Title : Remember the Petrichor?

Fandom : SnK

Genre : AU, Romance, Angst

Pairing : Eren/Levi

Rating : T

Chapter : 1/?

Disclaimer : I own nothing but my words. All the characters belong to Hajime Isayama.

Summary : Eren memilih untuk menjadi penonton dari tempat duduknya yang nyaman. Setiap hari. Setiap saat. Hanya melihat.

Aku selalu mengambil tempat duduk di luar cafe, tepatnya berada di pinggir jalan. Bukan tanpa alasan, tempat duduk ini sangat spesial bagiku. Meski letaknya di pinggir jalan, jalanan ini cukup sepi dari kendaraan bermotor. Udaranya sejuk, sekalipun matahari sudah berada di atas. Aku selalu dapat menghirup aroma kopi di pagi hari tanpa bercampur dengan asap kendaraan yang mengganggu. Ya, aku suka dengan orang-orang di sekitar sini yang memilih untuk berjalan kaki atau menaiki sepeda ke manapun mereka pergi. Benar-benar cara hidup favoritku.

Black Town Cafe. Kubilang terdapat suatu tempat duduk yang spesial, yang kini sedang kutempati. Di sinilah aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam, memandang ke seberang jalan, di mana sebuah klinik hewan peliharaan berada. Itulah yang membuatnya spesial. Penjelasanku belum cukup kalau aku belum menambahkan faktor-faktor lain yang mendukung, seperti secangkir Presso Piccolo hangat, tempat duduk yang teduh, tanaman bunga di sekitar cafe, dan juga...

seorang dokter hewan di seberang sana.

Faktor yang terakhir memang cukup dominan untuk melandasi alasan mengapa aku begitu menyukai tempat duduk ini. Bukannya aku mesum. Hanya saja aku memiliki kenangan tertentu dengan orang itu. Kenangan adalah kata kuncinya. Terdengar positif, namun juga negatif di saat yang bersamaan. Positif, karena terkesan manis dalam ingatan. Negatif, karena kenangan selalu terkait akan masa lalu. Aku meneguk sedikit kopiku, menaruh kembali cangkir di atas meja, lalu menatap ke seberang jalan.

Ah, itu dia. Nampaknya sudah menunjukkan pukul sembilan, jam ia harus bekerja. Seperti biasa, ia berjalan dari arah barat dengan casual dan ekspresi khas wajahnya yang terlihat lebih seperti mengintimidasi. Rambut hitamnya tersisir rapi, dengan kepala bagian bawah yang sedikit tercukur. I love how the style made him more good-looking. Goddamn him. Kulitnya bersih, tertutup oleh kemeja lengan panjang berwarna putih dan jeans hitam yang tampak rapi dan halus. Penampilan sederhana namun tampak mengintimidasi, maksudku, lihatlah matanya yang tajam. Namun saat kau mengenalnya, kau akan tahu ia adalah orang yang baik.

Klinik itu tidak begitu luas, mengingat yang dirawat di sana hanyalah hewan-hewan peliharaan berukuran kecil, sehingga luas tempat tidak menjadi masalah. Ia juga sering mendapat panggilan mendadak dari kebun binatang, atau para pemilik peternakan, untuk merawat binatang berukuran besar. Profesi yang merepotkan, namun mulia, dan cukup membuktikan kalau hatinya tidak se-antagonis wajahnya. Antagonis? Aku tertawa kecil dengan pilihan kata yang kupakai. He's handsome after all.

Aku ingat saat pertama kali kami bertemu di tempat ini. Waktu itu aku duduk di dalam cafe, ditemani secangkir Iced Caffe Americano, dan kertas-kertas sketchbook yang sudah kugambari dengan beberapa desain lukisan untuk interior cafe ini. Oh, aku lupa mengatakan kalau aku adalah pemilik cafe. Seluruh perabotan dan dekorasi, aku yang mengonsepnya sendiri. Aku mempekerjakan dua pegawai tetap dan satu part-timer. Di hari-hari biasa aku akan duduk di dalam ruangan cafe untuk mengawasi, dan sekedar membuat lukisan realis di atas kertas.

Hingga hari itu tiba, hari di mana kami bertemu untuk pertama kali.

Hari itu, datanglah seorang pelanggan yang menarik perhatianku. Ia mengambil tempat duduk yang bersebelahan langsung dengan jendela kaca, memandang ke arah luar. Kebetulan kafe sedang sepi, sehingga figurnya dapat terlihat jelas dari tempatku. Wajahnya terlihat... suram? Ah, bukan. Kuputuskan bukan itu. Wajahnya tenang, meski ada sedikit kerutan di ujung alisnya.

Apa ia marah? Apa ia baru saja mengalami hal yang buruk?

Matanya memandang ke arah sekitar sejenak, dan untuk beberapa saat, mata kami bertemu. Mataku sedikit terbelalak, dan matanya masih menatap dengan sedikit sinis ke arahku.

Kenapa ia tidak langsung berpaling saja?

Namun kuputuskan untuk berpaling lebih dulu. Aku manfaatkan momen langka ini - bertemu seseorang dengan ekspresi seperti itu - dan mulai mengambil pensil dan kertas kosong.

Aku mulai dengan lingkaran.

Sesaat setelah aku sibuk dengan kertasku, sekilas aku dapat melihat ia kembali menyeruput kopi paginya. Menyeruput kopi paginya. Sepertinya itu pose yang bagus.

Tiga puluh menit berlalu, dan ia masih berada di kursinya. Aku melukisnya dengan cepat karena khawatir ia akan segera beranjak dari sana. Rambut, tangan, bentuk wajah, dan cangkir yang menempel di bibir sudah selesai tergambar. Kini hanya tinggal menambahkan hidung dan mat-

Bagaimana cara melukisnya?

Bertahun-tahun aku berada di dunia seni melukis, namun baru kali ini aku takut bahkan untuk membuat satu goresan saja untuk memulai menggambar matanya. Aku mengarahkan pandanganku pada orang itu. Seharusnya ini mudah. Lalu kenapa?

Apa mungkin aku terlalu takut untuk mengacaukan seluruh gambarnya?

Menggambar mata, bagiku adalah sesuatu yang krusial. Jika cacat sedikit saja, bagiku seluruh gambar akan terlihat kacau, dan bisa memberi kesan yang berbeda. Dan lagi, ekspresi wajah orang itu terlalu... entahlah. Aku payah dalam menjelaskan lewat kata-kata.

Butuh beberapa menit sampai aku menyadari bahwa aku menyukai mata itu, mata yang tidak menunjukkan ketertarikan terhadap apapun, namun tajam di saat yang bersamaan. Meski terdengar tidak beralasan, aku cukup puas dengan gambar yang kubuat, gambar tanpa mata. Aku bisa saja merekam mata itu ke dalam ingatanku, lalu membayangkannya di dalam lukisan, sembari berharap suatu saat dapat membaca matanya, mengetahui suasana hatinya...

dan berharap menemukan ekspresi lain yang tidak pernah kuduga sebelumnya.

"Eren! Ada telepon dari ibumu!" tiba-tiba salah seorang pegawaiku, Armin, berteriak dari balik pintu kantor, menarikku keluar dari pikiran-pikiranku.

"Benarkah?!" tanpa basa basi, aku segera berlari menuju ruanganku yang letaknya ada di sisi belakang cafe. Saat aku masuk, Armin, pegawai sekaligus sahabatku, sudah berada di sana dan menggenggam telepon. Ibu selalu menelepon setiap dua minggu sekali, dan setiap itu terjadi, aku merasa sangat senang. Aku dan orangtuaku tidak tinggal di kota yang sama. Aku memutuskan untuk pergi ke luar kota saat usiaku 18 tahun, dan mencari pekerjaan. Tak terasa sudah 5 tahun lamanya aku berpisah dengan orangtua dan hidup mandiri.

Karenanya, mendengar suara ibu dapat membuatku merasa senang.

"Ibu, ini aku, Eren. Bagaimana kabarmu?"

-x-

Aku meneguk kopiku untuk kesekian kalinya. Kopi yang tidak pernah ada habisnya. Sudah lima jam aku duduk dan memandangi dokter itu dari kursiku. Tidak kusangka hari ini akan mendung, namun aku tidak peduli meski sesekali sudah terdengar suara gemuruh petir yang jauh di sana. Lagipula saat ini aku menikmati melihatnya sibuk membersihkan jendela kaca klinik dari luar. Meski tidak terlihat begitu berdebu, ia tetap membersihkannya, memastikan tempat itu selalu bersih setiap saat. Kurasa ia sudah tau bahwa hari ini akan turun hujan. Sehingga tidak ada gunanya membersihkan jendela jika sebentar lagi akan kotor terkena air hujan, kan?

Namun ia tetap membersihkannya.

Ternyata ia tidak berubah, masih seperti yang dulu. Kebersihan adalah nomor satu.

Ah, aku kembali teringat masa lalu.

-x-

"Kalau begitu, jaga diri ibu baik-baik, ya? Kirimkan salamku pada ayah juga. Sampai jumpa," aku menutup telepon, menutup percakapan kami yang cukup panjang itu. Lega rasanya mendengar suara ibu, yang secara ajaib dapat membuatku kembali bersemangat.

Dengan rasa senang dan senyum lebar yang masih terpampang di wajahku, aku berjalan keluar ruangan, berniat kembali ke meja tempatku tadi duduk dan menggambar. Namun sebelum aku benar-benar sampai di sana, sesuatu yang tidak pernah kuduga terjadi.

Pria berwajah sinis itu berdiri dan terdiam di dekat mejaku, dengan kertas lukisan yang sudah berada di tangannya.

Matilah aku.

Kebetulan meja itu berada dekat dengan pintu keluar. Mestinya ia tidak sengaja melihatnya saat akan keluar dari cafe. Ia juga pasti tidak menduga kalau wajahnya akan dilukis oleh orang asing secara diam-diam seperti ini. Bagaimana jika ia berpikir yang aneh-aneh tentangku? Alasan apa yang harus kuberikan padanya? Kurasa minta maaf saja tidak cukup. Terlebih, aku terlalu malu untuk menghampirinya. Bagaimana ini?

Tiba-tiba ia menoleh ke arahku.

Tuhan, aku benar-benar tidak siap. Tapi...

"Ah, t-tuan! Aku benar-benar minta maaf atas kejadian ini. Tidak kusangka tuan akan menemukan kertas itu... dan... dan... aku sungguh menyesal telah melakukan ini," perlahan aku berjalan ke arahnya, "kau pasti merasa tidak nyaman. Aku benar-benar orang yang aneh, telah menggambarmu diam-diam, haha... ah tapi kalau kau ingin marah, silahkan saja, aku tidak keberatan. Namun sungguh, lain kali izinkan aku melakukan sesuatu sebagai permintaan maaf, jadi—"

"Apa kau pemilik cafe ini?"

"Eh? I-itu benar."

"Kalau kau punya waktu untuk menggambar, sebaiknya kau bersihkan jendela kaca yang berdebu itu. Suruh pegawaimu untuk melakukannya jika tidak mau mengotori tanganmu," dengan itu, ia meletakkan kembali kertasnya di atas meja, dan beranjak keluar cafe dengan ekspresi sinis yang sama seperti sebelumnya.

Ucapannya terasa seperti cuka yang disiramkan ke luka yang terbuka. Namun aku masih terkejut karena ia sama sekali tidak mengomentari apa yang tergambar di kertas itu, melainkan jendela kaca yang berdebu. Berdebu?

"Padahal aku sudah membersihkannya tadi pagi..." ucapku lesu sembari mengambil kertas-kertas gambar yang berserakan di meja.

"Apa yang terjadi, Eren?" salah satu pegawai yang juga sahabat baikku, Mikasa, menghampiri dan menepuk pundakku.

"Tidak ada apa-apa, hanya seorang pelanggan dengan alis berkerut," aku mengambil kertas yang berlukiskan wajah pria itu, lukisan tanpa mata, dan menumpuknya dengan kertas-kertas yang lain.

"Kau menggambarnya diam-diam?" tanyanya lagi.

"Begitulah."

"Dia orang yang aneh," Armin ikut mengomentari, "tadi saat memesan, yang ia minta adalah teh hitam. Semua orang tahu kita tidak menjual teh hitam. Akhirnya ia memesan kopi."

Kurasa, ia bukan orang bodoh, dan aku tidak mau menyalahkannya. Ia hanya aneh dan mungkin mengharapkan pelayanan yang lebih dari apa yang dia dapatkan. Itu saja. Namun entah kenapa, terpikir dalam benakku untuk memberinya secangkir teh hitam jika suatu saat ia kembali lagi.

Oh, benar juga.

(To be continued)

-x-

My first fanfic in this fandom, yay for me! I've posted this fic on another site (Wattpad), so if you happened to see this fic somewhere else, it's mine. Reviews & critics are love