Entah bagaimana ceritanya pas Sehun kena panah asmara sama Minseok.
Awalnya sih, cuma karena Minseok membantunya dari jerat hukum guru killer waktu awal angkatan mereka masih menjadi keluarga baru di Seoulim Vocational School.
Kalian pasti pernah dengar kan cinta pada pandangan pertama?
Dan Sehun ngerasain itu pas dia ngelihat Minseok ketika cowok ini mencari tahu tentang penolongnya. Sejak saat itulah si cowok albino ini gentar melakukan aksi penyelidikan –mulai dari kelasnya, teman-temannya bahkan sampai melakukan wawancara singkat tentang Minseok bersama teman sekelas cowok kalem itu.
Gini amat ya kalau mau ngedeketin cowok cantik. Beresiko punya saingan. Kalau pun nggak punya saingan, palingan ditolak karena bukan tipenya.
Sehun itu takut penolakan. Apalagi jika Minseok beralasan dia bukan tipenya. Mampus kuadrat itu mah.
Sebelum kena tolak, makanya Sehun cari tahu gimana kira-kira tipe idaman seorang Kim Minseok.
Untuk mempermulus rencananya, Sehun juga nurut akan petuah Kakeknya dulu.
'Kalau mau deketin dia, kenalan dulu sama keluarganya.' begitu nasihat Beliau sambil senyum sejuta watt mengingat PDKT yang dilakukannya terhadap keluarga Nenek.
Berhubung Sehun belum siap ketemu camer –uhukk– dan calon saudara ipar –ohokk!–, maka si albino ini mencari jalan alternatif lainnya.
'Deketin dulu temennya buat dapet restu, baru si dia. Kalau lo berhasil dapetin hati temennya, memungkinkan si temen bakal bantuin lo dapetin si dia.'
Untuk itulah si Sehun ngedektin Xi Luhan –yang katanya temen sehidup semati Kim Minseok.
Tapi kayaknya, Sehun salah ambil langkah deh.
Bukannya dapet Kim Minseok, dia mungkin bakal jatuh ke hadapan temen kecengannya ini.
.
.
"Han, kalau gue naksir lo; gimana?"
"Hun, lo pernah ngerasain bola sepak kena muka lo?"
.
.
"Kalau Aku Suka Kamu, Gimana?"
Oh Sehun EXO | Xi Luhan
Romance | School life | Friendship
Rated: T | Lenght: Twoshot
#Disclaimer: Cast jelas bukan punya saya, mereka saling memiliki satu sama lain. Saya yang punya storyline atas pen-name ©Hwang0203, ide cerita punya temen saya.
Notes: Anggap aja semua member EXO disini seumuran semua yah. Kecuali Mas Jongdae sama Koh Yifan.
Warn: Cuma mau mengingatkan ya, disini mereka pake non-baku, pakai Bahasa slang. Disini juga penyebutannya 'lo-gue' dan 'aku-kamu' sesuai kondisi scene. Disini juga khas Indonesia banget –kayak makanan, minuman maupun mereka yang nge-trend di Indo. Udah diingetin lho ya, ntar pas kolom review ada yg protes kalau aku pakai non-baku
Sekarang disinilah seorang Oh Sehun berdiri; di pinggir lapangan futsal. Menurut info yang ia dapat, Luhan sering bermain futsal yang terjadwal disini. Dia bisa melihat cowok cantik itu menendang dan berlari sambil keringetan. Yah, namanya juga olahraga pasti keringatan.
Pengamatannya berakhir hingga peluit berbunyi nyaring yang artinya istirahat sebelum babak selanjutnya dimulai.
Nah, kesempatan! batin Sehun buru-buru ke tempat istirahat tim-nya Luhan.
"Hei, Xi Luhan?" sapa Sehun.
Cowok cantik yang tadinya mau minum, mengangkat alisnya bingung atas eksistensi temen satu sekolahnya yang nggak biasa berada disini.
"Ya?"
"Gue Oh Sehun."
"Udah tahu," Luhan melanjutkan acara minumnya sebentar. "Penghuni kelas gue tahu nama lo. Siapa sih yang nggak kenal Oh Sehun –salah satu berandal angkatan? Juga, lo sering nanya-nanya tentang Minseok ke anak kelas."
Sehun yang tadinya ngulurin tangannya buat jabat tangan, kini malah dibuat menggaruk tengkuk belakang yang nggak gatal. Dengan muka sok polos dan kekehan kecil itu dia tanggapi omongan Luhan. "Oh ya? Hehehe…"
"Nah, buat apa berandal angkatan kayak lo bisa nemuin gue disini? Setahu gue, nggak ada kenalan lo disini."
Muka serius Oh Sehun kembali. Kini seenaknya menyuruh Luhan untuk menyingkir, menyisakan sedikit bangku kosong untuk Sehun duduki.
"Lo tahu kan gue naksir sobat yang katanya sehidup semati lo?"
Luhan jadi keki. "Terus?"
"Lo juga tahu kan Minseok kayak ogah gitu gue deketin?"
Tawa Luhan pecah. "Jelas lah! Lo tipe anak berandalan yang Minseok benci di dunia!"
"Nah, itu dia!" Sehun menjetikkan jarinya, lalu menunjuk wajah Luhan dengan tidak sopannya. Seolah Luhan adalah maling jemuran yang seringkali praktek di daerah perumahaan Sehun.
"Gue minta tolong lo supaya menghapus image buruk gue di depan Minseok."
Luhan yang masih kaget sama telunjuk Sehun, jadinya jengkel. Bukannya dia nggak mau nolong Sehun, tapi ini tentang solidaritasnya dan keloyalannya kepada Kim Minseok. Dia nggak mau dicap temen nggak setia cuma gara-gara bantuin Sehun buat deketin Minseok.
"Ummm… gimana ya?" gumam Luhan. Dia meragu sejenak.
"Elo takut sama Minseok? Takut kalo dicap nggak setia kawan?" tanya Sehun tepat sasaran. Luhan jadinya dobel jengkel; cowok albino ini seperti bisa membaca pikirannya saja.
"Gue nggak mau yang muluk-muluk kok," suara berat Sehun sedikit melembut. Ini menjauhkan kesan sangar dan berandalan yang biasanya melekat pada harga diri Oh Sehun seperti biasanya. "… gue cuma minta tolong lo tanya-tanya doang, atau kira-kira pasti tahu dong siapa yang ditaksir Minseok."
Luhan menelan ludahnya gugup. Jangan sampai mulutnya ember menyebutkan nama cowok taksiran Minseok. Dia nggak mau besok-besok bakal ada pertarungan basket antara Sehun dan Jongdae –uppss.
Kesannya malah kayak drama FTV anak SMA.
"Gue gak yakin. Gue bakal nggak berharap lo jadian sama sobat gue. Karena menurut gue emang lo jauh banget dari nilai minimum gue buat jadi pacarnya Minseok –atau temen-temen gue yang lainnya." muka Sehun udah cemberut pas Luhan ngomong jujur.
"Tapi gue serius!"
"Lo ingetin aja temen se-geng lo itu juga ikutan gangguin Minseok. Apalagi pas bawa-bawa nama lo, Minseok pasti tambah ogah."
Sehun merenung. Memang, selama ini temen se-gengnya sering menggoda dirinya dan Minseok tentang cinta monyet ini.
Tapi kalau nggak inget sumpah itu nggak boleh sembarangan, mungkin Sehun udah bersumpah kalau ini bukan cinta monyet biasa. Hellow, mereka udah anak SMA, udah tujuh belas tahun bray! Sehun itu nggak main-main. Dia bukan tipe yang bercanda kalo soal perasaan.
Apalagi ini bisa dibilang pertama kalinya Sehun berjuang mati-matian untuk seseorang yang ia taksir. Dulu, Sehun nggak seberani ini. Duu dia lebih memilih jadi pengagum rahasia lalu berakhir baper dengan si kecengan jalan sama cowok lain.
Kali ini Sehun nggak bisa ngelepasin sosok Minseok digandeng cowok lain! Harus dia! Eh, tapi egois itu mah. Yang penting coba dulu aja pendekatan. Kalau memang hati Minseok nggak pantas buat dia dapat, yah, mungkin emang nasib Oh Sehun masih berstatus jomblo –ngenes pula kalau ceritanya dia ditolak.
"Itu urusan mereka sama Minseok, gue nggak pernah ngasih perintah atau minta tolong buat ngerjain Minseok."
Luhan memutar kedua manik matanya. "Justru dengan keterdiaman lo itu yang bikin Minseok ngira lo dalangnya mereka!"
Sehun mengangguk paham. "Gitu ya? Yaudah deh, ntar gue ngomong sama temen se-geng gue." lalu Luhan tersenyum atas tindakan Sehun yang ia rasa tepat.
Tak lama bunyi peluit terdengar, beberapa pemuda yang sebaya mereka meneriakkan nama Luhan untuk segera bergabung untuk bermain kembali.
"Pokoknya lo buat temen geng lo itu nggak gangguin Minseok, gue jamin Minseok nggak bakal su'udzon lagi sama lo." perjelas Luhan dan Sehun mematuhinya.
"Lo tetep mau bantuin gue kan?" tanya Sehun sekali lagi sebelum Luhan kembali ke lapangan futsal.
"Gue bantu sebisanya dan doa aja ya. Oh ya, gue tahu lo nggak seberandal itu, gue yakin lo cowok yang baik dan taat agama." ujar Luhan, lalu segera kembali bergabung dengan tim-nya.
Tak punya kegiatan apapun, Sehun memutuskan untuk pergi dari tempat sewa lapangan futsal ini. Yang penting misinya sudah beres.
Doa dan batuan temennya udah gue dapetin, tinggal orangnya doang, hehehehe….
Duhai, Oh wajah creppy-mu mampu membuat orang-orang bergidik ngeri? Bahkan sampai anak kecil pun paham tentangmu…
"Ma, Oom itu sakit jiwa ya? Kok ketawanya kayak setan gitu?"
** Sehun – Luhan **
"Huwaa!" Luhan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Sebelum jam istirahat, kelasnya harus melewati pelajaran Fisika yang amat Luhan benci. Sungguh, apapun mata pelajaran sesulit apapun ia lakoni asalkan bukan Fisika!
Dan itu ratapan kesedihan itu hilang saat Minseok menepuk pelan pundaknya demi mendapatkan perhatian. "Luhan! Jajan di kantin, hayuk?"
"Hayuk! Mumpung belum sarapan nih, jam segini udah laper." Luhan memeragakan perutnya yang tengah kosong dan itu membuatnya Minseok terkikik geli.
"Eh, si Cabe sama Donut mana nih?" tanya Luhan sambil celingukan mencari dua onggok manusia yang dekat dengan mereka.
Minseok mengendikkan bahunya. "Baekhyun mah biasa; ke kelasnya Chanyeol –mau makan siang bareng, katanya. Kalo si Kyungsoo lagi ke ruang guru mau ketemu Pak Im buat diskusi Olimpiade Kimia bulan Mei ntar."
Luhan manggut sok paham.
Baekhyun –atau Luhan sering manggilnya Cabe– memang suka sekali mampir ke kelas pacarnya; Chanyeol si anak kelas sebelah. Sedangkan Kyungsoo itu tipe anak rajin yang suka sekali ikut lomba ini-itu. Katanya menyibukkan diri dengan hal positif bagus, katanya. Bagi Luhan, ikut Olimpiade atau perlombaan apapun (kecuali Sepak Bola, oke?) sama halnya menjerumuskan diri ke lubang hitam.
Setidaknya sedari tadi perjalanan dari kelas menuju kantin aman-aman saja kalau saja tidak ada dua orang yang diduga menjalankan aksi yang didalangi Oh Sehun.
Ya apalagi kalau bukan menggoda Kim Minseok.
"Siang Minseokkie~ kenapa nggak bareng Mas Sehun aja makan siangnya? Nungguin kamu lho dari tadi." cerocos Jongin yang ditanggapi highfive dengan teman segeng-nya lagi, Zitao.
"Mau gue panggilan Mas Sehun nih? Soalnya takut anak kecil semanis kamu bakal diculik, huehehehe…" lagi, kali ini Zitao yang bersuara dan kurang ajarnya mereka tertawa keras sampai satu seluruh penghuni koridor (yang rata-rata senior hierarki tertinggi).
Luhan tahu Minseok menahan emosi. Bisa dilihat dari pegangan Minseok ke lengan seragamnya. Luhan melirik khawatir pada dua orang didepan mereka dan masih saja tertawa seperti orang idiot.
Hei, bukan maksud Luhan membela dua cecurut sialan ini! Dia hanya kasihan jika Minseok sudah mengamuk; semua jurus Taekwondo yang dipelajari selama lima tahun akan berimbas pada mereka. Luhan masih ingat bagaimana Minseok menghajar preman yang mencuri dompetnya saat berbelanja di Hongdae bersama Minseok.
Wajah imut nan menggemaskan itu tidak cocok sama sekali dengan level kemampuan bela diri, Kim Minseok.
"WOI! Kalian berdua berhenti! Nggak lihat dia merah nahan amarah?!" untunglah dari arah selatan muncul Oh Sehun. Dengan dua kancing tidak terkait memperlihatkan kaos dalaman, rambut coklat yang acak-abut, ditambah dasi yang dibiarkan tidak terikat serta dua tangan yang dimasukkan ke saku depan benar-benar menunjukkan Oh Sehun seorang model.
Keren sih, sayang badung seangkatan, batin Luhan menyayangkan.
"Berhenti nyuruh mereka ngelakuin hal yang nggak guna, Oh!" seru Minseok berusaha tidak melihat ke arah 'Pahlawan Kesiangan'.
Yang merasa marganya diserukan, mengangkat kedua alisnya bingung. "Lho? Mereka sendiri kok yang inisiatif. Mana pernah gue minta mereka buat gangguin lo?"
"Kalau bukan dari lo sumbernya, mana mungkin mereka ganggu gue!" pekik Minseok.
Luhan berusaha menghentikan. Pemuda asal Beijing memberikan sinyal kepada Oh Sehun untuk tidak membalas omongan Minseok yang seperti biasa hingga mereka berakhir ribut.
"Oke. Aku pihak yang salah disini. Silahkan pergi."
Minseok menarik Luhan untuk menjauhi tempat perkara. Sedang Luhan menatap Sehun cemas, tanpa mengeluarkan suara, Luhan mengatakan kata maaf yang ditangkap Sehun. Pemuda pucat itu hanya menganggukan kepalanya singkat dan mengacungkan jempolnya.
Sedang Jongin dan Zitao –teman satu geng berandalan Sehun– menatap mereka curiga.
"Lo lagi nggak ngejar Minseok, Hun?" – Jongin.
"Asaga! Lo nyerah sama Minseok sampai-sampai mau ngegaet temennya sendiri? Ckckck… sesuatu, Hun." – Zitao.
Telinga pemuda albino ini jengah. "Heh! Jangan su'udzon dulu! Itu sama dengan fitnah! Fitnah itu sama kek pembunuhan –dosa! Kalian nggak inget pelajaran Agama sama Ustadz Siwon tadi?" begini-begini berandalan angkatan kita adalah seorang anak Sholeh yang bakal meneruskan cita-cita Pak Ustadz Siwon (yah, meskipun koleksinya kebanyakan video enaena).
"Lha, terus apa tadi; kok lo main kode-kodean sama Luhan?" tanya Jongin. Dia kepo mamposs kuadrat. Calonnya presenter Sailet mungkin.
"Petuah bijak Kakek gue; kalo mau deketin orang yang kamu suka, deketin dulu keluarganya. Mudah-mudahan barokah dapet restu. Berhubung gue belum siap ketemu Camer sama calon Ipar, ya, gue deketin aja dulu Luhan –yang katanya sahabat semati si Minseok." perjelas Sehun memecahkan. Melirik dua orang yang menatapnya kagum. "Btw, ide gue keren juga ya?" pedenya sambil naikin alis sok keren.
"Itu baru sobat gue, Bro!" seru Jongin sembari merangkul pundak Sehun.
"Wah, gue nggak nyangka –lo yang termuda disini, lo juga yang jadi pentolan di berandalan angkatan. Tapi lo sebijak ini apa sih resepnya? Gue mau berguru di kakek lo –sumpah." cerocos Zitao.
"Sebelum lo berguru sama kakek gue, sana gih, deketin dulu kakak gue yang mukanya kek tembok." iseng Sehun. Dia tahu sobatnya ini sudahlama naksir kakaknya –Oh Yifan– yang kebetulan berada ditingkat hierarki tertinggi.
"A-apaan sih." Zitao mendadak OOC. Dia bukan lagi berandal angkatan seperti wajahnya yang ciri khas banget atlet wushu. Kalau urusan sama Yifan, dia mendadak gagu kayak anak Perawan mau dipingit. Jelas itu membuat Sehun dan Jongin tertawa.
.
.
Luhan meringis melihat Minseok menusuk siomay miliknya. Itu merupakan bentuk pelampiasan atas keisengan Oh Sehun.
"Gue kesel sama tuh anak!"
CTASS!
"Gak bisa biarin idup gue tenang barang sehari aja?!"
CTASS!
"Ya gak pake acara tusuk-menusuk segala. Lo kira lo seme apa bisa tusuk? Lo kira lo tukang sate?"
"Abisnya," bibir pipi Bakpao itu mengerucut sembari mengunyah siomay-nya. "…kok bisa sih cowok kayak gitu pernah lo taksir, Han?"
Luhan yang tadinya menyeruput kuah bakso, kini jadi terbatuk-batuk –antara kaget sama pertanyaan frontal Minseok, keselek kuah yang emang asinnya kebangetan, atau akibat dari kuah yang masih panas.
"Lo tuh yang kok bisa naksir Ketua Umum –mana lagi mukanya troll cem anak autis." balas Luhan.
Minseok menjejalkan siomay di mulut Luhan yang langsung dikunyah oleh pemuda asal Beijing itu. "Jangan keras-keras, Bego! Disini banyak anak OSIS. Lo mau gue jadi bahan artikel mading mereka besok?" gerutu Minseok lalu melanjutkan acara makannya.
"Ya maaf. Abisnya kesel sih lo ungkit-ungkit masalah itu."
"Tapi maaf banget lho, bukannya gue sahabat yang nggak pengertian atau nikung–"
"I knew ur position, Seokkie. Bahkan setelah gue berusaha berhenti buat suka sama Sehun, cowok itu kan yang duluan nawarin perasaannya ke elo?"
Minseok mengangguk setuju. Tapi gurat penuh salah itu masih tergambar. Mau tak mau Luhan harus membuat Minseok beralih.
"Ah, kok bahasnya itu lagi? Nih, Siomay lo, abisin! Katanya mau mampir ke perpus juga?" dan syukurlah Minseok terpengaruh omongan Luhan jadi pemuda berpipi bakpao itu lahap mengahabiskan siomay-nya.
Luhan kembali terpikirkan kalimat Minseok barusan –tentang perasaannya ke Sehun, dulu.
Dulu memang Luhan sempat menyimpan rasa ke berandalan angkatan itu sejak awal MOS. Luhan hampir saja terkena musibah akalu saja Oh Sehun tidak datang menolongnya. Semenjak itu, Luhan jatuh cinta kepada si bernadalan angkatan tersebut.
Tapi ia tak cukup beruntung. Trio berandalan angkatan –Sehun, Jongin, Zitao– berada di kelas Teknik Mesin sedangkan ia dan Minseok memilih kelas Multimedia. Harapan untuk sekelas dengan salah satu dari mereka pupus sudah.
Dan apalagi itu diperkuat bahwa kelakuan Oh Sehun bersama dua temannya itu benar-benar seperti preman. Mereka disebut preman angkatan atau berandal angkatan karena memang tiap angkatan pasti punya siswa yang badung. Untuk angkatan mereka, trio itulah yang jadi peneus berandalan dari kakak kelas.
Hingga ia mendengar kabar mengejutkan di suatu siang saat kelas gempar karena kedatangan Oh Sehun ke kelas X MM-2 untuk mencari Kim Minseok dan blak-blakan menyatakan ketertarikan berandalan angkatan itu kepada sahabatnya.
Patutkah Luhan bersedih? Merasa dikhianati?
Tidak. Toh, rasanya dia sudah tidak merasakan apapun pada Sehun (Luhan mengakui, hanya sedikiiit saja). Lagipula, Sehun sendiri kan yang datang kepada Minseok –bukan sahabatnya? Diperkuat sahabatnya ini menyukai salah satu siswa pemegang posisi penting di sekolah; yang tak lain Kim Jongdae, ketua OSIS mereka.
"Hoy! Nanti kesambet!" lamunan Luhan buyar ketika Minseok mendorong pelan bahunya. Ia lantas membawa mangkuknya dan menyusul Minseok ke arah dapur kantin.
** Sehun – Luhan **
Luhan merasa lelah. Latihan tim sepak bola diperketat menjelang festival sekolah dua bulan mendatang. Begini-begini, Luhan bisa disebut ace dalam tim-nya –bersama Minseok, tentunya.
Ponselnya berbunyi nyaring. Luhan inginnya bomat (bodo amat) dengan siapa si pemanggil karena dia butuh istirahat. Tapi bunyi dering itu bahkan tidak berhenti sampai tiga kali. Dengan malas, Luhan meraih ponselnya yang tergeletak begitu saja diatas kasur.
"Siapa sih?" ia mengerutkan alis begitu sederet nomor tidak dikenal menghubunginya.
Mungkin orang iseng, kerjain ah. Pemikiran naif Luhan.
"Yuhu~ Spada~ disini Xi Luhan." katanya ogah-ogahan. Suara deheman keras di seberang itu membuat Luhan membulatkan matanya lalu bangkit dari cara tidurannya. "Oh Sehun?!" tebaknya.
\'Wah, ternyata gue mudah dikenali walau lewat suara. Ah, begini ya popularitas seorang Oh Sehun?'/
Luhan menggaruk tengkuknya meksipun Sehun tidak bisa melihatnya. "Kenapa sore-sore begini telepon?!" tanyanya. Jujur saja, dia sudah lelah fisik. Ia tidak mau lelah batin karena cerocosan Sehun tentang Minseok.
\'Mana salamnya? Hei, harusnya yang pertama kali diucapin itu salam!'/
Luhan merotasikan maniknya. "Asslamualaikum! Ini dengan siapa?" ulang Luhan.
Di seberang sana, Sehun tersenyum geli. \'Walaikummus salam. Ini dengan Oh Sehun, siswa paling keren nan ganteng sepanjang angkatan.'/ pedenya.
"Nggak usah geer banget. Niatnya mau apa telepon? Gue nggak punya waktu banyak, setengah jam lagi gue mau keluar nih."
Sehun terkekeh. \'Oke. Gue cuma tanya nih. Kira-kira lo punya rencana buat ngedeketin gue sama Minseok?'/
Nah kan. Baru juga diomongin.
"Emang lo mau gimana? Ya kali gue kunciin kalian di gudang."
\'Ya nggak gitu juga. Minseok kan atlet Taekwondo. Sebelum gue ajak ngobrol, bisa dijadiin aplikasi jurusnya karena dia ngira gue dalangnya penguncian perpustakaan itu.'/
Luhan manggut-manggut setuju. Dan nggak mungkin banget kan dia nyuruh Sehun buat gabung dengan geng-nya saat jam makan siang. Bisa-bisa Minseok langung menyiram kuah bakso ke kepala Sehun. Luhan juga yang bakal kena sembur si berandalan angkatan ini.
"Oh, gini aja! Minseok itu selalu nyempetin ke perpus tiga puluh menit sebelum bel bunyi. Dia suka liat orang yang baca buku fiksi ilmiah; katanya orang-orang yang baca begituan keren banget. Lo coba deh lima menit kek datang sebelum Minseok, asal-asalan ambil buku fiksi ilmiah terus pura-pura baca di depannya."
\'Oke juga ide lu. Oh ya, Sabtu ini lo free?'/
Luhan mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak beres. "Kenapa? Kayaknya sih gue ada latihan sepak bola dari pagi, tapi nggak sampai jam dua belas udah kelar."
\'Bagus!'/ girang Sehun di seberang. \'Soalnya gue punya dua tiket nonton. Berhubung tiketnya berlakunya sampai hari Sabtu kan nggak mungkin gue langsung ngajakin Minseok nonton. Ya, anggep aja ini bayaran di muka lo udah bantuin gue.'/
Ohhh… cuma bayaran aja, Luhan. Lo nggak usah terlalu baper atau berharap tinggi kalau ujung-ujungnya ngatain dia PHP wong jelas aja Sehun suka orang lain, Xi Luhaeeenn~
"Umm… di usahakan ya! Biasanya Sabtu sore geng gue sering ngumpul juga buat maen PS."
\'Sipp. Gue tutup dulu ya. Sore, Han. Wassalamulaiakum.'/
Luhan menyunggingkan senyumnya tanpa sadar. "Sore juga. Walaikumus–" belum juga kalimat Luhan selesai, Sehun langusng mematikan sambungan secara sepihak.
"Nih anak kampret amat."
** Sehun – Luhan **
Luhan sengaja mengikuti Minseok ke perpus. Dia belum menemukan batang hidung pemuda berandalan itu sama sekali. Dia harap-harap cemas. Jangan-jangan Sehun terlalu bego untuk tahu yang mana buku bacaan fiksi ilmiah.
"Lo kenapa sih, Han? Dari tadi gue lihat kok gelisah mulu?" tanya Minseok heran.
Luhan menggeleng. "Nggak. Gue cuma mau nyari buku inceran gue nggak ketemu."
"Emang lo mau nyari buku apaan?" fyi aja sih, saking seringnya Minseok ke perpus, dia bahkan hapal dan letak koleksi buku perpus yang sebegini banyaknya.
"Umm… gue ah– gue mau nyari buku IPS! Sejarah Perdaban Manusia yang diterangin Pak Kwon kemarin!"
"Kalo Sejarah, di rak nomor tiga lorong keempat. Disini kan bukunya Sastra."
"Oh, iya! Hehehehe…" Luhan segera pergi dari tempat. Dan untungnya, rak buku Sejarah berdekatan dengan rak buku IPA jadi dia bisa melihat Oh Sehun yang kebingungan mencari buku mana yang sekiranya mudah dipahami –biar dia berwawasan pas ditanya Minseok tentang si buku.
"Woi! Pssstt!" bisik Luhan agak keras. Sehun sadar itu segera berjalan ke tempat Luhan.
"Kenapa? Minseok udah kesini?" Sehun ikut-ikutan berbisik. Karena sialnya, tempat rak mereka dekat dengan meja penjaga perpus. Pengawas Tua itu bisa saja mendengar percakapan mereka jika menggunakan nada normal.
"Nih, ambil." Luhan mengambil salah satu buku tentang Antariksa yang lumayan tebal. "Dengerin gue, Sehun. Lo bisa liat Minseok di meja baca sana kan? Tunggu gue duduk di sebelah Minseok dulu ya. Lima menit aja, terus lo bawa bukunya, ambil kursi di depan Minseok. Paham?"
Sehun mengangguk beserta memberikan tanda hormat. "Perintah diterima!"
Luhan tersenyum cerah. Dia secara acak mengambil buku IPS –yang bukan mengenai Sejarah peradaban Manusia seperti yang ia katakana ke Minseok– lalu melesat duduk di sebelah sahabtnya.
"Kok lama, Lu?" tanya Minseok pelan.
"Lagi nyari bukunya. Nggak ada, mungkin dipinjem murid lain. Yaudah ambil ini aja." Minseok melirik buku yang dipegang Luhan.
Terpampang besar-besaran, 'Perilaku Menyimpang: Sosial Terhadap Lingkungan keluarga, Masyarakat dan Pergaulan.'
"Umm… oke…" lalu Minseok kembali membaca.
Setelah dirasa sudah melewati lima menit, Luhan memberikan aba-aba untuk Sehun mendekti meja baca mereka. Sehun mengangguk paham. Pemuda berandalan angkatan itu berjalan dengan santai.
Kim Minseok sadar siapa yang menggeret kursi di depannya. Yang tak lain adalah Oh Sehun. Dengan buku yang dibawanya mengenai Fiksi Ilmiah.
"Kenapa lo disini, Oh?"
Sehun yang berakting tidak sadar ada Minseok, menyunggingkan senyum lebar. "Oh, hai Minseok! Hai Luhan! Kebetulan sekali ya kita disini."
Minseok jengah. Luhan terperangah.
Akting dia bagus juga. pikir kedua sahabat tersebut tetapi beda presepsi.
Pemuda bermarga Kim itu menghela nafas, lalu beranjak membawa serta bukunya.
"Mau kemana, Seok?" tanya Luhan khawatir.
"Baca dikelas aja. Males disini ada berandalan." kata Minseok sembari menatap tajam Sehun.
Baru saja Sehun ingin mencegat, Minseok keburu berbalik ke arahnya. "Gue nggak tahu motivasi apa atau sambet apa dateng ke perpus untuk ukuran siswa berandal kayak lo." suaranya merendah penuh nada intimidasi. bahkan Luhan sampai meneguk ludahnya khawatir terjadi perang di tempat setenang dan sedamai perpus.
"… dan gue rasa lo hebat juga baca buku Fiksi Ilmiah."
"Ckckck," Sehun berdecak bangga, sombong ceritanya. "Lo nggak tahu aja–"
"Iya gue nggak tahu. Gue nggak tahu kalo lo bisa baca buku kebalik." ujar Minseok lalu segera berlalu pergi.
Luhan menjatuhkan kepalanya diatas buku yang ia baca tadi.
Sehun menganga atas kebodohannya.
"Bego lo, Oh Sehun!" desis Luhan sembari bangkit menyusul sobatnya.
.
.
"Lo punya rencana lain lagi?"
Kali ini Sehun meminta berkonsultasi secara langsung dengan mengajak Luhan makan siang bersama di atap sekolah. (dan Luhan terpaksa berbohong pada geng-nya bahwa dia harus pergi karena sembelit)
"Apa lagi? Minseok itu bukan tipe yang gampang diluluhkan kalau modal lo mental sekuat baja, cinta sama coklat juga rayuan muut doang!" mulut Luhan yang penuh roti isi itu sampai muncrat kemana-mana.
"Lha? Terus kudu piye toh?"
Luhan mengendikkan bahunya. Lalu mereka hening kembali.
"Oh ya, gue pengen tanya ini dari dulu," jeda sedikit karena Luhan sedang serat menelan makanannya. "…kenapa lo sampai bisa jatuh cinta sama sobat gue?"
Sehun senyum-senyum najong. Khas orang jatuh cinta yang katanya bisa gila. "Ohh…"
"–dia itu kayak malaikat; penolong saat gue butuh pertolongan."
"Hah?"
"Ya intinya begitu!" Sehun sok misterius. Luhan berasa mecahin kode-kode ala Sherlock Holmes kalo gitu. Cowok itu malah cuek melahap bekalnya tanpa sedikit pun obrolan mereka ciptakan.
Luhan diam-diam menatap Sehun yang asyik melahap bekalnya dengan tatapan sendu. Ah, alasan Sehun memang tidak jauh berbeda dengannya.
"Lo, niat bantuin gue nggak sih? Nyusun rencana gitu aja sampai pening. Bilang aja kalau nggak ikhlas."
Luhan yang kesel dikatain nggak ikhlas, menusuk lengan kiri Sehun dengan garpu yang dipegangnya. Sehun sempat mengaduh keras lalu menjauhkan lengannya dari si senjata. Sedang Luhan menutup kotak bekalnya bersiap untuk pergi.
"Yah, gitu aja ngambek." cibir Sehun begitu tahu Luhan akan meninggalkannya sendirian.
"Sehun," panggil Luhan. Yang dipanggil menghentikan kegiatan mengunyah. "Gue nggak tahu ini bakal berhasil atau nggak. Lo bisa ajak pulang Minseok. Hari ini dia nggak bawa sepeda, lo jemput aja di halte tongkrongannya."
"Bukannya dia selalu bareng lo?"
"Lo bener-bener ngejar Minseok atau nggak sih? Ya jelas nggak lah, daerah rumahnya kan nggak ada yang dilewatin angkot, adanya bis kota."
"Lo sendiri?"
"Gue bawa sepeda kayuh. Itung-itung lagi hemat ongkos angkot."
Sehun manggut-manggut dengan mulut penuh makanan. Jempol kanannya terangkat tinggi-tinggi tanda setuju dengan rencana Luhan.
Cowok asal Beijing ini segera berlalu meninggalkan atap. Di sela-sela undakan tangga, langkahnya terhenti. Matanya menerawang ke depan, seolah pusat pikirannya berada di sana.
"Apa yang gue lakuin ini bener ya?" lirihnya.
.
.
xx
.
.
Lagi-lagi latihan klub. Minseok kan emang niatnya lagi cuti dari tanding sepak bola musim ini soalnya mau fokus sama ekskul jurnalistik. Makanya, tugas yang biasanya ditanggung berdua kini jadi Luhan sendiri yang mengurus.
Melelahkan sekali menjadi Wakil Ketua Klub sepak Bola.
Luhan mengayuh sepedanya menuju minimarket terdekat –yang msih di sekitaran sekolahnya. Niatnya sih cuma ingin beli air mineral dingin buat pelepas dahaga.
Dia nggak bakal tahu kalau dia bakal ketemu Sehun yang lagi makan Mi Ramen dan dua bungkus jumbo potato chips.
Wajah ganteng bak boyband kalau urusan makan mah disamain kuli bangunan –itu Oh Sehun.
"Kok lo masih disini? Bareng Minseok?" Luhan mendudukkan tubuhnya di kursi sebelah Sehun. Sedangkan Sehun masih menatap bingung Luhan yang juga ada di minimarket dekat sekolah.
"Nggak, dia pulang."
"Ohh… sukses nganterin dia?"
"Gagal, Han."
"Lha, terus kok lo masih disini?"
Sehun tidak langsung menjawab, dia menyeruput habis kuah ramen mangkok ke-3. Belum lagi dua keripik ukuran jumbo. Padahal tuh cowok tadi udah makan siang bareng dia. Beneran perut gentong Pertamina.
"Karena motornya gue tinggal di bengkel deket pertigaan jalan di belakang sekolah."
"Kok bisa gitu?" Luhan kayaknya berbakat jadi pewawancara narasumber. Mungkin dia berniat mau daftar jadi anggota Jurnalistik?
"Sobat lo bertenaga Buto Ijo ternyata di balik tampangnya yang imut. Dia tadi sukses jorokin gue ke aspal, mesin motor gue kena imbas, kaki gue juga lecet kena tiban motor. Coba mikir, gue jalan kaki nyeret motor dengan keadaan kaki yang lecet luka gini, sedangkan sobat lo sebagai pelakunya malah enak-enakan naik bus sambil mehrong saat keadaan gue mengenaskan." curhat Sehun sampai sisa kuah di mulut muncrat semua.
Mari kita telaah kalimat Saudara Sehun. Jadi ceritanya, Sehun maksa Minseok buat bonceng pulang bareng. Minseok jelas aja nolak. Dan dengan tepisan yang keras pada lengan Minseok itu, membuat Sehun yang masih duduk di atas motor kehilangan keseimbangan hingga oleng di jalanan.
Luhan bergidik ngeri saat melihat luka Sehun. Dengan berbekal dompet, Luhan meninggalkan Sehun sendirian bersama ranselnya. Sehun yang saat itu tidak tahu kemana Luhan pergi hanya bisa pasrah meratapi kakinya yang penuh luka lecet. Tidak lama, Luhan kembali bersama kantung plastik yang berisi perban, kapas dan perekat luka.
"Mana kaki lo yang luka? Sini, taruh aja kaki lo diatas paha gue." perintah Luhan bak Hitler. Sehun menurut.
Cowok asal Beijing itu mulai mengeluarkan perban serta persediaan antiseptik di dalam tasnya. Dengan perlahan dia mengolesnya antiseptik. Sebenarnya sakit sih. Tapi Sehun nggak mau dikatain jeritannya kayak banci kena razia satpol PP, jadi dia redam dengan makan keripik tadi.
Sehun memerhatikan Luhan bagimana dia merawat lukanya dengan hati-hati. Bahkan sedikit meringis lucu ketika cairan antiseptik itu mengenai lukanya. Seolah Luhan bisa merasakan sakit atas luka yang didapat Sehun.
"Nih, kelar." Luhan tersenyum melihat hasil karyanya lalu menurunkan kaki Sehun secara kasar dari atas pahanya. Buyar sudah lamunan Sehun terhadap Luhan.
"Umm, thanks."
"Yo'i. Sebagai sobat Minseok, gue mewakili dia minta maaf ya –karena gue tahu dia nggak mungkin minta maaf langsung ke lo. Dan soal biaya bengkel, gue bakal nyuruh Minseok buat ganti semuanya."
"Nggak perlu. Gue juga salah sih udah maksa dia pulang bareng gue. Titip permintaan maaf gue ke dia ya?"
"Pasti." angguk Luhan.
Sehun ikut tersenyum ketika Luhan menyunggingkan senyum lebar itu.
Manis, komentarnya dalam hati.
"Kenapa bisa antiseptik itu lo bawa? Anggota PMR?"
Luhan mendengus. "Lupa ya kalo gue atlet sepak bola? Gue sering luka. UKS juga sering dikunci pas sore-sore atau pas sekolah libur. Makanya, gue selalu sedia antiseptik di tas."
"Han, gue mau tanya nih. Kenapa sih lo baik banget bantuin gue? Padahal Baekhyun sama Kyungsoo aja sering pasang tampang galak kalau ketemu gue."
Luhan kaget. Pertanyaan ini keluar dari mulut Sehun –sesuatu yang nggak diduganya. Melihat ekspresi Luhan yang kaget, Sehun ingin sekali menonjok apapun. Mungkin saja Luhan sedang tidak ingin membahasnya.
"Kalo gitu–"
Kalimat Sehun terpotong ketika melihat Luhan tersenyum.
"Karena gue tahu lo orang yang baik." katanya singkat.
Seumur-umur –meskipun itu Jongin dan Zitao– Sehun tidak pernah mendapatkan jawaban semelegakan jawaban Luhan. Dengan jawaban temen gebetannya ini, mampu membuat Sehun berjuta kali merasa plong sekaligus gelitikan aneh di perutnya; sama seperti ia tahu bahwa Minseok penolongnya.
"Lo kok bisa tahu gue orang baik? He, gue ini berandalan, lho. Seangkatan pula–"
"Karena baik dan buruk penilaian seseorang tergantung orang itu sendiri yang menilai. Di mata gue lo orang baik. Dan jelas kan kebaikan itu nggak harus dipamerin?! Tangan kanan memberi, tangan kiri harus sembunyi." potong Luhan.
"Luhan," suara Sehun melirih. "Makasih atas jawaban lo. Gue optimis lagi buat ngerubah diri gue yang bangsyadd ini, yang udah bikin anak perawan jejeritan kalo liat abs gue pas pelajaran Renang." Luhan melemparkan sumpit bekas ramen, sedangkan Sehun terkekeh.
"Gue nggak bakal nyerah!" optimis Sehun. Luhan hanya memandang Sehun miris.
Ah, andaikan lo tahu siapa yang diincer Minseok, Hun. Itu sahabat kakak lo sendiri –Kim Jongdae, si ketua OSIS.
"Luhan, lo akhir-akhir ini punya cerita percintaan yang ngenes gak?"
Luhan tersadar dari lamunannya. Mencerna sebentar kalimat Sehun lalu mengangguk. "Pasti tiap orang punya lah. Mau dengerin?"
Sehun mengangguk antusias.
"Gue naksir sih, anak satu sekolahan kita. Gue tahu dia pas masih awal-awal MOS. Gue tahu namanya soalnya banyak yang naksir dia sih, cewek aja jejeritan ngelihat dia. Nggak lama setelah kelar MOS, gue hampir aja kena musibah. Untung aja kebetulan ada dia yang nolongin gue. Gue kira dia bakal tahu gue karena kita satu sekolahan, ternyata besoknya pas gue mau ngucapn terima kasih, kami papasan, dan dia melenggos gitu aja seolah kejadian kemarin pas nolong gue itu nggak ada apa-apanya. Gue kecewa berat. Tapi gue terlanjur kagum saat dia nolongin gue. Saat itu gue bertekad bales budi walaupun dia nggak pernah tahu."
"Dan tepat saat gue mutusin buat berhenti bales budi, tiba-tiba dia datengin sahabat gue. Dia bilang suka sama sahabat gue. Kurang nyesek apalagi coba? Tapi gue sadar, nggak ada yang bisa disalahin. Gue, dia, atau sahabat gue."
Di akhir cerita panjang itu, Luhan tersenyum miris. Lalu mendongakkan kepalanya. bertemu manik Sehun. kedua sempat beradu hingga akhirnya Luhan lebih dulu memutuskan kontak mata tersebut.
"Apa… gue kenal sama orang itu –orang yang lo sebutin?"
Luhan dilemma. Dia seperti membuka aib sendiri di hadapan Oh Sehun. Tapi gelengan kepala adalah jawaban final yang ia berikan.
"Bukan. Itu cerita lama, pas gue masih SMP."
"Cerita emang harus ada yang pahit kalau mau akhir yang manis."
"Tapi gue selalu dapat pahit. Gue nggak tahan, sesekali kek cerita gue manis walaupun sintetis."
Sehun terkekeh. "Dan lo mau sakit-sakitan karena mau dikasih cerita manis buatan gitu? Bruh, style aniya." ledek Sehun dengan cara bicara kakaknya.
"Apaan sih." Luhan mengeructkan bibirnya sebal. Sehun yang melihat itu mencubit kedua bibir itu hingga menyerupai paruh bebek.
"Jangan sok imut. Kalau banyak yang terlanjur gemes, lo yang repot." lalu mlepaskan cubitan itu yang membuat Luhan merona –mampoz.
"Udah mau jam 5. Sejam lagi gue punya janji sama Jongin." kata Sehun memecah keheningan.
"Lo mau naik apa? Pake sepeda gue?"
"Situ waras? Kaki gue lecet begini ditawarin sepeda kayuh. Gue naik bis atau taksi aja kalau gitu mah. Besok juga motornya udah beres." Sehun bangkit, menyampirkan tas ransel di punggungnya.
Luhan memperhatikan Sehun yang berjalan sedikit terseok karena lukanya.
"Masi ada sisa satu bungkus, lo makan aja keripiknya kalau mau. Itu juga masi ada jus kalengan, belum gue buka sama sekali penutupnya. Minum aja kalau haus. Anggap aja bayaran lo mau bantuin gue ngobatin ini luka lecet. Lo juga harus pulang, kemaleman terus diculik bahaya."
"Lo kira gue anak Paud? Tapi makasih." Luhan berharap rona merah di pipinya tersamarkan. Seumur-umur, luhan tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh siapapun. Oh Sehun memberikan sedikit perhatian yang mau tak mau membuat Luhan berdebar.
"Luhan!" panggil Sehun lagi.
"Ya?"
"Gue nggak ingkar janji kok meskipun rencana lo gagal. Sabtu ini –dua hari lagi– gue ngajak lo nonton deh, terserah lo filmnya mau apa. Sabtu jam 10 di café perempatan barat daya Sekolah; oke?"
"O-oke."
Lalu punggung tegap Sehun menghilang di seberang jalan raya untuk mencari taksi kosong.
.
xx
.
|| bersambung atau end? ||
.
xx
.
A/N: Hola putas, HHS~~ Duh, lama nih nggak nyapa HHS. Mana lagi SLCCM belum dilanjut /digampar readers/. Maaaffff banget. Bukan maksud daku menelantarkan fanfic Ayah dan Bunda, cuma lagi mampet ide aja meskipun udah baca kerangka karangannya berkali-kali. Aku nggak janji sih bakal update cepet fanfic itu (fyi, prosesnya baru 70% kok)
Gantinya, aku bawain twoshot dari Ayah dan Bunda. Disini aku mau nunjukkin dulu perjuangan Sehun sama kedekatan Luhan-Sehun sebagai partner. Chap depan silakan ber-fg ria karena HunHan is sailing~~
See ya!
