Wonwoo punya dua prinsip dalam hidupnya--diam atau diacuhkan. Semua bagai roda kehidupan yang terus berputar setiap detiknya. Di mana jika ia memilih diam, maka orang-orang akan menghargainya. Sebaliknya, tak seorang pun ingin mendengar sepatah kata dari mulutnya. Dunia seakan memprioritaskan hidupnya sendiri, tanpa peduli tanggapan dari pihak lain.
Wonwoo adalah pemuda yang kasual. Tidak begitu mempermasalahkan sesuatu hingga begitu detil. Ia bagaikan anomali air yang terjebak dalam wadah sempit tak nyaman, yang hanya bisa menjadi tempat satu-satunya untuk diandalkan.
Pemuda itu lebih senang berbicara dengan pikirannya sendiri. Tentang semua hal. Ia lebih banyak belajar dari angin. Transparan, namun menyejukkan. Maka, dingin dan sendiri adalah hal yang selalu dirasakannya dalam waktu bersamaan.
Namun, kali ini tidak.
Ada orang lain. Wonwoo tidak mengerti apa tujuannya, tapi pemuda yang datang kepadanya itu agak sedikit aneh. Ia selalu menemani Wonwoo di sana, duduk berdampingan dengan kaki yang selonjor. Dengan sabarnya mendengarkan ucapan Wonwoo sementara ia membisu. Walaupun tujuannya tidak membahayakan, tetap saja Wonwoo selalu mengantisipasi kehadirannya.
Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Mingyu. Dan sepertinya hobi baru Mingyu adalah mengamati setiap lekuk wajah lembut Wonwoo yang tak pernah luput dari manik brunetnya yang tertimpa bias mentari senja.
"Aku tidak mengerti jalan pikiran orang-orang saat ini," Suara dalam yang menenangkan itu selalu berhasil meraup atensinya. Lalu mereka akan saling menatap satu sama lain, berlatarbelakang langit senja. "Lucu sekali rasanya melihat bagaimana mereka mempunyai dua wajah yang sangat berbeda."
Wonwoo mendesah.
"Mingyu, kau mengerti ucapanku bukan?"
Selalu begitu.
Yang ditanya terkekeh, sementara yang bertanya semakin kesal.
"Tentu saja." balasnya enteng.
Kemudian hening melanda. Tidak ada lagi pembicaraan yang tersisa. Mereka lebih memilih untuk memandang awan-awan putih yang berarak teratur ditiup angin. Dalam kesempatan itu Wonwoo menoleh, mengagumi betapa menawannya pemuda itu saat wajahnya terbias cahaya senja. Lalu pandangannya turun pada jari-jemari mereka yang amat dekat. Sangat kentara sekali perbedaannya.
Benaknya selalu menginginkan jemari itu berada di sela-sela jemarinya, menggenggamnya erat dan tak membiarkan sedetik pun terlepas. Namun, ia tidak ingin meninggalkan kesan buruk. Oleh karena itu, Wonwoo hanya mampu menahan keinginannya, membiarkan kegilaan akan pemuda itu terus menghantui pikirannya.
"Mingyu,"
Panggilan lembut itu tidak berasal dari Wonwoo, mulutnya selalu kaku untuk memanggil pemuda itu sebegitu manisnya.
Mereka berdua sontak menoleh ke belakang. Dan, Wonwoo menemukan orang lain. Entah siapa.
•••
Deretan kertas post-it beraneka warna menghiasi meja belajarnya. Sebatang pensil terselip di telinga kirinya. Kursi yang sedang didudukinya terus berputar ke kanan dan ke kiri, seolah ia tengah menghadapi situasi paling sulit yang membuatnya depresi.
Namun, memang itu yang sedang ia rasakan. Wonwoo sama sekali tidak paham apa yang terjadi. Yang ia ingat hanyalah Mingyu pergi bersama orang lain. Ia seperti merasa gila kala itu. Keinginan untuk mengklaim Mingyu tumbuh amat pesat hingga melampaui batas pemikirannya. Buruknya, itu sama sekali tak mau berhenti.
Wonwoo pikir cinta itu sederhana. Hanya perlu saling mengerti dan percaya. Tidak memerlukan kata apapun untuk mengungkapkan seberapa besar ia mencinta.
Jika saja tak sesulit ini keadaannya, mungkin Wonwoo akan lebih dulu maju. Namun ia tak punya keberanian. Separuh kewarasannya telah direnggut paksa dan ia tidak mau merasakan cinta satu sisi yang terdengar menyakitkan.
Wonwoo pernah diajari tentang bagaimana mengungkapkan rasa cinta kepada Ayah dan Ibunya. Ia sangat lihai menerapkan hal itu. Namun, ini terasa berbeda. Ini bukan cinta kepada kedua orang tuanya, kepada kakek neneknya, atau siapapun dalam keluarganya. Yang ini bahkan lebih buruk lagi. Ia sampai kehilangan kata-kata untuk dikeluarkan, sementara kepalanya terus berdenyut karena menahan rentetan kata itu sangat lama.
Lantas, ia hanya bisa terdiam dengan pikirannya yang berkecamuk. Setelahnya menggoreskan pensil di atas kertas, menuangkan segala ucapan yang tak bisa terungkapkan dengan baik layaknya benang kusut di kepalanya. Berharap tulisan itu bisa menunjukkan seberapa besar ia menaruh hati pada pemuda itu.
•••
Wonwoo pernah merasakan jatuh cinta. Sekitar dua tahun silam, dengan seseorang yang dia panggil 'Unicorn'. Mereka dekat secara tidak sengaja, menyerupai kisah picisan awal bertemunya ia dengan Mingyu. Tetapi mereka kebalikannya. Jika Wonwoo terus berbicara saat bersama Mingyu, maka ketika bersama Unicorn-nya, ia akan mendengarkan dengan baik apa saja yang diucapkan.
Unicorn-nya penuh teka-teki. Hidupnya terdengar menyedihkan, tidak seperti kenyataan yang orang-orang kira. Tangis pilu akan senantiasa terselip bersamaan dengan deru napas yang ia embuskan. Sementara itu, Wonwoo tidak punya keberanian untuk mengusap bahunya yang tampak gemetar. Ia hanya bisa menyodorkan sebuah sapu tangan, berupaya menghiburnya walaupun ia tahu itu sama sekali tak membantu.
Wonwoo jatuh cinta dengan tutur manisnya, parasnya lembut bagai sutera dan pipinya merona layaknya kelopak bunga sakura yang sedang mekar. Tidak ada seorang pun yang bisa menolak pesonanya. Namun sayang, Wonwoo bukanlah seseorang yang secara gamblang akan mengungkapkan isi hatinya. Unicorn-nya pun sama sekali tidak peka, jadi Wonwoo tak bisa berharap banyak untuk kemajuan mereka.
Lima bulan setelahnya, ia menerima sertifikat kelulusan sebagai siswa teladan. Wonwoo tidak lagi bisa mendengarnya bicara, itulah kecemasan yang selalu menghantui pikirannya. Tangan kanannya telah penuh dengan sebuket bunga mawar yang masih segar, tapi ia tidak punya nyali untuk memberikannya. Jadi yang ia lakukan adalah menitipkan bunga itu pada seseorang. Senyumnya mengembang setelah mengetahui bahwa gadis itu menyukai bunga darinya.
Terakhir kali Wonwoo bertemu dengannya pada akhir bulan Maret, surai blondenya dicat ungu terang pada setiap ujung helainya, dan Wonwoo merasa kelu untuk kembali memanggilnya Unicorn. Ia tampak lebih dewasa dan semakin cantik. Wonwoo pun lebih banyak menangkap senyuman yang terpatri di bibir ranumnya, membuatnya merasa jatuh cinta seperti pertama kali.
"Aku akan menikah bulan depan. Maaf tidak memberimu undangan, aku sama sekali tidak tahu alamatmu. Datanglah, kau akan menjadi tamu spesialku, Wonwoo-ya."
Wonwoo tidak tahu kata apa yang tepat untuk membalas, tiba-tiba saja otaknya menolak untuk memahami ucapan itu.
•••
Seperti hari-hari sebelumnya, Wonwoo kembali menghabiskan waktunya pada senja yang cerah. Kali ini ia membawa kamera, mencoba peruntungannya dengan memotret beberapa objek yang menarik.
Biasanya Mingyu tiba lebih awal dan duduk di atas batang pohon yang kokoh. Wonwoo akan langsung memarahinya ketika mendapati pemuda tan itu mencongkel kulit pohon hanya untuk membuat tulisan 'Mingyu Tampan'.
Ia berniat untuk memotret seorang gadis kecil yang sepertinya baru saja pulang sekolah ketika Mingyu telah lebih dulu menghampiri gadis itu. Ia memberikan dua batang lollipop secara cuma-cuma. Wonwoo memanfaatkan momen tersebut dengan mengambil gambar mereka berdua dalam satu frame.
"Wonwoo hyung! Ayo potret aku lagi!"
Teriakan itu membuat Wonwoo menjauhkan lensa kameranya dan memandang jenaka Mingyu yang kini melambaikan kedua tangan. Sungguh kekanakan. Senyum tipis terkembang di bibirnya saat Mingyu mengecup kedua pipi gadis itu.
"Oppa! Mijoo ingin berfoto dengan Oppa tampan ini!" Gadis kecil bernama Mijoo itu berseru kepada Wonwoo, memintanya untuk memotret mereka lagi. Mata sipitnya melebar antusias, terlihat sangat menggemaskan. Oleh karenanya, Wonwoo tentu tidak keberatan untuk menyisakan memorinya demi foto mereka berdua.
Gadis itu kembali berteriak, "Terima kasih, Oppa cantik! Saranghae!" Dengan polosnya ia membentuk lambang hati besar dengan kedua lengan mungilnya. Wonwoo merasa sangat malu karena gadis itu menyebutnya cantik, tetapi dia ikut membalas dengan cara yang sama.
Setelah gadis kecil itu pergi, Mingyu bergabung dengannya yang sedang mengecek hasil jepretan barusan. Mereka duduk bersebelahan, menempel satu sama lain.
Mingyu tertawa ketika Wonwoo menunjukkan fotonya bersama gadis kecil tadi. "Ternyata aku tidak kalah imut dengannya." celetuknya asal.
Wonwoo mendelik. "Ingat umur, dasar bayi besar."
"Tapi aku memang imut, hyung. Aku juga bisa aegyo!" lalu dengan tidak tahu malu Mingyu menunjukkan gerakan imutnya kepada Wonwoo.
"Ah, imutnya." Suara Wonwoo benar-benar mengkhianati ekspresi datar yang ia tunjukkan. "Sampai aku ingin meninju wajahmu."
"Sialan kau, hyung."
Wonwoo tertawa, hidungnya sampai mengerut lucu. Mingyu bersumpah ini pertama kalinya ia melihat tawa alami Wonwoo.
"Hyung, ayo ke sungai Han."
•••
Temperatur udara turun menjadi sepuluh derajat saat malam menjelang. Kabut tipis memenuhi pandangan Wonwoo, membuatnya harus menyipitkan mata agar dapat melihat dengan jelas. Ia menarik ujung lengan sweaternya hingga menutupi setengah dari jemarinya. Dan barulah sekarang ia menyesali keputusannya untuk tidak membawa mantel.
Tak lama kemudian, Mingyu kembali dengan menggenggam dua cangkir kopi hangat. Ia menyerahkan salah satunya kepada Wonwoo, lalu ikut bergabung menatap keindahan sungai Han yang penuh dengan kelap-kelip lampu LED.
"Bagaimana menurutmu?"
Wonwoo menoleh saat Mingyu bersuara.
"Sangat indah, tentu saja." Ia menyesap kopinya, menghantarkan rasa hangat lewat tenggorokan.
Mingyu tersenyum, ia sudah menduga hal itu.
"Hyung menyukainya?" Mingyu kembali bertanya penasaran.
Wonwoo mengangguk lemah. "Kupikir ini akan menjadi tempat favoritku."
"Bagaimana dengan bukit di ujung jalan?"
"Aku tidak bilang akan menggantikan tempat itu," Kedua kakinya diayun perlahan. "Selamanya aku takkan menghapus jejakku di sana."
Pernyataaan tersebut sama persis seperti yang Mingyu pikirkan. Ia dapat mengambil kesimpulan bahwa Wonwoo tidak mudah untuk berpaling dan itu membuatnya terpukau.
Mereka memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sembari menghabiskan waktu. Pada kesempatan tertentu Wonwoo akan memotret pemandangan luar biasa yang menyenangkan pupilnya. Sementara itu, Mingyu terus memperhatikan setiap gerak-gerik yang Wonwoo lakukan. Mengagumi pesona yang melekat pada inderanya. Menjadikan Mingyu seakan merasa terhipnotis.
"Hyung,"
Wonwoo mengalihkan atensinya pada Mingyu. Pada detik yang sama pula, ia merasa pundaknya agak sedikit berat. Maniknya mengerjap bingung kala mendapati sebuah jaket yang tersampir di sana.
"Kau tampak kedinginan. Setidaknya aku berusaha untuk membantu."
Darahnya langsung berdesir hangat. Ia menjadi salah tingkah dan sangat kentara sekali hanya dengan melihat matanya yang terus berpendar menghindari pemuda di hadapannya.
"Terimakasih." balasnya lirih.
Jarum pada arloji Mingyu hampir mengenai angka sepuluh. Mereka sepakat untuk kembali pulang. Selama di bus, Wonwoo menunjukkan foto-foto yang ia ambil kepada Mingyu. Mingyu terus memujinya, dan hal itu membuat Wonwoo tersipu. Ia ingin waktu berputar lebih lama lagi.
"Ah, tubuhku rasanya sangat sakit."
Mingyu mengeluh selama mereka melangkah di sepanjang jalanan yang tampak lengang. Wonwoo pun reflek menatap ke arahnya yang kini tengah meregangkan tangan. Betapa ia merutuki keputusan tersebut. Mingyu tampak menawan hanya dengan sweater turtle neck yang membalut tubuh bagian atasnya. Membuat Wonwoo meneguk liurnya kasar.
"Hyung?"
Tersadar, Wonwoo segera mengalihkan pandangannya. Jantungnya mendadak berdegup kencang, ia merasa seperti orang linglung.
"Kau baik-baik saja?" Mingyu kembali menanyainya.
"Um, ya, aku baik." balasnya kikuk.
Kemudian Wonwoo bisa mendengar suara derap langkah kakinya dan Mingyu. Keheningan mulai melanda di antara keduanya. Wonwoo merasa telah kehilangan topik apapun setelah Mingyu memergokinya barusan. Distrik mereka memang terkenal sangat sepi. Oleh karenanya jarang sekali ada kendaraan yang bersedia lewat di malam hari karena pernah terjadi perampokan di sekitar sini.
Meski begitu, Wonwoo merasa tidak nyaman. Ia sungguh tidak bodoh untuk mengetahui bahwa Mingyu berulang kali melirik ke arahnya. Itu cukup membuatnya agak risih. Seperti ada yang ingin Mingyu sampaikan, tetapi dia terlalu takut untuk memulai.
Apa kau ingin mengatakan sesuatu padaku?
Namun, pertanyaan itu urung dilontarkan. Ia justru berdalih, "Apa aku terlihat aneh?"
Mingyu terkekeh mendengar pertanyaan tersebut. Ia menoleh, bersamaan dengan Wonwoo yang belum melepas kontak matanya. Kedua bahu mereka saling bersinggungan, menimbulkan suasana yang amat canggung.
Langkah Mingyu mendadak berhenti. Obsidiannya sama sekali tak rela melepas Wonwoo, membuat yang ditatap terkesiap. Mereka tengah berada tepat di bawah lampu jalan dengan semburat jingga yang memantul pada wajah mereka hingga membuat Wonwoo bisa melihat dengan jelas betapa indahnya pahatan sempurna wajah Mingyu, bahkan melebihi potret langit senja yang disimpannya.
Wonwoo hanya mencoba mempersiapkan diri ketika telapak tangan Mingyu menyentuh pipinya yang dingin, menyebabkan panas menjalar di seluruh pembuluh darahnya. Menjadikan kedua pipi putihnya merona hebat seperti sakura yang bermekaran. Dan ketika kejutan itu datang, tungkainya terasa lemas seperti jeli.
Untuk pertama kalinya Wonwoo ingin waktu berhenti beputar ketika Mingyu menyapu belah bibirnya dengan amat lembut, seolah dirinya adalah vas porselen berharga yang mudah pecah.
"Aku mencintaimu."
Tidak tahu kalimat itu terlontar dari mulut siapa. Mereka tidak mempedulikannya dan terlarut dalam sentuhan yang sama sekali tak terduga.
•••
Pada awal bulan Mei selanjutnya, Wonwoo menghadiri upacara pernikahan Unicorn-nya. Dengan setelan tuksedo hitam, ia melangkah perlahan menuju bangku panjang yang berada tepat di bawah pohon ek. Cukup banyak tamu yang berjalan mondar-mandir di depannya, sebagian merupakan seniornya di sekolah menengah atas. Beberapa dari mereka menyapa Wonwoo, dan ada yang menggodanya karena duduk sendirian.
"Oi! Jeon Wonwoo!" Teriakan itu membuatnya menoleh dan mendapati sahabat karib semasa SMA-nya tengah melambaikan tangan.
"Kau sendirian?"
Wonwoo tidak begitu paham tentang pola pikir orang-orang ini. Bagaimana bisa mereka menanyakan hal yang sama. Apa statusnya sangat diperhitungkan ketika datang ke sebuah upacara pernikahan?
"Kau juga sendirian, Hosh. Berhenti bertanya hal itu." Wonwoo mendelik ke arahnya.
Hoshi tertawa kecil sembari menepuk-nepuk pelan punggung lebar Wonwoo. "Kau salah," katanya lalu menunjukkan jemarinya yang tersemat cincin perak. "Aku sudah dilamar, Jeon!"
Wonwoo memutar bola matanya kemudian berdecak, "Ya! Bukan berarti kau sudah menikah kan?"
Hoshi malah semakin gencar menggodanya, "Kau iri, kau iri~" tuturnya dengan gerakan ubur-ubur yang aneh.
Sepertinya Wonwoo harus memasukkan nama Kwon Hoshi dalam daftar 'Orang Yang Harus Dimusnahkan' versinya sendiri. Pemuda itu benar-benar membuat suasana hati Wonwoo memburuk. Hal yang paling tidak mengenakkan adalah Hoshi masih terus menertawakannya di saat ia telah memberikan ultimatum lewat tatapan matanya.
Oleh karena itu, Wonwoo pikir melarikan diri adalah hal yang tepat. Ia pun bangkit, mengabaikan teguran Hoshi dengan berjalan menjauh dari sahabat—gila—nya tersebut. Dan ketika itu pula ia tak sengaja berpapasan dengan sosok Mingyu di antara para tamu yang hadir.
"Hai hyung." sapanya.
Wonwoo sama sekali tak bisa mendustakan apa yang ia lihat. Mingyu tampak sangat tampan. Bahunya begitu kokoh dan kakinya yang terbalut celana bahan membuatnya terlihat sangat jenjang. Wonwoo juga takkan melewatkan tatanan rambut klimisnya, serta senyuman yang terpatri di bibirnya. Semua itu tak luput dari pandangan Wonwoo.
"Kau mengenal Yookyung?" Wonwoo bertanya dengan sedikit tak percaya.
Anggukan dari yang lebih muda menjawab pasti pertanyaan Wonwoo, "Yookyung noona adalah teman satu bimbinganku."
"Kalian satu kelas?"
"Tidak juga," Sekilas terlintas kebaikan Yookyung dalam pikiran Mingyu. "Dia membantuku sangat banyak."
Wonwoo menyetujui jawaban tersebut. Yookyung memang senang membantu orang lain. Oleh karena itu, orang-orang menganggapnya sebagai gadis pintar tanpa beban, yang juga menjadi sebab Wonwoo jatuh hati. Ia senang menjadi orang yang paling diandalkan dalam hidup gadis itu.
"Aku senang mendengarnya. Dia adalah gadis paling tegar yang pernah kutemui. Aku turut bahagia dengan pernikahannya. Dia patut bahagia—dengan siapapun." Wonwoo tersenyum tipis seraya memandang sekitar, lalu ia teringat sesuatu.
"Kau datang sendiri?"
Mungkin itu pertanyaan yang menjengkelkan, Wonwoo benci ketika orang-orang menanyakan hal itu kepadanya. Namun, ia sungguh penasaran apakah Mingyu datang bersama seseorang atau tidak. Untungnya pemuda itu tidak mencibirnya, malah ia merespon dengan santai.
"Aku datang bersama seseorang." Maniknya berpendar, mencari-cari seseorang yang dimaksud. "Hayoung!"
Ia memberikan gestur kepada seorang gadis untuk mendekat.
Lantas, Wonwoo tercengang. Ia menggigit bibir ketika melihat gadis itu. Masih segar dalam ingatannya rupa gadis yang waktu itu menginterupsi mereka berdua. Dia adalah sumber kekhawatiran Wonwoo selama ini. Dan, hanya dengan ini saja ia sudah bisa menyimpulkan bahwa asumsinya benar. Gadis itu tampak elegan dan cantik. Terlebih, ia merupakan perempuan tulen.
"Oppa." Gadis itu memeluk Mingyu.
"Ini Hayoung." Mingyu mengawali perkenalan antara mereka berdua.
Gadis itu mengulurkan tangannya kepada Wonwoo, yang dengan segera diterimanya. "Hayoung."
"Wonwoo—Jeon Wonwoo." Pemuda itu balas memperkenalkan diri.
Menyedihkan. Tiba-tiba saja ia teringat pertemuannya dengan Yookyung setelah kelulusan.
Dalam diam Wonwoo menatap Mingyu dengan gusar. Menantikan kalimat selanjutnya yang akan diucapkan. Ia hanya mencoba untuk mengantisipasi keadaan dirinya jika saja pemuda tan itu mengatakan bahwa Hayoung merupakan kekasihnya. Itu sangat buruk.
Mingyu tersenyum, seolah paham dengan raut wajah cemas yang lebih tua. Jadi ia segera mempertegas, "Dia adikku—Kim Hayoung, adik kandungku."
"Oh, syukurlah." Wonwoo bergumam secara spontan.
"Kau mengatakan sesuatu, hyung?" Mingyu menyela seraya memperhatikan perubahan raut wajah Wonwoo.
Wonwoo tersentak. "Ah-tidak, tidak ada. Senang bertemu denganmu, Hayoung-ssi." katanya sembari melempar senyum.
Sementara itu, Mingyu berbisik pada Hayoung untuk memberikan mereka sedikit privasi. Maka, kepergian gadis itu menjadi celah bagi Mingyu untuk berbicara serius kepada Wonwoo.
"Hyung," Obsidiannya menatap Wonwoo secara intens. "Apa kau percaya malam itu?"
Pertanyaan itu menyebabkan timbulnya gelenyar aneh dalam tubuh Wonwoo. Tanpa butuh Mingyu jelaskan, ia sudah lebih dulu memahami malam yang mana, dan apa yang terjadi saat itu. Ia ingat semuanya, itu merupakan kejutan hebat yang pernah terjadi dalam hidupnya. Tapi Wonwoo tak pernah menyangka Mingyu akan mengungkitnya lagi. Ia pikir malam itu hanyalah sebatas Mingyu yang ingin menyenangkannya, setelah ia mengungkapkan segalanya.
Dalam ketidaksengajaan, Wonwoo mengakui perasaannya di malam yang sama mereka berciuman.
Mingyu kembali melanjutkan, "Kau mencintaiku, aku sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Jika kau ingin mendengar bagaimana perasaanku, maka ya. Cintamu tidak lagi bertepuk sebelah tangan."
Wonwoo menatapnya sendu. Tenggorokannya mendadak tercekat dan pandangannya mengabur sebab matanya penuh linangan air mata. Ia menggigit bibir dengan kuat, berusaha menahan air mata yang hendak mengalir.
Ia merasa sangat bahagia sampai tidak ada sepatah kata pun yang bisa mewakili perasaannya. Jawaban Mingyu barusan merupakan titik cerah bagi dirinya. Ia tidak lagi perlu memendam apapun, Mingyu ada bersamanya. Mereka akan terus bersama dengan penuh cinta, melewati setiap senja dengan jemari yang saling bertautan. Kekhawatiran yang selama ini dirasakannya langsung lenyap tanpa jejak.
Seolah belum puas dengan reaksi Wonwoo, Mingyu menambahkan, "Aku mencintaimu, Wonwoo hyung."
Sontak, ucapan tersebut membuat tangis Wonwoo pecah. Genggamannya pada jemari Mingyu kian mengerat, kakinya tak lagi sanggup menopang tubuhnya. Lantas, Mingyu segera mendekapnya erat. Mengantarkannya dalam kehangatan yang amat sangat dirindukan, yang tak pernah Wonwoo rasakan selama ini.
Setiap momen yang dilewatkannya bersama Mingyu adalah kebahagiaan tak terkira. Mereka sama-sama tersiksa dengan memendam gejolak dalam diri masing-masing. Wonwoo dengan egonya ingin memiliki Mingyu untuknya sendiri, sementara Mingyu dengan ketakutan yang menguasai dirinya. Kali ini perasaan keduanya membuncah dari dalam dada, memekarkan kelopak mawar yang indah tanpa sedikit pun melukai hati mereka.
Maka, jika Wonwoo bisa, ia akan menahan Mingyu. Mengikatnya sangat erat dan tidak akan rela untuk melepasnya.
Kepalanya mendongak ketika Mingyu menangkup kedua pipinya, menghapus setiap jejak air mata yang mengalir dengan jemarinya sembari menyunggingkan senyum menenangkan.
Kedua mata Wonwoo yang memerah membuat Mingyu berinisiatif untuk mengecup kedua kelopak matanya. Wonwoo cukup terkejut akan sentuhan tersebut. Darahnya berdesir hangat, menimbulkan semburat merah yang semakin tampak jelas di pipinya.
"Aku sampai tidak bisa membedakan siapa hyung di antara kita." tukas Mingyu usil, berupaya menggodanya.
Wonwoo merengut. Ia lantas melepas kontak dengan Mingyu, lalu mundur selangkah. Tatapannya masih tertuju pada kedua manik Mingyu, enggan mengalih ke manapun. Mingyu pun segera meraih dagunya dan menyatukan belah bibir mereka.
Itu ciuman kedua mereka yang tanpa membutuhkan persetujuan berarti kepada Wonwoo.
•••
Wonwoo menyempatkan diri untuk bertemu langsung dengan Unicorn-nya. Seperti yang diharapkan, gadis bernama lengkap Yeon Yookyung itu tampak sangat cantik dengan balutan gaun putih selutut yang dikenakannya. Rambutnya tidak lagi berwarna mencolok, kini sudah sepenuhnya hitam dan ditata dengan begitu rapi. Sepertinya Wonwoo takkan lagi bisa memanggilnya Unicorn.
"Aku senang melihatmu datang." tukas Yookyung basa-basi.
Wonwoo tersenyum tipis. "Kau sangat cantik, aku tidak percaya bahwa kau adalah Yeon Yookyung yang ceroboh." balasnya seraya tertawa kecil.
Yookyung memukul lengannya dengan gemas. "Jangan membuatku malu, Jeon Wonwoo. Dan, apa-apaan itu? Kau tidak memanggilku Noona, huh?" desisnya.
Wonwoo hanya terkekeh, biasanya gadis itu tidak keberatan jika Wonwoo tidak menggunakan embel noona di belakang namanya. "Lagipula sebentar lagi kau akan menjadi seorang ahjumma."
Setelahnya, Wonwoo menghindari pukulan bertubi-tubi dari Yookyung. Mereka saling berbagi tawa, mengulang kenangan yang pernah tersimpan dalam memori mereka. Tampak sekali bahwa gadis itu kini bahagia, mengingat statusnya yang akan menjadi seorang istri. Wonwoo pikir ini adalah perjuangan terakhirnya meraih gadis itu. Karena demi apapun, ia pikir hatinya telah penuh oleh pemuda yang sama setiap hari.
"Yookyung-a, apa kau sudah siap? Sebentar lagi upacaranya akan dimulai." Pintu terbuka, seseorang menginterupsi kegiatan mereka.
Yookyung segera menyahut, kemudian mengecek pantulan dirinya di depan cermin.
"Aku harus pergi." katanya pada Wonwoo.
"Tentu saja, kau sudah ditunggu. Terus tunjukkan senyum jelekmu itu, oke? Semoga kau bahagia, Noona." Ucapan itu sukses membuatnya mendapatkan satu cubitan di pinggangnya.
"Kau menyebalkan, Jeon Wonwoo. Tapi aku terlalu sayang padamu, kau sudah kuanggap sebagai adikku. Cepatlah bergabung dengan para tamu, siapa tahu ada seorang gadis yang terpesona denganmu. Aku duluan." Yookyung melambaikan tangan sembari meninggalkan Wonwoo yang terus memandang punggungnya sebelum menghilang dari balik pintu.
•••
Dalam gandengan tangan ayahnya, Yookyung berusaha menunjukkan senyum terbaiknya meski berbanding terbalik dengan detak jantungnya yang berdebar-debar. Ia gugup, tentu saja. Ini adalah upacara sakral yang tidak main-main. Sebuket mawar yang berada dalam genggamannya kian mengerat ketika ayahnya mulai menyerahkannya kepada sang mempelai pria.
"Aku menyerahkannya padamu. Jaga dia baik-baik, aku tidak ingin melihatnya menangis lagi."
Dan, ucapan tersebut menandakan bahwa upacara intinya akan dimulai.
Yookyung berdiri dengan gusar di hadapan calon suaminya, sementara pendeta tengah melafalkan sesuatu. Kedua maniknya terpaku pada obsidian menawan milik pemuda di hadapannya, begitu indah sampai ia tidak ingin menatap objek lain. Tanpa sadar, waktu telah banyak berlalu. Mereka berdua akhirnya selesai mengucap janji suci sehidup semati.
Kini saatnya prosesi pemasangan cincin sebagai tanda bukti bahwa mereka telah resmi menikah.
Suara tepuk tangan terdengar riuh menggema. Setelah itu, suaminya mulai memasangkan cincin di jari manis Yookyung seraya melempar senyum. Namun, ketika cincinnya belum selesai terpasang dengan sempurna, tiba-tiba saja pintu dibanting keras, dengan seseorang yang muncul dari sana. Membuat semua orang terperanjat dan memusatkan perhatian ke arahnya. Dadanya tampak naik turun, raut wajahnya panik setengah mati seolah terjadi sesuatu yang menegangkan.
"Seseorang terjun dari lantai tujuh!"
•••
Orang tuanya menangis histeris.
Mingyu sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. Semua terjadi bukan karena kehendaknya. Mungkin hal ini telah terlukis dalam takdir Tuhan, tapi siapa yang tahu.
Suasana bahagia mendadak tergantikan menjadi haru biru dengan isak tangis di mana-mana. Yookyung adalah salah satunya. Gadis itu menangis dua jam tanpa henti dalam pelukan Mingyu. Gaun putihnya kini berubah menjadi setelan serba hitam, selain itu semuanya masih tetap sama.
Semenjak Hoshi kembali setelah melakukan back-up pada ponselnya, Mingyu merasa teramat penuh dosa. Ia sama sekali tidak merencanakan hal ini. Semua berada di luar jangkauan nalarnya.
Tepat pada malam akhir bulan Maret, terdapat sebuah riwayat pesan yang menjadi penyebab insiden bunuh diri ini terjadi. Seluruh datanya akurat, sama sekali tidak ada yang terlewat maupun dipalsukan. Hoshi menunjukkan data-data itu kepada Mingyu tanpa terkecuali. Dan percakapan yang tertulis di atas kertas tersebut sukses membuatnya bergeming.
82-10-5543-*
Jihoon-a, aku diundang ke upacara pernikahan Yookyung.
82-10-2034-*
Yookyung? Gadis yang pernah kau ceritakan itu?
82-10-5543-*
Ya
82-10-2034-*
Aku juga mendapat undangan pernikahannya dua hari yang lalu. Kau sangat lambat, Jeon Wonwoo.
82-10-5543-*
Aku tidak tahu.
82102034-*
Sebaiknya kau tidak usah datang. Dia sudah mengkhianatimu, Jeon. Bagaimana bisa gadis itu menikah dengan seorang junior kita sementara ada kau yang mencintainya?!
82-10-5543-*
Junior kita?
82-10-2034-*
Kau tidak tahu?
82-10-5543-*
Aku tidak mendapat undangan. Dia hanya memberitahuku begitu saja.
82-10-2034-*
Namanya Kim Mingyu. Ingat seseorang yang pernah menabrakku? Dialah orangnya.
Penggalan kalimat itu sudah jelas menunjukkan bahwa Wonwoo mengetahui tentang pernikahannya jauh sebelum mereka pergi ke sungai Han. Ia cukup terkejut ternyata Wonwoo mengenal Yookyung amat dalam, bahkan ia pernah jatuh cinta kepada gadis itu.
Mingyu benar-benar tak mengharapkan akhir yang seperti ini. Ia sungguh tak bercanda soal mencintai Wonwoo. Mingyu selalu menginginkan pemuda itu untuk menjadi pengganti Yookyung. Seharusnya ia bisa mengikat Wonwoo dengan mudah jika saja perjodohan bodoh ini tak pernah terjadi.
"Kim Mingyu," Seorang pemuda menghampirinya yang tengah melamun. "Aku Lee Jihoon."
Mingyu sempat berpikir untuk marah. Tapi percuma. Mereka sedang dalam suasana duka, jadi ia tak mungkin meluapkan emosinya dengan berseteru pada Jihoon.
"Ini semua salahku," suara Jihoon terdengar parau seperti menahan tangis. "Maafkan aku. Dia mencintaimu, itu membuatnya tampak menyedihkan."
Mingyu masih terpaku hingga Jihoon menyodorkan secarik kertas usang yang penuh warna merah dan amis layaknya sisa bercak-bercak darah.
"Polisi menemukan surat ini di tempat kejadian. Kupikir ini untukmu." Jihoon tak dapat lagi membendung air matanya, pertahanannya runtuh. "Biarkan dia tenang di sana. Jangan menyalahkan dirimu sendiri, dia turut bahagia atas pernikahanmu."
Terima kasih untuk penantian, kerinduan, dan juga kenangan.
Aku mencoba mencari kata yang lebih indah dari terima kasih, tapi aku tidak bisa mengatakan apapun.
Aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku, karena aku tak berani.
Aku akan mengatakannya dengan jelas, kuharap suatu saat nanti kau akan mengerti.
Aku mencintaimu.
Hatiku takkan berubah meski kau mungkin akan melupakanku.
Aku ingin menjadi masa depanmu.
Namun aku berbeda, itulah sebabnya aku tidak sanggup mengatakannya.
FIN
Rindu sekali dengan lapak ini...
Aku sedang merencanakan fiksi baru, tapi gatau kapan mau publish... padahal udah aku buat sampai chapter 17.
Ff ini sudah publish duluan di wattpad, so ditunggu review-nya!
