Semuanya, apa kabar? Ya ampun, rasanya sudah bertahun-tahun nggak mampir ke sini. Oh iya, berkat dukungan kalian, aku berhasil meraih peringkat 1 nilai UN untuk jurusan IPS di sekolahku dengan nem 53,00. terima kasih ya, minnaaa! Sekolahku juga jadi peringkat 2 IPS se-Surabaya lhoo... hehehehehehe*plak*
Sekarang aku benar-benar sibuk mempersiapkan ujian SNMPTN-ku, tapi selalu kusempatkan ngetik di waktu senggang.
Grow Up Flowers masih 50% dan aku akan merasa bersalah kalau nggak menyapa kalian dulu sebelum ujianku dimulai. Jadi kuputuskan untuk segera mengetik side-story ini sebagai 'pengganjal perut' sebelum GUF bisa kuapdet.
Side-story ini bercerita tentang Musashi-Hana-Juumonji, dengan setting GUF, namun dengan giliran jaga Kiseki yang kuubah agar sesuai dengan cerita fic ini.
Semoga kalian menyukainya, selamat membaca!
Side-story from Grow Up, Flowers!
Love Labyrinth
Chapter 1: Something New
Disclaimer: Inagaki Riichiro and Murata Yuusuke
Written by: undine-yaha
Writer's assistant: chopiezu
Juumonji Kazuki menyingsingkan lengan kemejanya untuk melihat jam tangan yang terpasang di lengan kirinya. Waktu tepat menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit di pagi hari. Rencananya pagi ini ia akan pergi ke kampus untuk mencari bahan tesisnya.
Pria berumur 22 tahun itu melengos malas. Belum dilakukan saja bosannya sudah terasa.
"Sarapan siap! Silakan teh dan supnya!"
"Yayaya nyanyaya!"
Juumonji sontak tertawa. Begitu juga wanita dihadapannya. Semua karena bayi yang sedang digendong wanita itu, namanya Aoihoshi Kiseki. Ia suka sekali meniru apa yang dikatakan orang sebisanya, sehingga terdengar begitu lucu.
"Kiseki, Kiseki... kamu suka sekali sih meniru!" ujar wanita itu gemas.
Wanita itu bernama Aoihoshi Hana, penyihir yang datang dari dimensi lain. Juumonji mengenalnya ketika ia yang bekerja sebagai agen rahasia melaksanakan misi di SMA Deimon, kebetulan mereka juga sekelas.
Sebetulnya pagi ini Juumonji datang untuk numpang makan saja. Tapi sungguh, ia merasa senang datang ke sini sebelum ke kampus. Soalnya, Kiseki bisa menjadi obat bosan yang ampuh.
"Hahahaha," ia masih tertawa ketika menyendok sup buatan Hana.
"Cobain, enak nggak?" tanya Hana sambil menaruh Kiseki di kursi tingginya supaya tangannya bebas dan ia bisa menguncir rambutnya.
"Lumayan," jawab Juumonji, "ternyata kau bisa masak juga."
"Sembarangan," Hana merengut.
Juumonji menghabiskan sarapannya dan meneguk habis tehnya.
"Aku pergi dulu ya!" pamitnya. Hana menggendong Kiseki lagi dan mengantar Juumonji ke pintu depan.
"Ya, have a nice day!" sahut Hana sambil melambaikan tangan.
Juumonji akan langsung pergi seandainya ia tidak melihat wajah melas Kiseki.
"Jiji...," panggilnya sedih.
"Dia sedih tuh nggak kamu pamitin," ujar Hana dramatis.
Juumonji tersenyum simpul. Ia membungkukkan badannya dan menatap Kiseki lekat-lekat.
"Aku pergi dulu ya, Chibi. Jangan nakal!" ia lalu mengacak-acak rambut pirang tipis itu.
"Wow, manis sekali!" sindir Hana jahil. Juumonji yang malu langsung berbalik dan lari dari sana, "Aku pergi!" teriaknya.
"Jijiiii! Dadaaaah!" pekik Kiseki bahagia.
Juumonji perlahan berhenti berlari. Ia menertawai dirinya sendiri. Sesayang itukah ia pada Kiseki? Dia bukan tipe orang yang suka dengan anak-anak, tapi begitu bertemu Kiseki, hidupnya terasa lebih... berwarna. Tapi ini Juumonji, gitu lho! Preman yang dulu dikejar-kejar polisi sejak SMP!
Ia tak tahu apakah ia akan merasakan perasaan yang lebih serius—pada wanita yang seumuran dengannya tentunya. Dia 'kan, bukan pedofil.
~GrowUp!~
Takekura Gen bertugas jaga hari ini. Ia datang tak lama setelah Juumonji pergi. Pagi ini ia berjanji menemani Hana berbelanja sayuran.
"Nanti sore aku mau pergi sebentar," ujar Musashi, "setelah itu kembali lagi."
"Iya, santai saja," jawab Hana yang menggendong Kiseki dengan kain.
Mereka sampai di kios sayur yang letaknya hanya dua blok dari rumah Hana. Hana berbinar melihat wortel-wortel yang masih segar.
Tak jauh dari mereka berdiri seorang wanita berwajah manis yang memakai atasan warna peach. Rambutnya hitam sebahu dan dibelah pinggir, terlihat anggun. Ia kebetulan melihat Musashi, Hana, dan Kiseki.
Ia merasa mengenali pria berambut mohawk itu. Ah, benar. Itu Musashi, teman se-gengnya Hiruma Youichi. Wanita itu juga alumni SMA Deimon.
Lalu wanita dan bayi yang bersamanya itu... siapa ya?
"Bibi," ia memanggil bibi penjual sayur yang sedang mengemasi belanjaannya, "yang disana itu... apa sering belanja di sini?" tanyanya.
"Hm... dua hari yang lalu sih mereka juga ke sini," jawab Bibi, "memang kenapa?"
"Apakah mereka suami-istri?" wanita itu bertanya lagi. Sebetulnya ia tidak yakin. Ia dan Musashi seumuran, masa' Musashi sudah menikah?
"Kurasa bukan," jawab Bibi, "soalnya aku sering dengar wanita itu memanggil pria itu dengan sebutan senpai atau nii-san."
Wanita itu mengernyit. Senpai, nii-san?
"Ini kembaliannya," Bibi itu menyerahkan selembar uang dan belanjaan wanita itu, "terima kasih, datang lagi ya!"
"Makasih Bi," wanita itu membungkuk, "sampai jumpa lagi!"
Sebelum pergi, ia sempat melihat lagi sekilas ke arah Musashi. Sesuatu... telah mengusik hatinya.
Aoihoshi Hana mengamati wanita tadi dengan serius. Musashi yang menyadarinya bertanya, "Ada apa?"
"Wanita itu tadi terus melihat ke arah kita," jawab Hana serius, "kurasa ia juga sempat bertanya tentang kita."
Musashi ikut melihat wanita yang sudah agak jauh berjalan itu. "Agen rahasia itu harus curigaan ya?"
"Bukan curiga, kami dilatih untuk waspada," jawab Hana, kembali melihat wortel, "ngomong-ngomong, aku kenal seseorang yang curigaan padaku ketika aku masih di Deimon dulu."
Musashi diam. Itu 'kan aku.
~GrowUp!~
Siang ini Suzuna datang bersama Sena dan Monta. Mereka makan siang bersama di rumah Hana. Setelah itu Suzuna bertugas menidurkan Kiseki sementara Hana mencuci piring.
"Ao-chan, Ao-chibi sudah tidur," Suzuna muncul dan masuk ke dapur.
"Wah, cepat sekali," sahut Hana sambil mengeringkan tangannya dan membuka pintu kulkas, mencari apel.
"YA~, begitulah," Suzuna tersenyum, "eh, nonton TV yuk!"
"Ayo," Hana berjalan mengikuti Suzuna keluar dari dapur ke ruang TV sambil membawa apel gratis dari Monta itu.
Tapi mereka berdua langsung sweatdrop melihat situasi di ruang TV. Tiga orang pria sedang serius sekali menonton pertandingan amefuto.
"Gawat MAX! Pertahanan mereka melemah!" Monta berkomentar.
"Benar! Kalau runningback lawan berhasil mencetak touchdown, mereka ahrus menyusun strategi ulang!" sahut Sena semangat.
"Mungkin mereka akan mencoba kick untuk menambah skor. Lagipula, jaraknya tidak terlalu jauh," kali ini Musashi berkomentar dengan serius.
"Ah! Play akan segera dimulai! Bola sudah dilempar! Ayo, CATCH MAX!" Monta berteriak sampai meloncat dari sofa.
"Astaga... mereka ini...," ujar Hana disela mengunyah apel.
"Hahahaha! Tapi pertandingannya memang seru! Ao-chan, ayo kita ikut nonton juga!" ajak Suzuna. Kedua wanita itu lalu duduk di karpet dan ikut menonton.
Ketika quarter ketiga dimulai, Musashi berdiri dari tempat duduknya dan berpamitan.
"Aku pergi dulu, ada yang harus kubeli. Aku akan kembali setelah mengecek ke tempat proyek," ujarnya.
"YA, hati-hati Musha-shyan!" sahut Suzuna.
"Ya," jawab Musashi. Ia pergi dengan pick up-nya ke sebuah toko hardware.
~GrowUp!~
Tadinya Musashi tak peduli pada perkataan Hana tentang wanita tadi pagi, tapi ternyata ia malah bertemu dengannya lagi sore ini. Ia baru keluar dari sebuah toko, membeli tang, obeng, dan kawan-kawannya, ketika seorang wanita berambut hitam sedang berjalan terhuyung-huyung karena membawa banyak barang.
"Kya!"
GRUDUK...
Musashi mendengus. Ia menghampiri wanita yang terjatuh itu dan mengumpulkan kembali barang-barang miliknya.
"A-aduh, gomenasai," ucapnya sambil bangkit setelah terjatuh tadi. Ia kaget ketika melihat orang yang membantu mengumpulkan barang-barangnya.
"M-Musashi-san?"
Musashi yang merasa dipanggil menoleh. Wanita itu terlihat gugup.
"Maaf, perkenalkan, aku... Fujiwara Sara. Aku juga alumni SMA Deimon," wanita itu memperkenalkan diri, "mungkin... kau tidak mengenalku."
Musashi berdiri dan berkata datar, "TIDAK."
Wanita itu berkata lagi, "Aku mengenalmu dari Anezaki Mamori. Aku sahabatnya Mamori. Dulu ikut ekskul amefuto 'kan?"
Sara bernafas lega ketika akhirnya Musashi tersenyum simpul dan berkata, "Iya."
"Ah, kalau begitu... terima kasih banyak sudah—"
"Kau bawa mobil?" potong Musashi.
Sara berkedip. "Mm... tidak. Apartemenku tidak begitu jauh dari sini, jadi... aku jalan kaki saja."
Musashi ragu wanita itu akan sampai di apartemennya dengan selamat, melihat tadi saja dia terjatuh saat membawa barang-barangnya.
"Tunggu di sini," perintah Musashi cepat, lalu pria itu berlari ke arah parkiran. Sara terbengong-bengong.
Tak lama muncullah Musashi dengan pick up-nya. Ia segera turun dan memindahkan dus-dus Sara ke bak pick up.
"Aku akan mengantarmu," ujar Musashi singkat, "naiklah, cepat."
"T-tapi...," Sara merasa sungkan.
"Cepat naik. Di sini tidak boleh parkir, kalau ketahuan polisi bisa gawat," kata-kata Musashi tak terelakkan.
Akhirnya Sara diantar Musashi ke apartemennya. Ia terus mengucapkan terima kasih karena sudah merepotkan. Tapi Musashi hanya diam saja.
"Dari sini ke mana?" Musashi akhirnya buka suara.
"Dari toko roti itu, belok kanan. Setelah itu lurus saja," jawab Sara.
Karena sepertinya Musashi tak akan bicara duluan, Sara memutuskan untuk memulai pembicaraan.
"Mm... nama lengkap Musashi-san... siapa ya, kalau boleh tahu?" tanyanya.
"Musashi itu hanya nama panggilan," jawab Musashi tanpa menoleh, "nama asliku Takekura Gen."
"Oh, begitu...," Sara mengangguk, "kalau begitu, boleh kupanggil Gen-kun?"
Musashi sedikit terkejut mendengar panggilan itu. Bukan perasaan risih, sih... ia sendiri tak tahu pasti perasaan apa itu tadi.
"Terserah," jawab Musashi, "asal jangan Gen-chan."
"Eh?" Sara terkejut, "Gen-chan? Hahahahaha!" ia tertawa lepas.
"Sudah kuduga kau akan tertawa," dengus Musashi, membelokkan setir ke kanan.
"M-maaf," Sara menghentikan tawanya, "memangnya ada yang memanggilmu Gen-chan?"
"Ada," Musashi menatap jalanan dengan ekspresi malas, "seorang suster di RS Zokamachi... juga para anak buah ayahku."
"Hihihi," Sara tertawa kecil, "mm, kudengar dari Mamo-chan... dulu waktu kau keluar dari sekolah, karena menggantikan ayahmu bekerja ya?"
"Begitulah," Musashi mengiyakan. Mereka telah tiba di apartemen Sara. Musashi segera masuk ke parkiran.
"Tempatmu di lantai berapa?" tanyanya pada Sara, "aku akan membantumu membawakan barang-barang itu—jika diizinkan."
Sara mengerutkan alis. Ia tidak mau merepotkan Musashi lagi, tapi dia nggak punya pilihan lain.
"Dengan senang hati," Sara tersenyum tepat ketika Musashi (akhirnya) menatapnya, "tempatku di lantai sebelas."
'Sebelas? Sama dengan nomor seragamku,' batin Musashi sambil turun dan mengunci pick up.
Setelah pembagian barang mana yang harus dibawa oleh masing-masing orang beres, Sara berjalan di depan. Mereka memasuki lobi lalu menunggu lift datang.
"Kau belanja banyak sekali," Musashi berkomentar, melihat dus-dus yang dibawanya. Baginya sih tidak berat sama sekali.
"Aku baru pindah ke sini. Jadi ini barang-barang untuk keperluan tempat tinggal baruku," jawab Sara.
TING!
Pintu lift terbuka. Nampaknya hanya mereka berdua yang menaiki lift itu.
Sara menekan tombol 11 dengan sikunya, lalu pintu lift tertutup.
"Kalau tinggal di sini, lebih dekat dari kantorku," Sara berujar, "kalau Gen-kun, apa kegiatanmu sekarang?"
"Aku menggantikan ayahku secara resmi di perusahaan konstruksi kami," jaawb Musashi, "juga bermain amefuto."
"Dulu waktu masih di Deimon, aku sering menonton pertandingan Devil Bats lho! Kau penendang 'kan? Aku ingat waktu itu kau pernah menendang jauuuuuh, sekali. Keren!" Sara tiba-tiba terdengar seperti anak kecil yang sangat bersemangat. Ia menoleh pada Musashi dan tersenyum lebar.
Musashi hanya membalas dengan senyum simpul dan berkata, "Itu berkat latihan."
TING!
"Ayo," ajak Sara sambil berjalan duluan. Tak sampai sepuluh langkah mereka sudah sampai di depan pintu apartemen tempat Sara tinggal.
Sara meletakkan dus-dus yang dibawanya agar bisa mengambil kunci di tasnya.
CKLEK.
"Biar aku saja yang bawa ke dalam, chotto matte kudasai!" ujarnya pada Musashi.
Musashi mengangguk. Sara membawa masuk dus-dus itu dengan cepat.
"Sudah selesai," ujarnya sehabis memasukkan dus terakhir, "ah, akhirnya. Terima kasih banyak atas bantuannya, Gen-kun. Kau mau kubuatkan minum?"
"Tidak usah," tolak Musashi.
"Begitu. Eh, ngomong-ngomong...," Sara tiba-tiba terlihat gugup, "Gen-kun... sudah berhenti merokok ya?"
Musashi terkejut. "Bagaimana kau...?" ia sampai tak bisa melanjutkan pertanyaannya.
"Dari baunya," jawab Sara, senyum simpul menghiasi wajahnya. "Hidungku cukup peka lho."
Pria berambut mohawk itu nyengir. Ia merasa... mulai tertarik dengan sahabat Mamori ini.
"Dari baunya ya?" Musashi menyahut, "padahal di tempat kerjaku banyak yang merokok. Mungkin juga karena aku pakai parfum."
Sedetik kemudian Musashi kaget akan apa yang barusan diucapkannya. Aku pakai PARFUM?
Parfum?
"Iya, iya," Sara mengangguk setuju, "wanginya enak, kok."
Musashi sontak menoleh. Sara tidak menertawakannya, hanya menanggapi secara biasa. Mungkin karena ia belum begitu mengenal dirinya.
"Aku masih ingat ketika kau merokok di depan kelasku," Sara bercerita, wajahnya menjadi sedikit sedih. "Waktu itu kau tidak pakai seragam, berjongkok di depan kelasku lalu merokok. Kau terbatuk-batuk, pasti itu pertama kalinya kau merokok."
Musashi ingat jelas ia pernah melakukan itu. Tapi ia tak pernah ingat kalau Sara ada di sana.
"Kau berkata padaku yang menatapmu heran: maaf karena merokok di sini," lanjut Sara, "Mamo-chan bilang kau sengaja melakukan itu supaya orang tuamu menyerah dan kau bisa keluar dari sekolah..."
"Ya," pandangan Musashi menerawang ke lantai, "saat itu aku benar-benar kacau."
"Tapi semuanya sudah berlalu. Satu tahun setengah setelah itu kau sekolah dan main amefuto lagi! Yah, sudah bertahun-tahun sejak saat itu, ya!" nada suara Sara berubah ceria, "sekarang kita sudah dewasa dan sudah menjalani hidup yang lebih baik!"
Musashi tersenyum tipis.
"Kalau begitu... terima kasih banyak ya, Gen-kun! Tak kusangka kamu ternyata baik sekali!" ujar Sara riang.
"Tak kausangka?" Musashi mengernyit.
"Soalnya kau kelihatannya galak," Sara tersenyum geli sambil menunjuk Musashi, "potongan rambutnya itu lho... sangar."
"Ah, ini," Musashi menyentuh kepalanya, "Hiruma yang menyuruh rambutku dipotong seperti ini. Aku malas mengembalikannya ke bentuk semula," cerita Musashi.
"Oh, pacarnya Mamo-chan itu memang nggak bisa dilawan," Sara berkomentar.
Musashi lalu mengambil dompet hitam dari saku jinsnya, menarik sebuah kartu dan memberikannya pada Sara.
"Ini kartu namaku, mungkin aku bisa membantumu kalau kau butuh bantuan," ujarnya. Sara menerimanya dengan senang hati.
"Terima kasih banyak, Gen-kun," Sara memegang kartu nama itu dengan kedua tangannya. Kuku-kukunya terlihat mengilap dan dibentuk rapi. "Doumo arigatou gozaimasu."
"Yeah, aku permisi," Musashi berbalik dan melambaikan tangannya sekilas.
"Iya! Terima kasih!" sahut Sara. Setelah Musashi agak jauh, ia masuk ke apartemennya dan melihat lagi kartu nama di tangannya.
Entah kenapa ia jadi senyum-senyum sendiri.
~GrowUp!~
Proyek bangunan di pertokoan Deimon itu dikerjakan oleh perusahaan konstruksi Takekura. Hari sudah mulai senja, nampak tak ada kegiatan lagi di sana. Hanya para pekerja yang bersiap pulang. Gaou terlihat paling menonjol di antara yang lain karena badan raksasanya.
Ketika Musashi tiba, Kid, Tetsuma, Onihei, Gaou, Kuroki, dan Toganou sudah berjalan pulang.
"Bos, kami duluan!" pamit Kuroki, "salam untuk Chibi ya!"
"Ya. Terima kasih untuk hari ini," sahut Musashi, berjalan memasuki kantornya.
"Jumonji pagi ini juga ke rumah Hana," ujar Toga pada Kuroki.
"Hana siapa sih?" Onihei bertanya.
"Aoihoshi Hana," jawab Kuroki, "teman kami. Kami sering berkunjung ke rumahnya," ia menahan diri untuk tak bercerita banyak. Bisa berabe.
~GrowUp!~
Akhirnya Musashi selesai merapikan dokumen-dokumennya dan memeriksa laporan yang dibuat Kid. Ia segera keluar dan mengunci pintu kantor non permanen itu. Saat itulah ponselnya berdering. SMS dari nomor tak dikenal.
Message: Gen-kun, ini aku, Sara. Terima kasih untuk hari ini. Simpan nomorku, ya? :)
Musashi melakukan apa yang diminta Sara. Mengingat pertemuan singkat mereka tadi, ternyata banyak juga cerita yang mereka bagi. Ini... sesuatu yang baru untuk Musashi.
Baru saja ia akan naik ke pick up, ponselnya berdering lagi.
"Halo?" Kali ini telepon.
"Hoppa! Cheppa chini yaaaa! Bubbubugugu..."
Alis Musashi berkerut. Dilihatnya ulang nama yang tertera di layar ponselnya. Aoihoshi Hana. Tapi, sejak kapan ia bicara bahasa planet?
Ah, itu tadi pasti Aoihoshi yang satu lagi.
"Halo? Gomen, Kak Musashi. Itu tadi Kiseki! Makan malam sudah siap! Kak Kurita juga sudah datang lho! Kakak ditunggu!" kali ini suara Hana terdengar, "aduh! Kiseki! Jangan!"
"HOOOPPAAAAA!" Kiseki kembali memanggilnya.
"Kiseki!" Hana menegur lagi.
"YA, Ao-chibi bisa menelepon!" sekarang malah suaranya Suzuna.
Tut, tut, tut.
Telepon kacau itu berakhir. Musashi tersenyum dan berangkat ke rumah Hana.
~GrowUp!~
Makan malam kali ini ramai sekali. Ada Sena, Suzuna, Monta, Musashi, dan Kurita. Monta bercerita dengan semangat mengenai penjualan di toko buahnya yang mengalami kenaikan bulan ini. Kemudian entah bagaimana percakapan tiba-tiba membahas buah melon kesukaan Kurita.
"Kiseki-chan sudah mengantuk, ya?" Kurita yang duduk di dekat Kiseki melihat anak itu menguap lebar, "Musashi, bagaimana kalau kau tidurkan dia?"
Musashi sudah selesai makan dan meminum air putihnya. Ia lalu berdiri dari kursinya dan menggendong Kiseki.
"Anak ini sudah sendawa 'kan?" ia bertanya.
Mendengar pertanyaan itu, Hana dan Suzuna sontak tertawa. Musashi jadi sangat waspada kalau mau menggendong Kiseki sehabis makan. Soalnya Kiseki pernah memuntahkan susu di bahunya.
"Sudah dari tadi," jawab Hana. Ia lalu merapikan meja makan bersama Sena dan Suzuna.
"Hana-chan, ayam gorengnya sisa satu! Aku makan, ya!" pinta Kurita sambil menyambar ayam goreng itu. Monta mengambil piring kosongnya dan membawanya ke dapur.
"Musashi ternyata bisa mengasuh bayi," komentar Kurita, berdiri di sebelah Musashi yang sedang mencoba menidurkan Kiseki. Ia menggendong Kiseki menghadap ke arahnya, jadi Kiseki bisa menyandarkan kepalanya ke bahu orang yang dipanggilnya 'Hoppa' itu.
"Aku sendiri juga tidak menyangka," jawab Musashi pelan.
"Tapi Kiseki-chan kalau sedang rewel, pasti minta digendong olehmu," kata Kurita sambil tersenyum. Ayam goreng yang dimakannya sudah habis.
"Dia pasti lebih senang lagi kalau digendong Hiruma," sahut Musashi. Kurita mengintip Kiseki dari balik punggung Musashi dan bekata, "Ssst, dia sudah tidur!"
Hana, Suzuna, Sena, dan Monta keluar dari dapur. Sepertinya mereka sudah berpamitan.
"Chibi sudah tidur 'kan? Ah, selesai juga kunjungan kita hari ini," ujar Monta.
"Terima kasih," ucap Hana pelan sambil menerima Kiseki dari Musashi. Bayi itu sempat kaget sedikit, tapi ia langsung tertidur lagi. Sambil menepuk-nepuk punggungnya perlahan, Hana membawanya ke kamar dan menaruhnya di dalam boks.
"Kalau begitu, kami semua pamit ya, Hana-san," ujar Sena mewakili teman-temannya ketika Hana keluar dari kamar.
"Iya, terima kasih banyak untuk hari ini," jawab Hana, membungkukkan badan.
"Oyasumi, Ao-chan," pamit Suzuna.
"Oyasumi, minna!" Hana mengantar teman-temannya ke pintu depan.
Setelah semuanya pulang, wanita itu mengunci pintu dan memasuki rumahnya sambil meregangkan badan. Ah... harus segera istirahat. Besok pagi rutinitas akan dimulai lagi; membuka toko, menjaga Kiseki, bersih-bersih rumah, masak... dan lainnya.
Ia mematikan lampu ruang makan dan dapur, lalu masuk ke kamarnya dan mengganti pakaian santainya dengan piama. Sebelum mematikan lampu kamar dan naik ke tempat tidur, ia sempatkan mengecup dahi Kiseki yang tertidur pulas.
"Sweet dream," bisiknya pada bayi itu.
Hana merebahkan diri di atas tempat tidurnya, mengambil ponselnya dan mengaktifkan vibrate mode. Ia tidur dengan tangan menggenggam ponsel—hampir setiap malam sejak ia tahu gerbang dimensi tertutup.
Ia melakukan itu supaya ia siap ketika ponsel itu tiba-tiba bergetar dan memberikannya jawaban atas apa yang terjadi selama ini. Sepenuh hatinya ia juga berharap bahwa jawaban itu datang dari seseorang yang sangat dirindukannya, nun jauh di sana.
~GrowUp!~
Pukul 21.15.
Aoihoshi Hana langsung terbangun ketika merasakan getaran di tangannya. Ia cepat-cepat bangkit dari posisi tidurnya dan melihat ke layar ponsel yang menyala-nyala.
Juumonji Kazuki.
Hana melengos kecewa.
"Halo?" jawabnya setengah gusar. Hampir dia lupa ada Kiseki yang sedang tidur.
"Tolong bukakan pintu! Kami ada di depan rumahmu!" suara Jumonji terdengar penuh urgensi.
"Haaaaaaah?" Hana bereaksi seperti orang yang meneleponnya.
Dengan setengah hati akhirnya Hana keluar dari kamar dan cepat-cepat membuka pintu depan. Betapa kagetnya ia melihat kondisi Juumonji, Kuroki, dan Toganou yang menjadi tamu tak diundang itu.
Juumonji: dahi memar, ujung bibir berdarah, kancing kemeja bagian atas lepas dua buah.
Kuroki: mata lebam, ujung bibir berdarah, pipi memar.
Toganou: hidung berdarah, pipi memar, lengan kemeja sobek.
"Astaga," Hana terkesiap melihat pemandangan itu, "apa yang sudah terjadi pada kalian?"
[bersambung...]
Yosh! Itu tadi chap pembukanya!
Side-story ini bakal multichapter lho... tapi itu juga kalau kalian suka. Jadi... review ya! Apakah cerita ini boleh dilanjutkan atau tidak, kritik dan saran kalian akan jadi penyemangat buatku!
Baiklah, dalam rangka SNMPTN, saya, Masato, dan chopiezu meminta doa dan dukungan kalian supaya kami bisa melaksanakan ujian dengan baik, lancar, dan bisa lulus terus diterima di jurusan dan universitas yang kami inginkan. Aku, chopiezu, dan Masato sama-sama ingin masuk ke Universitas Airlangga Surabaya. Aku memilih fakultas komunikasi, Masato fakultas ilmu politik, sedangkan chopiezu fakultas kedokteran. Doakan kami ya! Terima kasih banyak!
Terima kasih sudah membaca, maaf kalau ada kesalahan. Review, ya...
Akhir kata, sampai ketemu secepatnya! xD
