Naruto : Masashi Kishimoto
Author : Cheese Thirty
Cover : Edited by Cheese Thirty
Real Image : Owner
Pairing : Hinata. H – Sasuke. U
Warning : Typo(s), OOC, AU, gaje, membosankan.
.
.
.
Tak ada yang spesial.
Pesta mewah dengan berbagai macam hiburan dan makanan lezat yang tersedia, seolah tak ada apa-apanya bagi pemuda yang kini menginjak usia tujuh belas itu. Mungkin ayah dan ibunya telah habis-habisan mengadakan pesta sebesar ini untuk merayakan ulang tahunnya. Semua teman-teman sekolahnya diundang, bahkan rekan-rekan bisnis ibunya pun diundang juga. Untuk alasan memperkenalkan satu-satunya generasi penerus Keluarga Uchiha.
Tapi Sasuke tak peduli, dari tahun ke tahun pestanya selalu sama saja. Membosankan.
"Yo!"
Sasuke melirik pemuda berambut hitam yang baru datang dengan menebar senyum manis. Itu Sai, sepupunya.
"Selamat ulang tahun, Sasuke." Sai mengulurkan sebuah kotak kecil berwarna hitam ke arah pemuda itu. Dari bentuknya saja Sasuke sudah bisa menebak apa isinya, karena Sai selalu memberikan hadiah yang sama setiap kali ia berulang tahun. Katanya, pemuda itu tidak bisa memikirkan benda lain untuk hadiahnya. Aneh, memang.
"Hn, terima kasih." Sasuke meraih kado itu dan menaruhnya di atas meja. Di samping kue besar tempatnya berdiri, sudah terkumpul beberapa kado dari ukuran kecil hingga besar.
"Ku dengar paman Fugaku tidak bisa hadir," kata Sai kemudian. Pemuda itu beberapa kali melambai pada gadis-gadis yang tersenyum genit ke arahnya. Tak jarang juga membalas kedipan genit mereka.
Sasuke memutar bola matanya bosan melihat tingkah sang sepupu. "Ya, begitulah. Ayah selalu sibuk dengan urusan bisnis."
Alis Sai terangkat, "Tentu saja, bukankah dia adalah Uchiha terbaik? Dia kesayangan kakek Madara kalau kau lupa."
Sasuke mendengus, "Aa. Itu karena mereka sama 'gilanya'."
Sai menggeleng pelan dan terkekeh geli. Meski Sasuke sepenuhnya adalah cerminan Fugaku, tetapi nyatanya kedua orang itu begitu bertentangan. Bagi Sasuke, Fugaku adalah musuh abadinya, sedangkan bagi Fugaku, Sasuke adalah pembangkang nomor satu. Meski di balik itu, keduanya saling menyayangi lebih dari siapa pun.
Hei, Sai tentu tak melewatkan sebuah bugatti keluaran terbaru yang terparkir manis di garasi Mansion Uchiha tadi.
"Meski begitu, hadiah dari ayahmu tidak mengecewakan, bukan?"
"Itu sogokan, Sai."
"Hm, sogokan yang manis dan... mewah."
Sasuke berdecak, "Berhentilah membahas itu."
Sai mengangguk melihat wajah masam Sasuke. "Baiklah-baiklah," matanya kemudian tak sengaja menangkap sesosok gadis yang sedang berbincang dengan Mikoto di depan pintu masuk. Khususnya yang berambut nila. Dan gawatnya, gadis itu sekarang mulai berbalik dan berjalan menuju tempat mereka berdiri.
Sai berdehem pelan, tangannya menepuk bagian belakang Sasuke, membuat pemuda itu menoleh. "Aku haus, nanti aku kembali." Katanya sambil berlalu dan menghilang di balik kerumunan orang-orang.
Sasuke menghela napas pelan setelah kepergian Sai. Acara intinya bahkan belum dimulai dan ia sudah merasa bosan setengah mati.
"Sasuke–kun,"
Suara lembut itu mengalihkan perhatian Sasuke. Kepalanya dengan refleks berputar, mempertemukan manik hitamnya dengan sepasang manik lembayung yang begitu kontras.
"Hai," Gadis itu melambai dengan ekspresi kaku. Sementara Sasuke cukup 'terganggu' dengan penampilannya malam ini. Gadis itu mengenakan dress berwarna peach selutut dengan bagian bahu terbuka. Sementara rambutnya di sanggul rapi dengan hiasan kupu-kupu kecil di pinggirnya. Riasan wajahnya juga tak terlalu mencolok seperti teman-teman wanitanya yang lain—yang hobi sekali memakai lipstik merah marun atau bedak dengan ketebalan ekstrem.
"Selamat ulang tahun," Hinata mengulurkan sebuah kotak kado berwarna biru dengan pita merah muda di bagian atas.
Sasuke sedikit tersentak dan buru-buru berdehem pelan, "Hn." Dengan ekspresi datar ia meraih kado itu dan menyimpannya bersama hadiah-hadiah yang lain.
Keheningan menyelimuti mereka untuk beberapa saat. Hinata menggigit bibir melihat ekspresi pemuda itu. Sasuke memang selalu memasang wajah datar, tapi tak pernah sedingin ini. Pemuda itu terus saja mengalihkan perhatiannya ke arah lain.
Diam-diam Sasuke sibuk mengutuki Sai yang pergi terlalu lama. Heh, apa ia sama sekali tidak menyadari motif kepergian pemuda itu?
"Sasuke–kun,"
"Apa?" tanya Sasuke ketus.
Hinata sedikit meringis mendengar respons Sasuke, "Apa kau..." nadanya terdengar ragu, "...masih marah?"
"Kenapa aku harus marah?" Sasuke balik bertanya tanpa mengalihkan pandangannya.
"Eto... tentang kejadian sepulang sekolah waktu itu—"
"Aku tidak ingat." Selanya cepat. Tentu saja Sasuke berbohong. Pemuda itu tentu takkan pernah melupakan peristiwa itu. Sampai kapan pun. Tapi semua Uchiha terkenal dengan gengsi yang setinggi langit. Mana mungkin mereka akan mengatakan semua perasaannya secara gamblang?
"Begitukah?"
"Hn."
"Jadi kau tidak marah lagi padaku?" kedua mata Hinata berbinar.
Sasuke berdecak, "Tentu saja aku masih—" matanya kembali beradu dengan manik itu. "Lupakan." Sasuke mengalihkan perhatiannya dan mendesah. Kenapa sih, ia selalu menjadi aneh ketika berhadapan dengan gadis itu?
Hinata menghela napas pelan, meski Sasuke mengatakan bahwa ia lupa akan kejadian itu, tapi Hinata masih bisa merasakan bahwa Sasuke menjauh darinya. Pemuda itu juga tidak kelihatan begitu nyaman saat ini.
"Kalau begitu," kaki Hinata maju selangkah untuk lebih dekat pada Sasuke, "Aku—"
"Hinata?"
Suara lain membuat Sasuke dan Hinata serempak menoleh. Mereka sama-sama terkejut akan kedatangan sosok pemuda dengan rambut sewarna perak.
"Toneri–kun?"
"Toneri–kun?" Sasuke mengulang ucapan Hinata dengan tatapan tak percaya.
Toneri tersenyum kecil dan berdiri di samping Hinata. "Tak ku sangka kita bisa bertemu di sini," tangannya merangkul bahu Hinata dengan santai.
Sasuke mendelik. Apa-apaan dia?!
"Kenapa kau ada di sini?" Sasuke mendesis. Tatapan tak suka terlihat jelas dari kedua matanya.
Alis Toneri terangkat, "Hm?" ia tampak berpikir sejenak, "Uchiha–san mengundang ibuku untuk datang ke pesta ulang tahun putranya." Toneri memperhatikan Sasuke dengan seksama, "Ah, bukannya kau pemuda yang waktu itu ya? Kau juga di undang?"
Rahang Sasuke mengeras. Hell. Apa yang pemuda itu bicarakan? Berani-beraninya dia...
Hinata bergerak gelisah. Ia menangkap amarah dalam mata Sasuke. Ia melepaskan tangan Toneri yang melingkari bahunya pelan. "Toneri–kun, sebenarnya Sasuke–kun adalah putra dari paman Fugaku dan bibi Mikoto."
"Eh?" Toneri tampak tak terlalu terkejut, tetapi pemuda itu memasang ekspresi kaget yang dibuat-buat dengan menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Benarkah? Jadi kau yang berulang tahun? Maaf, aku sama sekali tidak tahu bahwa kau adalah putra Uchiha–san."
Oh Tuhan... Sasuke ingin sekali menonjok wajahnya yang sok polos itu.
Hinata meringis, ia merasakan atmosfer yang kurang nyaman di sini.
"Tapi aku tidak mempersiapkan kado apa pun, bagaimana jika aku mengirim paket kadonya besok? Kau tidak keberatan, kan?"
Apa Toneri sedang mengejeknya saat ini?
"Tidak perlu." Sahut Sasuke dingin. "Aku tidak menerima apa pun dari orang asing."
"Begitu? Tapi bukankah kita satu sekolah?"
"Tidak ada pengaruhnya bagiku."
Toneri mengangguk dan tampak tak terpengaruh akan reaksi Sasuke. Matanya kemudian kembali melirik Hinata, "Hinata, sebenarnya ada hal yang ingin ku sampaikan padamu."
Wajah Sasuke semakin masam. Ia memang mengarahkan pandangannya ke arah lain tapi diam-diam menguping pembicaraan Toneri.
"Ada apa?"
"Tidak enak jika berbicara di sini, lebih baik di tempat lain saja." Toneri menggenggam tangan Hinata lembut dan menarik gadis itu menuju suatu tempat.
Hinata berusaha menolak, jujur saja ia merasa tidak enak dengan Sasuke. "Tapi aku—"
"Sudahlah, ayo! Sebentar saja."
Toneri terlanjur membawanya menjauh dari Sasuke. Gadis itu sempat menangkap Sasuke yang melirik ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dan perasaannya semakin tidak enak saat ini. Menolak Toneri juga suatu hal yang tidak mungkin.
Sementara Sasuke masih diam di tempat dengan ekspresi dingin. Tangannya mengepal erat, bayang-bayang tangan besar Toneri yang menggenggam tangan Hinata begitu jelas dalam ingatannya.
.
.
.
"Hadiahnya banyak sekali," Mikoto duduk di atas karpet hijau tua dan melirik satu persatu kado dengan berbagai macam ukuran. Satu jam lalu, pesta sudah usai dan beberapa pelayan tampak masih membereskan sisanya.
Sasuke sedang bersandar di atas sofa dengan pakaian yang sudah berganti menjadi piyama hitam. Pemuda itu memejamkan matanya lelah. Entah kenapa, lebih banyak kesialan yang ia dapat hari ini.
"Hei, Sasuke." Mikoto melirik putra semata wayangnya, "Kau tidak ingin membantu Mama membuka kado-kadonya?"
Sasuke mendesah, "Untuk apa? Lagi pula semua itu tidak akan muat untuk disimpan di kamar, Ma."
"Benarkah? Mama rasa yang ini akan muat," ia memperlihatkan sebuah kado berwarna biru ke arah Sasuke.
Sasuke berdecak dan menoleh sebentar, ia tentu tahu siapa pemilik kado itu. Bukankah ia sendiri yang menerimanya langsung? "Kenapa Aku harus menyimpan yang itu?"
"Mama kira ini spesial bagimu," Mikoto dengan tidak sabar membuka isi kadonya, "Wah, lucu sekali!" wanita itu menatap sebuah boneka kelinci berwarna biru itu dengan gemas. Lalu mengangkatnya tinggi-tinggi ke arah Sasuke, "Lihatlah ini Sasuke! Bukankah ini sangat lucu?"
Sasuke memutar bola matanya bosan. Pemuda itu bangkit dari sofa dan tak menghiraukan ucapan Mikoto. "Aku mau tidur."
"Eh? Bagaimana dengan kadonya?" Mikoto menggerak-gerakkan boneka itu di hadapan Sasuke.
Sasuke menghentikan langkahnya sejenak, "Aku sudah lelah, Ma."
"Tapi kado dari Hinata–chan lucu,"
Sasuke berdecak. "Lalu?"
"Kau tidak mau—"
"Aku tidak mau," sela Sasuke cepat, setengah kesal. "Apalagi boneka jelek seperti itu, dia pikir aku lelaki seperti apa. Ke-kanakan sekali."
"Tapi Sasuke—"
"Oyasumi." Sasuke menaiki tangga dengan cepat sebelum Mikoto kembali berbicara dan membahas masalah tentang kado itu. Ia benar-benar lelah hari ini.
Mikoto menghela napas pelan dan kembali menatap boneka kelinci di pangkuannya. Ia tahu Sasuke pasti malu menerima kado itu saat dirinya ada di sini.
.
.
.
Hinata merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar dan membayangkan kembali wajah Sasuke di pesta tadi. Pemuda itu tampak lebih dingin. Bahkan berbicara pun seakan enggan. Semenjak kejadian hari itu, entah mengapa Sasuke seakan menjauh.
Flashback
Sekolah masih gempar sejak kedatangan murid baru bernama Toneri Otsutsuki yang menarik perhatian. Meski ini sudah sekitar dua minggu sejak pemuda itu menjalani aktivitasnya di sekolah, para siswa tak henti-hentinya menjadikan dirinya sebagai topik pembicaraan.
Dan entah ada angin dari mana, Toneri tiba-tiba bisa dekat dengan Hinata. Mungkin karena keluarga Otsutsuki adalah rekan dari keluarga Hyuuga sendiri atau karena mereka duduk bersebelahan di kelas. Entahlah, yang jelas pemuda itu jadi selalu menguntitnya ke mana pun ia pergi.
Seperti sekarang ini.
"Hei,"
Hinata menghela napas dan melirik pemuda di sampingnya.
"Apa kau memang selalu menunggu jemputan setiap hari?"
Hinata mengangguk pelan. Matanya terus menatap ke ujung jalan, berharap mobil yang dikenalinya muncul dari sana.
"Kenapa sekolah di sini tidak memperbolehkan membawa kendaraan?" Toneri menggaruk belakang kepalanya pelan. Entah bertanya pada siapa. Matanya lalu kembali melirik Hinata, "Oh ya, Hinata, apa kau sudah punya pacar?"
Hinata terkejut dengan pertanyaan Toneri yang terlalu tiba-tiba menanyakan hal privat seperti itu. "M–Memangnya kenapa?" apalagi mereka baru saling mengenal beberapa hari.
"Aku dengar kau cukup populer," Toneri tersenyum, "Tapi, jika dilihat-lihat kau memang manis sih,"
Wajah Hinata merona. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan."
Toneri mendekat, "Benarkah?" katanya sambil memajukan wajahnya ke arah Hinata. "Sugoi, wajahmu mulus sekali." Jari telunjuknya menyentuh pipi Hinata pelan, membuat gadis itu berjengit. Semburat merah muda terlihat di pipi chubby–nya.
"A–apa yang kau lakukan?" Hinata menepis pelan tangan Toneri.
Toneri menyeringai pelan. Ekspresi Hinata terlihat sangat lucu. Ia malah semakin mendekatkan wajahnya pada gadis itu, "Kau menggemaskan sekali, aku jadi ingin menggigitmu."
Sebelum Hinata sempat berkata apa-apa Toneri sudah lebih dulu menempelkan bibirnya di pipi Hinata. Matanya terbelalak kaget. Bukan hanya karena tindakan Toneri yang terbilang nekat, tetapi karena dua pemuda yang kini sedang menatap ke arah mereka.
"Toneri–san!" Hinata buru-buru mendorong tubuh pemuda itu dan menatap gelisah pada Sasuke dan Sai yang berdiri beberapa meter di hadapan mereka.
"Eh?" Toneri berbalik dan mendapati dua pemuda berambut hitam di sana. "Ups, sepertinya kita ketahuan,"
Hinata melirik Sasuke dengan takut. Tetapi pemuda itu tak meliriknya sama sekali.
Sai melirik Sasuke sejenak, pemuda itu terdiam dengan tatapan datar yang mengarah pada si rambut perak.
"Bisa minggir sebentar? Kalian menghalangi jalan."
Kata-kata dari Sasuke membuat Hinata dan Sai menoleh kaget.
"Sasuke–kun.."
Toneri memundurkan tubuhnya sedikit saat Sasuke mengambil langkah tanpa berkata apa pun lagi. Pemuda itu bahkan tak berbalik dan tetap berjalan dengan tenang. Sementara Sai tampak mengekor di belakang dengan ragu.
Alis Toneri terangkat, "Apa dia temanmu, Hinata?"
Hinata tak menjawab apapun. Hanya menatap sendu pada Sasuke yang kini menghilang di balik kelokan.
Flashback end
Hinata memejamkan matanya sejenak sebelum berguling dan menatap sebuah nakas yang terletak di samping meja rias. Matanya menatap lekat pada sebuah boneka kelinci berwarna putih yang serupa dengan boneka yang ia berikan pada Sasuke.
Sebutlah ia konyol. Ketika teman-temannya yang lain memberikan hadiah yang mewah dan mahal, maka Hinata malah memberikan boneka yang tak seberapa bagusnya. Bukannya ia tak mampu memberikan hadiah yang lain, hanya saja ia ingin memberikan sesuatu yang lebih berkesan.
.
.
.
Liburan musim panas hampir berakhir dan festival kembang api akan di adakan nanti malam. Hinata sedang menemani Ino untuk membeli yukata di salah satu butik sebuah pusat perbelanjaan. Gadis itu tampak begitu antusias dan berulang kali keluar masuk ruang ganti untuk mencoba beberapa yukata. Sementara Hinata tampak duduk di salah satu kursi tunggu dan melihat beberapa majalah sambil menunggu Ino selesai. Ia memang tak berniat membeli apapun, karena Hinata punya segudang yukata di rumah. Ia adalah seorang Hyuuga, ingat?
"Hinata,"
Hinata mengangkat kepalanya saat Ino berdiri di hadapannya dengan menunjukkan dua buah yukata.
"Menurutmu lebih bagus yang mana? Yang merah atau hitam?"
Alis Hinata mengernyit, "Aku tidak terlalu suka warna yang mencolok." Katanya jujur.
Ino menghela napas pelan. "Baiklah, aku akan pilih sendiri." Gadis berambut kuning itu berbalik dan berjalan kembali menuju ruang ganti.
Hinata kembali mengalihkan perhatiannya pada majalah sebelum seruan seseorang kembali terdengar.
"Hinata–chan?"
"Bibi Mikoto?" Hinata berdiri saat wanita berbaju putih itu mendekat dan memeluknya beberapa saat. Ekspresinya cerah seperti biasa.
"Sedang apa di sini?"
"Aku menemani Ino berbelanja, bi."
Mikoto mengangguk pelan, lalu melirik ke belakang. "Sasuke, kenapa berdiri di sana? Ayo kemari, kau tidak ingin menyapa Hinata–chan?"
Hinata melihat Sasuke—yang memasang wajah malas—mendekat ke arah mereka. Pemuda itu terlihat tampan dengan jaket denim yang dipadukan kaus berwarna hitam dan celana jeans berwarna senada. Ah, di mana pun dan bagaimana pun keadaannya, pada dasarnya Sasuke memang sudah begitu tampan.
"Kenapa diam saja?" Mikoto sedikit melotot pada Sasuke. Memberikan peringatan pada pemuda itu.
Sasuke mendesah pelan, tangannya mengibas di hadapan Hinata. "Hai... Hinata," sapanya enggan. Bagaimana pun Sasuke tidak ingin mengambil risiko jikalau Mikoto marah nanti.
"Hai, Sasuke–kun." Hinata membalas sapaan Sasuke dengan ekspresi canggung.
Mikoto tersenyum senang. Akan lebih baik jika ia pergi dan meninggalkan Sasuke beserta Hinata berdua di sini.
"Nah, karena Hinata–chan ada di sini, jadi Mama akan memilih beberapa baju dulu. Tidak apa-apa, kan Sasuke?"
Sasuke mengangguk pasrah. Senyum manis Mikoto tampak begitu mengerikan di matanya.
"Baiklah, nikmati waktu kalian, ya..." Mikoto berlalu dengan hati senang luar biasa.
Sementara Sasuke tampak cemberut dan duduk di salah satu kursi sambil menyilangkan kaki. Tangannya sibuk mengotak-atik ponsel pintarnya, sebisa mungkin mengabaikan Hinata yang masih berdiri tanpa tahu harus melakukan apa.
Tapi beberapa detik kemudian, Hinata sudah mendapati dirinya berdiri di hadapan pemuda itu. Tangannya meraih sesuatu dari dalam tas dan mengulurkannya pada Sasuke.
Sasuke mendongak, "Apa?" dahinya mengernyit melihat susu kotak dengan gambar buah stroberi di hadapannya.
"Ambilah."
"Tidak." Tolak Sasuke cepat. "Memangnya aku anak kecil?"
Bibir Hinata mengerucut, tangannya dengan cepat meraih telapak tangan Sasuke dan menaruh susu kotak itu di tangannya.
Sasuke tersentak, "Kau—"
"Ambil saja!" Hinata ingin menjadi orang yang keras kepala saat ini. Ia cukup lelah menghadapi sikap dingin pemuda itu.
Sasuke melengos. "Seleramu memang payah," katanya tersenyum remeh sambil menatap kotak susu di tangannya.
Hinata tak peduli apa yang pemuda itu katakan, ia mendudukkan tubuhnya di samping Sasuke. "Kau terlihat lebih kurus akhir-akhir ini," katanya pelan. "Kau harus lebih sering meminum susu dan makan dengan teratur."
"Jangan bertingkah sok peduli, Hinata." Jawab Sasuke ketus.
Napas Hinata tercekat, "Sebenarnya ada apa denganmu, Sasuke?" katanya sambil menoleh, "Kau terlihat berbeda setelah kejadian itu—maksudku kau mendiamkan aku dan kita tak saling menghubungi seperti biasa, kau juga tak berkunjung ke rumahku. Aku benar-benar minta maaf jika aku berbuat salah dan membuatmu tidak nyaman. Tapi jika kau terus berdiam diri seperti ini maka—" Hinata tiba-tiba menghentikan kata-katanya dan menunduk. Napasnya sedikit terengah. "Maaf. Aku rasa aku terlalu banyak bicara."
Sasuke masih terpaku di tempat. Ia tak menyangka Hinata akan berbicara seperti itu. Gadis itu adalah gadis yang tenang dan mampu menyimpan rapi semua emosinya selama ini. Tapi Hinata baru saja berbicara dengan nada menggebu-gebu dan ekspresi kesal yang jarang sekali gadis itu tunjukkan.
"Aku akan menyusul Ino," Hinata tiba-tiba berdiri, "Permisi." Katanya tanpa menoleh lagi. Dengan tergesa-gesa melangkah menjauhi Sasuke.
Sasuke menghela napas, bahunya lemas dan tubuhnya langsung bersandar di badan kursi. Ia tak berniat mengejar Hinata, lagi pula, gadis itu pasti berpapasan dengan Mikoto. Matanya kemudian melirik ke arah kotak susu yang dipegangnya. Hinata memang tak berubah. Tak akan pernah. Sekali pun Sasuke kadang merasa asing dengan sikap gadis itu. Ya. Mungkin saja... hatinya yang berubah saat ini. Mungkin saja... dirinya yang mengambil langkah terlalu jauh dari Hinata.
.
.
.
Hinata berdiri di tengah keramaian dengan memegang sebuah permen apel yang baru digigitnya setengah. Ino pergi begitu saja setelah Sai menyeretnya entah ke mana, katanya pemuda itu hanya ingin meminjam Ino sebentar. Dan jadilah di sini Hinata sendiri. Masih tersisa beberapa menit lagi sebelum pesta kembang api dimulai.
"Oi," Hinata tersentak ketika seseorang menepuk bahunya.
"Kita bertemu lagi, Hinata–chan."
Toneri lagi rupanya. Pemuda itu tersenyum manis hingga matanya menyipit. Ia mengenakan yukata berwarna putih yang sama dengan warna yukata yang dipakai Hinata. Harus ia akui, bahwa Toneri memang tampan.
"Kau sendiri?"
Hinata mengangguk.
"Ke mana temanmu yang berambut pirang?"
"Maksudmu Ino?"
Bahu Toneri terangkat, "Mungkin."
"Dia sudah pergi."
"Bersama pasangannya?" tebak Toneri.
Hinata tampak berfikir sejenak. "Bisa dibilang begitu.." katanya terdengar ragu.
Toneri tersenyum tipis melihat ekspresi lucu yang ditunjukkan Hinata. "Mau melihat kembang api bersamaku? Aku tahu tempat yang bagus untuk melihat kembang api." Tawarnya.
Hinata menggeleng pelan, lalu tersenyum tipis. "Maaf, aku—"
"Hinata sudah memiliki janji denganku."
Hinata terkejut ketika sebuah lengan kekar melingkari pinggangnya dengan posesif. Bagian sisi tubuhnya menabrak sebuah benda keras dengan aroma mint dan cendana yang sangat ia kenali.
Pemuda itu adalah Sasuke, dengan sebuah yukata hitam yang membuatnya terlihat gagah.
"Benarkah?" Toneri mengalihkan tatapannya pada Hinata, seolah meminta klarifikasi atas pernyataan Sasuke.
Tapi gadis itu terlalu gugup untuk menjawab, ia masih terlalu kaget dengan tindakan Sasuke.
"Kau tidak memerlukan jawabannya," Sasuke semakin mengeratkan pegangannya pada Hinata dan itu tak luput dari perhatian Toneri.
"Kenapa? Bukankah ia berhak menentukan?"
Keduanya bertatapan seperti dua ekor singa jantan yang siap bertarung.
Sasuke tersenyum jengkel, "Kau ini keras kepala ya?"
"Dan kau pemaksa, Tuan Uchiha."
"Pemaksa?" satu tindakan berani diambil Sasuke dengan meraih dagu Hinata di hadapan Toneri dan mengecup ujung bibirnya.
Keduanya membeku.
Satu bibir Sasuke terangkat dan menatap remeh pada Toneri, "Tak masalah jika kau menyukai Hinata atau mencoba menarik perhatiannya. Sejatinya, dia adalah milikku. Jadi..." Sasuke mengecup pelan kening Hinata yang tertutupi poni. "...jangan pernah sembarangan menyentuh tunanganku, Otsutsuki."
Sasuke menarik Hinata yang masih lemas dan meninggalkan Toneri yang membeku di tengah keramaian. Ia tak menyangka sama sekali. Benar. Ia memang orang asing. Ia bahkan tak tahu apa yang telah terjadi sebelum ia datang ke sini dan bertemu dengan Hinata.
Bibirnya membentuk sebuah senyum pahit.
Ia kira ia hanya berlari sendiri untuk menangkap seekor rusa, nyatanya Sasuke lebih dulu melesatkan anak panah dan mendapatkan buruannya bahkan sebelum ia berkedip.
Uchiha tunggal itu memang patut diwaspadai!
.
.
.
"Ne, Sasuke–kun?"
"Apa?"
"Jadi selama ini kau menghindar karena cemburu?"
Sasuke tersedak, lalu melirik Hinata dengan cepat. "Mustahil!"
"Eh? Kalau begitu kenapa kau marah dan bersikap dingin padaku?"
Sasuke mendengus. Ia memalingkan wajah dengan rona merah samar di pipinya, "Aku tidak."
Hinata mendongak menatap langit, "Souka..." nadanya terdengar kecewa.
Sasuke memperhatikan gadis itu dari samping. Jantungnya secara tiba-tiba berdetak dengan sangat keras.
"Hinata,"
"Hm?"
Sasuke terdiam sejenak, "Jangan pernah membiarkan lelaki lain menyentuhmu, mengerti?"
Hinata menoleh, "Bukankah itu tugasmu?"
Sasuke kembali terdiam. "Ya, tentu saja." Ia tersenyum begitu tipis dan menepuk kepala Hinata pelan. "Beruntung Otsutsuki itu masih bisa bernapas sekarang..." gumamnya pelan.
"Apa?" Hinata merasa mendengar sesuatu.
Sasuke menggeleng dan kembali menatap langit.
Sesaat mereka kembali saling mendekatkan wajah ketika suara kembang api terdengar kemudian.
To Be Continued..
...
Haiiiiiii... .
Saya adalah newbie yang sekadar menulis cerita untuk menyalurkan hobi saya dalam menulis. Berawal dari kecintaan saya terhadap Naruto dan saya tiba-tiba saja mendapat ide untuk membuat sebuah cerita dan menyalurkannya lewat ffn. Mungkin ceritanya pasaran dan masih banyak hal yang harus dikoreksi. Saya pribadi, dalam sudut pandang pembaca lebih menyukai cerita-cerita bergenre angst dari pada cerita yang manis. Saya masih dalam tahap belajar dalam menulis cerita, jadi mohon saran dan kritikannya *bow
Salam manis,
Cheese Thirty
