Durarara!Ryohgo Narita-sensei
.
.
.
Happy Reading
.
.
.
PROLOG
"Mungkin memang seharusnya aku menikahi seorang wanita."
Izaya menatap tak percaya suaminya yang baru saja mengatakan hal itu. Apa-apaan itu, kenapa pertengkaran dikarenakan dirinya yang bangun terlalu siang dan tidak memasak malah menjurus kearah sana? Dan yang lebih penting kenapa baru sekarang? Setelah tiga tahun menjalin hubungan rumah tangga kenapa pula otak protozoan ini baru menyesal telah menikahinya yang notabene lelaki?
Dia bisa menatap Shizuo masih terengah-engah karena emosi. Namun dirinya masih belum bisa menemukan kata yang tepat untuk membalas. Lidahnya kelu.
Seolah mengerti perasaan Izaya, Shizuo tersentak. "Izaya, aku tidak ..." Aah ... Wajahnya pasti buruk sekali sekarang.
Kekehan keluar dari mulut Izaya. Bukan kekeh mengejek yang normal, namun sebuah kekehan yang menutupi perasaan tersakiti di hatinya. "Kenapa baru sekarang?"
Shizuo terperanggah, rasa sakit mulai merambati hatinya. Begitupula perasaan takut akan pernyataan yang akan diutarakan Izaya sebentar lagi.
Izaya menggigit bibirnya. Ia tidak ingin terisak. Tangannya terkepal, ingin menonjok sesuatu. Mungkin mulut Shizuo atau mungkin matanya yang memanas.
Kepalanya menunduk dalam, menutupi wajahnya dengan pinggir poni yang sedikit memanjang. Dia memanjangkan poninya untuk Shizuo. Karena dialah yang meminta. Dia menjaga pola makannya untuk Shizuo. Dia melakukan apapun untuk Shizuo. Dia yang kelewat memperhatikan tubuhnya seperti wanita. Itu semua karena Shizuo. Dan apa-apaan kalimat yang baru dia dapatkan dari orang yang menjadi tujuannya? Apa-apaan mulut brengsek orang ini? Sialan.
"Izaya tunggu bukan maksudku ..."
Izaya tergelak. Gelak tawa yang lama tidak ia kumandangkan. Gelak maniak yang telah dia tinggalkan semenjak Shizuo memintanya berhenti menjadi seorang Informan. Menekan segala hasratnya untuk mempermainkan manusia seperti yang dia lakukan sebelumnya. Ah dia ingin melampiaskan semua kekecewaannya pada gelak tawa yang sangat dia rindukan ini.
Tidak peduli dengan Shizuo yang mengangkat tangannya, bingung antara ingin memeluk atau diam saja. Tidak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan ataupun pada reaksi Izaya.
Tangannya mengusap matanya yang menangis. Entah menangis tawa, ataupun rasa sakit di hatinya. Izaya tidak mengerti lagi. Perasaan apa saja yang berkecamuk di hatinya.
"Orang yang sedang marah memang bisa sangat jujur ya, Shizu-chan," ucapnya. Nadanya kembali menjadi Orihara Izaya. Orihara Izaya si informan licik. Bukan Heiwajima Izaya yang mengorbankan semuanya. Ah dia pasti gila karena melakukan ini semua untuk Shizuo. "Jadi itu yang pikirkan, ya?"
Shizuo terpaku. Dia bahkan tak mampu menarik Izaya yang beringsut mundur dengan sedikit tawa. Menertawakan kebodohannya.
Izaya kembali ke kamar, mengambil coat yang telah lama dia tanggalkan. Menggunakannya, dan merasa nyaman seolah dirinya telah kembali.
"Ah memang beginilah seharusnya, Shizu-chan."
Shizuo tahu, nada getir yang terselip diantara seringai Izaya yang jelas di paksakan.
"Terimakasih untuk waktu dan segalanya, Shizu-chan. Itu adalah waktu yang berharga."
Shizuo menjatuhkan tubuhnya. Menatap kosong pada daun pintu yang menutup setelah menelan Izaya menjauh darinya.
.
.
.
Setelah pertengkaran hebat antara dirinya dan Izaya. Dia tak pernah mendengar kabar sedikitpun tentang Izaya. Hanya ada satu yang berhasil dia dapatkan, Izaya telah meninggalkan Ikebukuro. Jauh dari Ikebukuro.
Shinra yang merupakan satu-satunya orang yang dekat dengan Izaya menggelengkan kepalanya. Dia juga tak mendapat kabar apapun dari Izaya. Mairu dan Kururi pun bungkam. Tidak ada yang tahu dimana keberadaan Izaya. Celty mencoba menenangkannya, menyemangatinya, dan memberikan banyak bantuan.
Shizuo benar-benar terpukul, dia bahkan berhenti menjadi Heiwajima Shizuo yang di takuti orang-orang. Mungkin mustahil baginya menjadi orang baik, namun dirinya bisa mengontrol emosinya. Kejadian itu membuatnya bersumpah akan menjaga ucapannya.
Kasuka datang semakin sering. Mengkhawatirkannya. Dia terkadang datang dengan istrinya. Ruri. Gadis yang dulu ia selamatkan. Namun Shizuo tak kunjung pulih. Dia merasa setengah hidupnya telah pergi, dan ia tak memiliki tujuan untuk bertahan hidup.
Sekitar dua tahun telah berlalu, Shizuo menjadi orang yang begitu berbeda. Namun bukan hanya dia yang berubah.
"Roppi-chan, pekerjaan sudah selesai, loh."
Pemilik iris mangenta dengan coat putih berbulu pink bergelayut manja pada lelaki dengan aksen hitam legam dan merah, yang di panggi Roppi-chan. Hachimenroppi, orang yang di panggil Roppi-chan menatap datar melalui iris semerah darah tanpa benar-benar menaruh minat.
"Kau yakin polisi tidak mengejarmu, Psyche?"
Psyche menggeleng kekanakan, "Tidak loh, Roppi-chan. Puji Psyche, puji Psyche."
Roppi berdecih, sikap manja bocah ini tak pernah hilang bahkan setelah mereka melakukan semua pekerjaan ini. "Kerja bagus."
Psyche tersenyum lebar. Menggesekkan pipinya pada dada Roppi dengan manja seperti kucing. "Meski Iza-chan yang melakukan semuanya, puji Iza-chan juga, Roppi-chan."
"Ah Psyche, kau yang melakukannya. Aku hanya mempermainkan mereka."
Seseorang dengan aksen hitam dan coklat keluar dari balik bayangan. Berbeda dengan dua orang yang memiliki ekspresi begitu kontras, orang itu memiliki seringai yang penuh kelicikan. Jauh perlu di waspadai daripada Psyche yang polos ataupun Roppi yang penuh intimidasi. Orang itu memiliki sesuatu yang harus dihindari.
"Kau masih bermain-main di sela pekerjaanmu, Izaya." Roppi menatap tajam Izaya yang tengah memainkan coatnya dengan jenaka.
"Yang benar saja, aku melakukannya dengan baik. Aku tidak meninggalkan pekerjaanku, Roppi." Seringaiannya semakin melebar.
Roppi mendengus, "Kalau begitu terserah. Kita kembali."
Izaya menatap kota dibawah sana yang berisi kerlip lampu, membiarkan Psyche dan Roppi mendahuluinya kembali.
"Seperti biasa kau kaku sekali, Hachimenroppi."
Roppi menatap balik Izaya melalui sudut matanya, "Kau lebih buruk, Orihara Izaya."
Bukan hanya Shizuo yang berubah, Izaya juga.
TBC
Prolognya sedikit ini dulu ya? Saya tidak tahu apakah kalian menyukai ini, tapi saya akan berusaha.
Sampai jumpa di chapter 1
