Chapter prolog

ChanBaek Stories

Yaoi

Rate M

.

.

5 tahun lalu

Aku tidak mengenal banyak hal di dunia ini sebelum ibuku memustuskan untuk mendaftarkanku ke salah satu sekolah elit dan ternama di Asia ketika usiaku beranjak 15 tahun. Lingkungan tempatku lahir berbeda disana. Seperti perbedaan kontras antara musim salju dan musim panas.

Sekolah itu sangat megah. Penuh orang berkelas dan bertahta tinggi sebagai penghuninya. Tidak ada cacat untuk mendeskripsikan sempurnanya pahatan-demipahatan sekolah itu. Setiap orang yang melihatnya, aku rasa mereka akan merasakan apa jatuh cinta pada pandangan pertama. Harumnya tentu berbeda, begitu juga dengan fasilitas tak sembarang yang diberikan pihak yayasan. Banyak orang haus akan kesempatan dalam menempatkan diri disana. Ribuan-puluhan-ratuan-bahkan jutaan, berlomba memasuki tempat ternama itu. Semua berkelas, hanya sedikit dari orang kalangan rendah sepertiku bisa memasuki tempat itu. Tersedia beasiswa yang menjadi kunci rebutan untuk orang kalangan rendah. Hanya 5 beasiswa beruntung, dari jutaan pendaftar setiap tahunnya. 4 lainnnya, penerima beasiswa adalah orang yang penuh kebahagiaan ketika berhasil memasuki tempat di sekolah. Namun aku tidak.

Aku tidak bisa berbahagia disana. Segala kehancurannya berpusat pada tempat mewah itu. ketika orang beranggap ini adalah surga, maka aku berkata ini adalah neraka.

Yang kuingat awalnya ibu berlari menghampiri aku dan ayah dengan wajah binar menunjukkan sebuah berkas berwarna putih emas ditangannya. Ia tergesa-gesa menyuruhku untuk segera membuang bakul berisi hasil panen wortelku bersama ayah, menunjukkan berkas yang ia genggam erat ke hadapanku.

"ada apa bu?" tanyaku menelisik curiga akan rautnya. Tumben ibu bahagia disaat tanggal tua begini, kuingat kemarin paman Ahn baru saja manangih hutang. Lalu kenapa ia bahagia? aku bertanya sendiri. Ibu menatap ayah seperti melempar sebuah kode yang dibalas anggukan bahagia dari ayah. Detik berikutnya mereka tertawa-tawa sambil melompat girang, mengabaikan pertanyaanku yang tidak sempat dijawab oleh keduanya.

"bu, ayah, ada apa~" sekali lagi aku bertanya namun dengan nada panjang meminta perhatian mereka kembali tertuju kepadaku.

"Baekhyun, akhirnya sayang~" lihat, ibu kembali tertawa-tawa. Ia berahli memelukku erat seraya mengajakku ikut berlompat girang atas entah apa yang terjadi. Aku tidak tahu, tapi mungkin ibu membawa sesuatu yang baik untukku.

"kau diterima di sekolah Herrin, nak! Astaga ibu bangga."

deg

—atau tidak. Ini bukan sesuatu yang baik, ini suatu kutukan.

Aku terdiam dengan tangan memeganggi pundak ibu. Wajahku sebisa mungkin aku tutupi dengan senyum terpaksa, tetapi...Tuhan aku takut. "be-benarkah, bu?" ibu mengangguk antusias. Ia mencubiti pipiku atas kebahagiaannya yang kupikir terlalu berlebih.

Sebenarnya aku tidak heran. Ibu begitu menyukai sekolah Heerin, karena ibu ingin aku mengubah nasib keluarga kami. Yang orangtuaku tahu, begitu juga penduduk kampung ini, setiap orang yang berhasil memasuki sekolah Heerin, orang-orang tersebut adalah orang pilihan dewa yang akan berhasil menduduki posisi baik di persaingan kerja yang semakin padat.

Ibu menyakini, ayah juga begitu.

Lalu bagaimana bisa aku menolak keduanya?

"tapi, bagaimana jika aku tidak mengetahui lingkungan disana bu?" kucoba untuk mengalihkan dengan penolakan halus kepada ibu. Barangkali ia berubah pikiran dengan menyetujuiku agar melanjut sekolah di kampung ini saja. Entahalah, kupikir kemungkinan ini tidak akan terjadi.

"paman Ahn setuju untuk membeli seperempat tanah kita. Ibu sudah memikirkan segala pembiayaanmu selama disana, nak. Biaya yang keluar hanya untuk tempat tinggal sewa dan uang harian. Selebihnya tidak. Kau adalah murid beasiswa, jadi tidak perlu membanyar nak." Sudah ku duga akan seperti ini. Aku tahu jika berkas yang ibu bawakan adalah hasil seleksi dari siswa-siswa yang terpilih untuk mendapat beasiswa di Heerin. Tidak mungkin keluargaku sanggup membayar pembiayaanku selama disana. Karena yang kutahu, sekolah itu biaya perbulannya sanggup membeli tujuh hektar tanah di kampung ini.

"i-ibu, haruskah aku bersekolah disana?" pandangan mataku ku alihkan kepada anjing peliharaan ayah yang sedari tadi duduk mengamati kami bertiga di ladang ini. Sebisa mungkin aku tidak menatap mata ibu. Aku yakin jika lontaran kalimatku tadi bisa menyakiti hati ibu, begitu juga hati ayah.

"kau harus Baekhyun. Pikirkan keluarga ini nak" bujuk ayah ikut merangkul pundakku erat. Dapat kurasakan kekuatan yang diberikan kedua orangtuaku saat ini adalah kekuatan pengharapan dimana aku sebagai anak mereka bisa mengubah nasib keluarga kedepannya. Tapi, aku tetap tidak bisa. Ingin aku menolak, tapi memikirkan betapa sulitnya ayah dan ibu berladang dengan penghasilan kecil, membuatku mengurung niat. Biarlah—

"baik bu, aku lakukan. Kapan aku berangkat?"

"besok, Baekhyun. Ibu mengatarmu besok ke kota."

Biarlah. Biar saja aku hidup dalam ketakutanku. Aku tahu Tuhan tidak pernah menyayangiku. Buktinya, Ia memberikan kutukan baru.

"ibu, ayah, bagaimana aku ini. Mantanku yang pernah mencoba untuk memperkosaku saat SMP adalah anak pemilik sekolah itu. Park Chanyeol menaruh dendam kepadaku, tolong aku." Tangisku pecah dengan memeluk erat kedua orangtuaku. Mereka hanya tahu aku terharu dengan beasiswa ini, namun tidak. Tangisku ini adalah tangis penuh ketakutan. Seseorang yang dulu sering membunuh batin dan fisikku ada disana.

Di Heerin. Sekolah yang merupakan saksi bisu dimana aku kembali tersayat oleh luka yang ditorehkan Chanyeol.

T.B.C

Next Ch1