Disclaimer : Bleach belongs to Kubo Tite.
Overture : Bleach opening 12 – Change (Miwa)
Warning : Tulisan dalam italic adalah flashback story.
Change.
by VikaKyura
Ulquiorra Schiffer – Orihime Inoue
Mereka hanyalah dua anak yatim piatu yang dijual pada rumah hiburan itu sebagai budak, semenjak setahun lalu, sesaat setelah perang besar usai. Sebagai anak-anak terlantar korban perang yang tidak ada harganya, apa yang bisa mereka lakukan?
Chapter 1 – chance
I won't be yield and I won't be swept away, aku tidak akan menyerah, aku tidak akan terhanyut.
No matter how many times, tak peduli seberapa kali pun,
Embracing even my sadness, sambil merengkuh bahkan kepedihanku,
I'll run. Aku akan menjalaninya.
Ia baru pulang dari ladang ketika melihat gadis kecil itu tengah duduk sendirian di pojokan halaman rumah, sambil memeluk lututnya. Sungguh pemandangan yang tak biasa. Sosok mungilnya sengaja disembunyikan dibalik bayangan dedaunan pohon. Auranya suram. Energi positif yang biasa dipancarkannya memudar.
Sang bocah lelaki yang sedang memanggul cangkul di pundaknya itu datang menghampiri tanpa bersuara. Semakin mendekat, manik hijau gelapnya tetap menatap lekat sosok itu. Wajah si gadis sedang tertunduk dalam. Senyuman yang selalu terpatri di mulut kecilnya tampaknya menghilang.
Meski hanya untuk sesaat.
Menyadari kedatangan seseorang, si gadis mendongak perlahan. Iris kelabunya melebar. Sempat kaget dan kebingungan sejenak, ia cepat-cepat mengedipkan mata. Sambil menelengkan kepalanya ke samping, senyuman lemah kembali menghiasi bibir kecilnya.
"Ulqui-kun?" bisiknya, berusaha tidak terdengar lirih.
Ulquiorra tak menyahut. Hanya terus melirik penampilan berantakan si gadis. Menyadari luka lebam dan memar baru di tubuhnya telah bertambah. Rupanya, wanita-wanita binal penghuni rumah hiburan tempat mereka tinggal, lagi-lagi memukulinya.
Ulquiorra kembali menaikkan pandangannya pada wajah gadis itu. Meski sedang berusaha tidak terlihat muram, namun air mukanya kentara lelah.
"Baru pulang dari ladang?" gadis berambut pendek sewarna senja itu lanjut bertanya. Mata abu besarnya menatap penasaran, meskipun ia tidak sedang mengharap jawaban. Gadis kecil bernama Orihime itu sudah terbiasa diabaikan oleh anak lelaki bersifat dingin yang berusia tiga tahun lebih tua darinya tersebut.
Tetapi tak disangka oleh si gadis, untuk pertama kalinya Ulquiorra berkata padanya.
"Mereka menyudutkanmu lagi."
Orihime sempat melebarkan mata, terkejut, setelah hampir setahun penuh sejak mereka dipertemukan di rumah hiburan itu, akhirnya Ulquiorra mau berbicara padanya juga. Tak mau berlama-lama tercengang, senyum lembut si gadis berubah lirih saat ia berpaling ke samping. Hazelnya menatap nanar ilalang yang tumbuh liar di sebelah tempatnya duduk. Ia mengangguk pelan. Orihime tahu sudah terlambat untuk berkelit.
Ulquiorra tetap berdiri tegap di sana, hanya kepalanya yang masih tertunduk ke bawah.
"Suatu hari nanti, jika aku sudah punya uang... aku akan meninggalkan tempat ini." gumam Orihime, "Aku akan bekerja lebih keras." Lanjutnya, memecah keheningan yang sempat meliputi keduanya. Agak ragu apa ia sudah diperbolehkan untuk mencurahkan keinginannya, di kali pertama keduanya bercakap.
"Mereka tak akan pernah membayarmu." Ulquiorra mengatakan hal yang sudah jelas.
Orihime terdiam sejenak, sekali lagi ia mengangguk lemah. Arah tatapannya dikembalikan pada anak lelaki di hadapannya. Tetapi perlahan matanya kembali dipenuhi pengharapan. "Tapi kau tahu, masih ada Haineko onee-chan yang baik di sini."
Ulquorra hanya menatap datar. Kerap kali ia berhasil dibuat keheranan dengan sikap gadis kecil itu. Orihime sering sengaja disudutkan secara psikis, bahkan sesekali disiksa secara fisik, namun ia masih bisa terus bersikap riang dan selalu penuh harap seperti demikian. Ulquiorra merasa setengah dari dirinya merasa jengkel dengan sifat positif gadis itu, namun setengah dirinya yang lain selalu dibuat takjub.
Gadis kecil berusia delapan tahun itu kadang bisa bersikap jauh lebih dewasa dari pada wanita-wanita dewasa di sana. Mungkin itu yang membuatnya berinisiasi menghampiri Orihime sekarang. Setelah sekian lama menjaga jarak dari semua orang -bahkan dari gadis itu- dengan pikiran ia tidak butuh menjalin hubungan apa pun dan berteman dengan siapa pun di tempat ini, setelah hanya memperhatikan Orihime dari kejauhan, akhirnya Ulquiorra merasa gerah juga dengan kesabaran dan kebaikan yang terus ditunjukkan gadis itu.
Orihime masih terus bicara. "Dia sesekali memberiku uang tips setelah aku membantu merapikan kimononya. Jika kukumpulkan—"
"Kau mungkin sudah mati bahkan sebelum itu bisa terjadi." Potong Ulquiorra.
Wajah Orihime kembali muram. "Jangan berkata seperti itu." Si gadis mulai menepuk kedua belah pipinya, menarik napas dalam seraya bangkit berdiri. "Selain berharap, apalagi yang bisa kita lakukan...?"
Ulquiorra menyaksikan gadis kecil itu mulai membenahi penampilannya, menarik lengan pakaiannya untuk menutupi luka memar di sana.
"Apa kau haus? Aku akan menyiapkan minuman." Orihime tersenyum sekali lagi, sebelum mulai melangkah pergi.
.
.
Rembulan bersinar lebih redup dari biasanya di malam itu.
Ulquiorra tengah mengangkut setumpuk batang kayu bakar di pundaknya, hendak menyimpannya ke gudang, saat mendengar suara gedebuk pelan berasal dari belakang bangunan tersebut.
Mendengar suara kekehan tawa wanita-wanita yang sayup-sayup dapat ia kenali, bocah itu segera menjatuhkan muatannya dan berjalan memutari sisi gudang. Firasatnya memburuk.
Benar saja.
Emeraldnya melebar kala melihat dua orang wanita penghibur, Loly dan Menoly, tengah asik menjambaki rambut auburn seorang gadis kecil yang sedang tersungkur di bawah kaki mereka. Menyaksikan langsung pembulian tersebut, ia mendapati tangan mungil Orihime sedang membekap kuat mulutnya sendiri, berusaha menghalangi pekikannya agar tidak lolos dari sana. Mata abunya terpejam erat.
Seketika panas terasa menjalari Ulquiorra. Ia menggeram dan berlari menubruk tubuh kedua wanita itu, menghentikan aksi mereka, menyingkirkan keduanya untuk menjauh dari tempat Orihime.
Menoly memekik, sementara Loly langsung memutar balik tubuhnya, menatap marah pada anak lelaki yang kini sedang berdiri menghalangi tempat mereka, memberi jarak keduanya pada gadis kecil yang sedang mereka siksa.
Menoly segera membentak. "Apa yang kau—"
"Sampah." Komentar Ulquiorra singkat sambil mata membidik tajam keduanya.
Wanita-wanita itu mengernyit.
Sementara Orihime mendongak. Matanya membulat lebar ketika mendapati Ulquiorra tengah berdiri memunggunginya.
"Apa?!" Loly langsung membelalak. Ia melangkah maju, mengangkat satu tangan, lalu mengibaskannya cepat ke depan.
PLAK.
Tamparan keras mendarat di sebelah pipi Ulquiorra. Membuat kepalanya menengok sekaligus ke arah samping.
"Kurang ajar kau!" geram Loly.
"Heh. Rasakan itu." cemooh Menoly. "Anak kecil berlaga jadi pahlawan, huh?"
Keduanya tertawa.
Ulquiorra kembali meluruskan kepalanya, dan mendongak. Ekspresinya datar. "Akan kuadukan ini pada owner." Ancamnya.
Alis Loly dan Menoly berdenyut. "Beraninya—"
Mereka berhenti, berjengit serentak ketika mendapati kilatan membunuh dari tatapan sangat dingin yang dilempar oleh anak lelaki beriris hijau itu.
"Uh," Tubuh keduanya seakan mendadak kaku. Anak ini berbahaya, pikir mereka.
"Cih." Loly yang pertama kalinya memutar tubuh. "Ayo pergi, Menoly." Ajaknya kesal.
Menoly melempar delikan tidak suka untuk terakhir kali, sebelum ikut mengekori saudarinya.
Ulquiorra tetap melempar tatapan tajam sampai sosok mereka menghilang di belokan.
Akhirnya ia berbalik badan. Dilihatnya gadis kecil itu masih terduduk di lututnya, dengan wajah tercengang. Barangkali tak pernah membayangkan atau pun menyangka seorang Ulquiorra akan datang menyelamatkannya.
Ulquiorra sedikit membungkuk dan meraih satu lengan gadis itu, menarik tubuhnya untuk berdiri.
"T-terima kasih." Akhirnya Orihime bisa berucap pelan. Tenggorokannya masih perih akibat terus menahan jeritan.
Ulquiorra menatapnya dalam diam. Bukannya mengaduh, gadis itu hanya tersenyum ringkih. Meski kini ia tidak perlu berusaha tampil ceria seperti biasanya. Barangkali, Orihime sudah tidak punya tenaga lagi. Tapi gadis kecil itu tetap tak menitikkan air mata. Padahal Ulquiorra tahu, bahwa Orihime selalu diam-diam menangis jika dirinya sedang berada sendirian. Meratapi nasibnya yang tak pernah ia suarakan.
Memang, tak ada tempat bagi mereka mengadu, di sini.
Iris hijau memperhatikan rambut merah-jingga Orihime yang sedang berantakan. Gadis itu sama sekali bukan anak nakal, tidak pula senang berbuat ulah. Namun wajah manisnya dan warna oranye rambutnya yang tidak biasa, selalu membuatnya sering disudutkan tanpa alasan. Barangkali, para wanita dewasa di rumah hiburan itu hanya iri pada penampilan seorang gadis kecil yang mencolok seperti demikian.
Sama seperti dirinya yang sering diganggu atau pun diolok karena warna mata dan kulit putih pucatnya. Wajah manis alami dengan auburn terang dan emerald gelap dipadu kulit putih pucat bukanlah warna yang dapat ditemukan secara mudah di sini. Beruntung bagi Ulquiorra, selain lebih dewasa dari segi umur, ia memiliki sifat yang membuat dirinya tidak mudah disudutkan. Bahkan orang-orang lebih memilih menjauh karena sikapnya yang sering dibilang sama sekali tidak ramah dengan tutur kata dingin.
Meski sekali-kali ia masih dijadikan sebagai sasaran amarah orang-orang yang tersinggung dengan sikap blak-blakannya. Di saat itu-lah Orihime kecil selalu datang membalut luka-lukanya. Hanya itu interaksi yang mereka punya, sedari dulu. Tetapi walau kerap kali diabaikan, gadis kecil itu selalu bisa tersenyum padanya dengan polosnya.
"Ulqui-kun?"
Panggilan itu membuat Ulquiorra berkedip. Dipandangnya lagi gadis kecil yang kini sedang memasang raut resah.
"Ah, bagaimana ini..." Orihime menempatkan satu tangannya di mulut, seakan baru menyadari sesuatu. "Jika Ulqui-kun sampai ikut dilukai hanya karena membantuku—"
"Ck." Ulquiorra mendecak. Selalu mementingkan orang lain sebelum dirinya sendiri. Gadis di depannya sontak diam saat nada bicaranya meninggi. "Kenapa kau tidak minta bantuan?"
Ulquiorra tahu Orihime sering dijahili, namun tidak sampai separah belakangan ini. Tetapi gadis itu selalu bersikap seolah ia tidak mempunyai masalah dan tak pernah mengadukan apa pun. Barangkali, sikapnya itu yang membuat wanita-wanita sampah yang iri padanya semakin senang mengoloknya sampai pada serangan fisik. Meski Orihime selalu berkilah bahwa luka-luka itu hanya akibat dari kecerobohannya.
Si gadis kecil tak menjawab, namun riak air mulai menggenangi mata bulat besarnya.
Minta tolong pada siapa? Kalimat itu seolah tertahan di ujung bibir sang gadis kecil.
Kalimat yang sama yang kembali menampar benak Ulquiorra. Benar. Tak ada yang benar-benar bisa dimintai tolong di sini. Padanya? Tentu saja itu akan sama percumanya.
Mereka hanyalah dua anak yatim piatu yang dijual pada rumah hiburan itu sebagai budak, semenjak setahun lalu, sesaat setelah perang besar usai. Sebagai anak-anak terlantar korban perang yang tidak ada harganya. Tak ada yang bisa dilakukan anak kecil tanpa kekuatan dan tanpa perlindungan seperti mereka selain menuruti apa yang diperintahkan orang yang memberi makan.
Melihat kebingungan muncul di wajah Ulquiorra, Orihime menggeleng cepat.
"Tak apa. Sakitnya hanya perlu kuabaikan agar tidak terlalu terasa." Ujar gadis itu.
Emerald Ulquiorra masih menusuk tajam hazel Orihime. "Sampai kapan?"
Sampai kapan akan ditahan? Pasti yang sakit bukan hanya tubuh mungil itu.
Gelengan si gadis melemah. Ia tidak tahu jawaban atas pertanyaan itu. "Tidak apa." Ulangnya. Lalu ia tersenyum ringkih, meski netra abunya masih tampak basah. "Aku hanya perlu terus tersenyum di depan mereka." Ungkapnya polos. "Setelah cukup dewasa, aku pasti bisa pergi dari tempat ini."
"Kau akan berakhir dijadikan wanita penghibur seperti mereka jika tinggal lebih lama."
Pernyataan Ulquiorra membuat mata Orihime melebar disertai pekikan.
Entah apa yang dipahami gadis berusia delapan tahun itu mengenai tempat ini dan profesi yang dijalani di sini, pastinya Orihime masih menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang buruk, dan ia tidak mau sampai menimpanya.
Gadis itu hanya tergagap sambil menelan ludah. Meski suaranya tak keluar lagi. Akhirnya air di sudut matanya menetes. Barangkali, dalam kepositifan pikirannya, ia pun tetap tidak bisa menemukan jalan keluar.
Ulquiorra menarik napas singkat.
Orihime melonjak saat merasakan bocah lelaki berusia sebelas tahun itu kembali meraih tangannya, dan menariknya pergi.
"Obati lukamu." Ujarnya.
Mendengar itu, Orihime melanjutkan isakannya yang entah kenapa terasa sulit dihentikan.
.
.
Wanita muda berambut merah gelap pendek langsung terkesiap ketika menyingkap yukata lusuh yang sedang dikenakan gadis kecil di depannya. Apa yang dilihatnya sekarang lebih mencengangkan dibanding saat ia pertama kali mendapati Orihime datang padanya sambil menangis dengan wajah dipenuhi memar.
Luka lebam yang lebih dalam.
"Apa yang terjadi?" jade pudarnya menatap bingung ke arah Orihime. Ketika tak ada jawaban dari gadis di hadapannya, ia menoleh ke arah anak lelaki di sampingnya, namun hanya mendapat hasil yang sama.
Dengan panik Haineko segera mencari kotak obat, tak perlu menghabiskan waktu lagi untuk menginterogasi, alih-alih memilih segera memberikan fokusnya untuk mengobati luka Orihime.
Tak ada yang bicara lagi. Hanya terdengar suara rintihan pelan gadis itu saat lengannya dibersihkan.
Dari tempatnya, Ulquiorra hanya diam memperhatikan.
Ini pertama kalinya ia memasuki ruangan seorang geisha, dan bertemu langsung dengannya secara privasi. Ia tidak pernah mengizinkan dirinya mempercayai siapa pun semenjak datang ke tempat ini, namun mereka tidak punya pilihan lain. Nampaknya, wanita berkulit tan di depannya bisa sedikit dipercaya.
Haineko mendesah dalam sambil merangkum mukanya ketika luka Orihime telah selesai dibalut perban. "Aku tahu ini akan terjadi." Ia mendesah dalam, membuat Ulquiorra mengalihkan tatapannya dari sosok Orihime di sebrang sana pada wanita itu.
"Tapi aku tidak menyangka akan secepat ini." lanjut si wanita.
Ulquiorra menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"
Itu adalah pertama kalinya ia bicara semenjak memasuki ruangan tersebut.
Bukannya mengacuhkan anak lelaki itu, Haineko semakin memberikan perhatiannya pada Orihime yang sedang mengembalikan kotak obat pada lemari di sudut lain ruangan.
"Lihatlah gadis itu." ucap sang geisha. "Dengan paras demikian, semua orang bisa melihat dia akan tumbuh menjadi wanita yang menawan dan memikat, hanya dalam selang beberapa tahun saja. Para wanita yang merasa posisinya di sini terancam, tentu akan bergerak cepat..." Ia kembali menghela napas. Kali ini menoleh pada Ulquiorra yang satu alis hitamnya sedang terangkat.
".. untuk menyingkirkannya sebelum semua terlambat." Lanjut Haineko. Ia melirik singkat Orihime yang telah selesai menyimpan kotak obat ke dalam lemari. "Pergilah." Bisiknya pelan.
Ulquiorra merengut dalam. "Apa—"
"Keberadaanmu sama buruknya. Tak akan ada masa depan untuk kalian di tempat seperti ini." Potong wanita itu.
Sebelum Ulquiorra kembali berucap, Haineko telah memutar tubuhnya dengan cepat ke arah sebuah nakas. Diambilnya sesuatu dari dalam sana.
"Hanya sedikit yang bisa kuberikan." Ucap Haineko sama cepatnya, membuat bocah di depannya semakin kebingungan ketika ia diserahi sebuah bungkusan kecil dan dua benda lain. "Setidaknya ini bisa membawamu keluar dari ibu kota."
Ulquiorra menunduk, melihat kantong yang ia yakin isinya adalah sejumlah uang logam, selembar kertas usang, dan sebuah lampu minyak kecil.
"Pergi sejauh mungkin." Sepasang jade pudar itu menatap lekat emerald gelap yang sedang membulat lebar di hadapannya. "Sekarang juga."
Ulquiorra paham apa yang sedang mereka bicarakan, atau pun maksud wanita geisha itu. Ia ingin sekali pergi dari sana, sejak dulu. Namun apa daya. Tanpa kekuatan, perlindungan atau sepeser pun uang, apa yang bisa dilakukan anak kecil seperti dirinya?
Saat kini ia diberi kesempatan...
Keduanya melonjak ketika melihat Orihime telah kembali menghampiri mereka.
Haineko segera beranjak berdiri dan memeluk singkat gadis mungil itu, yang hazelnya sedang melempar tanya. Namun sang wanita malah menoleh pada Ulquiorra, kembali berucap padanya.
"Cepat."
Ulquiorra menggigit bibirnya selagi kedua tangan mengeratkan genggamannya atas barang-barang yang sebelumnya ia peroleh.
Dengan tergesa ia ikut bangkit dan segera menyambar lengan gadis kecil di depannya.
Tak mau membuang-buang waktu lagi.
.
.
"U-Ulqui-kun?" Orihime bertanya dengan suara bergetar. "Apa yang sedang kita—"
"Ssh." Ulquiorra menimpali singkat. Fokusnya sedang ditempatkan pada jalanan tanah yang sedang mereka lalui. Satu tangannya terangkat memegang lampu minyak, tangannya yang lain masih menarik lengan gadis itu.
Orihime hanya bisa menggigit bibirnya ketakutan. Masih tak mengerti mengapa ia dibawa melewati jalanan setapak sepanjang ladang sayuran yang terletak jauh di belakang rumah hiburan. Sementara Ulquiorra kecil tengah sibuk berpikir. Rumah hiburan terletak di pinggiran ibu kota. Ada sebuah desa beberapa mil di depan setelah mereka melewati kebun dan hutan. Tak apa, semua aman. Ia sudah hapal sekali rute tempat ini. Jika Langkah-langkah kecil yang dibawa kaki mungil mereka bisa mengantarkan keduanya sampai ke sana sebelum fajar, maka hilangnya dua budak itu tak akan segera ketahuan. Setelah sampai di desa, mereka hanya tinggal mencari cara untuk pergi ke perbatasan.
Dan meninggalkan kota itu selamanya.
Ulquiorra mengerjap saat merasakan tarikan kuat di pakaiannya.
Ia menoleh. Dalam keremangan, dilihatnya ketegangan sedang meliputi wajah manis Orihime. Tangannya gemetaran.
"Apa kita akan baik-baik saja?" lontar gadis kecil itu, suaranya mendekati bisikan.
Ulquiorra yakin Orihime pun akhirnya paham dengan apa yang sedang mereka coba lakukan.
Bocah lelaki itu kembali meluruskan kepalanya ke depan. Genggaman tangannya dieratkan. Lalu ia mengangguk singkat.
"Kita akan menjalaninya, entah bagaimana."
/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/
"Hihihi."
Suara kekehan tawa itu terdengar berasal dari dalam pondok.
Ulquiorra sempat menaikan alis, sebelum mulai membuka pintu dan melongok ke dalam. Dilihatnya sesosok gadis berambut merah-jingga panjang sedang duduk santai di bangku meja makan.
"Onna,"
Suara dalam nan maskulin tersebut membuat dagu Orihime terjatuh dari topangan tangannya saat tubuhnya melonjak singkat.
Perempuan muda berparas ayu itu lantas mendongak, menyunggingkan senyum kaku. Sementara lelaki di hadapannya tetap berwajah datar, sudah terbiasa dengan perilaku konyol gadis yang tinggal satu atap dengannya itu.
"Apa yang kau lakukan, sudah melamun di sepagi ini." Ucapan tersebut lebih merujuk pada sindiran ketus si lelaki.
Orihime hanya mengelus kepala belakangnya dengan agak canggung. Mulutnya menyeringai malu. "Um, aku hanya sedang berpikir betapa asiknya jika kau punya empat tangan dengan empat kapak di masing-masingnya sehingga pekerjaan memotong kayu bakar akan menjadi lebih cepat—"
Gadis itu memelankan perkataannya ketika menyadari delikan tidak suka Ulquiorra yang jelas tidak setuju tubuhnya sembarangan dijadikan sebagai objek fantasinya.
"—dan mudah dilakukan." Orihime menggigit bibir bawahnya, menyadari tatapan yang dilempar lelaki itu semakin intens saja. "Oh, well, aku hanya berpikir— ehem, sedang mencoba menghabiskan waktu selama menunggumu selesai." Ralatnya.
Ulquiorra tidak memberi respon lebih jauh, seperti biasa. Orihime mengedikkan singkat bahunya. Sambil melihat Ulquiorra mulai duduk di sebrang tempatnya, si gadis ikut mendudukan diri.
Orihime mulai menuangkan air ke dalam gelas mereka, lalu mendorong satu gelas ke arah si lelaki, selagi ia bertanya. "Kau lebih memilih untuk makan, atau mandi dulu?"
"Makan." Jawab Ulquiorra singkat. Ia tahu sedari tadi gadis itu terus memandang ke arah makanan mereka dengan tatapan mata yang berbinar-binar.
Orihime tersenyum senang. "Oke."
Lantas mereka mulai menyantap sarapan di pagi itu, dalam kenyamanan.
-TBC-
