I don't own the characters

They are Masashi Kishimoto's

Happy reading

.

.

Chap 1

"The Beginning"

.

.

.

"Apa yang kau ingin kan ketika besar nanti?"

Satu pertanyaan yang tidak pernah absen dari otak ku, bahkan suara orang yang menanyakannya pun masih ku ingat dengan jelas. Elusan hangat dikepalaku selalu hadir ketika pertanyaan itu terluncur dari bibir pucatnya. Senyum tulus dan tatapan penuh kasih saying itu tak akan pernah kulupakan seumur hidup ku.

"Aku ingin menjadi seperti ibu" jawaban itu tak pernah ku ucapkan dengan kebohongan didalamnya.

Tawa kecil terdengar merdu, "Benarkah? Kalau begitu berjanjilah pada dirimu kau akan menjadi seperti ibu"

"Hmm…" kepala kecilku mengangguk antusias, dalam hatiku aku berjanji akan menjadi seperti wanita disebelahku ini. Menjadi seorang yang cantik dalam hal apapun,

Ibu

Aku merindukanmu.

.

.

Mata indah bak boneka itu terbuka lebar tanda ia bangun dengan perasaan tak enak. Tubuhnya mencoba menyesuaikan dengan keadaan, menarik napas dalam sebanyak mungkin seolah-olah udara di sekitarnya akan habis ia hirup, dan mengeluarkannya dalam sekali tiup. Tangan kirinya bergerak memegang dadanya, degup jantungnya terasa cepat. Mimpi sialan.

Matanya melirik jam dinding yang tergantung di atas dinding diatas meja rias. Pukul 5 pagi.

Tak ada gunanya kalau ingin melanjutkan tidur. Dengan helaan napas ia bangkit dari kasur ke arah pintu di ujung kamar. Kamar mandi adalah tujuan utamanya.

Maniknya menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi, buruk. Tapi dia tetap terlihat cantik, well, anugerah Tuhan memang.

15 menit ia habiskan untuk menjalani ritual seorang pelajar kelas 3 Senior High School sebelum berangkat ke sekolah. Untung-untung kalau ritual ini bisa mengubah moodnya yang buruk.

.

.

Ia benci menjadi yang paling pendek di keluarganya. Tak ada respect dari adiknya dan itu membuat mood nya semakin buruk.

"Hei, bisa kau berikan aku telurmu? Kau tidak memakannya"

Well, nice sister, itu merupakan sebuah pertanyaan berbentuk pernyataan yang tidak perlu ia jawab karena detik berikutnya ia menyerahkan satu telur goreng ke dalam mangkok nasi si adik.

"Terima kasih" ucapnya senang

Hinata menghela napas

"Mood mu sepertinya buruk, Hinata" gadis itu dapat merasakan semua mata tertuju padanya. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian, tapi apa hari ini ia terlalu over menunjukan mood buruknya? Bahkan ayah bertanya

"E-ehm…se-sedikit. Aku bermimpi buruk, dan.." Hinata menggantung kalimatnya, membuat yang lain terlihat penasaran

"Dan?" desak ayah

"Air panas tidak mau mengalir di kamar mandiku, ayah" tanpa sadar ia mem-pout-kan bibir mungilnya, ngambek

"Ya Tuhan, Hinata"

"Hahahaha" Hanabi tertawa nyaring, ia meledek kakak nya karena menurutnya alasan yang ucapkan sang kakak sangat non-sense.

Ayah berdehem dan tawa Hanabi hilang seketika walaupun Hinata masih mendengar suara cekikikannya. Dia tidak ada sopan santun.

"Ayah akan memanggil orang untuk memperbaikinya nanti" suara kursi di geser tanda pria bertubuh tinggi itu telah menyelesaikan sarapannya, "Ayah akan berangkat, kalian berhati-hatilah. Hari ini kalian akan di antar paman Danzo ke sekolah"

"Eh?" dua bersaudara itu saling pandang, adalah hal yang jarang jika mereka berangkat sekolah di antar salah satu supir keluarga Hyuga. Yeah, walaupun pada dasarnya tidak aneh untuk Hanabi, karena ia masih Junior High School. Tapi Hinata?

"A-aku bisa berjalan kaki ayah, atau naik bus seperti biasa. Se-sekolahku tidak jauh" ini hanya sebuah pembelaan untuk mengetahui keganjilan sikap ayahnya.

"Ayah," itu suara Hanabi "apa terjadi sesuatu?"

Suasana ruang makan yang tadinya sempat terasa hangat berubah drastis menjadi kaku. Hinata maupun Hanabi was-was menunggu jawaban sang ayah. Pupil mereka mengikuti pergerakan tangan sang kepala keluarga yang meletakan beberapa koran harian di atas meja makan.

Pada halaman utama tercetak dengan tulisan besar sebuah judul, "Perdana Menteri Sou di temukan tewas"

Pada koran lain pun tertulis judul tentang kematian bebarapa orang penting serta para pengusaha besar yang ada di Jepang.

"Mereka meninggal dengan luka tembakan di dada. Anehnya, mereka semua dibunuh pada dini hari dan di kediaman mereka. Yang menjadi korban adalah orang-orang yang memiliki pengaruh pada pemerintahan kota Jepang. Apa kalian mengerti maksud ayah?"

Saat itulah otak Hyuga bersaudara seolah terbuka dan mereka mengerti. Jadi ini semua pembunuhan berencana? Untuk menghancurkan pemerintahan atau justru mengambil alih Jepang? Teroris kah?

Saat itulah Hinata sadar, siapa yang tidak kenal Hyuga Hiashi? Pemilik perusahaan teknologi besar yang berpengaruh pada kesenjangan teknologi pemerintahan Jepang saat ini. Itu artinya, tidak menutup kemungkinan, keluarga Hyuga juga menjadi target pembunuhan misteri ini.

"A-ayah" cicit Hinata, sedangkan Hanabi mematung

"Kalian tenang saja, ayah sudah menggandakan keamanan rumah kita. Walaupun hal ini belum pasti, tapi kita bisa saja menjadi target pembunuhan berikutnya. Kita adalah Hyuga. Jadi, kita harus tetap berhati-hati. Mulai sekarang, Danzo akan mengantar jemput kalian ke sekolah. Yang membuat ayah khawatir adalah si pembunuh sangat misterius, tak ada jejak yang di tinggalkan. Bahkan kepolisian berusaha mati-matian melacaknya, tapi nihil." Ketakutan akan kehilangan orang yang di kasihi nya membuat suara Hiashi sulit untuk di keluarkan, ketika ia memaksakannya untuk terlihat tegar, ia justru terdengar menyedihkan.

"Kami mengerti, ayah" Hanabi sadar dari keterkejutannya, "Ayah juga harus berhati-hati," anak yang tadi Hinata umpat karena ketidaksopanannya, kini bergerak memeluk sang ayah. Tanpa sadar Hinata pun melakukan hal yang sama.

"Ayah mengerti." Hiashi mengelus pucuk kepala kedua anak gadisnya yang kini beranjak dewasa. "Ayah harus berangkat sekarang" pria itu mengingatkan

"Hm, hati-hati ayah" ucap Hinata dan Hanabi bersamaan

Tak berapa lama, tubuh besar dan tinggi sang ayah telah hilang di balik pintu.

"Pembunuh sialan!" umpat Hanabi seketika

Hinata hanya menatap nanar pada beberapa lembar koran yang masih tergeletak di atas meja makan. Tanpa sadar, ia menangis terisak.

Tidak

Ia tidak mau keluarga nya menjadi target pembunuhan berantai misterius ini. Ia tidak siapa kalau harus berpisah dengan salah satu orang terpenting dalam hidupnya lagi. Tidak, cukup ketika dia masih kecil. Kehilangan ibu nya sudah cukup menjadi luka yang tak tersembuhkan sampai saat ini. Ia tidak ingin merasakan sakit seperti dulu lagi. Tidak, ia tidak siap, tak akan pernah siap.

.

.

Berantakan

Hanya satu kata itu yang bisa menjelaskan keadaan flat seorang gadis yang masih terlelap tidur di kasur nya, tanpa memedulikan jam digital yang sudah menunjukan pukul 07.30 pagi. Bekas ramen dan makanan cepat saji lainnya teronggok begitu saja entah itu di lantai maupun di atas meja makan. Baju-baju yang sudah di pakai berserakan dimana-mana.

Hidupnya terlalu jorok untuk ukuran seorang gadis.

Makhluk hidup dalam selimut itu menggeliat tak enak, lebih tepatnya kesal karena sinar matahari tepat mengenai matanya.

"Shit, I need more sleep!" sadar atau tidak, ia mengacungkan jari tengahnya kearah jendela. Mungkin maksud nya ia ingin mengumpat kepada matahari?

Nona, kau pasti bercanda

Matanya melirik jam digital diatas meja kecil disebelah ranjangnya. Double shit, ia lupa mengganti baterai jam nya, pantas saja ia tidak mendengar jamnya berdering.

Masih ada lima belas menit lagi kalau dia ingin mengejar pelajaran pertama di sekolah.

Lupakan

Ia malas.

Hari ini ia akan menghabiskan waktunya untuk bermain game saja, atau membersihkan flatnya? Tanpa sadar matanya menyipit tak suka melihat keadaan flatnya sendiri. Buruk, seburuk keadaannya saat ini.

Badannya sakit luar biasa ketika ia berusaha turun dari tempat tidur. Ini menyiksanya. Tapi gadis itu tetap memaksakan diri, meraih botol air berwarna hitam di dekat jam digital dan menghabiskan isinya sekali tandas.

Tangannya bergerak menggulung rambutnya asal. Messy hair-bun adalah favoritnya.

"Aww" ia mengaduh kesakitan kala kakinya tak sengaja menendang benda berwarna hitam yang tergeletak di lantai. Benda itu terlihat kotor. Tapi ia tak memedulikannya, ia memilih lekas-lekas ke kamar mandi karena panggilan alam yang tak dapat di tahan sejak ia bangun tidur tadi.

.

.

Oke, sekarang bisakah seseorang jelaskan padanya ilham apa yang hinggap padanya pagi ini hingga ia dengan suka rela mengubah keputusannya untuk bermalas-malasan di rumah dengan pergi ke sekolah?

Lorong-lorong panjang yang ia lewati terlihat sepi, jelas saja, sekarang ini adalah jam pelajaran kedua. Hanya suara hembusan napas dan sepatu nya yang beradu dengan lantai yang terdengar. Tidak masalah baginya, ia bahkan sudah terbiasa dengan kesenyapan melebihi ini.

Tinggal sendirian membawa keuntungan tersendiri rupanya.

Kepalanya tiba-tiba berputar ke kiri, langkahnya terhenti.

Sepertinya tadi ada pantulan cahaya yang cukup silau tertangkap matanya, terasa familiar.

Berusaha tidak peduli, ia melanjutkan langkahnya. Kali ini lebih cepat. Bibirnya menyumpah posisi kelasnya yang berada di lantai tiga.

.

.

Dari jauh, emeraldnya menangkap beberapa anak yang berkeliaran tak jelas di sepanjang koridor kelas 3. Bahkan ada yang bersenda gurau di kursi luar kelas. Hei, apa ia melewatkan sesuatu?

Sesampainya di kelas, ia merasa benar-benar melewatkan sesuatu. Separuh dari isi kelas kosong. Hanya beberapa anak yang masih duduk santai, membentuk kelompok dan mulai bergosip. Dasar perempuan.

Ia memilih tak peduli, kakinya melangkah mencapai kursi duduknya dan mendaratkan bokong disana. Akhirnya ia bisa duduk.

Matanya menangkap sesuatu yang ganjil.

Ya, perempuan di depannya. Teman sekelasnya. Bukan teman dalam artian yang sebenarnya, ia tidak mengenal perempuan ini, tapi ia –terpaksa- selalu memperhatikannya karena posisi duduk mereka. Perempuan itu duduk tepat di depan nya.

Namanya kalau tidak salah, "Hei, kau Hyuga kan?" bodoh, itu marganya.

Tubuhnya berjengit, kaget? Perempuan itu menoleh ke belakang, dan

Wow, matanya merah dan bengkak.

'putus cinta eh?'

"Y-ya, Haruno-san?" cicitnya yang hampir tidak bisa Sakura dengar

Menggaruk kepala tak enak, ia tetap bertanya, "Apa hari ini tidak ada pelajaran?"

Kepala si Hyuga mengangguk lemah, "I-iya, Haruno-san"

Jujur, Sakura risih mendengar perempuan ini memanggilnya dengan marga. Tapi kalau di pikir lagi, ia juga melakukan hal yang sama, entahlah. Lagipula, mereka tak saling kenal. Hanya kebetulan satu kelas.

Jawaban yang Hyuga ini berikan pun tak bervariasi sama sekali, dua pertanyaan, dan dua jawaban 'iya'.

"Baru putus cinta, eh?" sindir Sakura tanpa sadar. Gadis di depannya tampak terkejut, tapi bukannya salah tingkah atau malu, raut wajahnya justru berubah sedih. Di tambah, si Hyuga ini mengeluarkan senyuman yang Sakura tahu itu adalah senyum palsu penuh kepahitan.

'apa ia terlalu kasar?'

"Bu-bukan apa-apa, Haruno-san" jawab si Hyuga pelan, kemudian membalikan badannya. Mengartikan ia tidak ingin melanjutkan percakapan apapun dengan Sakura.

Sakura mengangkat bahu tak peduli.

Ya, peduli hanya membuatnya kerepotan, lagipula ia malas mencampuri urusan orang lain. Sindiran tadi hanya basa-basi sebagai manusia yang terjebak dalam satu lingkaran sosial yang yang bernama teman sekelas.

.

.

Kriiiiiing

Bel panjang tanda pelajaran berakhir berbunyi nyaring.

Ayolah, school.

Tidak bisakah mereka mengganti bel tanda pulang menjadi sesuatu yang lebih baik lagi? Memutar lagu misalnya.

Sakura melepas earphone nya malas, dia tertidur.

Matanya melihat sekitar, kelas sudah hampir kosong. Masih ada sekitar 6 orang termasuk dirinya, dan…si Hyuga di depannya.

Sakura bangkit berdiri, mulai meninggalkan kelas. Dari sudut matanya, ia tahu si Hyuga itu juga melakukan hal yang sama.

Sebuah kebetulan memang, loker mereka bersebelahan. Ketika Sakura mengganti sepatunya, Hyuga itu pun melakukan hal yang sama, tapi ia terlihat tergesa-gesa sampai-sampai ia terantuk pintu lokernya sendiri, kemudian seolah sadar, ia menatap Sakura yang balik menatapnya datar.

"A-ah, Haruno-san, mau pulang?" basa-basi yang sungguh tidak masuk akal

"Lalu apa aku harus menginap di sini?" jawab Sakura sekenanya. Ia memang tidak terlalu pandai berinteraksi dengan sesama, tak heran semua kata-kata yang ia keluarkan justru terdengar tajam dan tidak bersahabat.

"Ma-maafkan aku"

Sakura jengah, apa si Hyuga ini harus mengatakan maaf walaupun ia tidak melakukan kesalahan sedikit pun. Ayolah, ia membuat Sakura seperti seorang pendosa karena jawabannya kepada si Hyuga barusan. "Kau tidak membuatku marah, tak perlu meminta maaf." Sakura merogoh sesuatu dari dalam rok nya.

Bukannya menjawab Sakura, Hyuga Hinata justru menatapnya dengan tatapan tak percaya dan penuh tanda tanya. Sakura mengerti apa yang membuat si Hyuga lugu ini terpaku bak patung sekarang, "Yeah, I smoke? Then what?" ia mendecakkan lidahnya kesal. Sakura memang meroko, lalu? Ada yang salah?

"Aku hanya melakukannya di saat-saat tertentu, aku bukan perokok berat, ada masalah nona Hyuga?" dengan sengaja Sakura meniupkan asap rokok ke arah Hinata, membuat si korban batuk-batuk seperti orang terkena penyakit tbc akut yang nyawanya akan tercabut saat itu juga.

"Uhuk…uhuk, me-merokok itu ti-tidak baik un-untuk kesehatan, Haruno-san" tangan pucat Hinata mengibaskan asap rokok yang masih tersisa, berusaha menjauhkan udara berwarna putih itu dari sekelilingnya. Walaupun rokok Sakura mengeluarkan bau aneh, vanila, tapi tetap membuatnya sesak.

"Well, bitch, I don't give a damn fuck to that. If I die, it's not because of this fuckin' thing" ucap Sakura santai.

Hinata terlihat shock mendengar kalimat teman sekelasnya, bukan karena ia tidak mengerti. Tapi karena Sakura mengucapkannya dengan sangat santai tanpa rasa bersalah sedikitpun. Dia tadi baru saja mengucapkan B*tch, F*CK dan teman-temannya kan? Kata-kata terkutuk yang masuk dalam daftar blacklist buku kesopanan para Hyuga.

Baru saja Hinata ingin menceramahi gadis yang lebih tinggi darinya ini, mata mutiaranya menangkap siluet mobil yang di kenalinya. Jemputannya sudah datang.

Danzo keluar terlihat terburu-buru, mungkin karena harinya mulai gerimis. Tangan keriputnya terangkat untuk menutupi wajahnya dari jatuhan hujan yang mulai lebat.

Sakura mengikuti arah pandang Hinata.

'orang kaya' pikirnya, tak heran memang. Sekolah ini adalah salah satu sekolah favorit dan paling unggul di Jepang, hampir seluruh siswa-siswinya adalah anak-anak dari orang terpandang, pemilik perusahaan, dan yang orang tuanya duduk di kursi pemerintahan.

Mobil-mobil jemputan pun menandakan seberapa banyak kekayaan mereka. Di jemput dengan mobil limited edition adalah hal yang biasa terlihat di sekolah ini. Tak sedikit juga anak-anak yang membawa mobil sendiri walaupun pada dasarnya kebanyakan dari mereka belum legal karena belum cukup umur. Well, walaupun mereka di tahan, uang dapat menyelamatkan mereka. Mungkin si Hyuga ini salah satunya.

Sakura yakin, pria tua yang tengah berlari membelah parkir luas dengan perban di wajahnya itu adalah supir keluarga Hyuga. Selang berjarak agak jauh dari mobil sedan BMW yang di tinggalkan, sebuah suara ledakan yang cukup nyaring terdengar.

Duuaarr

"Aargh"

"Kyaaaa"

"Kyaa"

"Hei, ada ledakan!"

"Apa yang terjadi?"

Mata Sakura menangkap kejadian itu tanpa terlewat sedikitpun. Dimana mobil sedan milik keluarga Hyuga meledak dan terbakar seketika, dimana pria tua itu terlempar akibat dorongan angin dari ledakan yang barusan terjadi, serta security sekolah yang bergegas memadamkan api yang menyala dari mobil mahal yang terbakar. Beberapa orang menghampiri pria tua yang tergeletak tepat di depan tangga halaman sekolah. Ia bermaksud menghampiri Hinata.

Disisi lain, telinganya mendengar sebuah isakan tangis yang tak lain berasal dari gadis yang masih berdiri di sampingnya. Tubuhnya bergetar hebat dan air mata tak hentinya mengalir dari mutiaranya yang kini redup.

"D-danzo-ojisan!" teriak Hinata tiba-tiba, Sakura menahan tangan gadis itu ketika ia hendak berlari menuju sang supir

"Hei, berikan aku ponselmu, aku akan menghubungi rumahmu"

Tanpa pikir panjang, Hinata melemparkan ponselnya ke arah Sakura. Gadis itu menangkapnya dengan sigap. Hinta berlari ke arah Danzo meninggalkan Sakura dengan ponsel gadis itu.

Hal pertama yang ia lakukan adalah menghubungi kontak yang ada dalam ponsel Hinata. Matanya menyipit kala melihat layar LCD yang menunjukan kata 'Urgent Call' pada kontak Hinata. Tak perlu waktu lama untuk berpikir, karena Sakura mengerti apa maksudnya, itu adalah kontak yang bisa dihubungi untuk situasi tertentu, seperti pada saat ini.

Jarinya menekan tombol dial. Bukannya masuk dalam mode telepon layaknya ponsel biasa, di layar justru muncul tulisan, "You have sent an emergency situation"

Wow, orang kaya memang beda.

Sakura merogoh saku tasnya, dan mengambil smartphone nya sendiri. Kemudian mengetikan sesuatu di sana, sesekali matanya melirik kearah ponsel si Hyuga.

"I got it" ucapnya senang. Emeraldnya menatap datar ke arah kerumunan orang di depan pintu masuk sekolah. Hinata terlihat memangku sang supir sambil menangis terisak. Seorang wanita berjas putih, ia tebak itu adalah penjaga UKS sekolah, memberikan bantuan oksigen kepada Danzo, begitu tadi Hinata menyebut si pria tua.

Tak selang berapa lama, beberapa mobil hitam datang susul-menyusul. 3 buah semuanya. Orang-orang dari dalam mobil keluar, mereka memakai setelan hitam dan putih layaknya bodyguard di film-film holywood. Mereka menghampiri kerumunan dimana Hinata dan Danzo berada. Tiga di antara mereka mulai mengangkat Danzo menggunakan tandu, yang lain mengawal Hinata masuk ke dalam mobil. Mencegah sesuatu yang buruk terjadi.

"ah, dia melupakan ponselnya" ucap Sakura penuh arti, kemudian beranjak meninggalkan tempat itu.

Tbc