A/N: Ide ini sebenarnya sudah muncul sejak lama. Namun setelah menonton konser musik di kampus, dan penampilan Niichanku beberapa waktu lalu, rasanya Shinku jadi ingin merealisasikannya.

Komposisi yang ada di fic ini sama dengan yang dimainkan pada saat konser yang Shinku tonton, sedangkan lagu 'Serenade', adalah lagu dari band 'Endless Beauty', sekarang masih aktif. Ambrosia adalah nama band lama Niichan, yang sekarang sudah bubar...

Dan Shinku tidak tahu banyak soal musik. Jadi maafkan kalau ada kesalahan.

Disclaimer: Gundam SEED/Destiny bukan milikku!


Aku harap aku berdiri di depan.

Aku berdiri di sudut di belakang, memandangnya menyanyi diiringi bunyi gitar yang riuh dan hentakan drum yang menggetarkan tanah. Di dekat sound system terdapat sebuah tas berisi beberapa CD berisi lagu-lagunya yang akan dibagikan di akhir konser ini.

Dan yang pasti, yang berdiri di barisan paling depanlah yang bakal kebagian.

Aku mengepalkan kedua tanganku di dalam saku jaketku melemaskannya lalu mengepal lagi. Tudung jaketku yang berbulu menghalangi pandangan orang-orang dari wajahku, meskipun tidak begitu berpengaruh; toh tempat ini agak remang.

Lagunya selesai, dan orang-orang bertepuk tangan sambil meneriakkan nama Ambrosia; yang lain meneriakkan nama-nama mereka. Aku diam, tidak mau terlalu mengumbar keberadaanku di sini, walaupun mungkin tidak ada yang mengenaliku di sini.

"Terima kasih sudah datang malam ini. Untuk kalian yang sudah mendukung kami, yang selalu datang di konser-konser kami, terima kasih banyak. Terimalah lagu terakhir kami, Serenade…" Athrun berkata dengan mic-nya.

Yzak memainkan intro lagu yang berirama slow itu. Ambrosia memang jarang memainkan lagu-lagu pelan, tapi yang seperti ini tidak buruk.

"Lagu ini ada dalam CD yang akan kami bagikan. Dan untuk yang tidak kebagian, bisa download dari blog kami."

Oh begitu indah saat 'ku denganmu

Ku ingin tetap terus bisa bersamamu

Tak akan kudapati tanpa dirimu

Semua sempurna seperti di surga

Mengalir di jiwa

Aku mendesah. Kenapa lirik lagu ini mirip sekali seperti yang kurasakan?

Itu lagu cinta. Tapi apa yang kurasakan ini cuma perasaan sesaat saja... kan? Ini bukan cinta kan?

Aku Cuma seorang perempuan yang naksir pada seorang penyanyi dari band yang sering tampil sudut kota, seorang penyanyi aliran rock dengan dandanan mencolok. Sebenarnya dia tidak begitu mencolok, hanya teman-temannya saja. Athrun Zala hanya punya dua tindikan di telinganya. Dia tidak sering mengecat rambutnya jadi warna-warni. Ia selalu tampil dengan rambut berwarna biru safir, warna yang menurutku elegan. Oh, dia juga tidak pakai lensa kontak seperti Dearka, yang kadang-kadang memakai warna merah menyala atau putih polos. Matanya hijau, bukan hijau dengan bercak-bercak yang sering kutemui, melainkan hijau zamrud yang berkilau terkena cahaya matahari.

Menempuh batas di angakasa penuh warna

Membentuk pelangi nan indah menghiasi jiwa

Kuingin selalu mengalir bersamamu

Seiya sekata seirama

Aku memandang rindu pada orang yang bernyanyi dengan penuh perasaan di depan sana, tanpa panggung. Titik-titik keringat tidak membuat penampilannya jadi lebih buruk. Terllihat sekali bagaimana ia mengeluarkan tenaga untuk bernyanyi. Lagu balada sederhana ini jadi lebih mengena karena dinyanyikan oleh suara lembutnya.

Suaranya lembut tapi bisa jadi sangat keras sesuai dengan aliran lagu yang dibawakannya.

Dan lagu lembut itupun berakhir, berakhir pulalah waktuku di sini dengannya. Sudah satu jam berlalu, tapi rasanya waktu berjalan cepat.

Bassist Ambrosia, Nicol, mengambil tas yang ada di dekat sound system dan membagi-bagikannya pada orang-orang yang di depan, karena mereka yang paling dekat. Sesekali Athrun mengambil dan melemparkannya pada yang berdiri di belakang.

Athrun memegang satu CD terakhir yang tersisa. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, sementara para penonton yang belum kebagian menjulurkan tangan mereka, meraih-raih. Aku tersenyum. Athrun sepertinya menganggap ini sebagai bentuk dukungan, bahwa mereka sangat menyukai musiknya.

"Nona yang di sana, jangan diam saja!"

Aku tersentak dan melihat kotak pipih CD terlempar ke arahku. Beberapa orang mengejarnya, dan secara refleks aku melangkah untuk menangkapnya.

Dapat!

Aku tersenyum. Meskipun hanya sekeping CD, tapi ini lebih berarti buatku. Aku tahu bukan Cuma aku yang naksir pada Athrun, tapi tetap saja, seperti perempuan yang naksir padanya, aku selalu menganggap kalau akulah yang paling suka padanya. Dan karena itulah, hadiah langsung seperti ini merupakan sesuatu yang spesial buatku.

Aku memandang ke arahnya, dan melihatnya melambai padaku, dan mengedip.

Senyumku pasti lebar sekali saat itu.

Mereka semua meninggalkan tempat itu. Beberapa orang menghampiri Ambrosia, dengan percaya diri berbicara kepada mereka.

Aku tidak bergerak. Aku masih memperhatikannya dari jauh. Dengan iri aku memperhatikan mereka yang berbincang dengan Athrun. Aku membayangkan kapan aku bisa bicara langsung dengannya.

Dan saat semua orang mulai beranjak pulang, dia menoleh ke arahku, dan mengedip sekali lagi.

Kemudian dia melangkah pergi bersama teman-temannya.

Dia memperhatikan aku.


Aku memarkir Camaro hitamku di sebelah Porsche pink milik Lacus. Aku segera berlari lewat pintu garasi yang terhubung ke dapur. Aku mengambil segelas air dan meminumnya, dan baru tersadar kalau aku haus sekali.

"Bagaimana konsernya?"

Aku meletakkan gelasku dan langsung menarik lengan Lacus dan menaiki tangga menuju kamarnya. Kukunci pintunya kemudian mnariknya ke atas tempat tidur. Aku membuka jaketku dan memperlihatkan CD yang aku dapat, langsung dari Athrun. Aku Cuma tersenyum saja padanya.

"Oh, kau dapat CD-nya. Lalu?"

"Dia yang memberikannya langsung! Tidak langsung sih, tapi dia yang melemparkannya padaku. Dan dia melambai, tersenyum dan mengedip ke arahku! Dua kali!"

"Cagalli…" Lacus menggeleng-gelengkan kepalanya, masih tersenyum. "Kau sadar tidak? Kau ini seperti seorang gadis berusia 17 tahun yang bertemu idolanya."

"Mungkin aku sudah 20, tapi aku memang bertemu dengan idolaku, Lacus! Sekarang pinjam laptop-mu!" Aku menuju meja tulis Lacus dan membuka laptopnya, tanpa menunggu izin Lacus. Lagu-lagu dari CD audio itu ia kopi dan pindahkan ke dalam iPodnya.

Lacus yang sudah mengenakan piama berbaring di tempat tidurnya sambil memeluk boneka beruang yang pasti tadi diberikan oleh Kira, di acara kencan mereka, karena aku tidak ingat melihat boneka itu sebelum aku pergi. "Kapan kau mau bicara dengannya?"

"Aku tidak tahu," Aku mematikan laptop itu dan mengambil piama, dan masuk ke kamar mandi. Memang aku ingin bicara dengannya, tapi dilirik olehnya sedikit pun aku sudah senang. Aku belum pernah naksir pada siapapun, jadi ini terasa baru buatku.

Begitu keluar, Lacus sedang mendengarkan lagu-lagu Ambrosia yang baru saja kumasukkan ke iPod.

"Hei!" Aku melompat ke atas tempat tidur King Size itu dan mengambil iPodku kembali.

"Aku kira lagu-lagunya keras," Lacus berkata sambil melepas earphone.

"Ganti suasana kan bagus," jawabku sambil memasang earphone dan mendengarkan lagu yang tadi didengarkan Lacus, lagu terakhir yang tadi dinyanyikan Ambrosia. Dia hampir tidak pernah menyanyi lagu balada mellow. Dan suaranya merdu sekali. Aku tersenyum sendiri mendengar nyanyiannya.

"Cagalli!" Lacus tiba-tiba menggoyang-goyangkan badanku.

"Apa?" Aku melepas earphone-ku dan menatap Lacus, merasa terganggu.

"Apa menurutmu dia kenal padamu?"

"Tidak mungkin. Aku belum pernah bicara dengannya," Aku kembali berbaring, tidak mengembalikan lagi earphone ke telingaku. "Dan lagi dia bukan tipe orang yang suka mendengarkan aliran musikku, sepertinya."

"Terus kenapa kau tidak coba bicara padanya?"

"Lacus…" Aku berguling memunggungi Lacus dan memeluk bantal yang bisa kuraih. "Aku tidak tahu apa yang akan Athrun pikirkan kalau dia tahu tentang… pekerjaanku ini… Mungkin dia akan berpikir sinis atau bagaimana. Dunia kami kan beda sekali…" Suaraku memelan. Sudah berapa kali aku terpikir untuk mengikutinya setelah ia selesai bernyanyi, menepuk pundaknya dan meminta waktunya sebentar saja untuk sekedar berkenalan, karena aku tahu dia tidak mungkin ingat. Penggemar Athrun banyak sekali, paling banyak dari semua anggota Ambrosia.

"Yaah, tak ada salahnya kan dicoba?" Lacus menyelimuti dirinya dan meringkuk di sebelahku.

Aku juga ingin sekali. Tapi entah kenapa aku tidak pernah berani...


Aku menekan senar-senar di leher biola sementara tangan kananku menggerakan penggeseknya. Melodi Violin Concerto no.3 karya Mozart mengalun merdu di ruang musik ini, yang berada tepat di sebelah kamarku. Mataku terpejam, membayangkan sebuah padang rumput dengan sungai jernih, dan angin yang bertiup pelan. Ini bayangan yang muncul setiap kali aku mendengar komposisi ini. Tak lama, aku membuka mataku lagi, melihat ke arah partitur di depanku, dan meneruskan permainanku.

Sebelum aku melanjutkan ke bagian rondo, pintu ruang musik terbuka. Ayahku melangkah masuk.

"Ayah…" Aku tersenyum kepadanya.

"Coba kau mainkan bagian terakhir itu," ayahku meminta. Aku menjawabnya dengan gesekan biolaku, memainkan bagian terakhir dari komposisi ini. Ayah memperhatikan dengan teliti. Aku berusaha memberikan yang terbaik baginya, meskipun ini hanya salah satu dari sesi latihanku untuk konser pertamaku sebagai solois nanti. Dan ayah akan jadi konduktornya.

Aku memainkan nada terakhir dari rondo ini dan menyelesaikan komposisi ini. Aku memegang biolaku dan membungkuk ke arah ayahku. Beliau bertepuk tangan singkat.

"Permainanmu sudah bagus. Ayah mengharapkan yang terbaik darimu Sabtu ini."

"Baik, Ayah."

Ayah keluar dari ruangan musik, entah ke mana. Aku tetap di sana, memikirkan hari Sabtu nanti. Menjadi solois di konser nanti akan berbeda dengan menjadi violinis biasa yang memainkan biola serempak dengan yang lain. Aku sudah berlatih sejak jauh hari, ingin menampilkan yang terbaik, tidak mau mengecewakan ayah dan juga ingin diakui oleh orang-orang.

Aku kemudian menghibur diri dengan memainkan sebuah ilustrasi musik dari sebuah film yang pernah kutonton. Aku sudah menghafalnya, dan memainkannya dengan mata terpejam.

Ketika selesai memainkan lagu itu, entah mengapa aku teringat Athrun. Oh, ya. Pertama kali aku mendengarkan lagu Ambrosia.


Aku sedang mencari sebuah partitur lagu dengan menggunakan situs pencari; situs yang muncul bermacam-macam, mulai dari yang menyediakan partitur tersebut sampai yang tidak berhubungan sama sekali. Aku membuka beberapa situs, yang berhubungan dan yang tidak; tertarik pada kalimat yang ditampilkan di situs pencari.

Entrinya ditulis oleh anggotanya, yang mengatakan mendengar temannya sedang mendengarkan musik klasik, dan ia beradu argument dengan temannya kalau musik klasik itu musik orang tua. Aku merasa agak berang, dan membaca entri lain yang ada di situs blog itu, hampir semuanya tentang musik dan penampilan mereka. Aku menemukan link untuk mengunduh lagu di blog tersebut dan mencoba mendengar lagu dari orang yang membenci musik klasik yang selama ini kumainkan.

Aku terkejut mendengar suara sang vokalis. Jenis musiknya berbeda jauh dari yang kudengar tiap hari. Tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku mengunduh lagu-lagunya yang lain dan mulai sering mengunjungi blog itu, mencari info tentang kegiatan mereka—ternyata orang yang tadi adalah anggota sebuah band underground.

Aku mencoba datang ke salah satu konser mereka yang infonya tertulis di blog itu, meyakinkan diriku hanya ingin melihat sekali saja. Namun begitu aku melihat Athrun—yang disebutkan di blog tetapi tidak ada fotonya—untuk pertama kali dan mendengarnya menyanyi langsung, aku menjadi pelanggan tetap blog milik Ambrosia dan selalu mendatangi konser kecil mereka, sampai aku menyadari aku menjadi suka pada Athrun. Aku tidak tahu siapa yang menulis entri yang pertama kali kubaca, dan aku berharap semoga yang menulis itu bukan Athrun. Kalau iya mungkin itu bakal sedikit menurunkan… posisinya di mataku, saat aku mulai suka padanya—pada lagunya.

Aku berbaring telentang di atas tempat tidurku, earphone-ku terpasang di telinga, suara Athrun terdengar jelas. Dia cocok menyanyikan lagu balada. Kenapa dia harus memilih aliran rock?

Sebuah fantasi tiba-tiba muncul di kepalaku. Di dunia fantasiku itu, aku mengenal Athrun dengan sangat baik, dan begitu pula dia padaku. Suatu hari di dunia itu, aku sedang bersama Athrun, memainkan biolaku mengikuti melodi yang ditulisnya di buku lagu. Sementara itu, dia menyanyikan lagu yang sudah ditulisnya, lagu tentang kami berdua...

Kugelengkan kepalaku sambil terenyum sedih. Permainan biolaku memang lumayan, tapi aku jarang merasa percaya diri dengan wajahku. Orang seperti Athrun mungkin tidak akan tertarik, atau mungkin dia sudah punya pacar…

Aku menyalakan komputerku dan segera mengakses internet. Aku memeriksa blog mereka lagi, merasa sebagai seorang penggemar fanatik yang sedang menguntit idolanya. Aku mencari profil mereka, mencari bagian status. Hanya Dearka yang mengaku sudah mempunyai pacar. Yang lain entah benar-benar tidak punya atau sengaja tidak menuliskannya.

Aku mendesah,semua orang bisa melakukan apa saja di dunia maya, termasuk memalsukan usia, alamat, dan status.


Aku masuk ke dalam Camaro-ku dan duduk di kursi pengemudi. Kutatap ponsel hitamku yang sedang berdering. Aku sudah melihat identitas peneleponnya. Yuuna.

Dia anak teman ayahku, yang diperkenalkan padaku enam bulan lalu. Orang yang sama sekali tidak mengerti musik itu terang-terangan menunjukkan rasa sukanya padaku, sementara aku sering merinding ketika bertemu dengannya dan merasakan tatapan matanya jelalatan ke arahku. Aku sudah bilang pada ayah kalau ayah mau coba-coba menjodohkanku dengan orang itu aku akan mengamuk. Ayah hanya memandangku tidak mengerti dan menanyakan apa yang salah dengan Yuuna, karena menurutnya dia laki-laki yang baik. Aku memutar bola mataku dan menegaskan pada ayah aku tidak mau ada acara perjodohan oleh orang tua, apalagi dengan Yuuna. Aku tidak peduli keluarganya sekaya apa atau apapun. Aku toh tidak butuh itu.

Aku tahu dia bakal meninggalkan pesan. Aku tidak mau dengar. Aku langsung memasukkannya ke dalam tasku.

Dia pasti datang ke konser besok. Dia akan duduk di kursi paling depan. Aku membayangkan dia akan melambai dan berteriak histeris sewaktu aku naik ke panggung. Aku merinding.

Kuputuskan untuk melupakan masalah itu dan mengingat kembali gladi resik tadi. Semuanya lancar, dan semoga acara besok pun lancar.

Aku berharap Athrun akan datang dan melihatku tampil di panggung, seperti aku melihatnya tampil, sekali saja.

Tarik nafas, buang. Tarik nafas, buang.

Kuletakkan biola dipundakku dan kumainkan beberapa nada, mengetes biolaku.

Kulihat ke bawah, rokku tidak kusut—aku benci memakai rok.

Kulirik jam dinding, waktu intermezzo sudah hampir habis. Sesi kedua di mana aku akan bermain akan segera dimulai. Semuanya akan naik ke panggung sebentar lagi.

Ayah berdiri di sebelahku dan menepuk pundakku dengan gerakan seolah meyakinkanku bahwa aku bisa melakukan semua ini.

Dan aku harus bisa.

Aku mendengar suara biola di panggung, suara biola yang dipimpin oleh concert master untuk mengumpulkan perhatian para penonton dan agar mereka diam. Mereka sudah di sana?

Ayah berjalan ke arah pintu menuju panggung, berdiri di bibir pintu dan melihat ke arahku.

Seseorang menepuk pundakku. Murrue Ramius, pianis yang tampil sebelum intermezzo, tersenyum padaku dengan meyakinkan.

"Semoga sukses." Dia memandang kea rah ayahku.

Sekarang waktunya.

Aku memegang biolaku dan berjalan mengikuti ayah. Kami berdua berjalan menuju depan panggung, tempatku saat ini. Bukan di kursi bersama pemain biola yang lain, melainkan berdiri di dekat konduktor, menjadi pusat perhatian penonton di ruangan teater ini.

Ayah membungkuk ke arah penonton, dan kemudian berbalik membelakangi mereka. Tangan kanannya memegang takt, tangan kirinya sejajar dengan tangan kanan yang terangkat, memberikan aba-aba.

Musik berirama allegro mengalun di dalam ruangan ini dengan megahnya. Aku memainkan bagianku dengan mudah. Bibirku tersenyum simpul selagi aku bermain, irama musik ini membangkitkan semangatku.

Bagian allegro selesai, tetapi concerto ini belum. Aku menarik nafas, memandang sekilas ke arah penonton. Aku bisa melihat tatapan mereka, menilai penampilanku tadi. Sepertinya mereka menyukainya.

Aku melihat Yuuna di barisan depan. Tangannya melambai-lambai ke arahku. Untung dia tidak mengangkatnya tinggi-tinggi.

Aku melihat beberapa orang yang kukenal. Guru musikku sewaktu aku masih SD, beberapa teman Ayah, Lacus, Kira yang duduk di sebelahnya, Athrun, dan orang-orang yang tidak kukenal.

Athrun?

Aku memutar kepalaku, mataku tertuju pada seseorang yang duduk di barisan ketiga. Athrun duduk di situ, mengenakan kemeja putih dan stelan hitam tanpa dasi—dua kancing teratas kemejanya dibiarkan terbuka. Dia tersenyum kepadaku.

Apa dia mengenalku?

Suara biola mengalun di belakangku dan aku tahu bagian kedua sudah dimulai beberapa saat lalu. Aku mendengarkan dengan cermat, berpikir kapan bagianku mulai. Aku melihat partiturku dan bermain di saat yang tepat. Aku mencoba focus pada bagian soloku, tapi wajah Athrun selalu ada di pikiranku. Dengan tegas kudorong bayangan itu dan menggantinya dengan sebuah tujuan untuk bermain dengan baik. Aku ingin membuat semua orang terkesan. Aku ingin membuat Athrun terkesan.

Bagian adagio selesai. Aku melirik ke arah Athrun dan melihat ekspresi di wajahnya. Dia tampak… kagum. Apakah penampilanku bagus?

Tapi simfoni belum selesai.

Aku melihat ke arah konduktor, kemudian partiturku. Aku memainkan bagian rondo ini, bagian terakhir dari konserku malam ini.

Rondo selesai. Simfoni ini selesai. Konserku selesai. Malam in selesai.

Solo biola pertamaku sukses. Begitu rondo selesai, penonton bertepuk tangan meriah, dan beberapa orang berdiri dan bertepuk tangan untukku.

Tapi aku tidak melihat mereka. Aku melihat Athrun, yang berdiri dari kursinya dan bertepuk tangan untukku dengan senyum di bibirnya. Aku menatapnya, merasakan senyumku mengembang untuk menyainginya.


"Putri dari konduktor Uzumi Nala Athha ini telah menunjukkan bakatnya di hadapan kita semua. Setelah penampilannya sebagai solist di pertunjukkan ini, tentu kita ingin melihat penampilannya lagi..."

Kupegang buket bunga yang diberikan padaku tadi, tidak lagi memperhatikan kata-kata pembawa acara itu. Aku dan Nona Ramius dipanggil kembali ke panggung untuk menerima kenang-kenangan dari penyelenggara. Ketika kulihat kembali orang-orang yang hadir, Athrun sudah tidak di sana lagi.

Ke mana dia pergi?

Dengan lesu aku kembali ke belakang panggung. Di sana ayahku menanti bersama beberapa temannya, menungguku untuk membanggakan aku pada mereka. Dan buruknya lagi, Yuuna juga ada di sana.

Yuuna mencoba memeluk bahuku, dan kutepis tangannya. Dia kelihatan kesal, tapi apa peduliku?

"Cagalli!"

Aku melihat Lacus menghampiriku, dan tahu-tahu kedua tangannya memelukku erat.

"Selamat! Penampilanmu tadi bagus sekali!"

"Terima kasih," aku balas memeluknya. Setidaknya perhatianku teralih sekarang.

"Selamat, Cagalli. Penampilan solomu yang pertama. Apa yang akan kau lakukan setelah ini?"

"Beberapa konser lagi, baru aku akan mencoba lagu-laguku sendiri. Aku sudah membuat beberapa lagu..." Cagalli berhenti sesaat, "kita lihat saja nanti."

"Athrun ada di sini..." Lacus berbisik.

"Aku tahu," aku balas berbisik.

"Kenapa kau tidak menemuinya?"

"Dia sudah pergi," jawabku, tidak bisa menyembunyikan nada sedih. Kenapa sih aku?

"Cagalli…"

"Apa?" aku menoleh ke arah Lacus. Sorot matanya tertuju ke pintu penghubung ruangan ini. Athrun sedang bersandar di bibir pintu memandang ke arahku.

Untuk sesaat aku memandangnya, merasa senang masih bisa melihatnya sekali lagi. Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku; semoga saja yang lain tidak melihatku.

Aku merasa dia juga memperhatikanku. Mungkin itu sebabnya dia segera beranjak dari sana. Badanku bergetar, ingin mengikutinya.

Lacus menepuk pundakku, membuatku menoleh ke arahnya. Gerakkan kepalanya ke arah Athrun mendorong diriku mengikuti sosok yang baru saja pergi.

Tanpa pikir panjang aku melangkah keluar ruangan itu, mengikutinya. Samar-samar aku mendengar suara Lacus menjelaskan pada ayahku…

Aku melangkah mengikuti Athrun, mengikutinya sampai keluar gedung pertunjukkan. Ah, udara di sini dingin sekali! Dan aku memakai gaun yang tidak menutupi bahu dan lenganku.

Aku melihatnya berhenti. Aku ikut berhenti, menjaga jarak beberapa langkah di belakangnya. Dia berbalik, dan kulihat dia memegang setangkai bunga mawar. Aku tidak memperhatikannya tadi.

Dia melangkah mendekat. Aku memperhatikan, tidak begitu yakin harus melakukan apa.

"Pertunjukkanmu tadi bagus sekali. Selamat untuk solo pertamamu," Athrun memberikan mawar itu padaku.

Aku mengambilnya, pemberiannya yang kedua untukku.

"Terima kasih…" Aku berbisik, tidak berani bicara dengan suara lebih keras. Kenapa aku ini?

"Aku tidak menyangka orang yang pandai memainkan biola, dan menyukai musik klasik sepertimu, sering datang ke konser kecilku."

Aku tersentak. Dari mana dia tahu aku sering datang? Baru saat konser terakhirnya dia memperhatikan aku. Apa dia memperhatikanku selama ini?

"Tapi kalau kau mau bertanya hal yang sama padaku, aku akui, sebenarnya kesenanganku pada musik berawal pada musik klasik. Setelah itu, baru aku mengenal jenis musik yang lain. Aku menjadi vokalis Ambrosia karena temanku mengajakku."

Kalau begitu, orang yang menyukai musik klasik yang diceritakan di blog mereka itu...

"Maaf, mungkin kau tidak mau mendengarnya, ya? Aku… Cuma mau memberikan itu saja." Athrun mengangguk pada mawar di tanganku, dan mulai beranjak dari situ. Aku panik, aku tidak mau dia pergi, jangan dulu.

"Athrun!"

Dia berbalik, dan berdiri tepat di depanku, menghadap ke arahku.

Aku bingung. Aku berada dekat sekali dengannya, orang yang selama ini ada di pikiranku, tapi aku tidak tahu harus bilang apa.

"Aku... aku..."

"Kenapa kau tidak pernah bicara padaku?"

Aku mengangkat kepalaku, menatap matanya yang terarah padaku. Wajahnya serius.

"Aku... tidak..."

"Aku sama sekali tidak punya teman yang bisa diajak bicara tentang musik klasik... Mereka kadang-kadang memanggilku 'kakek', kau tahu, anggota Ambrosia yang lain. Pasti menyenangkan kalau bisa berbagi tentang hal itu, dengan seorang saja..."

"Kau... punya banyak penggemar. Aku takut… kau tidak akan memperhatikanku… makanya aku…"

"Oh, aku memperhatikanmu sejak pertama melihatmu memainkan Simfoni Sembilan, bulan lalu."

Aku terkejut. "Kau menonton itu?"

"Ya. Kemudian aku melihatmu di salah satu konser kecilku." Athrun tersenyum, "Aku tidak menyangka bakal melihatmu di sana."

Aku bingung lagi… Jadi dia yang melihatku lebbih dulu.

Aku kedinginan.

"Masuklah ke dalam. Udara makin dingin. Ayahmu mungkin akan marah."

Aku belum mau masuk ke dalam. Aku masih ingin bicara dengannya.

"Aku masih ingin bicara denganmu," kataku. Tiba-tiba aku jadi tegang, apa yang akan dia pikirkan nanti?

Athrun mengulurkan tangannya, yang kuraih dengan ragu-ragu. Bagaimana tangannya bisa hangat begini?

Dia menuntunku ke dalam, sama sekali tidak menghiraukan permintaanku.

"Kau tidak keberatan kalau aku mengajakmu pergi keluar besok?"

Jantungku berdebar. "Pergi? Kemana?" Pergi berdua? Jalan-jalan?

"Kau bilang masih ingin bicara denganku. Sekarang sudah malam. Lebih baik kita sambung besok saja. Bagaimana?"

"Di mana?"

Athrun mengerutkan dahi. Hmm, wajah berpikirnya lucu.

"Bagaimana kalau La Petite Paris?"

"Jam berapa?"

"Terserah padamu."

"Jam sembilan?"

"Baiklah!" Aku menjawab dengan semangat.

"Masuklah. Kita bertemu lagi besok."

Dia berjalan meninggalkan area gedung ini. Apa dia akan berjalan pulang? Apa rumahnya dekat?

"Athrun?"

"Ya?" Athrun berbalik ke arahnya.

"Apa rumahmu dekat?"

"Tidak. Tapi aku tidak apa-apa kok. Aku tidak ke sini jalan kaki." Athrun kembali berjalan menjauh. Pelan-pelan aku berjalan kembali ke ruangan di belakang panggung. Ayah sudah menunggu di sana, dengan kotak biolaku di tangannya.

"Kenapa lama sekali, Cagalli?"

"Ah…, itu... teman lamaku, dia kebetulan datang kemari karena melihat reklame tentang acaraku. Aku jadi mengobrol agak lama dengannya…" Aku jelaskan pada ayah. Ayah mungkin tidak akan setuju kalau aku berteman dengan Athrun. Athrun memang baik, tapi kalau ayah tahu aliran seni musiknya, mungkin dia akan kena serangan jantung.

"Oh. Ayo kita pulang."

"Sampai nanti Lacus, Kira!" Aku memeluk mereka satu per satu.

"Nanti katakan padaku tentang pembicaraanmu tadi dengan Athrun ya?" Lacus berbisik. Aku tersenyum padanya, hanya Lacus yang akan kuberi tahu tentang ini. Tapi malam ini aku hanya ingin istirahat sambil memikirkan Athrun.

"Besok pagi, ya?"

Aku mengikuti ayah ke dalam Mercedes hitamnya dan duduk di sebelahnya. Aku harap besok datang cepat, tidak sabar ingin bertemu lagi dengannya. Padahal baru saja bicara dengannya…

Mercedes ayah meluncur mulus meninggalkan gedung itu. Tak berapa lama, sinar terang terpantul di spion depan. Suara yang agak bising memberitahuku ada motor di belakang kami.

"Dasar anak zaman sekarang," ayah menggerutu. Beliau tidak begitu menyukai sepeda motor, yang dianggapnya berisik dan berbahaya. Kadang aku memikirkan hal yang sama, tapi kadang aku juga membayangkan seperti apa rasanya naik sepeda motor.

Sepeda motor itu melaju ke pinggir, tepat di sisi jendelaku. Aku mencoba memperhatikan orang di atas sepeda motor itu, sulit karena wajahnya tertutup helm, dan kaca mobil ini cukup gelap.

Ia menengok ke arahku, membunyikan klaksonnya dua kali, dan kemudian menambah kecepatan menyusul mobil kami.

"Setidaknya dia pakai helm," ayah menggerutu di sebelahku.

"Ya…" aku menjawab sambil berbisik.

Mungkin kalau aku bisa berteman baik dengan Athrun, nanti aku bisa memintanya mengajakku naik sepeda motornya.


Judulnya tidak begitu nyambung dengan fic-nya, memang. Gomen…
Review... please...?