akasia
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
kami tidak mengambil keuntungan materiil apa pun dari menulis fanfiksi ini.
"Aku mencintaimu," katanya.
Untuk siapa?
one day
Hari itu, diri dan tubuhnya seakan terpisah; sementara pandangannya naik, setinggi merpati-merpati putih yang merajai angkasa; ia melihat semuanya lewat mata mereka.
Satu-satunya waktu ketika halaman istana dibuka untuk umum, dan dari tempatnya ia memerhatikan titik-titik warna—kerumunan—membanjiri pekarangan beserta riuh rendah. Ia menelengkan kepala, menyandarkannya ke bingkai jendela, berusaha memisahkan suara-suara yang menembus kaca. Ada lonceng yang berdentingan, menelusup ke telinganya. Biasanya, keramaian seperti itu bukanlah hal yang disukainya, tetapi nada dan iringan musik yang membahana itu membunyikan suka, melingkupi rakyatnya yang bersorak-sorai penuh tawa.
Tentu saja mereka tertawa, ia membatin, tentu saja mereka tertawa karena hari itu, adalah awal dari kehidupan mereka yang penuh kedamaian. Tentu saja mereka menampilkan wajah bahagia karena dimulai hari itu, mereka akan berhenti berperang dengan kerajaan tetangga. Tidak ada perang, maka tidak ada prajurit yang harus dikirim, tidak ada ayah atau anak lelaki yang harus berpisah dengan keluarganya, tidak ada istri serta anak-anak atau ibu yang akan kehilangan. Tidak ada pajak tinggi yang harus diambil untuk terus membiayai militer. Tidak ada kecemasan; penduduk pesisir dapat makan malam dengan tenang tanpa khawatir peluru meriam dari kapal musuh di lautan menembus atap rumah mereka dan membentuk neraka. Tentu saja mereka senang. Dan itu juga membuatnya senang.
Karena kebahagiaan rakyatnya adalah kebahagiaan dirinya.
Confetti disebar dan makanan ringan dijajakan—seluruh negeri bersuka ria merayakan upacara pernikahan sang raja—dirinya—dan sang putri dari negeri seberang. Arak-arakan melintas dan untuk kesekian kalinya, penuh dengan hiasan bunga akasia kuning yang menjadi simbol nasional; mereka bersorak, memenuhi gendang telinga, mengelu-elukan raja kesayangan mereka.
"Seijuurou-kun."
Ia membalikkan badan, tatapannya bertemu dengan sesosok mungil bergaun biru muda yang mengembang dengan sempurna di sekeliling pinggangnya. Gadis itu melangkah, ada tuk-tuk-tuk pelan tercipta dari sepatunya yang bertemu ubin, ia tiba di hadapannya dan membungkuk, begitu anggun, begitu tanpa cela. Senyum tipis menghiasi bibirnya yang bersemu merah muda bahkan jika tanpa polesan.
"Tetsuna." Untuk suatu alasan yang tidak ia ketahui pasti, senyum menghampiri bibirnya sendiri saat ia mengucapkan nama gadis itu—ah, bukan sekadar gadis itu, tapi gadis yang sekarang telah menjadi permaisurinya. Sesi upacara tepat selesai saat lonceng berdentang beberapa saat lalu dan mereka tengah bersiap untuk menghadiri perayaan; sebuah pesta seluruh negeri, untuk mereka berdua, untuk rakyat mereka.
Ia mengulurkan tangan. "Apa kamu siap?"
Senyum itu masih berada di sana. Mata mereka bertemu, dan Seijuurou untuk yang kesekian kali mengatakan pada dirinya sendiri kalau ia menyukai mata Tetsuna; bundar, besar, dan biru terang, seperti langit cerah yang luas tanpa awan di musim panas.
Tangannya yang berbalut sarung tangan menyambut. "Aku akan selalu siap untuk Seijuurou-kun."
Sang raja mengangguk pada pelayan yang berjaga di sisi kanan dan kiri pintu balkon, mereka membukanya secara bersamaan dan suara dunia mengembus semakin keras ke dalam pendengarannya.
Ketika ia melangkah keluar, sekali lagi ia menjadi burung-burung putih yang berterbangan, seakan ia sedang menatap dirinya sendiri—sang raja, ketika ia melangkah bersama sang ratu ke balkon istana.
Tangan keduanya bertautan; sang raja yang tampan dan gagah dengan baju resmi yang didominasi warna merah—sederhana, namun mewah—bersama sang ratu yang rambut panjangnya digelung dan dihiasi tiara perak serta kerudung transparan yang telah tersibak, menggantung hingga punggungnya. Pakaian mereka kontras—merah dan biru—namun pantas dan melebur dalam ungu. Keduanya tersenyum tipis, penuh terima kasih dan limpahan kebahagiaan, di bawah cerahnya langit yang seolah ikut merayakan pesta pernikahan mereka yang meriah.
Seijuurou menarik napas dalam-dalam, menoleh ke segala arah dan merasakan kebahagiaan; dari dirinya yang dielukan, dari jemari mereka yang bertautan, dari suara rakyat yang menggema dalam sorakan, dari pancaran mata mereka yang jumlahnya ribuan.
Dia menatap pengantinnya dengan senyum dan sang pengantin membalas senyumnya. Benar, gadisnya sungguh rupawan saat wajahnya tertimpa sinar matahari—berkilauan, dan untuk saat ini, dunianya benar-benar tersedot sepenuhnya. Untuk permaisurinya. Lewat senyumannya.
Ia baru mengenal Tetsuna selama beberapa bulan, bertemu pun hanya waktu-waktu tertentu dan tidak banyak menit yang telah mereka habiskan bersama. Klasik sekali, memang, jika mengingat pertemuan mereka sebenarnya diawali oleh usaha untuk mendamaikan kedua kerajaan yang selama ini bermusuhan. Raja yang sebelumnya, ayah Seijuurou, selalu mengajarkannya untuk memisahkan antara tugas sebagai pemimpin dan kepentingan rakyat dengan perasaan pribadinya, kecuali satu: tentang pasangannya kelak. Ia pernah berkata kalaupun nanti ratunya adalah seseorang yang dipilihkan demi kepentingan kerajaan, maka cintai juga gadis itu dan perlakukan ia dengan sebaik-baiknya.
Dan Seijuurou telah belajar untuk menyayangi Tetsuna, sementara gadis itu sendiri bukanlah seseorang yang sulit untuk dicintai. Selalu halus dan anggun, pengagum karya-karya klasik (mereka tidak pernah kehabisan topik, dan dari sini Seijuurou tahu kalau Tetsuna berpendidikan baik, sangat baik), misterius dengan caranya tersendiri, dan agak keras kepala—tapi itu bukan masalah, ia menyukai Tetsuna apa adanya; Seijuurou selalu menyukai seseorang apa adanya, meski tidak semua yang berada dalam diri orang itu manis, sukai pahitnya dengan jujur atau tidak sama sekali. Ia tidak suka berpura-pura.
Genggaman tangan mereka bertambah erat.
Pandangan mereka teralih kembali menuju khalayak, menebar senyuman, lebih dan lebih lagi (dan di pikirannya terbersit untuk mengundang semua rakyatnya berpesta di istananya setelah ini—sedikit melanggar peraturan dan tradisi bukan masalah besar, bukan?), lalu benaknya terasa melayang kembali. Bebas, lepas.
Hari itu, belum terpikir olehnya, kalau suatu saat ia akan berhenti, dan terpaku.
Hari itu, tidak pernah terbayang olehnya kalau burung-burung merpati putih yang terbang bersama pandangannya akan mendarat (dan terkunci) di satu titik.
(Satu titik yang salah.)
one day (and another)
Di hari lain, sang raja bertemu dengannya. Ternyata suatu saat itu belum tentu berarti waktu yang lama.
Sebelumnya, sosok itu selalu berdiri di bawah bayang-bayang. Memerhatikan mereka (atau dirinya) tanpa senyuman. Tanpa aura kebahagiaan.
Sang raja ingin tahu mengapa.
Orang itu mengenakan kacamata, membuatnya tampak seperti berasal dari kalangan terpelajar—dan pemikirannya benarlah adanya ketika mereka kemudian berbicara, bertukar isi kepala—dan mata sang raja cukup tajam untuk melihat apa yang ada di balik lensanya yang pada waktu itu remuk sebelah. (Sayang sekali hatinya juga cukup, cukup—sangat—lemah untuk langsung terkagum pada warnanya.)
Hijau gelap. Serupa emerald. Berkilauan.
Mengapa—
Indah sekali.
(Ah, rupanya ia bukan mendarat di titik itu, ia hanya jatuh.)
"Kamu begitu indah," katanya, di sela malam mereka.
Dia terdiam.
"Aku mencintaimu," lanjutnya.
Untuk siapa, ingin dirinya berteriak, sekencang-kencangnya, untuk siapa kamu berkata?
Bulir air mata jatuh.
"Aku juga."
a/n: halo halo, alitheia di sini 'w' saya balik lagi dengan multichapter yang genrenya sangat... menantang ini :') (sayagabisadramaohokohoks) tapi ide yang ditanamkan tictockingclock dalam kepala saya itu terlalu menggoda buat ga ditulis jadi kami pun collab, dengan pairing maso yang jalan ceritanya juga ga jauh-jauh dari maso /kamu anyway, semoga bisa dinikmati dan semoga kita bertemu lagi di chapter depan /o
