku. Dan ia mendapati hal yang sama dengan apa yang sedang aku perhatikan saat ini. Ia seperti mengerti sesuatu. Namun ketika gadis itu hendak mengatakan sesuatu, beberapa anak lainya datang mendekat.

"Reina-chan! Ada ap—"

Kata-kata sang laki-laki kecil beramput pirang spike itu terhenti oleh tangan Reina yang mendekap tepat di mulutnya. Sang laki-laki kecil mengerutkan kening. Namun ketika ia mengikuti arah pandang Reina yang segera diikuti oleh teman-temanya yang berjumlah 3 orang itu, ia segera mengerti.

Laki-laki kecil lainya yang berambut hitam kebiruan, juga seorang gadis manis berambut panjang indigo itu kembali menarik-narik rokku—yang sentak membuatku kaget dan membuyarkan lamunanku. Sementara Reina, si rambut pirang spike dan seorang temanya lagi yang berambut coklat panjang itu berlari menghampiri sang pemain gitar—lelaki yang sejak tadi selalu terbayang dalam benaku.

"Sakura-nee! Ayo.." seru seorang anak berambut hitam ke biruan, yang menggapai tangan kananku dan menariknya. Aku melirik anak itu sebentar,

"Memangnya Kiba-kun mau ngajak Sakura-nee nyanyi di mana?" ujarku sambil memperhatikan anak itu. Kalau di perhatikan lagi, kiba—nama anak itu, memakai sebuah tatto di pipi kanan dan kirinya. Kalau aku yang jadi kakaknya, maka tatto itu sudah aku buang dari dulu.

"Umm, kami.. Sa..Sakura-nee, kami ingin Sakura-nee nya..nyanyi di sana. Ma... mau, kan?" sahut gadis bermata abu-abu di sebelah kiriku sambil menunjuk kolam air mancur di mana Reina, teman rambut pirangnya, dan juga laki-laki pemain gitar itu berada.

Hinata—gadis berambut indigo itu, menunduk malu. Kebiasaanya yang suka menunduk dan sulit berkata-kata menjadikanya ingin selalu dilindungi oleh teman laki-lakinya. Senyuman manis dengan sikap sopanya juga yang membuatku semakin sayang kepadanya.

Kulihat lagi tempat yang ditunjuk oleh Hinata. Laki-laki itu memang ada di sana, dan ia juga tengah dirayu oleh Reina dan Naruto—begitu sang rambut pirang biasa di sapa—untuk ikut bernyanyi bersamaku. Aku menggigir bibir. Aku tak akan sanggup bila harus berhadapan langsung dengan laki-laki itu, apalagi ini semua adalah ide dari teman-teman kecilku.

"Ah! Sudahlah." sergah kiba. "Ayo cepat pergi! Kami sudah tidak sabar, nee-chan~!"

Bersamaan, Kiba dan Hinata menarik tanganku menuju kolam air mancur tersebut. Harusnya aku bisa mengelak tarikan dari tangan-tangan kecil mereka. Namun entah karena apa, aku menurut saja.

Semua berjalan cepat. Dalam sekejap saja aku sudah berada dihadapannya, sang rambut raven. Aku tak bisa melihat wajahnya, aku tak mau. Aku tak sanggup menatap sepasang mata hitam itu, aku tak bisa. Aku takut, aku gugup. Aku tahu ini bukan sifatku, tapi aku tak dapat memungkirinya. Bahkan aku tak dapat membuka mataku sendiri.

"Nee-chan?" ujar Reina.

Oh. Maaf kan aku gadis manis. Aku tak bisa bernyanyi kalau di sini. Tolong maaf kan aku. Benar-benar...

"Nii-chan, Nee-chan ini pintar sekali bernya—"

"Oh!" aku mengangkat wajahku. Kalau sampai Naruto mengatakan pada laki-laki ini bahwa aku bisa bernyanyi, maka tak dapat dipungkiri lagi bahwa aku harus bernyanyi. Harus. Dan aku harus mencegah bocah ini mengatakan hal itu. Secepatnya.

Dan semua orang—anak-anak itu, menatapku heran. Bahkan laki-laki beriris hitam itu pun menatapku dengan tanda tanya besar di mata. Oh. Dan inilah situasi yang paling aku benci. Aku baru saja di tendang ke pojok oleh mereka. Benar-benar terpojok. Aku harus mengatakan sesuatu untuk mengakhirinya. Dan lagi-lagi aku harus.

"Ah! A..aku.. aku" aku meringis. Ugh. "Aku harus.. umm.. um.. ke—"

Dan ia tersenyum. Lagi. Ini sudah yang kedua kalinya dalam sehari. Apakah ia begitu senang tersenyum hingga ia tersenyum setiap saat? Namun bagaimana pun, aku kembali luluh oleh pesonanya. Senyumanya begitu teduh, hingga membuat dadaku yan tadinya berdetak begitu cepat, kini kembali normal dan relaks. Benar-benar ampuh. Kalau diibaratkan, ketakutan dan kegugupanku adalah racun, sementara senyumanya adalah obat, satu-satunya obat untuk menawar racun tersebut.

"Kamu bisa bernyanyi, kan? " sahut laki-laki itu diakhir senyumnya. Ia memegang gitarnya, bersiap memetik senar-senar tajam itu. "Mau nyanyi lagu apa?" lanjutnya. Aku menelan ludah. Mulutku bahkan tak lagi dapat bergerak. Aku menggigir bibir.

Laki-laki itu kelihatanya menanti jawabanku, namun aku tak bisa. Aku tak sanggup. Beberapa detik telah terlewati dalam kesunyian. Lelaki berlesung pipit itu akhirnya mengambil keputusan. Ia mengapai tanganku. Tangan kananya menyentuh tangan kiriku, di mana aku menggenggam selembar partitur not balok. Ketika aku melemahkan remasanku pada kertas itu, secepat kilat ia mengambil kertas itu dari tanganku.

Kertas itu sudah kusut. Lak lagi bagus seperti tadi. Kertas itu sudah basah, terkena keringat dingin yang mengalir dari sela-sela jariku. Namun ia tetap membacanya. Mata onxy itu melihat judul lagu itu sekali, lalu ia langsung mengembalikanya padaku, tanpa membaca notnya satu pun.

Ketika aku tak juga meraih kertas itu, ia tersenyum lagi.

"Santai saja," ujarnya. "Lakukan sepeti biasa. Anggap saja aku tidak ada. Lagi pula, kau siswi Konoha Music School, kan?"

Aku mengangguk. Aku memang siswi Konoha Music School. Mungkin ia tahu itu dari seragam yang kugunakan. Namun kalau soal; 'anggap saja aku tidak ada' , itu tak bisa kulakukan. Oh, oke. Aku sudah sering bernyanyi, bahkan terlalu sering untuk diingat. Jadi aku pasti bisa. Tidak ada alasan untuk menolahk. Apalagi ini adalah ide dari adik-adik kecil kesayanganku, juga di hadapan seseorang yang selalu terngiang dalam benaku.

Dan aku menarik nafas dalam, lalu menatap mata onxy itu lagi.

"...You're the voice I hear inside my head, the reasonthat I'm singing. I need to find you, I gotta find you ..."

.

nHnHnHnHnH

.

dark_uchiha: kekuatan suara itu luar biasa ya

sakura_blossom: apa?

dark_uchiha: pernah dengar seorang gadis bernyanyi. Menakjubkan

sakura_blossom: gadis bernyanyi? Tentu saja aku pernah dengar. Bahkan bisa dibilang sering.

dark_uchiha: di mana. Di taman

sakura_blossom: bukan, bukan. Di sekolahku, Di sana bertebaran gadis yang tengah bernyanyi.

dark_uchiha: kau sekolah di mana

sakura_blossom: di Konoha Music School, tentu saja. memangnya aku belum pernah bilang, ya?

dark_uchiha: Konoha Music School...

.

nHnHnHnHnH


Nah, gimana? kerasa banget OOC-nya kan? Sasuke nggak mungkin senyum semanis itu ke orang yang nggak di kenalnya. Yah, semoga kalian suka aja deh.

cerita ini belum berakhir, masih berlanjut.

maaf, apabila sebelumnya sudah ada fic/novel yang alur dan ceritanya sama percis seperti ini. sekali lagi saya mohon maaf, karena sebelumnya saya tidak tahu.

maka dari itu, apabila ada di antara para pembaca sekalian yang ingin memberi tahu saya, memberi usul, atau bahkan hanya sekedar say, hi! kepada saya, silahkan review cerita ini.

terima kasih.