Summary - Daun memungut seekor kucing tapi ia takut Halilintar marah dan membuang kucing itu. Maka ia pun menyembunyikannya, sayangnya kejadiannya malah lebih kacau. Fluff, elemental siblings. #BBBThankYouNext

.

.

BoBoiBoy milik Animonsta Studios

Tak ada keuntungan materi yang saya ambil dari sini

.

.

Daun melihatnya saat ia berjalan pulang dari sekolah sore-sore.

Kucing itu tubuhnya kotor dan kurus, terdapat banyak kudis di kepala dan telinganya. Anak kucing malang itu tengah menatap kearah orang-orang yang makan di restoran dengan pandangan meminta, suaranya mengeong pelan. Daun jadi kasihan melihatnya, ia membayangkan dirinya jika ia dalam posisi anak kucing kelaparan itu, tidak dihiraukan saat meminta makanan.

Daun lalu memasuki restoran dan membeli sepotong ikan laut untuk dibawa pulang. Pesanannya dibungkus dan Daun lalu membawa kucing kecil itu dari sana, membuat lega orang-orang yang merasa makan mereka terganggu. Daun menggendong anak kucing itu dan kemudian menaruhnya di dekat teras restoran itu. Si anak bertopi hijau segera membongkar ikannya dan memberikannya pada si anak kucing, setelah Daun singkirkan tulangnya takut kucing itu tersedak. Anak kucing itu lalu makan dengan rakus, Daun menungguinya sambil membelai badan hewan kecil itu.

"Dah makan pelan-pelan aku masih ada ikannya kok," ujarnya.

Selesai anak kucing itu makan, hewan itu lalu mengusap wajah dan mulutnya dengan tangannya. Daun lalu berpikir.

"Kasihan sekali kalau kutinggal disini saja," gumam Daun. "Kau ikut aku saja ya?" tawar Daun kepada kucing itu. Kucing itu hanya mengeong pelan mengira Daun akan memberikan makanan lagi. Ia lalu menggesek-gesekkan tubuhnya pada celana Daun, Daun semakin mantap ingin mengadopsi kucing ini.

"Oke, ayo kita pulang sama-sama!" seru Daun lalu menggendong kucing kecil itu, menuju jalan pulang.

Meski Daun tidak secerdas orang kebanyakan, ia senang berbuat kebaikan tanpa takut direpotkan.

.

.

.

Daun adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kakak tertua, Halilintar, tengah kuliah di bagian nuklir. Gempa, dua tahun lebih muda, duduk di kelas 11 IPA. Yang terakhir ada kembar Daun dan Solar, mereka baru saja naik kelas 2 SMP. Daun sendiri diantara saudaranya adalah yang paling polos dan peduli terhadap sesama, termasuk hewan dan tumbuhan. Dibalik pembawaannya yang ceria dan agak bodoh, hatinya sangat mudah merasa kasihan dan sangat mudah membantu―karena itu ia sering dimanfaatkan oleh teman-temannya. Gempa selalu dituduh terlalu memanjakan Daun, tapi sebenarnya Daun itu hanya membangkitkan insting protektif Gempa saja karena sifatnya yang terlalu polos dan baik hati itu.

Mereka berempat tinggal di sebuah rumah besar bersama sepupu-sepupu mereka―Taufan, yang duduk di bangku kuliah dan seusia Halilintar tapi Taufan ambil jurusan penyiaran, serta kembar Blaze dan Ice yang duduk di kelas 1 SMA. Orang tua mereka menyuruh mereka hidup mandiri dan mengurus diri mereka sendiri, karenanya mereka tinggal di rumah itu layaknya asrama.

Karena yang paling bertanggung jawab, maka Gempa yang berfungsi mengatur segala tugas rumah tangga dan Halilintar yang bertugas sebagai "satpam" agar semua adik-adiknya menjalankan peraturan yang di berikan Gempa. Masing-masing dapat tugas piket tanpa terkecuali. Kalau ada yang melanggar, biasanya Halilintar akan lakukan:

1. Banting ke lantai (kasus Taufan dan Blaze)

2. Diguyur (kasus Ice)

3. Ditabok pakai baskom sayur (kasus Solar―yang mana akhirnya meledak pertengkaran Halilintar vs Solar, melibatkan kursi, meja dan piring-piring dilempar bak shuriken)

4. Tak boleh mengerjakan hobi (kasus Daun―karena asyik berkebun Daun lupa mematikan air sampai banjir kamar mandi itu, akhirnya Halilintar melarang Daun memegang tanaman selama 3 hari)

Maka dari itu tak heran jika Daun takut Halilintar marah saat tahu Daun memungut kucing. Habislah ia nanti. Bagaimana kalau Halilintar membanting Daun ke lantai dengan teknik bela dirinya? Atau menampar Daun pakai baskom sayur seperti Solar? Atau membuang semua koleksi bunga anggreknya? Daun meneguk ludah dalam ketakutan. Dilemanya, Daun tak tega dengan kucing ini. Maka Daun pun nekat meski bantingan Halilintar menanti.

Sesampainya di rumah, Daun berdiri di depan pagar. Ia mengintip dari balik semak-semak.

Ia ingat kalau hari ini Halilintar tak ada kegiatan klub silat dan Gempa tidak ada kegiatan ROHIS. Blaze, Taufan dan Solar masih belum pulang. Ice pasti sedang mendengarkan musik di kamarnya, mengurung diri. Daun harus memikirkan cara agar ia bisa lolos masuk ke dalam rumah tanpa ketahuan kakak-kakaknya ia membawa kucing dekil ini.

Daun lalu memandang anak kucing dalam gendongannya. Anak kucing itu tampak senang.

"Aku masukkan kau ke tasku ya, tapi jangan ribut, oke?" bisik Daun sambil membuka ranselnya. Dengan hati-hati Daun memasukkan anak kucing itu ke dalam tas lalu ia tutup resletingnya. Daun memberikan sedikit lubang udara agar hewan itu bisa bernafas.

Daun mengambil nafas dalam-dalam, dan membuka pagar halaman. Saat membuka pintu, ia mengucapkan salam.

"Assalamualaikum, Daun pulang!"

"Wa'alaikumsalam," balas Gempa dan Halilintar dari dalam. Daun lalu masuk dan melewati ruang tengah. Di sana ada Halilintar sedang membaca majalah olahraga. Daun menghampiri kakak tertuanya itu dan mencium tangan―salim istilahnya.

"Hai Kak Hali! Kak Hali sehat ya? Ehehehe sepertinya sehat-sehat saja! Umm, ehehehe Daun ke kamar, boleh ya?" tanya Daun sambil tertawa aneh. Halilintar menatap adiknya sambil mengerutkan alis.

"Daun, kau tak perlu izinku untuk memasuki kamarmu sendiri," tukas Halilintar dengan pandangan menyelidik. Daun hanya tertawa tidak enak.

"Ehehe benar juga kata Kak Halilintar, kalau begitu sampai nanti!" kata Daun seraya berlari secepat kilat ke arah tangga.

Halilintar menghela nafas melihat kelakuan Daun. Salah tingkah begitu adalah ciri khas Daun saat menyembunyikan sesuatu. Nanti Halilintar akan bicara dengan Gempa sebelum 'menginterogasi' Daun. Terakhir kali Halilintar melakukannya, Gempa marah sekali sambil berusaha menghentikan tangisan Daun. Katanya, Halilintar membentaknya padahal Halilintar tidak merasa melakukan itu. Hanya orang mau mati saja yang cari gara-gara dengan Daun, karena Gempa itu bisa galak sekali jika menyangkut Daun. Halilintar saja enggan menghadapi Gempa yang sedang dalam mode "induk ayam" karena masih sayang nyawa. Bisa-bisa tak ada sambal kerang kegemarannya lagi. Halilintar lebih suka ditendang di selangkangan daripada Gempa tak mau buatkan sambal kerang super pedas dan super sedap itu.

"Tadi ada suara Daun, dia sudah ke kamar?" tanya Gempa sambil membawa wadah sayuran. Hampir lepas jantung Halilintar adiknya tiba-tiba muncul.

"Dia sudah naik ke atas. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu, kau selidiki saja," kata Halilintar. Gempa mengusap dagunya.

"Nanti aku berbicara padanya."

"Sini biar kubantu menyiapkan makan malam, aku sedang tak ada tugas," kata Halilintar seraya berdiri dari sofa. Gempa hanya tersenyum sambil mengucapkan terimakasih.

Sementara itu Daun sedang sibuk membersihkan si kucing dengan tisu basah tak beraroma untuk bayi. Daun agak takut memandikannya, jadi ia pakai tisu basah saja. Habis itu Daun keringkan bulunya dengan tisu biasa.

Usai bersih semua, Daun mengobati sakit kulit di kepala dan telinga si kucing. Selesai itu, Daun beri si kucing kain bersih agar tidur di bawah ranjang. Kucing itu tampak mengantuk saat Daun mengelusnya, siap beristirahat. Tak lama kemudian, kucing itu tertidur pulas, Daun tersenyum senang. Saatnya ia ganti baju dan mandi.

"Daun?" panggil Gempa dari luar pintu. Daun kaget. Untung saja pintunya terkunci!

"Eh-eh, ada apa Kak Gem?" sahut Daun, gelagapan.

"Kau sudah mandi? Kalau sudah, turunlah ke bawah, kita bersiap makan malam," ajak Gempa dari luar. Dalam hati, Gempa merasa heran Daun tak membukakan pintu.

"A-aku mau mandi Kak! Se-sedang mengerjakan PR! Ehehe, nanti aku turun makan malam!"

"Baiklah, cepat ya. Keburu masih hangat," ujar Gempa sambil berlalu.

Memang benar kata Kak Hali, Daun menyembunyikan sesuatu, pikir Gempa.

Daun menghela nafas lega. Syukurlah. Ia langsung cepat-cepat membereskan tisu-tisu kotor ke tempat sampah dan keluar menuju kamar mandi lantai dua.

Daun cepat-cepat mandi dan bersalin baju, setelah itu ia shalat Maghrib dan turun ke bawah. Di meja makan, sudah lengkap keenam saudara-saudaranya. Taufan, Blaze dan Halilintar tengah ribut membicarakan pertandingan bola nanti―Gempa dan Ice tengah makan dengan kalem sambil mendengarkan. Solar asyik membaca buku sambil makan, Daun hanya tersenyum melihat kelakuan adik kembarnya. Ia kemudian menahan tangan Solar yang hampir menyuapkan nasi ke rambut.

Solar menoleh saat Daun menahan tangannya. Daun tertawa kecil.

"Nanti Kak Gempa marah lho makanannya disuapkan ke rambut."

Solar balas tersenyum, ia lalu menutup bukunya dan memberikannya ke Daun. Daun menaruhnya di rak tak jauh dari sana lalu ia kembali ke meja makan dan duduk rapi-rapi. Melihat adik kesayangannya sudah datang, Gempa langsung menyendokkan nasi ayam lalu memberikannya pada Daun sambil menggumam Daun harus makan banyak biar tak sakit. Daun mengucapkan terimakasih, berdoa dan mulai menyantap makanannya.

"Oooh kau tak ingat ya kalau mereka sudah ganti pelatih? Pelatih yang ini selalu berhasil membuat timnya menang!" kata Taufan ngotot dengan mulut penuh nasi ayam dan sayur. Halilintar menggeram kesal ke arah sepupunya itu.

"Kepala kau kotak, sudah 3 kali dia beri strategi yang salah di musim lalu, kau saja yang tak lihat pertandingannya karena asyik kencan," balas Halilintar. "Dasar playboy cap kripik."

"Iiih HaliHali iri tak ada yang suka karena mukanya masam terus!" gelak Taufan. Halilintar menggeram jengkel.

"Stop memanggilku dengan nama konyol itu."

"Kau sendiri Blaze kau pilih tim apa?" tanya Taufan ke arah adiknya, mengabaikan tatapan maut Halilintar. Blaze yang cuek sedang asyik mengunyah ayam goreng. Ia sudah bosan mendengarkan perdebatan Halilintar dan Taufan yang makin panas.

"Lihat sajalah nanti, aku tak dukung siapapun, yang penting permainannya seru," jawab Blaze. Jawabannya membuat Halilintar dan Taufan heran.

"Mana bisa, pasti kau ada dukung salah satu tim. Kau ikut tim aku saja, tim HaliHali payah," ujar Taufan. Halilintar panas.

"Apa kau bilang? Tim jagoan kau itu yang lemah sudah berapa pertandingan tak menang!"

"Daripada tim kau yang kebanyakan anggota buangan!"

"Anggota buangan apa! Itu transfer saja!"

"Halah, bahasa saja itu~"

"Kau mau taruhan heh?! Kalau tim aku menang, maka aku akan-"

"BRAKK!"

Gempa memukul meja. Seketika itu semua percakapan langsung senyap, terutama perdebatan Halilintar dan Taufan. Mereka semua menoleh ke arah Gempa dengan keringat dingin.

Tampak Gempa tengah tersenyum manis.

"Kak Hali mau tambah sambalnya?" tawar Gempa dengan nada riang. Halilintar menggeleng pelan. Gempa menoleh ke arah Taufan yang sudah pucat pasi.

"Bagaimana dengan Kak Taufan? Mau tambah ayamnya?" tawar Gempa lagi, nadanya ceria. Taufan semakin keringatan.

"Eeeeeh tak usah, aku sudah kenyang, ehehe," jawab Taufan, langsung fokus menghabiskan nasinya. Halilintar ikut fokus ke makanannya, khawatir Gempa makin marah dan mogok masak sambal kerang.

Solar dan Daun yang melihat kejadian itu hanya menahan tawa. Blaze mengacungkan jempol ke arah Taufan dan Halilintar, sambil memasang ekspresi meledek. Ice tak peduli apapun, ia hanya menambah satu piring lagi nasi ayamnya dan kembali makan dengan khusyuk. Nasi ayam buatan Gempa memang membuat siapapun lupa diet, terutama Ice yang sudah berjanji tak makan banyak-banyak.

Beberapa menit kemudian semua piring licin bersih, terutama piring Halilintar dan Taufan yang masih was-was karena kena murka Gempa tadi. Mereka semua serempak membawa piring-piring kotor ke tempat cuci sementara Gempa membersihkan meja.

"Nah, Daun," sapa Gempa, sudah kembali cerah-ceria. "Tolong ambilkan kotak es krim dalam kulkas ya? Kak Gem mau ambil cangkir es dulu di dapur."

"Baik Kak Gempa!" seru Daun, ia langsung melesat pergi menuju kulkas.

"Emm, GemGem, mau aku cucikan piringnya?" tawar Taufan sambil nyengir. Gempa balas tersenyum.

"Nanti saja, kita makan es krim dulu."

"HOREE!" jerit Blaze dan Taufan bersamaan sambil tos. Ice tampak senang juga meski tak bersorak.

"Tapi tak banyak-banyak," tambah Gempa, kalem. Taufan dan Blaze langsung ribut memohon-mohon jatah lebih, sementara Ice hanya memasang wajah memelas yang hampir membuat Gempa luluh. Hampir kok.

Tiba-tiba terdengar bunyi barang jatuh dari tingkat atas. Bersamaan dengan bunyi ribut itu, Daun datang membawa satu wadah besar es krim. Semuanya agak terkejut mendengar bunyi itu, terutama Halilintar (yang benci kejutan) dan Daun (yang ada "dosa" tersembunyi).

"Suara apa itu? Tikus sudah tak ada," gumam Gempa, heran.

"Pencuri ya?" tebak Taufan, senantiasa suka menciptakan kekhawatiran.

"Lebih baik di cek," usul Ice, agak kecewa makan es krimnya jadi tertunda.

"Aku saja! Nanti biar kuhajar pencuri itu!" kata Blaze dengan tawa maniak. Daun langsung gelagapan dan panik.

"Eeeeh jangan tak usah repot-repot! Daun cek saja ya biar kakak-kakak makan es krim oke? Hehehe," kata Daun, sambil tertawa canggung.

Halilintar melipat tangannya ke dada, matanya menyipit. Daun meneguk ludah.

"Kau kenapa daritadi sore sudah aneh?" tuding Halilintar.

"Kau menuduh Daun?" tanya Solar, dengan alis terangkat sedikit.

"Tidak, aku sedang menanyainya. Mungkin ia tahu sesuatu," cecar Halilintar, membuat Daun mengkerut ketakutan. Gempa melotot ke arah kakaknya.

"Daripada menuduh aneh-aneh, lebih baik di cek saja," ujar Gempa. Daun berusaha tidak memperlihatkan wajah panik namun Solar bisa menangkap ekspresi kembarannya tersebut. Ia segera mendahului Gempa menuju tangga.

"Biar aku saja. Kak Gempa amankan es krimnya keburu habis dimakan Taufan, Ice dan Blaze."

Gempa menoleh ke belakang dan benar saja tampak tiga makhluk dengan wajah belepotan es krim tengah asyik memakan manisan dingin itu dari tub-nya langsung. Gempa berseru kesal.

"Hei jangan dihabiskan, meletus perut kalian nanti! Kalian 'kan baru makan tadi, mau kena diabetes hah!"

Memanfaatkan kelengahan Gempa, Solar naik ke atas diiringi Daun yang hampir menangis karena cemas dan takut Solar menemukan anak kucingnya. Halilintar hendak mengikuti mereka berdua tapi ia lebih suka menontoni Taufan dimarahi Gempa karena memberi contoh buruk pada adik-adiknya.

Bagi Halilintar, ada kepuasan batin melihat si usil Taufan kena omel Gempa.

Sementara itu Solar dan Daun sudah naik ke tingkat atas. Daun semakin gugup, lututnya terasa lemas dan gemetaran. Bagaimana kalau Solar tahu dan melaporkan pada Gempa? Kalau Gempa tahu, Halilintar juga pasti tahu. Daun sebenarnya lebih takut anak kucingnya dibuang, kasihan. Ia sungguh tak tega.

Daun sedang asyik bergumul dengan pikirannya hingga baru sadar Solar sudah berhenti berjalan. Adik kembarnya itu menaruh tangan kirinya di pinggang.

"Apa yang kau sembunyikan?" tanya Solar. Daun meneguk ludah.

"Anu, itu-"

"Meong."

Solar dan Daun sontak menoleh dan melihat anak kucing itu sudah ada di belakang Solar. Daun segera menggendong kucing itu dan menatap Solar dengan pandangan memohon. Tanpa di beritahu pun Solar sudah paham apa yang dimintanya.

"Baiklah aku takkan laporkan ini," katanya. "Tapi kau tak bisa sembunyikan kucing ini selamanya. Dia pasti berisik mengeong-ngeong," terang Solar, lagi-lagi memberikan poin penting yang tak dipikirkan Daun sebelumnya. Daun tertunduk sedih.

"Aku kasihan melihatnya. Dia masih kecil di luar sana sendirian, tak ada saudaranya dan tak ada ibunya. Tak sampai hati aku membiarkannya," kata Daun, mata besarnya tampak berkaca-kaca. Solar menghela nafas. Ia lelah melihat tingkah kembarannya yang selalu melibatkan perasaan tapi Solar juga tak tega melihat wajah bulat Daun menangis.

"Daun, itulah kehidupan. Keras. Kau tak bisa menyelamatkan semua makhluk, kau bukan Tuhan," ucap Solar, nadanya dingin. Tapi Daun harus paham fakta itu.

Daun memandang Solar dengan tatapan tak biasa, seolah memberanikan diri.

"Aku memang tak bisa menyelamatkan semuanya," kata Daun. "Tapi aku bisa memulainya dari hal terdekat."

Daun memasuki kamar tidurnya, meninggalkan Solar yang terkejut mendengar balasan seperti itu dari Daun yang biasanya penurut dan santun.

"Huh, darimana asal kata-katanya?"

.

.

.

Jam 10.13 p.m

"Sudah jam segini, ayo tidur semua," kata Gempa sambil melirik jam dinding.

"Yaaaaah," erang Taufan dan Blaze yang masih asyik main video game.

"Nanti saja tidurnya," keluh Daun yang daritadi asyik menontoni kedua kakaknya main game. Ia bisa turun ke bawah setelah mengurung kucingnya agar tak dicurigai.

"Tidur sekarang nanti terlambat bangun subuh," ujar Gempa sambil tersenyum. Kenapa mereka bertiga tak seperti Ice yang jam 8.30 tepat sudah pulas di kamarnya?

"Perlu bantuan menyuruh mereka tidur, Gempa?" tanya Halilintar tiba-tiba datang. Serempak trio itu langsung menurut dan bergegas pergi ke kamar masing-masing.

"Sikat gigi dulu!" teriak Gempa.

Rumah itu cukup besar tapi tak besar sekali sampai memiliki 7 kamar, karenanya mereka semua berbagi kamar. Ada 3 kamar tidur di rumah itu. Masing-masing kamar ada ranjang bersusun, meja belajar dan lemari. Awalnya Halilintar sekamar dengan Taufan, tapi karena mereka seperti Tom dan Jerry, maka akhirnya ditengahi Gempa. Gempa ingat ia sering susah tidur mendengar mereka berdua ribut malam-malam. Saat dibuka pintu kamar mereka, tampak Halilintar tengah menindih tubuh Taufan sambil memiting lengan sepupunya ke belakang dan Taufan berontak sambil teriak kesakitan. Kamar mereka seperti kapal meletus saja akibat adu jotos.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Gempa, capek lahir batin.

"Sedang menyelesaikan masalah," jawab Halilintar sambil bangkit. Taufan meringis-ringis.

"Kak Hali tuh kejam betul! Aku 'kan tanya kenapa foto profil whatsapp dia cewek pose seksi, eh dia malah tuduh aku yang ganti!" sungut Taufan.

"Kau yang jahil! Jangan sok polos deh!"

"Demi Allah bukan aku!"

Gempa memijat keningnya. Bisa mati berdiri dia lama-lama begini.

Semenjak itu Halilintar, Taufan dan Gempa menempati sebuah kamar luas dengan 3 ranjang. Dua ranjang susun untuk Halilintar (atas) dan Taufan (bawah) sementara ranjang biasa untuk Gempa. Kamar itu ruangan paling luas di rumah tersebut, cukup untuk menampung 3 meja belajar dan 3 lemari. Letaknya di tingkat bawah. Gempa sengaja bertiga dengan kedua kakaknya biar bisa mengontrol keduanya―dan strateginya berhasil.

Sementara Blaze, Ice, Solar dan Daun tidur di atas. Blaze sekamar dengan Ice, Daun sekamar dengan Solar. Masing-masing ada ranjang susun, beberapa meja belajar dan lemari masing-masing satu.

Malam itu sudah menunjukkan pukul 00.12 a.m. Suasana senyap sekali. Blaze tengah tidur berpelukan dengan Ice―dia mimpi seram tadi. Daun dan Solar sudah terbuai mimpi juga. Di kamar lantai bawah, Gempa tertidur dan Taufan pulas nyenyak. Halilintar sedang duduk di meja belajar, sibuk membaca lebih jauh tentang keselamatan penanganan radioaktif.

Sedang asyik membuat catatan, tiba-tiba Halilintar mendengar sebuah bunyi berisik di dapur. Seperti ada yang memainkan perabotan.

Halilintar benci cerita seram. Ia jadi ingat Taufan pernah menakutinya tentang legenda "nenek gayung" di sekitar lingkungan rumah mereka yang katanya suka berkeliling membawa gayung dan tikar mencari tumbal. Hanya isu sih, tapi tetap saja seram dan Halilintar itu penakut. Garang, pemarah, kece, tampan tapi penakut kelas satu.

Karena Halilintar tak mau dimandikan nenek gayung terus mati tragis esoknya, maka Halilintar memutuskan untuk membangunkan saudaranya. Halilintar tak tega membangunkan Gempa yang baik hati, tapi ia cukup tega mengganggu tidur si degil Taufan. Toh dia juga yang menakut-nakuti Halilintar.

"Taufan," panggil Halilintar, pelan. Ia mengguncang bahu sepupunya. Taufan tak bangun. Terdengar pintu kamar mereka seperti digaruk pakai kuku. Halilintar makin ciut nyalinya.

"Taufan!" panggil Halilintar sambil menampar sepupunya. Taufan langsung kaget.

"Hah, apa nih, apa?"

"Sssst!" desis Halilintar. Taufan heran, matanya masih mengantuk.

"Ya ampun Hali-"

"Ada orang lain di rumah," potong Halilintar. Taufan langsung tak mengantuk lagi. Ia segera bangun dan mengambil tongkat kasti di bawah ranjang. Halilintar berdecak.

"Kalau pencuri biasa biar aku yang tangani pun tak apa. Tapi kalau nenek gayung, kau saja ya," ujar Halilintar.

"Hah? Nenek apaan?" Taufan bengong mendengar ocehan Halilintar. Wajah Halilintar merona merah.

"Sudah jangan banyak bicara, ayo periksa!" desis Halilintar a la Orochimaru. Taufan menghela nafas.

"Ya deh ya..."

Dengan perlahan, pintu kamar mereka dibuka takut terdengar si penyusup. Halilintar dan Taufan mengintip dari celah pintu. Di luar kamar, semua ruangan gelap hampir tanpa penerangan. Dua bujangan tampan itu lalu memicingkan mata, melihat-lihat setiap sudut dengan pencahayaan minim.

"Sepertinya sudah pergi," gumam Taufan.

"Cepat kita keluar, nanti neneknya memandikan yang lain bagaimana?" tanya Halilintar. Alis Taufan berkerut.

"Untuk apa nenek-nenek masuk ke rumah orang cuma buat memandikan? Cabul juga," kata Taufan.

"Jangan banyak cakap, ayo," gerutu Halilintar.

"Iya, iya," kata Taufan sambil menggenggam erat pemukul bola kastinya.

"Sebelum itu kita kunci saja kamar kita dari luar, takut terjadi sesuatu pada Gempa," usul Halilintar. Ia lalu menutup pintu perlahan dan menguncinya. Kuncinya ia sembunyikan di bawah karpet.

Mereka keluar dari kamar mengendap-endap, berusaha tidak menimbulkan suara apapun. Halilintar dan Taufan hendak naik ke lantai atas, takut adik-adik mereka tak aman. Tapi saat mau menaiki tangga, tiba-tiba terdengar bunyi berisik lagi dari arah dapur. Kali ini benda terjatuh.

Halilintar dan Taufan berpandangan. Mereka lalu berjalan sepelan mungkin ke arah dapur. Jantung mereka berdegup kencang, tangan Taufan sudah siap-siap mengayunkan pemukulnya. Mereka kemudian mengintip ke dalam dapur.

Dapur itu gelap, hanya ada cahaya minim dari jendela. Beberapa perabotan tampak di lantai, terjatuh. Tapi tak ada siapapun. Halilintar dan Taufan jadi semakin tegang. Kemana?

Detik itu juga sebuah kuali yang jatuh di lantai bergerak-gerak sendiri, berjalan ke arah mereka. Wajah Halilintar langsung pucat, Taufan kaget.

"Ha-ha-"

"Hantuu!" jerit Halilintar sambil berlari ke tingkat atas.

"Eh, tungguuuu!" Taufan mengejar sepupunya ke arah tangga. Sebenarnya Taufan tidak takut hantu, dia hanya mengkhawatirkan sepupunya saja. Sungguh.

Halilintar berlari dengan kecepatan Usain Bolt dan langsung masuk ke kamar pertama yang ia temui, kamar Blaze dan Ice. Ia langsung masuk, mengunci pintu dan menyalakan lampu. Karena keributan itu, Blaze dan Ice jadi terbangun. Mereka heran melihat kakak tertua mereka sedang meringkuk dengan wajah pucat.

"Kak Hali kenapa?" tanya Blaze, heran. Ice yang memang pendiam tapi perhatian langsung melepaskan diri dari pelukan Blaze dan turun dari ranjang. Ia mengambil sebotol air mineral dan memberikannya ke Halilintar.

"Terimakasih," gumam Halilintar. Ice hanya mengangguk dan duduk di sebelah kakaknya itu.

"Jadi... apa yang sedang terjadi?" tanya Blaze lagi. Halilintar menatap adiknya dengan wajah serius.

"Ada-"

"WOI BUKA PINTUNYA!" teriak Taufan tiba-tiba menggedor pintu kamar Blaze dan Ice. Blaze dan Ice terlonjak kaget, Halilintar langsung latah kata-kata kasar saking terkejutnya.

Tapi yang terbuka malah pintu kamar kembar termuda, Daun dan Solar.

"Kak Taufan kenapa?" tanya Daun sambil mengucek matanya, Solar berdiri di dekat pintu dengan wajah kusut. Taufan segera masuk ke kamar si kembar dan langsung menutup pintu, membuat si kembar keheranan.

"Ada hantu di rumah ini! Aku tadi ketemu!"

"...hantu?" kata Daun, ketakutan.

"Tak ada hantu, dia cuma mau menakut-nakuti," gerutu Solar, kesal di ganggu acara tidurnya. Apa kakak sepupunya itu tak tahu kalau kurang tidur bisa membuat kulit kusam dan keriput? Maaf saja Solar masih ingin tampak muda dan tampan.

"Ih kalau tak percaya, ayo kita sama-sama lihat!" ujar Taufan.

Solar menghela nafas dan kemudian membuka pintu kamarnya. Bersamaan dengan itu, pintu kamar Blaze dan Ice juga terbuka. Tampak Halilintar, Ice dan Blaze keluar dari kamar juga. Solar, Taufan dan Daun bergabung dengan mereka untuk turun memeriksa dapur.

Mereka semua berjalan dengan tegang menuju dapur. Rumah masih gelap sekali, hanya ada cahaya remang-remang. Keenam bersaudara itu memutuskan untuk mencari saklar lampu sampai mereka dikejutkan sebuah suara cakaran kuku.

"Kreek, kreeek, kreek."

Semuanya jadi merinding minus Solar. Solar malah makin penasaran.

"Ayo kita nyalakan lampu dulu."

Belum sempat menyalakan lampu, dari arah dapur tampak sebuah kuali berjalan. Solar hendak mengatakan sesuatu namun kelima kakaknya sudah lari ke tangga melihat penampakan itu.

"HANTUUU!"

"Kak Hali tunggu akuuu!"

"AAAAAA-"

"MAMA TOLOONG!"

"Daun anak baik! Daun anak shalih! Jangan makan Dauuun!"

"KYAAAA~" (?)

Bunyi gemuruh langkah kaki ribut sekali seolah hendak runtuh rumah itu. Karena keributan tersebut, Gempa yang tidur di kamar lantai bawah terjaga karena mendengar teriakan-teriakan para bujang tersebut.

"Astagfirullah ada apa ini!" seru Gempa, ia bangkit hendak membuka pintu kamar. Terkunci.

"Eh, kenapa ini? Buka pintunyaaa!" teriak Gempa sambil menggedor pintu tersebut.

Sementara itu Solar pusing. Kelima kakaknya sudah lari ke atas dan mengunci pintu kamar rapat-rapat sambil mengumandangkan Ayat Kursi keras-keras. Gempa masih menggedor-gedor pintu kamarnya. Solar lalu memperhatikan lagi penampakan tersebut.

Sebuah kuali terbalik tengah berjalan sendiri. Bunyi cakaran kuku terdengar. Solar kemudian tertawa geli. Ia menghampiri kuali berjalan itu dan mengangkatnya―tampak kucing milik Daun menatapnya. Pantas saja semuanya ketakutan, tak ada yang tahu kalau Daun memungut anak kucing. Rupanya malam-malam ia berkeliaran ke dapur dan malah menjatuhkan perabotan.

Baiklah saatnya membukakan pintu kamar Gempa sebelum Gempa menghancurkan pintu itu dengan tinjunya, pikir Solar.

Tepat sebelum Solar berdiri dan hendak membukakan pintu kamar Gempa, pintu itu sudah di dobrak dengan kekuatan super. Serpihan kayu dan engsel copot berjatuhan, daun pintu terlempar dua meter dari tempatnya. Wajah Gempa tampak panik sekali, ia lalu melihat Solar sedang berdiri memegang kuali dan ada seekor kucing.

"Baiklah, sekarang jelaskan dari awal sampai akhir sedetil mungkin," titah Gempa. Solar hanya tersenyum tidak enak.

Kacau sudah.

.

.

.

Semua lampu sudah dinyalakan. Gempa dan Halilintar berdiri dengan ekspresi campur-aduk menatap Daun yang sedang duduk. Blaze, Taufan dan Ice hanya menonton dari kursi sofa di samping. Solar menemani Daun yang tengah diinterogasi. Sementara sang kucing sedang berbaring di pangkuan Daun.

"Jadi... tadi sore Daun memungut kucing itu di dekat restoran," simpul Gempa. Halilintar mendecakkan lidah. Malu sekali tadi ia ketakutan cuma karena kucing.

"Kau harus dihukum akibat kejadian ini," ujar Halilintar, jengah. Daun hanya menunduk saja tak berani menatap kakak tertuanya.

"Kucingnya mau dibuang?" tanya Taufan. "Kasihan kalau sekecil itu sendirian tanpa dirawat. Bisa mati dia."

Daun menatap kakak sepupunya itu dengan mata penuh harap. Taufan hanya mengacungkan jempol sambil nyengir kuda. Kak Taufan memang baik, kata Daun dalam hati.

"Kenapa kau sembunyikan, lebih baik bicara terus terang dari awal," kata Gempa.

"Takut sama Kak Hali itu," celetuk Blaze.

"Memangnya kenapa dengan memungut kucing, dipermasalahkan sekali," keluh Ice, sambil menahan kantuk.

"Memungut hewan itu tak mudah, tak seperti memungut buah mangga di jalan," timpal Solar. "Perlu komitmen dan tanggung jawab."

"Dan apakah Daun bisa bertanggung jawab?" tambah Halilintar sambil melipat tangannya ke dada. "Kalian ada kerjaan sekolah, piket rumah, memangnya kalian sanggup menerima tanggung jawab makhluk hidup? Piket rumah saja harus sering kuingatkan," gerutu Halilintar.

"Alah mudah, 'kan ada Gempa yang bisa merawat," kata Taufan, ringan. Halilintar melotot kearahnya.

"Lebih baik kau diam saja sebelum kukibarkan kau di tiang bendera kelurahan."

Taufan hanya memanyunkan bibirnya mendengar ancaman itu. Halilintar jadi gemas hendak menciumnya pakai wajan panas.

"Tak bisa juga menimpakan pada Kak Gempa, kasihan Kak Gempa dia 'kan sudah repot memasak untuk kita semua," kata Daun sambil mengigit bibirnya. "Ta-tapi aku tak tega membuangnya," tambahnya lagi. Air matanya sudah berlinang. Blaze dan Taufan sontak langsung memeluk Daun erat-erat.

"Tak apa! Nanti kita rawat sama-sama!" ujar Blaze.

"Cup, cup, cup dedek jangan nangis nanti abang nangis juga," kata Taufan dengan mata ikut berkaca-kaca. Halilintar memutar bola matanya melihat betapa lebay-nya si Taufan.

"Kalau rawat sama-sama, tak masalah 'kan?" tanya Ice pada Gempa dan Halilintar, penuh harap.

"Nanti kalian bosan sendiri dan merengek-rengek minta Gempa yang mengurus," tolak Halilintar.

"Tak apa, bisa jadi latihan tanggung jawab," ujar Gempa sambil tersenyum. Halilintar menghela nafas.

"Nanti aku coba carikan kandang dan dokter hewan dekat sini," usul Solar. Biar agak menyebalkan, Solar juga tak tega melihat Daun bersedih. Solar tak suka kucing sih, tapi kalau itu yang Daun senangi ya sudahlah.

"Jadi bagaimana Kak Hali? Kak Hali setuju 'kan?" tanya Blaze. Taufan, Solar, Ice dan Gempa serempak memandang sang kakak tertua. Terutama Daun. Si anak berbaju hijau itu memasang wajah memelas dan seimut mungkin.

Halilintar merasa dikeroyok massa. Ia akhirnya mendengus jengkel.

"Ya sudah!" katanya. Serempak keenam saudaranya langsung bersorak.

"Yeeaay!" jerit Blaze.

"Ternyata HaliHali baik hati ya!" seru Taufan. Di bilang begitu Halilintar langsung memerah wajahnya.

"Syukurlah," kata Gempa, turut senang.

"Kami akan bertanggung jawab," janji Ice yang sumringah, meski masih kalem.

"Terimakasih Kak Hali!" seru Daun sambil memeluk Halilintar. "Kak Hali memang yang terbaik~"

"Sa-sama-sama..." jawab Halilintar, wajahnya semakin merona. Taufan dan Blaze cengengesan.

"Kak Hali pemalu ih," ledek Blaze.

"Tapi baik hati lhoo~" ganggu Taufan.

"SUDAH DIAM SEMUA!" jerit Halilintar marah, yang ditanggapi semua saudaranya dengan tawa geli.

.

.

End.

.

.

Terimakasih sudah mau membaca ff ini! Ff ini saya persembahkan untuk event #BBBThankYouNext untuk:

- Fanlady, selaku yang pertama menyambut saya di fandom ini! Terimakasih atas kata-katamu yang sangat mendukung dan lembut, saya gak bakal lupa! Itu membuat saya terus menulis lebih baik!

- Shaby-chan yang membawa saya ke dalam lingkar pertemanan sesama author dan membuat saya tak terlalu merasa kesepian di fandom ini! Terimakasih sudah mengenalkan saya pada dunia kalian yang indah!

- kurohimeNoir dan Harukaze Kagura, yang bersabar menghadapi kelakuan aneh saya saat berhubungan dengan BBB terutama Daun, terimakasih atas pertemanan kalian yang menyenangkan! Dan saya menyukai setiap diskusi kita selama ini, entah debat kusir, jejeritan atau berbagi saran. Saya belajar banyak jadinya!

- last but not least, misorai saya juga berterimakasih atas diskusi kita selama ini! Saya senang ada teman yang serius saat diajak diskusi teori hehe. Sori kalau bendul saya suka kumat~ dan saya tahu ff elemental drama family not your cup of tea, hehe jadi gak dibaca juga gak papa kok. Sebab saya rada bingung mau beri apa, akhirnya saya tulis saja ff sejuta umat... ._. Yang penting saya beritahu ini hehehe OwO

Juga sama semua reviewer setia saya, (seperti Ziyuu-chan 145) terimakasih! Kata-kata kalian membuat saya betah di fandom ini dan saya belajar banyak menulis selama disini. Sekali lagi terimakasih banyak semuanya!

Dan untuk pembaca setia saya yang belum sempat mengenalkan diri di review, saya juga berterimakasih sudah terus membaca kelanjutan tulisan saya. Saya harap kalian bisa terus menikmati karya saya seperti halnya saya menikmati menulisnya!

Akhir kata, jika ada saran, kritik, masukan dan lainnya, silahkan beri tahu di review! Sampai jumpa di ff selanjutnya~

.

.

.

Epilog

"Cattus~ ini makanannya~" panggil Daun.

Seekor kucing muncul dari balik semak-semak dan langsung berlari mendatangi tuannya.

Kucing itu sudah besar sekarang, tubuhnya gemuk. Dia berkelamin jantan tiga warna, ekornya panjang sekali. Cattus jadi kesayangan seluruh penghuni, bahkan Halilintar sekalipun. Gempa pernah memergoki Halilintar tidur berdua dengan Cattus di ranjangnya.

"Terdengar ambigu," komentar Taufan, mulai kumat usilnya.

"Hush," tegur Gempa.

Cattus biasanya bermanja-manja dengan Daun dan Ice. Gempa pikir bagus juga ada hewan peliharaan, Ice jadi rajin dan tak sering bermalas-malasan seperti dahulu. Adanya hewan peliharaan juga mengurangi kadar stres Gempa, Gempa jadi mudah rileks saat melihat tingkah lucu dan manja Cattus. Rasanya seperti penghibur sendiri.

Sore hari Sabtu itu keenam bersaudara sedang asyik duduk-duduk di taman belakang rumah dan Cattus tengah bermain bersama Blaze dan Taufan.

"Ayo, ayo kejar lebih cepat~"

"Ahahaha kucing lamban," gelak Blaze.

"Hey, hati-hati tersenggol minuman kalian," tegur Gempa yang sedang baca buku bersama Ice. Bedanya Ice tak henti-hentinya memasukkan bola-bola cokelat buatan Daun dan Gempa ke mulutnya. Bola-bola ini terlalu nikmat, senikmat dosa, pikir Ice, puitis.

Solar tengah mengajari Daun rumus fisika.

"Jadi, begitulah mencari koefisien muai panjang," tutup Solar. "Nah kerjakan soal ini biar aku bimbing."

"Oh, okeee~" seru Daun seraya mengambil pensil yang ia sematkan di telinga.

"Oh ya, mana Kak Hali?" tanya Blaze yang sudah bosan main dengan Cattus.

"Katanya ada klub silat dia," jawab Taufan.

"Aku sudah pulang," sapa Halilintar tiba-tiba muncul di pintu halaman belakang.

"HWAAAA!" jerit Blaze dan Taufan bersamaan. Gempa terlonjak kaget. Solar tersentak dan menoleh, Daun mengusap-ngusap dadanya, terkejut. Ice jadi tersedak bola-bola cokelat penuh dosa itu.

"Uhuk!"

"Kak Hali apa-apaan sih!"

"Uhuk! Uhuk!"

"Bikin kaget saja!"

"Uhuk!"

"Kenapa tak ucapkan 'assalamualaikum'?" tegur Gempa. Ice asyik meminum air agar tenggorokannya licin.

"Aku tadi sudah mengucapkan salam tapi rupanya kalian semua main di halaman belakang," jawab Halilintar. "Nah Gempa, aku bawakan pesananmu."

"Oh ya, terimakasih," jawab Gempa sambil menerima bungkusan belanjaan dari tangan kakaknya.

"Eh apa itu yang di dekat kaki Kak Hali?" tunjuk Daun. Serempak semuanya memandangi kaki Halilintar.

Seekor anak kucing menyembul dari balik sepatu Halilintar. Wajahnya bulat dan bulunya berwarna kuning kecokelatan. Ekornya bulat pendek seperti kelinci. Ia mengeong pelan.

"Aku ketemu kucing di swalayan tadi," kata Halilintar. "Dia tak mau berhenti mengikutiku, bukannya aku tak tega terus mau aku rawat ya."

Keenam saudaranya hanya tersenyum-senyum mendengar cerita itu. Diiyakan sajalah daripada Halilintar mengamuk.

Fin.