Prolog

Aku mendengar sebuah suara, suara itu seperti siulan. Sangat dekat, suara itu akan terdengar setiap kali aku menaik-turunkan dadaku. Dan aku mengetahuinya, bahwa itu bukan suara angin, namun suara yang berasal dari diriku yang tengah bernapas ini.

Ruangan ini begitu dingin, sepi, bahkan semuanya tampak gelap. Aku tak berbohong, lantai pun selalu terasa dingin sama seperti sebelum-sebelumnya.

Aku berusaha memejamkan mata secara perlahan. Air mata, atau mungkin darah, mengalir turun membasahi pipiku.

Angin bertiup kuat menggebrak jendela, mengisi kehampaan ruangan ini.

Aku bisa mendengarnya, halaman buku di atas meja, berbalik-balik tak karuan arah akibat tiupan angin.

Itu.. Buku harianku. Sebuah buku yang menuliskan segala sesuatu tentangku.

Meski pun aku tahu bahwa diriku tak pernah tertulis di dalam sana, namun aku dapat mengetahui semua yang dikatakan dalam buku itu.

Dan kini, detikan jam kudengar, kuhitung dari satu hingga enampuluh menggunakan jari-jariku. Terus berulang kali hingga hari ini tiba. Hari di mana ia akan datang..

Mengembalikan semua yang seharusnya menjadi milikku..

.

.

-[xXx]-

Tittle : Friend

Rated : T+ (menjerumus ke M, mungkin)

Genre : Misteri, Seram, Spiritual, Pertemanan, Romansa (mungkin)

Disclaimer : pemainnya saya pinjam dari Mas Takaya Kagami, jalan cerita dari Witch's House serta The Diary of Ellen milik Fummy

Note : Warning! Percintaan sesama jenis dilain kapter, alur gelindingan gak jelas, cerita membosankan, OOC!, maybe karakter dead

btw, kisah ini saya ambil temanya dari sebuah game horor yang saya mainkan, mungkin sepenuhnya jiplak tapi saya mengusahakan jika dalam kisah ini ada letak perbedaannya. jika pembaca sudah pernah memainkan gamenya, mungkin tahu ceritanya seperti apa. dan, beberapa adegan di game atau pun novelnya, tak sepenuhnya saya munculkan di sini, melihat saya nya males untuk merangkum. hehe, maaf kan saya..

cerita dalam game memiliki 2 ending, namun saya membuatnya jadi 3 ending. bonus sih, melihat dari sikap tokoh yang digunakan..

So.., Happy Reading!

-[xXx]-

.

.

Yuichiro membuka kedua matanya. Pemandangan yang ia tangkap pertama kali adalah langit kelabu yang terhalangi oleh pepohonan di atas sana. Ia terduduk, tangan perlahan memegang kepalanya sendiri, mencoba mengingat-ingat alasan apa yang membuat dirinya berada di sini.

Manik sewarna hijau daun melihat suasana sekitarnya, mendapati hutan belantaran dengan berbagai jenis pepohonan serta tanaman. Jalan yang dikiranya merupakan jalan masuk terhalangi oleh ranting-ranting berduri bunga mawar yang kokoh. Mungkinkah ia tak bisa kembali?

Yuichiro segera berdiri dari posisi duduknya, setidaknya ia harus mencari jalan lain, atau tempat untuk berdiam diri. Cuaca sedang buruk, angin dingin bertiup lembut bagai bisikan. Remaja ini hanya menggunakan seragam sekolah tanpa jas, keadaan seperti ini tentu akan membuatnya kedinginan. Yuichiro berpikir, lain kali jika berpergian ia harus menggunakan apa itu yang namanya jaket.

Kaki melangkah perlahan. Daerah hutan seperti ini, apakah ada tempat untuk berteduh? Ragu sebenarnya, tapi tak ada salahnya mencoba untuk mencari. Siapa tahu keajaiban itu ada.

Di ujung jalan yang berlawanan, Yuichiro dapat melihat sebuah rumah yang terbilang cukup besar. Temboknya berwarna putih gading, agak kusam mungkin karena sudah termakan usia, sulur-sulur tanaman rambat terlihat menghiasi beberapa titik. Halamannya luas, tanaman bunga layu terletak di bawah jendelanya, rumah itu tak memiliki teras atau pun pagar, pintu kayu sudah terletak langsung di tengahnya.

Yuichiro mendekati rumah itu, melihat keseluruhan desain eksteriornya, otak seperti pernah mengingat-ingat kejadian dirinya dalam rumah ini, tapi entahlah itu kapan.

"Ah, rupanya kau datang..." suara yang terdengar imut tiba-tiba tertangkap indera pendengaran remaja bersurai gelap itu.

Yuichiro mengedarkan pandangan, mencari-cari ada di mana asal suara.

"Hei, di sini.."

Manik hijau berhenti di atas batang pohon pinggiran taman. Seekor kucing hitam dengan bola mata berwarna emas, terduduk di atas sana. Kucing itu tengah tersenyum memperhatikan Yuichiro.

"Kau berbicara?" Yuichiro mengeluarkan pertanyaan.

Kucing itu bergerak menjilat-jilat tangannya sendiri, "Oh astaga, kau seharusnya tidak merasa aneh jika melihat kucing yang bisa berbicara kan..?"

Yuichiro terdiam, menatap sosok kucing itu dengan tatapan datar.

"Oh yeah, tapi tujuanmu kemari bukan untuk menemui diriku, betul?" Kucing itu melompat kemudian menggoyang-goyangkan ekornya. "Well, ini adalah rumah penyihir, tapi aku nyakin kau sendiri sudah mengetahuinya.." ucap kucing itu kembali menjilati tangannya.

Yuichiro melirik rumah itu melalui ekor matanya. Rumah penyihir ya?

Kaki remaja ini melangkah mendekati pintu, hanya dengan sentuhan ringan pada kenop, pintu itu sudah terbuka dengan sendirinya. Dalamnya gelap, sekuat apa pun pupil melebar, kau tak akan bisa melihat apa yang ada di dalam sana.

Kucing itu melirik, menunggu akankah Yuichiro masuk ke dalam rumah, atau tidak. Sekilas, senyum misterius terlukis di bibirnya ketika remaja bersurai gelap itu akhirnya masuk dan sang pintu perlahan tertutup dengan sendirinya.

"Welcome back, tuanku.."

-[xXx]-

Ruangan tanpa pintu, jendela, serta perabotan apa pun, terdapat di dalam sana. Pintu yang semula merupakan jalan masuk telah terkunci dengan sendirinya. Di dalam sini tak terlalu terang, cahaya redup yang entah asalnya dari mana, sedikit menerangi penglihatan.

Yuichiro berpikir, ruang tamu rumah ini bagus sekali, entahlah dirinya sedang memuji atau menghina.

Selembaran kertas tertempel di tengah-tengah dinding. Manik hijau menangkap beberapa huruf yang tersusun rapi hingga membentuk kalimat dalam selembaran kertas tersebut. 'Ayo ke kamarku!'

Mengangkat sebelah alis, Yuichiro bingung. Kamar mana? Tak ada pintu lain di ruangan ini. Remaja itu menatap jenuh, mulai jengkel. Diberanikan dirinya mendekati pintu, hendak keluar, namun sepatu tak sengaja menginjak cairan kental di lantai.

"Darah?" Sejak kapan?

Gemerisik seperti benda berat didorong, terdengar dari dinding kanan mau pun kiri, lantai entah kenapa ikut bergoyang. Yuichiro merasa ada yang tak beres. Ia buru-buru berlari menuju pintu, terkunci, namun dengan paksa didobraknya pintu tersebut dan-

BRAK!

Dinding kanan mau pun kiri merapat. Untung remaja itu telah sukses keluar dari ruangan tadi. Nafas terengah-engah, ia terduduk di lantai berkarpet. Bingung, rupanya ada lorong di balik pintu masuk tadi.

"Fufu, sambutan yang bagus kan?"

Yuichiro melirik, didapatinya kucing hitam yang ia temui tadi di luar rumah. Kucing itu menatap dirinya dari atas meja dengan vas bunga di sampingnya. Remaja itu tak menggubris, ia bangkit berdiri dari posisi duduknya tadi.

"But don't worry.. Ini baru awal, masih ada banyak sekali kejutan untukmu.. Hihihi.."

Yuichiro melangkah pergi menuju pintu di timur. Lorong lagi dengan dua pintu. Ruangan pertama hanya diisi dengan sebuah boneka beruang ukuran sedang dalam keranjang. Yuichiro mendekati. Ingatan mengingat-ingat kenangan dirinya dengan boneka beruang tersebut, dan bersama seorang remaja bersurai kuning seusia dengan dirinya.

Remaja itu menatap tanpa ekspresi, "Kau memberikanku ini.. Dan aku sangat menyukainya.." gumamnya parau.

Selembaran kertas tertempel di dinding, tertulis 'Tiga boneka beruang..'

Tiga? Tapi hanya ada satu di sini?

Yuichiro segera keluar dari ruangan boneka beruang itu, menuju ruangan sebelahnya, mungkin saja dia menemukan boneka beruang yang lain.

Ruangan ini hanya diisi dengan sebuah meja, lemari kecil, dan juga kotak-kotak kado berserakan di lantai. Manik hijau mengamati, akhirnya ia menemukan apa yang ia cari.

"Di sini kau rupanya.." ucapnya sembari mengambil boneka beruang ukuran kecil di atas tumpukan kado.

Dirinya hendak keluar dari ruangan tersebut, namun tanpa diduga, buku yang terletak di atas meja tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Malas sebenarnya, tapi tak ada salahnya melirik sedikit apa yang ada tertulis di dalam sana kan?

"Aku sakit, karena itu tak ada seorang pun yang mau bermain denganku.
Ayah dan ibuku tak menyayangiku."

Ah, itu menyedihkan..

Yuichiro melirik ke lemari kecil di samping meja itu. Kira-kira apa isinya? Remaja itu membuang jauh rasa penasarannya. Mungkin ia akan mengeceknya nanti, ketika sudah mendekati akhir. Sekarang yang lebih penting, ia harus meletakkan boneka beruang kecil ini bersama dengan boneka beruang di ruangan sebelumnya.

Namun, apalah harapan tak akan pernah sesuai dengan kenyataan. Keranjangnya tak muat untuk dihuni dua boneka beruang beda ukuran. Dasar! Kau gendut sih. Yuichiro menatap geram boneka beruang kecil di tangannya. Lalu bagaimana?

Mungkin ada cara lain yang bisa ia lakukan. Remaja itu segera keluar, melewati lorong tempat kucing hitam berada, menuju ruangan di sebelah barat, dan didapatilah sebuah gunting di atas meja besi. Ini yang ia cari. Jika tidak muat, berarti bagian tubuhnya harus dihilangkan.

Yuichiro meraih gunting itu, kemudian menatap datar boneka beruang. Beruang itu entah kenapa menunjukkan ekspresi sedih bahkan ketakutan. Setitik air keluar dari biji matanya yang tak sebesar biji jeruk. Yuichiro sekilas tersenyum, sadis.

Remaja itu memotong tangan serta kaki boneka beruang itu. Sedikit susah, karena gunting yang digunakan kecil. Suara potongannya entah kenapa terdengar seperti suara daging yang sedang dipotong. Tak ada teriakan, tak ada penolakan. Darah merembes ke luar, mengaliri tangan remaja itu. Yuichiro tak peduli, ia terus memotong hingga kedua tangan serta kaki si beruang benar-benar terpotong.

Hasil sempurna didapatkan, Yuichiro segera pergi meninggalkan potongan kaki dan tangan di atas meja. Ia akan kembali ke tempat si beruang ukuran sedang tadi.

"Miaw, kenapa tidak beruang yang ukuran sedang saja yang kau potong-potong?" Kucing itu bertanya sewaktu Yuichiro melewati dirinya.

Tak dipedulikan, dalam hati berkata, 'Cerewet!'

Kucing itu tersenyum kemudian jilat-jilat anggota tubuhnya lagi.

"Okay. Ini temanmu.." Yuichiro meletakkan boneka beruang kecil itu dalam ranjang. Tiadanya tangan dan kaki membuatnya muat di dalam sana, bersama dengan boneka beruang ukuran sedang.

Yuichiro kemudian terdiam. Tunggu dulu. 'Tiga boneka beruang..' Sekarang yang di dalam keranjang ada dua. Lalu ada di mana yang satu lagi?

Firasat buruk menyerang. Yuichiro perlahan melirik ke atas, dan bertepatan pada saat itu, sesosok boneka beruang raksasa jatuh dari atas sana. Manik hijau membelalak lebar. Yuichiro segera menghindar ke samping sebelum beruang raksasa itu menindih dirinya. Ia lari keluar ruangan, beruang itu mengejar. Begitu keluar, Yuichiro menyandarkan tubuhnya pada daun pintu, menahan agar beruang itu tidak dapat keluar dari ruangan.

Brak! Brak! Pintu digebrak kasar..

Jantung Yuichiro berdengup tak karuan, keringat mulai mengalir.

Setelah beberapa waktu menahan, keadaan kembali menenang. Tubuh remaja itu merosot, terduduk di lantai. Ia menyeka keringat dengan tangannya. Lelah, tapi sepertinya ini semua belum berakhir.

Yuichiro perlahan bangkit berdiri. Ia ingat di ruangan gunting tadi ada satu pintu yang tak sempat dimasuki. Mungkin saatnya dia mengecek ruangan di sana. Remaja ini melangkah gontai, mendapati kucing di lorong tengah bermain-main dengan sebuah benda berdarah.

"Hei.." Yuichiro mendekati, mengambil benda tersebut yang ternyata merupakan potongan tangan beruang yang ia potong tadi. "Ini bukan mainanmu, bodoh. Kau tak akan bisa memakannya!" katanya sembari berlalu pergi.

Kucing itu mengerucutkan bibirnya, "Wah wah wah, hati-hati diperjalananmu, tuan.." ucap sang kucing tapi Yuichiro tak peduli.

Ini ruang makan. Meja besar diletakkan di tengah ruangan dengan beberapa kursi di sisi-sisinya, serta piring-gelas kosong terletak rapi di atasnya. Sebuah perapian menempel di tembok utara.

Yuichiro menatap datar, "Memiliki ruang makan seluas ini? Untuk apa jika tinggal sendirian?"

Ada satu pintu di samping perapian, Yuichiro memasukinya dan ruangan di dalamnya merupakan dapur. Di mana ada ruang makan, di situ pasti ada dapur. Yah, hal yang wajar.

Sebuah pisau bergerak-gerak memotong di atas talenan. Yuichiro mendekati. Tak ada siapa pun selain dirinya di dapur itu, kenapa pisau ini bisa bergerak dengan sendirinya?

"Apa yang kau kerjakan?" Yuichiro bertanya.

"Koki sekarang sedang sibuk.." Suara entah dari mana membalas, "Bisakah kau meminjamkan tanganmu?"

Yuichiro menatap datar. Pinjam tangan? Untuk apa?

Remaja itu menyerahkan tangan beruang yang sejak tadi dibawanya. Tangan itu diletakkan di atas talenan, dan secepat itu pula sang pisau segera memotong-motong tangan itu menjadi beberapa bagian. Yuichiro terdiam dalam kengerian, untung dia tak menyerahkan tangannya sendiri.

"Terima kasih.." suara itu menyahut, "Ini saya berikan kunci untuk membuka pintu di sana.."

Pintu lagi? Pintu, pintu, pintu, di mana-mana ada pintu. Rumah ini seperti tak memiliki batas saja.

Ah, sudahlah. Yuichiro segera memasuki ruangan selanjutannya, di dalam sana terdapat tangga yang menghubungkan ke lantai berikutnya. Sekilas pendengarannya menangkap suara langkah kaki, ia juga melihatnya, seorang remaja bersurai kuning melangkah perlahan naik ke atas dan menghilang di ujung sana.

Ia melangkah? Yuichiro rasanya ingin tertawa.

Lorong panjang terlihat. Yuichiro melangkah dan mendapati kucing hitam itu sudah berada di sana, di samping patung besi dengan tombak di tangannya.

"Sudah sampai sejauh ini? Apa kau bertemu dirinya?" tanya kucing itu girang.

Yuichiro mendengus menatap ke arah lain, "Mungkin.."

Kucing itu berguling-guling di lantai, "Kau tahu, dalam wujud seperti ini ternyata tidak buruk. Kurasa aku betah berlama-lama dengan wujud seperti ini.."

"Cih, kau akan segera mati.." Remaja itu melengos kemudian pergi memasuki sebuah ruangan.

"Kau tega mengatakan itu, tuan.." gumam kucing itu cemberut.

Ruangan kali ini cukup luas. Karpet membentang menghiasi permukaan lantai, rak-rak buku menutupi tembok seutuhnya, terlihat juga beberapa buku berserakan di sana-sini.

"Perpustakaan ya?" gumam Yuichiro pelan, "Karena tak bisa keluar, maka buku adalah satu-satunya sumber pengetahuan.."

Sebuah cermin terletak di tengah ruangan, Yuichiro mengamati pantulan dirinya dalam cermin tersebut. Surai berwarna gelap serta iris berwarna hijau, ya itu memang dirinya. Menatap lama, sekilas pantulan itu berganti. Sosok remaja bersurai kuning dengan mata kosong berlumuran darah, terpantul di sana.

Prang!

Refleks, Yuichiro memecahkan cermin itu dengan kepalan tangannya. Ia terkejut. Siapa yang terpantul tadi?

Remaja itu buru-buru keluar dari perpustakaan. Manik hijaunya melirik ke arah kucing hitam yang sepertinya tengah tertawa di atas penderitaannya. Jika Yuichiro punya keberanian, ingin rasanya ia makan kucing hitam itu bulat-bulat. Tapi entah kenapa, hal tersebut dirasa tak mungkin terjadi.

-[xXx]-

"Ayah dan ibuku tak menyanyangiku.
Maka aku menyingkirkan mereka.
Aku sudah berada di rumah ini sejak kepergian mereka."

Yuichiro mengabaikan buku itu setelah membaca apa yang tertulis di dalam sana. Menyingkirkan? Menyingkirkan yang bagaimana?

Tak ambil pusing, ia memasuki pintu selanjutnya. Lorong panjang, kosong, serta tak ada hiasan apa pun. Sepi sekali. Apa desainnya memang seperti ini?

Yuichiro enggan untuk melangkah maju, firasat buruk kembali menyerang. Tapi jika hanya berdiam, kapan dirinya akan tiba pada tujuan. Untuk saat ini remaja itu memberanikan diri, dan baru sekali langkah. Sebuah pisau yang entah datang dari mana, melayang cepat dari depan menuju ke arahnya. Yuichiro membelalakkan matanya, menghindar, namun pisau-pisau lain menyusul.

Yang benar saja? Ia tak berbakat main akrobat. Tapi keadaan terdesak seperti ini malah memaksanya untuk bermain akrobat. Maka dengan kesungguhan yang dipaksakan, Yuichiro berusaha menghindari pisau-pisau yang melayang tak beraturan. Setidaknya ia harus bisa tiba di ujung lorong sana untuk menuju ruangan selanjutnya.

Keajaiban itu memang ada, Yuichiro seketika tepar di tempat akibat kehabisan tenaga menghindari pisau-pisau tadi. Paling tidak ia bisa sampai tujuan, walau kenyataan, lengan kirinya sedikit luka akibat tergores pisau kurang kerjaan itu.

Tak ada waktu untuk beristirahat, Yuichiro kembali melanjutkan perjalanannya. Dan lagi-lagi ia bertemu, dengan si kucing hitam maksudnya.

"Ahaha, seandainya aku punya kamera, maka akan aku abadikan aksimu tadi.." Si kucing entahlah memuji atau menghina.

Yuichiro tak peduli, meladeni kucing berbicara itu adalah tindakan bodoh. Padahal sudah jelas sekali, di awal cerita dirinya meladeni kucing hitam itu.

Terdiam. Yuichiro melihat seekor binatang berwarna hijau melompat-lompat di tengah air kolam. Ruangan ini hanya berisi kolam kecil, serta selembar kertas yang bertuliskan. 'Apa kamu menyukai kodok?'

Remaja itu menerawang, "Kodok ya?" gumamnya.

Yuichiro mengulurkan tangan, membiarkan sang kodok melompat ke dirinya. Paling tidak, seekor kodok akan lebih menguntungkan dibawa ke mana-mana daripada seekor kucing, itu yang saat ini ia pikirkan.

Kucing hitam cemberut ketika melihat Yuichiro melangkah melewati dirinya dengan seekor kodok hinggap di pundak remaja tersebut.

"Kau tahu, waktu benda hijau menjijikkan itu tak akan bertahan lama!"

"Yah, paling tidak dia akan berguna sebelum ajal menjemput.."

Ada sebuah pesan di dinding, tulisannya 'Jangan mudah terganggu..'. Yuichiro mengangkat sebelah alis. Apa maksudnya tulisan ini? Terganggu akan apa?

Memutar otak, Yuichiro paling benci jika harus berpikir keras. Maka tanpa ia pedulikan, remaja ini kembali melangkah memasuki ruangan selanjutnya.

Pisau melayang lagi. Manik hijau terbelalak lebar, ia tak sempat menghindar, namun keanehan sering sekali terjadi. Pisau itu menembus tapi tak ada luka. Sekarang Yuichiro tahu apa maksud pesan tadi. Ini sama kejadian dengan lorong sebelumnya, tapi sedikit ada perbedaan.

Kaki melangkah, membiarkan pisau-pisau melewati dirinya. Toh dirinya tak terluka sama sekali. Terkadang, apa yang dinamakan mistis itu lucu juga.

Untuk ketiga kalinya, Yuichiro mendapati buku yang sama dengan buku-buku yang ia baca sebelumnya. Kali ini, apa yang tertulis di sana?

"Ketika aku menyingkirkan ayah dan ibuku..
Iblis datang dan memakan mereka berdua.
Iblis itu kemudian mengajakku ke hutan ini.
Dia berterima kasih atas makanannya dan Dia memberikanku rumah ini.
Lalu aku berubah menjadi penyihir.
Iblis itu berkata..
Jika Anda mengijinkan saya memakan lebih banyak manusia, maka saya akan mengajarkan Anda mantra untuk menyembuhkan penyakit Anda."

Yuichiro terkekeh geli. Yang namanya manusia itu, mereka tak akan pernah puas dengan segala hal. Menjadi penyihir, eh? Bukannya penyihir itu untuk perempuan? Agaknya, remaja ini tak sadar dirinya tengah menertawai siapa.

-[xXx]-

Ruangan berikutnya makin terlihat tak karuan. Dinding-dinding batu, bahkan lantainya pun juga batu. Samar indera penciuman Yuichiro mencium bau-bau amis. Ada apa lagi ini?

Darah berceceran di lantai batu, terseret menuju ke sebuah pintu kayu. Mungkinkah pintu itu aman? Tapi tak ada jalan lain selain pintu itu.

Yuichiro membungkukkan badan, mengintip sedikit dari lubang kunci apa yang ada di dalam sana. Benda besar, panjang, menggeliat, bahkan berlendir. Memiliki sisik namun tak memiliki kaki. Kepala runcing dengan bola mata kecil berwarna kuning. Lidah sesekali keluar menjulur dari mulutnya.

Ini.. Yuichiro tahu binatang apa itu.

Jika ia masuk, sama saja dengan bunuh diri. Sekilas, maniknya melirik ke arah pundak.

"Ah, aku masih memilikimu.."

Yuichiro meraih si kodok. Binatang itu tampak terkejut bahkan ketakutan. Ia tentunya tak ingin dijadikan tumbal atas makhluk yang tentunya ditakuti. Yuichiro menatap kasihan kodok itu, namun senyum misterius merekah di bibirnya kemudian.

"Sayonara, kawan.."

Sang kodok pemberani dilemparkan ke dalam ruangan itu melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Suara gemerisik terdengar, hingga suara kunyahan. Mendesis. Kemudian suasana kembali tenang. Mungkin si ular sudah pergi.

Yuichiro memberanikan diri, ia masuk ke dalam ruangan itu dan kosong, sudah tak ada apa-apa di sana. Hanya goresan-goresan darah yang menghiasi lantai bahkan dinding.

Remaja itu sempat berpikir, kodok kecil dengan ular besar, kenapa darahnya bisa sebanyak ini? Dan lagi, suara kunyahan? Memang ular mengunyah?

Tak ambil pusing, Yuichiro segera memasuki ruangan berikutnya.

"Sudah kehilangan, he?"

Kenapa ya, si kucing hitam itu selalu saja muncul di setiap ruangan?

"Harusnya aku membawamu saja, daripada aku harus mengorbankan kodok tak berdosa itu.." ucap Yuichiro meladeni.

"Oo, kalau aku sih, akan dapat dengan mudah menghindari ular itu. Hehe.."

Yuichiro berhenti meladeni, muak sebenarnya dengan makhluk jadi-jadian itu. Ia memilih melangkah mendekati sebuah meja dengan buku di atasnya. Buku ini juga selalu ada setiap saat.

"Aku menyingkirkan semua teman-temanku.
Mereka termakan oleh rumah ini.
Namun kurasa, semua itu belum cukup."

Kejam? Tapi itulah kenyataannya.

Yuichiro sampai di sebuah ruangan dengan piano di dalam sana. Remaja ini terdiam, hingga akhirnya bergerak mendekati alat musik itu. Ditekannya satu tuts bernada tinggi dengan jari telunjuk.

Memori masa lalu berputar, mengingat kejadian dirinya juga laki-laki seusia dengannya tengah bermain piano. Namun dia agak kesusahan ketika membaca kertas bernot-not itu. Dan permainan pun usai akibat jari-jari yang mulai mengalami mati rasa.

Yuichiro geram, dikepalkan tangannya kuat, "Penyakit brengsek.."

Remaja itu mencoba untuk memainkan sesuatu, namun apalah daya dirinya tak bisa tanpa kertas-kertas partitur itu.

Dan ia menemukannya. Kertas dengan coretan baris-baris serta para kecebong atau mungkin toge berjajar. Baiklah, dirinya memang tak semahir dulu, tapi tak ada salahnya mencoba kan? Entah lagu yang akan dihasilkan seperti apa.

Baru saja Yuichiro meletakkan kertas partitur di tempatnya, piano itu tiba-tiba berbunyi dengan sendirinya. Remaja itu terkejut, padahal dia belum main, namun si piano sudah memainkan lagu dengan sendirinya.

Yuichiro segera keluar dari ruangan piano, alasan takut berlama-lama itu hal wajar. Tapi tujuan utamanya belum juga tercapai. Mau sampai kapan ia berada di tempat ini?

"Sudah mulai lelah?"

Suara itu, lagi-lagi si kucing. Bosan memang karena yang bisa diajak bicara hanya si kucing. Yuichiro bungkam, memilih untuk mengabaikannya.

-[xXx]-

"Aku benci sakit. Karena ini membuatku terjaga dari dunia luar.
Karena ini juga membuat tidak ada yang menyukaiku."

Ya, semua orang memang membenci sakit. Siapa juga yang mau sakit berkepanjangan?

Yuichiro mendengus. Ini sudah buku kelima yang ia temui. Isinya makin tak karuan. Kesengsaraan dan juga penderitaan terdapat di dalam sana. Namun, dibalik semua itu, sedikit perasaan licik juga mampu tergambar dalam tiap rentetan katanya.

Taman di dalam rumah, jarang sekali ada yang seperti itu. Tapi rumah ini benar-benar menyimpan sejuta misteri. Pohon besar tumbuh di tengah-tengah, bangku panjang terletak di bawahnya.

Manik Yuichiro melihatnya, laki-laki itu terduduk di sana sekilas, kemudian menghilang. Mata berkedip, entah kenapa dirinya mulai merasa pusing. Pandangan mengabur bahkan tubuhnya hampir tumbang tak sadarkan diri. Ada apa ini?

"Jangan terlalu memaksakan diri. Bagaimana jika minum teh dulu?" Suara kucing menyadarkan Yuichiro dari ketidak sadarannya.

Kucing itu duduk di bangku bawah pohon, terdapat pula teko serta dua cangkir teh di sebelahnya. Yuichiro sekilas terdiam. Teh ya?

"Tak ingin minum?" tanya kucing itu kembali.

Yuichiro tak membalas, remaja ini pergi menuju ruangan di samping timur, mendapati kerangka-kerangka manusia berada di sana. Suasana ini makin kacau. Yuichiro berusaha mengabaikan segalanya. Ia menemukan buku, lagi..

"Lalu, seorang laki-laki datang untuk bermain.
Dia laki-laki yang tampan, dengan kedua matanya yang berwarna hijau."

Ini..?

Lantai tiba-tiba sedikit bergetar. Firasat buruk menyerang. Kerangka-kerangka yang semula hanya diam karena mereka adalah benda mati, kini bergerak dengan sendirinya. Yuichiro menatap ngeri sekitar, kerangka itu bergerak menyerang dirinya. Remaja ini berusaha menghindar bahkan sebisa mungkin segera pergi dari ruangan itu, namun sialnya pintu malah terkunci.

Lalu sekarang bagaimana? Ini pintu terbuat dari besi, mustahil untuk didobrak.

Memalingkan pandangan, sebuah kerangka kepala berwarna merah pekat kini sudah berada tepat di hadapannya. Yuichiro membatu, tak mungkin untuk kabur, ia hanya menunggu hendak apa kerangka kepala itu.

Kerangka itu bergerak menghantam kepala Yuichiro, dan seketika, semuanya menjadi gelap..

Kejadian ini sungguhlah tak masuk akal. Apakah ia masih hidup atau tidak? Kira-kira sudah berapa lama dirinya pingsan?

Yuichiro berusaha menggerakan tangan. Merasakan kerikil-kerikil kasar di bawahnya. Ia membuka mata, tersadar dari segalanya. Melihat sekeliling, ruangan ini masih sama dengan ruangan sebelumnya. Lalu apa yang telah terjadi?

Remaja ini terduduk sebelum akhirnya bangkit berdiri, keringat entah kenapa mengalir bahkan air mata hampir saja tumpah. Di dekat pintu, laki-laki itu muncul, matanya tertutupi oleh poni. Manik Yuichiro bergetar, orang itu lagi. Sosok laki-laki itu kemudian menghilang secara perlahan.

Yuichiro mengepalkan tangannya kuat, "Berhentilah bermain-main, bodoh!" gertaknya berusaha untuk tidak kalut akan ketakutannya.

Remaja itu kembali ke taman dalam lagi. Kucing itu masih di sana, hanya terdiam sambil sesekali jilat teh dalam cangkir. Iris hijau menatap tanpa ekspresi namun tersirat perasaan lelah di sana.

"Ah, kau kembali.." Menyadari keberadaan Yuichiro, kucing itu menoleh. "Bagaimana keadaanmu?"

Yuichiro melangkah gontai kemudian duduk di samping si kucing. "Menurutmu.." ucapnya pelan, "Sampai kapan ini akan terus berlanjut?"

Kucing itu menjilat tangannya, "Entahlah, sampai semuanya puas.. Kan ini semua keinginanmu.."

Terdiam sesaat. Keinginannya ya? Apa yang ia inginkan?

"Hei, jika hatimu gelisah, maka kau bisa terbunuh loh. Segeralah lanjutkan perjalananmu, kita akan bertemu terakhir kali di depan kamar.."ucap kucing itu kemudian.

Yuichiro menghela nafas panjang. Ia kemudian bangkit berdiri dan pergi menuju pintu yang terletak di barat.

Ini ruangan obat. Untuk apa dirinya kemari?

Yuichiro mengingat beberapa kejadian, katanya obat dapat menyembuhkan penyakit, tapi kenyataannya? Semua tak sesuai dengan harapan.

Sebuah botol kecil dengan cairan kental berwarna merah pekat terletak di atas meja. Yuichiro mendekati dan meraihnya. Obat ini kan?

Mungkin ia membutuhkannya..

Prang!

Jendela di samping meja tersebut tiba-tiba pecah, Yuichiro menegakkan badannya, sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Remaja ini perlahan memalingkan pandangannya, terdapat sebuah kepala boneka terletak di bawah lantai.

Diambilnya benda tersebut kemudian berpaling menatap ke arah jendela. Siapa yang melemparkan ini?

Suasana ruangan tiba-tiba menjadi sunyi. Firasat buruk menyerang kembali. Tak berpikir panjang, Yuichiro segera keluar dari ruangan obat itu. Tak mempedulikan jika ada banyaknya bola-bola mata yang entah muncul dari mana, bergerak mengejar dirinya.

Keluar dari ruangan tersebut, Yuichiro bersumpah tak akan mau kembali ke dalam sana.

-[xXx]-

Lorong kembali membentang. Tak ada apa pun, hanya sebuah lorong hampa.

Yuichiro melangkah perlahan, tangan berpegang pada dinding. Jantungnya mulai berdetak tak karuan, bernapas pun juga susah.

Apa ini pertanda jika dirinya mulai gelisah?

Seketika kegelapan datang, melesat dengan cepat ingin memakan dirinya. Yuichiro tak memiliki kesempatan untuk berlindung, namun sosok laki-laki bersurai kuning itu muncul di hadapannya, melindungi hingga kegelapan itu menghilang bersamaan dengan sosok itu.

Yuichiro menatap tak percaya.

"Ke- kenapa..?"

Terdiam beberapa waktu, Yuichiro tak ingin kalut dalam pikirannya.

Sebuah meja dengan buku di atasnya terletak di ujung lorong. Ini yang ketujuh. Kali ini apa lagi?

"Aku tidak menyingkirkan dia.
Itu karena dia telah melindungiku dari penyakitku.
Jadi aku menjadikan dirinya salah satu teman terbaikku."

Teman terbaik ya?

"Ya benar, kaulah teman terbaikku satu-satunya."

Yuichiro memasuki pintu di samping meja. Ini ruangan boneka. Berbeda dengan boneka beruang sebelumnya, ruangan ini diisi oleh empat boneka berbentuk manusia. Empat? Ya, semuanya berjumlah empat. Yuichiro tak perlu merasa takut lagi jika tiba-tiba saja ada boneka raksasa yang menyerangnya.

"Hei.." Tersadar akan sesuatu. "Ke mana kepalamu?" Yuichiro mendapati salah satu boneka tak memiliki kepala.

Ia teringat ketika dirinya berada di ruangan obat tadi. Ya, ada kepala boneka yang ia temukan di sana. Mungkinkah pas? Tak ada salahnya dicoba.

Yuichiro memasangkan kepala boneka tersebut dengan badan boneka tak berkepala. Seketika meja itu bergerak dan menunjukkan jika ada sebuah lubang di bawahnya.

Akan menuju ke mana lubang ini? Yuichiro melongok, mencoba mengintip apakah dasarnya bisa terlihat atau tidak. Namun semua itu sia-sia. Di sana gelap, tak ada apa pun yang terlihat.

Yuichiro kesusahan menelan air liur, ia memantapkan hati untuk terjun ke dalam sana. Berharap jika setelah ini semuanya akan segera berakhir.

-[xXx]-

Ending 1

Setelah itu semuanya gelap. Yuichiro merasa jika dirinya berpijak pada permukaan namun seluruhnya nampak gelap. Ia mampu melihat pintu di ujung sana.

Remaja ini berlari, berusaha meraih dan di dapatinya selembar kertas tertempel di daun pintu tersebut. 'Ayo ke kamarku!' begitu tulisannya. Ini sama seperti pesan yang ia temui di awal permulaan.

Yuichiro segera memasuki pintu itu, dan melihat kucing hitam tergeletak di depan sebuah pintu lainnya. Mungkinkah di balik pintu itu, ada sebuah kamar yang dimaksud? Lalu ada apa dengan si kucing hitam?

Remaja ini perlahan mendekati, manik hijaunya memperhatikan tubuh kosong si kucing hitam.

"Poor bastard.." gumamnya pelan sembari melompati bangkai kucing itu dan memasuki pintu terakhir untuknya.

Ruangan kamar. Berantakan. Kasur besar terletak di tengah-tengah, sepreinya tak beraturan bahkan ada beberapa bercak darah di sana. Yuichiro ingat sekali tentang ruangan ini. Dia datang tiba-tiba, bermain bersama, hingga perpisahan indah namun mengerikan yang terjadi di atas kasur. Manik hijaunya menatap hambar. Ia merasa tak bersalah sama sekali.

Di ujung ruangan terdapat meja dengan buku di atasnya. Buku kedelapan. Mungkin itu buku terakhir.

Yuichiro melangkah perlahan, mendekati, kemudian membacanya.

"Penyakitku akan segera membunuhku.
Jadi..
Aku mengambil tubuhnya dari dia.
Aku hidup di dalam dirinya.
Itu bagus, kan?
Karena kita adalah 'teman'.
Dia juga memberikan tubuhnya padaku..
.., karena kita adalah 'teman'.
Jadi, hari ini.. Kita harus bermain lagi.
Iya, kan? Yuu-chan?"

Yuichiro menjatuhkan dirinya ke lantai, entah kenapa keseimbangannya goyah. Tubuhnya bergetar ketakutan.

Seketika ruangan menjadi gelap. Bunyi-bunyi tak mengenakan terdengar di sana-sini. Angin berhembus asal-asalan, menerbangkan apa pun yang bisa diterbangkan. Udara menipis, membuat pernapasannya terganggu.

"Ghh..." Telinga menangkap suara erangan.

Remaja bersurai gelap itu enggan melirik. Tangan tiba-tiba terjulur dari samping. Pucat dan juga berdarah.

"Mkh.."

Yuichiro akhirnya memberanikan diri untuk melirik, dan mendapati sosok laki-laki bersurai kuning itu sudah berada di sebelahnya. Tubuhnya terseret di lantai, ia tak memiliki kaki, bahkan matanya bolong tak memiliki isi. Darah berceceran di mana-mana, jelas sekali jika urat nadi laki-laki itu menjulur dari potongan di kakinya.

Laki-laki bersurai kuning itu mencengkeram lengan Yuichiro kuat, ia memanjat, hendak meraih wajah remaja beriris hijau itu.

Tubuh Yuichiro kaku, makhluk ini kan..

"Gyaa! Menyingkir kau!" teriak Yuichiro, menjauhkan diri dari makhluk tersebut.

Remaja itu bangkit dari duduknya, menatap ngeri pada sosok yang dulu adalah temannya itu.

"Khe.. baa.. lh.. ann.." ucap sosok itu serak.

Yuichiro mengangkat kakinya, pergi meninggalkan makhluk itu. Namun ia mengejar. Dengan keadaannya yang seperti itu, Yuichiro tak menyangka jika makhluk tanpa kaki bisa bergerak dengan cepat.

Semua menjadi penghalang untuk Yuichiro melarikan diri. Beberapa pintu yang seharusnya terbuka, kini malah terkunci, membuat remaja ini dengan terpaksa harus mendobraknya. Lantai-lantai entah kenapa berlubang, kerangka tangan menjulur dari dalam sana, meraih kaki Yuichiro hingga membuatnya terjatuh beberapa kali. Pisau tajam melayang di sana-sini, perabotan rumah berterbangan.

Yuichiro tak mengambil pusing, ia harus pergi dari rumah ini.

Pintu sudah terlihat di ujung sana, Yuichiro segera membukanya. Untung tidak terkunci.

Ranting berduri yang semula menghalangi jalan keluar, disiramnya dengan obat yang ia bawa tadi, membuat tanaman itu seketika layu terbakar. Remaja ini berlari ke tengah hutan. Nafasnya terengah-engah, bahkan hampir habis, langkahnya juga mulai terseok-seok. Apakah di luar sini, makhluk itu masih mengejar?

Yuichiro menghentikan langkahnya, ia melihat seseorang di ujung sana. Seorang pria dewasa dengan surai gelap serta membawa senapan di tangannya.

Pria dewasa yang ternyata adalah ayah dari Yuichiro, kemudian menoleh. Manik ungu kelam pria itu menatap khawatir.

"Yuu..? Dari mana saja kamu? Kau membuatku khawatir, bodoh.." Ia menghampiri, segera merengkuh tubuh gemetar anaknya. "Apa yang terjadi?"

Yuichiro menggeleng.

Tak diduga, laki-laki tanpa kaki itu menyusul. Yuichiro segera bersembunyi di belakang ayahnya.

"Ma- makhluk apa ini..!?"

Laki-laki itu menatap sang pria dewasa, ia tak bisa melihat namun bisa mendengar. Perlahan mulutnya terbuka, berusaha untuk mengeluarkan kata-kata. Ia menyeret tubuhnya mendekat, tangan menjulur hendak meraih.

"Paa... hhh..."

"Cih, enyahlah makhluk menjijikan..!" Dan-

Dor! Tembakan dilancarkan tepat mengenai kepala laki-laki tak berkaki itu.

Yuichiro membelalakan matanya. Terkejut menyaksikan kepala itu hancur dengan sekali tembak. Seketika, remaja itu tak mampu berkata-kata.

Hening menyerang. Sosok makhluk bersurai kuning itu sudah tak bergerak lagi. Apakah dia sudah mati?

Perlahan, rintik-rintik hujan mulai jatuh membasahi bumi.

Pria itu menghembuskan nafasnya singkat kemudian berjalan mendekati anaknya, "Semua sudah berakhir.. Ayo pulang.."

Mengangguk, Yuichiro melangkah mengikuti ayahnya yang sudah berjalan mendahuluinya. Kepala menoleh ke belakang sekilas, menemukan seekor kucing berdiri di samping mayat temannya. Hingga akhirnya, kucing itu menghilang.

"Yuu?"

Yuichiro balik melihat ayahnya, ia kemudian kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah bersama pria dewasa yang sekarang menjadi ayahnya.