Disclaimer: Naruto bukan punyaku.
AN: fic gelap lagi. haha.
dark!Naruko, evil!Naruko.
Enjoy!
Chapter 1
.
.
.
.
.
Dia punya dua kakak perempuan. Kedua kakaknya punya rambut hitam kelam, mata yang tidak kalah hitamnya. Bocah lima tahun itu menyeringai lebar, menyukai rambut panjang kedua kakaknya itu. Jari-jari mungilnya meraih, hendak menyentuh rambut kakaknya. Namun, tangannya ditepis. Bocah itu terpaku, mata birunya terbelalak lebar.
"Jangan sentuh kami."
Naruko berkedip. Gadis mungil itu hanya bisa terpaku, menatap Sayo, kakak pertamanya itu memutar tubuh, pergi begitu saja. Risa, kakak kedua, mengerutkan kening, mendengus pergi meninggalkannya.
Naruko berkedip lagi, menatap pintu yang tertutup di depannya. Di detik ketika pintu itu tertutup, kegelapan mengelilingi kamarnya, membuatnya menjerit ketakutan.
Namun tidak ada siapa pun yang mau membuka pintu itu.
Dia hanya bisa menangis di kamar yang besar dan gelap itu.
xxx
Naruko menjerit girang, berlari kesana-kemari, menarik rerumputan, memetik bunga dan cekikikan, menyelipkan bunga itu di balik telinganya. Bocah tujuh tahun itu menoleh, senyumnya menghilang ketika melihat gerombolan orang-orang berambut hitam yang memperhatikannya. Tangannya yang mencengkram bunga itu hanya bisa bergetar ketika salah satu orang berambut hitam berjalan cepat, menariknya dari taman bunga itu.
"Kenapa kau bisa keluar dari kamarmu?" Orang itu mendesis.
Jendelanya tidak dikunci, gadis itu ingin menjawab. Dan dia sudah cukup tinggi untuk melompat dan melompat dari jendela. Tapi tatapan mendelik dari orang yang tidak dikenalnya ini membuat mulutnya terbekap.
Dengan kasar, dia dilempar masuk ke kamarnya yang gelap itu. Dan untuk kesekian kalinya, jerit tangisnya diabaikan.
xxx
"Namaku Sai."
Naruko menengadah, menatap bocah 10 tahun yang seumuran dengannya. "Namaku Naruko," dia menyeringai lebar, senang karena untuk pertama kalinya seseorang berbicara padanya. "Tapi aku bukan Uchiha seperti yang lainnya."
"Aku tahu," Sai Uchiha tersenyum lebar. "Kau suka dengan pelajaran ini?" Bocah itu berbisik, melirik, menatap guru berambut hitam di depan mereka berdua.
"Benci," Naruko mendengus. "Aku tidak suka matematika. Aku selalu dimarahi kalau aku salah menghitung."
"Tapi kau selalu dapat nilai di atas 90."
Naruko menggigit bibirnya. Dengan pelan-pelan, dia menjulurkan tangannya, menunjukkan telapak tangannya yang penuh dengan luka goresan. "Aku akan dipukul kalau aku dapat jelek."
"Kasihan sekali," Sai mengerutkan kening. "Aku juga akan dipukul kalau aku dapat nilai jelek. Aku sudah sering ingin kabur dari kamarku. Kamarmu juga selalu dikunci bukan? Sama denganku."
Naruko menyeringai di detik itu juga. "Dikunci. Tapi aku tahu bagaimana caranya keluar dari kamarku."
"Oh ya?" Sai menyeringai lebar. "Bagaimana? Kau yakin kau mau berbagi rahasiamu denganku?"
"Tentu saja," Naruko tertawa pelan. "Kau teman pertamaku."
Keesokan harinya, ketika Naruko hendak menyelinap dari jendelanya, dia tidak bisa membuka jendela kamarnya. Mata birunya hanya bisa terpaku, menatap gembok di jendela itu.
Dia diberi hukuman. Sepuluh cambukan di punggung dan dia tidak boleh makan seharian.
Dia menjerit, menangis ketika dicambuk oleh salah satu guru Uchiha. Sekilas, matanya melirik, menatap Sai Uchiha yang tersenyum lebar.
xxx
Gadis pirang 12 tahun itu tidak mengerti kenapa dia harus memanggil Sayo dan Risa nee-sama. Orang bodoh saja bisa tahu kalau mereka bukan kakak adik kandung. Hanya dia yang punya rambut pirang di kumpulan orang-orang Uchiha ini.
Dia tidak mengerti kenapa Sayo dan Risa bisa meminta apa pun yang mereka mau, sedangkan dia selalu mendapat barang-barang bekas dari mereka.
Dia tidak mengerti kenapa Sayo dan Risa boleh mendapat nol di pelajaran privat sedangkan dia akan ditampar kalau dia mendapat nilai yang kurang dari 90.
"Aku hanya anak angkat bukan?" Naruko mendesis pelan. Tangannya mencengkram pipi kanannya yang memar. Tangan kirinya mencengkram baju bekas dari Risa.
"Bagus kau akhirnya tahu," Risa mendengus, mengibaskan rambut hitamnya yang panjang mulus. "Kau hanya anak pungut. Kau harusnya bersyukur bisa dibesarkan di klan Uchiha yang hebat ini."
"Begitu?" Naruko mengerutkan keningnya. "Tapi aku selalu dikurung di kamar, selalu dipaksa belajar, selalu diberi makanan sisa. Berbeda dengan kalian. Aku tidak merasa aku dibesarkan di lingkungan yang hebat."
Mata hitam Risa terbelalak. Gadis lima belas tahun itu menjerit marah, mencakar wajahnya. Sayo memanggil salah satu pelayan dan untuk kesekalian kalinya, Naruko dilempar masuk ke dalam kamarnya yang gelap.
Naruko berkedip, menatap kamar yang gelap gulita itu.
Kali ini, dia tidak menangis.
xxx
"Semua gadis itu dilahirkan untuk menjadi putri," Sayo cekikikan, memainkan gaunnya yang baru. "Berbeda dengan seseorang."
Naruko, gadis 15 tahun itu tersenyum lebar, menatap gaun merah di tangan kakaknya. "Berbeda denganku maksudnya?"
"Bagus kalau kau mengerti," Risa menimpali, tertawa pelan. "Lihat pakaianmu. Kau hanya mengenakan kaus penuh bolong itu. Aku tidak mengerti kenapa kau dilahirkan sebagai wanita."
"Aku juga tidak mengerti," Naruko bergumam pelan. "Aku tidak ada apa-apanya dibanding kalian yang cantik jelita."
Risa dan Sayo saling menatap, cekikikan. "Tumben kau mengerti dan tidak membantah kami."
"Aku sudah belajar dari semua ini," Naruko tersenyum lemah, menyodorkan tangannya yang penuh luka. "Aku tidak mau melawan lagi."
"Baguslah," Sayo menyeringai. "Ini untukmu. Sebagai hadiah," dia menyodorkan saputangan berenda miliknya.
"Serius?" Mata Naruko terbelalak. "Aku… tidak pantas untuk ini…" mata biru itu bersinar-sinar, seakan-akan menahan tangis.
"Ahh! Aku tidak tahan melihatmu yang memelas ini! Sana pergi! Hapus air matamu dengan saputangan itu!"
Naruko menyeringai lebar, keluar dari kamar kakaknya. Dia melipat sapu tangan itu dengan hati-hati, tersenyum lebar. "Hadiah pertama untukku," dia berbisik pada dirinya sendiri, tidak percaya dengan penglihatannya.
Besoknya, rutinitas Naruko berlangsung seperti biasa. Dia sedang belajar, dikurung di satu ruangan mungil. Jika dia tidak dapat 100 di tes besok, dia tidak akan diberi makanan. Sebuah jeritan tangis membuat Naruko menengadah, menatap jendela mungil di kamarnya. Dia menatap ketua klan Uchiha yang menampar Sayo, sambil menunjuk pot bonsai yang pecah berkeping-keping. Di dekat pot itu, tergeletak sapu tangan kesayangan Sayo.
Naruko tersenyum lebar, menatap bukunya dan kembali menghafal dengan santai.
xxx
Naruko tidak tahu siapa orang tua kandungnya. Dia hanya tahu kalau dia harus memanggil dua Uchiha di depannya Ayah dan Ibu. Dia harus memanggil Risa dan Sayo nee-sama.
Dia selalu dikurung seumur hidupnya. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, dia diperkenalkan di depan umum.
"Namaku Naruko Uchiha, umurku 17 tahun," Naruko tersenyum lebar, berjalan pelan. Kimono biru di tubuhnya membuatnya susah berjalan, tapi apa boleh buat. Jika dia tidak terlihat girang dan manis, dia tidak akan diberi makan lagi.
"Gadis manis," perdana mentri Jepang tersenyum, menjabat tangan Naruko. "Sosok gadis ini berbeda dengan dua gadismu yang lainnya, Uchiha-san."
"Ah, iya," Ayah tersenyum lebar. "Dua putriku memang putri kandungku. Mereka gemar memasak, tidak seperti Naruko yang gemar belajar. Aku mengadopsinya setelah melihat semangatnya dalam belajar di usia dini."
"Tidak salah," sang perdana mentri tertawa. "Aku terkejut ketika gadis ini bisa berdebat denganku di politik tadi. Aku mengerti kenapa kau mau mengadopsinya. Kau putri yang brilian, Naruko-chan. Tentunya dia membanggakan keluargamu, Uchiha-sama."
"Tentu," Ayah menyeringai. "Naruko sendiri sangat mencintai kami. Aku tidak bisa membayangkan keluarga kami tanpa gadis ini."
Naruko tersenyum lebar selama percakapan itu. Sesekali dia melirik, menatap kakak-kakaknya yang mendelik ke arahnya. Naruko tersenyum semakin lebar. Kedua kakaknya menariknya pergi dan dia menurut. Senyumnya menghilang sesaat ketika Sayo menamparnya.
"Kau mau menjilat sampai kapan?" dia mendesis. "Kau bukan siapa-siapa."
"Dan kau tahu kenapa keluarga kami memungutmu hah?" Risa mendelik. "Kau hanya korban. Korban."
Naruko berkedip. Namun, senyumnya kembali muncul. "Korban? Tentu saja. Kenapa aku tidak terpikirkan oleh itu? Bodoh sekali."
Sebelum Sayo dan Risa sempat tahu apa yang dilakukan Naruko, gadis berambut pirang itu sudah mencakar pipinya, membuat wajahnya berdarah. Mereka hanya bisa terbelalak, menatap Naruko yang tiba-tiba menangis, menjerit kesakitan.
Perdana menteri dan Ayah cepat-cepat mendekatinya, dan Naruko menangis semakin keras. "Ma-maafkan aku!" Dia menangis, menatap perdana menteri dengan mata birunya yang bundar, berlinangan. "Aku… Risa-nee dan Sayo-nee iri karena kau lebih suka denganku dan…"
"Uchiha-san…" perdana menteri mengerutkan kening, menatap Ayah dengan tatapan tidak setuju. "Kedua putrimu…"
Ayah hanya bisa mendelik, Risa dan Sayo menahan jeritan amarah mereka.
Naruko menyeringai lebar di balik punggung perdana mentri.
xxx
Gadis 19 tahun itu tidak bodoh. Dulu dia yakin kalau dia anak yang bodoh, tapi tidak sekarang, tidak setelah bertahun-tahun dikekang di ruangan gelap dan dicambuk.
Dia licik. Dia tahu dia licik.
Tapi supaya dia bisa melindungi dirinya sendiri.
Dia sudah terbiasa dengan semua cambukan. Sakit. Tapi dia terbiasa dengan rasa sakit. Darah bukan apa-apa.
Dia terbiasa dengan rasa lapar. Dia tahu bahwa Uchiha hanya akan membuatnya lapar, tidak akan membuatnya mati kelaparan. Karena entah kenapa, dia dibutuhkan di keluarga itu.
Dia terbiasa dengan kegelapan. Bahkan, kegelapan sekarang sudah seperti teman baiknya. Dia tidak bisa tidur tanpa kegelapan.
Dia berjalan di lorong rumah klan Uchiha, mengenakan pakaian bekas seperti biasa. Mata birunya yang tajam melirik, menatap nenek tua di depan pagar. Nenek itu memohon, meminta uang, mengabaikan para penjaga gerbang yang membentaknya. Naruko terpaku sesaat. Dia melirik, menatap jam dinding. Dia akan telat kalau dia menghampiri nenek itu. Dia akan dipukul guru Biologinya kalau dia telat. Peduli amat. Naruko mendengus, melompat cepat, mendekati nenek itu. Dia sudah terbiasa dipukul. Dia sudah terbiasa melihat dua kakaknya dipukul karena kelicikannya. Tapi dia tidak mau melihat nenek itu dipukul karena mengemis di rumah ini.
"Hei!" Naruko berseru. "Anjing Risa-neesama sudah lepas lagi! Kalau tidak ditangkap, bonsai kesayangan Ayah akan pecah lagi!"
Dua penjaga itu langsung panik, berlari masuk ke dalam rumah. Naruko menyeringai, mendekati gerbang.
"Nenek," Naruko berbisik, menyodorkan roti di kantongnya. "Ambil ini dan cepat pergi."
Sang nenek tidak menjawab. Dia bahkan tidak menengadah.
Di detik itulah Naruko sadar bahwa nenek itu buta. Naruko mengabaikan bau asam dari tubuh nenek itu, menyabet tangan sang nenek dan meletakkan makan siangnya itu di tangan nenek tersebut. "Pergi," dia memberitahu nenek itu.
"Kau anak baik," jawaban dari nenek itu membuat Naruko terpaku sesaat.
"Tidak," Naruko menyeringai. "Aku jauh dari baik."
"Sebagai balasan, aku akan bercerita," sang nenek berujar girang, mengabaikan Naruko.
"Dengar, nek," Naruko mengerutkan kening. "Sudah waktunya kau per…"
"Jaman dahulu kala, ada pengusaha yang kaya," sang nenek membuka mulutnya. "Tapi dia terkena bencana dan semua hartanya lenyap. Sang pengusaha berniat untuk hidup dengan tenang di desa, namun anak-anak perempuannya yang serakah dan penuntut ingin supaya mereka menjadi keluarga bangsawan lagi."
Naruko berkedip.
"Tapi sang ayah tidak punya kepintaran mau pun modal untuk kembali menjadi pengusaha. Karena desakan putri-putrinya, sang ayah pun berniat untuk mencuri dari sebuah rumah megah. Di kebun rumah megah itu, dia menemukan boneka dengan bentuk wanita, rambut yang diukir dari emas, dan mata yang terbuat dari batu safir. Namun sayangnya, dia tertangkap oleh pemilik rumah itu. Dan ternyata, pemilik rumah itu adalah monster."
Rambut yang diukir dari emas. Mata yang terbuat dari safir.
"Dan sang ayah nyaris dikutuk menjadi makhluk buru rupa. Jika tidak ingin dikutuk, sang ayah harus membawa wanita cantik jelita dengan rambut berwarna emas dan mata biru safir, memberikan wanita itu pada sang monster. Namun, putri-putri sang ayah tidak punya rambut dan mata seperti itu. Rambut dan mata mereka berwarna hitam kelam."
Naruko hanya bisa terpaku.
"Aku tidak punya putri dengan sosok seperti itu, jawab sang ayah. Tapi aku rela menculik seseorang yang seperti itu dan memberikan wanita itu padamu."
"Lalu?" Naruko berbisik tanpa sadar. "Apa yang terjadi berikutnya?"
"Sang monster menolak. Dia bilang, kau tidak punya kepintaran mau pun uang, kau tidak bisa memberiku wanita jelita seperti itu. Dan sang ayah pun menjawab, pinjamkan padaku kekayaan, pinjamkan aku kemegahan. Dengan kekayaan, aku bisa memberikan wanita itu padamu."
"Lalu?"
"Monster itu memberikan apa yang diminta sang ayah dan sang ayah memberikan wanita berambut pirang dan bermata biru pada monster itu. Tradisi itu dijalani di setiap pergantian generasi supaya sang monster tetap memberikan kekayaan pada keturunan sang ayah."
"Dan?" Naruko menyeringai lebar. "Apakah nama keturuan itu Uchiha? Aku adalah tumbal berikutnya?"
Sang nenek tidak menjawab. "Kau anak baik," tangan keriput sang nenek mengusap roti dari Naruko. "Anak baik akan selamat dari…"
"Tidak," Naruko cekikikan. "Aku jauh dari baik, ingat? Aku ini monster," di detik berikutnya, Naruko sudah mendorong sang nenek, membuat nenek itu terjatuh.
"Hei!" suara gurunya membuat Naruko menengadah. "Apa yang kau lakukan di dekat gerbang?!"
"Tidak apa-apa," Naruko mendengus. Dia sama sekali tidak memejamkan mata ketika melihat tangan gurunya yang terangkat. Di detik berikutnya dia merasakan sengatan tajam di pipinya.
"Sekali lagi kau keluyuran aku akan menamparmu lagi, kau dengar?!"
Naruko mengangguk. Dia menoleh sesaat, terpaku ketika melihat tidak ada siapa pun di depan gerbang Uchiha.
xxx
Umurnya 20 tahun ketika semuanya menjadi aneh. Dia tidak lagi dipaksa belajar. Dia boleh berbuat sesukanya. Bahkan, dia diberi makanan yang cukup, membuat semua tulangnya yang menonjol itu menghilang.
Rambutnya disisir tiap hari oleh pelayan.
Dia diberi pakaian bagus.
Naruko mulai berperasaan kalau dia akan dinikahkan oleh kakek tua dari manalah.
Dia mulai memikirkan semua rencana, dari rencana melukai dirinya sendiri sampai rencana untuk bunuh diri.
Sejak dulu dia tidak pernah mencintai dirinya sendiri jadi tidak apa jika dia mati.
Malam itu, dia tahu bahwa itulah malam di mana semuanya akan berubah.
"Masuk," Ayah memerintah, mendelik tajam sambil menunjuk ke arah pintu mobil yang terbuka.
"Mau ke mana?" Naruko bertanya pelan. Mata birunya menyipit, menatap ayahnya dengan tatapan tajam. Dari belakang, dia melihat kedua kakaknya yang menyeringai lebar. Dia selalu dikurung setiap malam dan untuk pertama kalinya, dia dipaksa keluar.
"Kau tidak perlu tahu," Ayah mendorongnya, membuatnya terjatuh, masuk ke dalam mobil.
Naruko hanya bisa menggigit bibir, apalagi ketika mobilnya sudah dinyalakan. "Mau ke mana?" dia bertanya cepat kepada supir mobil ini. Namun sang supir mengatupkan bibirnya seerat mungkin.
"Aku akan dinikahkan pada kakek tua bukan?" Naruko mendesis. "Atau dijual pada penggila seks?"
Dia tidak dijawab dan mobil sudah melaju cepat.
Naruko menggertakkan gigi, beranjak dari tempatnya duduk. "Hei! Jawab aku!" dia mencengkram baju sang supir. Namun mata Naruko terbelalak ketika dia menatap mobil ini yang melaju ke arah jurang. "Hei! Hei! Di depan ada jurang!"
Sang supir tidak menjawab, mobil melaju semakin cepat.
"Hei!" Naruko menjerit. "Hentikan mobilnya!"
Wanita itu hanya bisa menjerit tertahan ketika suara benturan yang sangat kencang terdengar. Dia menjerit sekencang-kencangnya. Tangannya mencengkram jok mobil.
Cukup seperti inilah hidupnya?
Disiksa dan mati jatuh dari jurang?
Naruko tidak sadar bahwa dia sudah menangis. Dia memejamkan matanya seerat mungkin ketika merasakan mobil yang terus melaju, terjatuh dengan dalam.
Di detik ketika mobil ini berhenti dengan benturan yang dasyat, Naruko membuka matanya. Dia tersentak ketika melihat supir di depannya yang sudah tidak berbentuk, darah di mana-mana. Bukan hanya supir di depannya, bahkan mobil ini sudah tidak berbentuk lagi.
Namun anehnya, jok tempatnya duduk masih utuh. Naruko terpaku, berkedip. Dia menatap tangannya yang bergetar. Pelan-pelan, dia mengusap matanya.
Dia masih hidup.
"Dia berhenti menangis."
Naruko terpaku.
"Dia menangis tadi. Tapi setelah melihat mayat di depannya dia berhenti menangis."
Naruko mendengar suara lagi. Dia menengadah, menatap tebing yang tinggi melunjang. Dia baru saja jatuh dari ketinggian itu. Maklumlah jika dia mendengar suara-suara aneh. Atau memang dia sebenarnya sudah tewas dan sekarang dia di neraka?
"Dia tidak takut atau kaget mendengar suara-suara kita. Korban kali ini memang berbeda dari yang lainnya. Kau beruntung, Sasuke."
"Diam, Itachi. Setidaknya dia tidak menjerit, menangis dan bunuh diri seperti korban yang sebelumnya."
Naruko menoleh, menatap dua sosok lelaki yang berjalan mendekatinya. Dari mana dua orang ini muncul? Dua lelaki itu mempunyai mata berwarna merah darah, berambut hitam kelam. Satu terlihat seusianya, satunya terlihat lebih tua. "Korban?" Naruko bertanya sebelum dia sadari.
"Kau korban generasi kali ini," lelaki yang bernama Itachi tersenyum lebar. "Tepatnya, kau korban untuk kami, para monster."
Naruko berkedip. Oke. Dia tidak tahu dia mimpi apa. Dia tidak pernah diijinkan untuk nonton film atau membaca buku fiksi. Tapi dia tahu bahwa monster itu tidak nyata. Tapi, fakta bahwa dia terjatuh dari ketinggian seperti ini dan tidak mati seperti supir di depannya ini juga sudah seperti mimpi. Sesaat, cerita sang nenek misterius setahun yang lalu muncul di otaknya.
Wanita berambut pirang, bermata biru.
"Jadi selama ini keluarga Uchiha yang mengurusku memang keturunan dari bangsawan tidak berotak dan tidak punya modal? Mereka menjadi kaya karena mengabdi dengan para monster?" Tanpa Naruko sadari, dia sudah berceloteh. "Pantas saja kakek tua bangka pencinta bonsai itu bisa kaya raya meski dia tidak punya otak."
Sasuke berkedip, Itachi meringis.
"Korban kali ini menarik, Sasuke. Sungguh, aku iri padamu."
"Itachi," Sasuke menggeram.
"Aku tidak tahu kalian apa," Naruko mendelik tiba-tiba, senyumannya muncul. "Tapi kalian salah kalau kalian mengira aku akan semudah itu kalian makan."
Sasuke mendelik tajam sedangkan Itachi tersenyum lebar. Sebelum Naruko sadar, Itachi sudah ada di depan matanya. "Ah, memang korban yang menarik," mata merah Itachi menempel pada mata Naruko. Naruko ingin memalingkan matanya, namun anehnya, dia tidak bisa memejamkan matanya sama sekali. "Di kepalanya, dia bahkan tidak menganggap dirinya sendiri sebagai manusia."
"Dia menganggap dirinya sebagai apa?" Sasuke mengerutkan kening.
"Monster," Itachi menyeringai. "Beast."
TBC
AN: ide ini muncul tiba2 di tengah malam. dan aku sendiri belum tahu mau nulis seperti apa di lanjutan nanti. Haha.
sampai jumpa di chap berikutnya!
