Hallo!
Gue baca komen kalian, dan akhirnya gue mutusin untuk memecahkan masalah yg sedang kita hadapi. Short of sih sebenernya kak Daniel, si yg punya story asli OnMyDoorStep, emang ngebuat chap pendek2 doang, tapi aing disini ngegabungin beberapa chap jadi 1 biar kalian lebih enak bacanya.
So, sorry nih kalo gue mulai lagi dari awal dan jadwal update gue bakal sedikit lebih lama dari biasa karena kan words yg gue translate juga nambah.
Udah gitu sih.
THEN, ini adalah cerita terjemahan dari sebuah buku yang dipublish di Wattpad. The title is On My Door Step, written by Daniel Janoskian. The source language is English and the target language is Indonesia.
Selain itu, gue juga udah dapet ijin dari penulis aslinya, kak Daniel. So, this story is not mine, but Daniel's yang super awesome itu. Story aslinya bisa kalian cek di akun wattynya kak Daniel, #janoskian3daniel.
Let'sBurnThisGirl
2018
.
.
.
.
.
.
.
.
.
2 tahun sebelumnya…
"Ya, aku tahu, aku tahu, dan tidak, aku tidak pergi ke pesta apapun, oke?" Aku mencoba bersyukur dengan ibuku yang overprotective dan sangat kaku.
Aku baru saja berbicara padanya di telfon sambil menyelesaikan esaiku untuk tugas kampus. Aku berdiri dari kasurku dan berjalan melewati lorong dan sampai di ruang tamu dimana aku mendudukkan diriku ketika ibuku berbicara tentang keluarga dan hari-hari mereka, seperti aku peduli saja.
"Jadi kita kedatangan sepupu dan bibimu…"
"Mom, aku harus pergi sekarang. Aku punya banyak PR yang harus kuselesaikan dan ini sudah larut dan kau tahu aku sayang kalian, tapi kupikir cerita-cerita itu bisa menunggu sampai nanti, oke?" Aku tahu aku terdengar sedikit kejam, tapi itu juga berat untukku untuk terus hidup dengan banyak harapan darinya.
Sejak kecil aku selalu dibandingkan dengan saudara-saudara perempuan dan semua sepupuku, aku harus selalu jadi yang terbaik.
Jadi ketika sekarang di umurku yang kedua puluh, aku benar-benar sedang bekerja keras dengan esaiku daripada pergi berpesta, orang tuaku masih saja tidak percaya.
Setelah aku mengatakan selamat malam pada ibuku dan kembali meyakinkannya jika aku tidak melacur, aku pergi tidur.
Mengambil kaos hitam panjang dan membiarkan rambut pirangku keluar dari gelungan, aku akhirnya berada di bawah selimut dan menutup mata, berusaha fokus untuk tidur.
Tidur.
Tidur.
Aku menguap dan merasakan kantuk membawaku, lalu datanglah sebuah ketukan.
Aku bangkit dan berjalan menuju pintu, memastikan jam tanganku bahwa ini harusnya kelewat larut untuk berjalan menuju pintu.
Ketika aku membuka pintu, aku tidak menemukan siapapun dan amarahku mulai membara. Tidak boleh ada seorangpun mempermainkanku dengan ketukan pintu seperti itu. Tapi kemudian aku mendengar sebuah tangisan, sebuah tangisan bayi dan aku menunduk untuk menemukan sebuah buntalan bassinet.
Aku menoleh kesana-kemari jika mungkin ada sesorang tapi tidak ada siapapun yang kulihat di kegelapan. Aku berjongkok dan melihat sebuah catatan. Catatan itu tidak mengatakan apapun tapi….
Satu bulan. Cewek.
Terimakasih.
Itu tidak ditulis dengan tangan, tapi dicetak dengan printer, jadi tidak ada jalan untuk mencaritahu siapa yang menulis itu.
Aku meraih keranjang bayi itu dan menggendong bayi di dalamnya untuk menghentikan raungannya.
Menggendong si bayi perempuan kecil itu dan menepuk-nepuknya hati-hati, kupikir besok aku harus mendapatkan beberapa susu.
Kau mungkin bertanya mengapa aku tidak pergi ke kantor polisi atau melaporkan sesuatu kepada seseorang, tapi ketika aku melihat wajah bayi kecil ini, hatiku meleleh.
Dan itu adalah malam pertama.
.
.
.
.
.
"Aku bersumpah, mom, ini bukan anakku! Aku menemukan dia di depan pintuku!" Ini sudah seminggu sejak aku menemukan Camerri di depan pintu. Aku sudah membeli kereta bayi and susu, dan menganggap aku lelah adalah maklum.
Menyeimbangkan sekolah dan mengurus bayi itu sulit. Dan sekarang ayah dan ibuku tidak percaya padaku. Mereka pikir aku telah mempermalukan keluarga dan kini mereka membuat sebuah opera sabun, bagian terburuknya adalah separuh dari keluarga besarku ada disini.
"Naruto, ceritakan yang sejujurnya!" Ayahku membuat semua orang berhenti berbicara untuk mendengarkan kami. Semua paman, bibi dan sepupuku merautkan keterkejutan di ekspresi mereka.
"Sudah ku katakan!" Ungkapku. Keranjang bayi ini menyakiti lenganku dan aku benar-benar lelah. Aku hanya ingin tidur dan dukungan.
"Pergi sana! Aku tidak ingin ada pembohong di rumahku! Pergi!" Aku gemetar pada teriakan ayah ketika ibuku juga bersekutu dengannya. Aku tidak mungkin berhasil, jadi aku melakukan apa yang terbaik saat itu dan pergi ke dalam mobil bersama bayiku.
Jika mereka tidak ingin mempercayaiku, aku tidak punya pilihan lain selain meninggalkan apa yang dulu pernah kusebut rumah. Dan pertama kalinya untuk waktu yang lama, aku menangis.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
2 tahun kemudian….
"Aku ingwin pwermeen."
"Oke ok cium dulu." Anak perempuanku membungkuk dan membubuhkan ciuman kecil nan basah ke pipiku. Aku tersenyum sebelum mengulurkan sebuah lolly pop.
Itu jam 5 sore dan aku baru saja kembali dari tempat kerja untuk menjemput anak perempuanku yang berusia 2 tahun, Camerri.
Kuliah sudah melayang pergi dan kini aku bekerja di perusahaan besar stasiun radio, aku punya apartment nyaman dan hidup cukup baik untuk sekarang.
"Mommy, Angwie mengambil crayownku hari inwi jadi aku mwenggigitnya dan aku kenwa hukwuman." Katanya. Batinku terkesiap senang pada keimutan anakku. Untuk anak seusia 2, dia berbicara banyak.
"Kita tidak seharusnya menggigit orang, sweety." Aku memberitahunya mengapa itu tidak baik dan mengapa dia harus bersikap baik.
.
.
.
Ketika kami sampai rumah, aku membuat makan malam dan kemudian membantu Camerri tidur. Besok adalah Sabtu dan aku tidak bekerja di hari Sabtu dan Minggu, jadi aku memutuskan main di taman akan menyenangkan untuk Camerri.
Ketika aku berbaring di ranjang, pikiranku melalang pada Cam dan keluargaku… dan jika mereka mengenal Cam, mereka pasti menyukainya. Dia punya rambut hitam bergelombang sementara aku punya rambut lurus, tapi entah bagaimana kami mirip karena kami menghabiskan banyak waktu bersama.
Hidupku bagus dan jika aku bisa mengulang, aku akan tetap memilih untuk merawat bayi perempuan yang ada di emperanku itu.
.
.
.
.
.
.
.
Aku meraung pada suara konstruksi yang ada di luar sana. Aku mencoba untuk menutup mataku, tidur sedikit lagi ketika seseorang melompat-lompat di atasku.
"Mommy, mommy bagun." Aku menggumamkan beberapa kata sebelum bangun bersiap.
"Ini, honey. Pakai ini." Aku membantu Camerri berpakaian dan bersiap sebelum mengenakan tanktop hitam dengan cardigan abu dan menyambar jeans.
"Mommy, ayo! Atau aku tidak akan bisa naik ayunan! Cepat cepat." Dia mencoba menarikku dengan tangann kecilnya menarik lenganku dan aku tertawa sebelum meraih ponsel dan kunciku sebelum keluar gedung dangan tangannya dalam genggamanku.
Kami bermain. Aku mengawasi jalan yang ada di taman dan aku membiarkannya pergi bermain sedangkan aku duduk di kusi taman, tapi kemudian aku berakhir bermain tag (trans: permainan dimana satu mengejar dan mencoba menyentuh yang lain) dengan Camerri, yah aku adalah seorang anak kecil jauh di dalam hatiku.
"KUTANGKAP KAU!" Teriakku dari seberang taman, Camerri tertawa jahat (yang mana sangat lucu).
"KAU TIDAK AKAN PERNAH MENDAPATKANKU MWAHAHAHAHA."
"OH YEAH." Aku mulai lari mengejarnya, aku meletakkan tanganku untuk menyentuhnya ketika dia berhenti dibelakang kaki orang asing.
Benar-benar orang asing yang baru saja ku tubruk. Aku membersihkan tenggorokan sebelum mendongakkan kepalaku dan mengucap maaf, tapi kemudian aku kehilangan kata-kata.
Mata hitam onyxnya menatap mata biruku dan rambut hitamnya berantakan seolah ada seoseorang yang baru saja mengacaknya. Tulang pipinya tinggi dan kulitnya putih yang membuat tenggorokanku kering. Serta bibir penuhnya yang pink membuat kakiku mengeriting.
"Umm maaf." Kataku berdiri kaku dan tidak menyadari dua pria dalam balutan jas di belakangnya. Pria di depanku kelihatan tidak peduli pada mereka ketika dia mengeluarkan sebuah rokok dari saku jaket kulitnya dan meletak di antara barisan giginya.
Aku mengusap hidungku pada hal itu dan merasa seperti sedang di masa SMA. Pria ini adalah tipikal cowok nakal dan anak lain akan menjauhinya, dan aku tidak butuh anakku jadi perokok pasif.
"Camerri, ayo honey. Kupikir kita harus pergi." Kataku mengisyarat anakku. Dia mengagguk dan mendekatiku tapi sebelum itu, dia malah mengulurkan tangannya pada orang asing itu.
"Hello, aku Camerri. Senang bwertemu denganmu." Katanya dengan sopan meskipun dia tidak bisa berucap di beberapa kata.
Pria asing itu terkekeh dan menjabat tangan Cam.
"Uchiwa Sai dan kesenangan itu adalah milikku." Dia berkata dengan suara husky dan nada enaknya. Camerri tersenyum lebar dan dia pria itu melempar sebuah seringai. Bagus, sekarang dia akan mencoba membujuk Cam masuk ke kendaraannya!
Well, tidak di bawah pengawasanku!
"Dan inwi mommyku… tapi dia sebenarnya seorang vampir." Bisiknya di bagian akhir. Aku menampar diriku sendiri dalam mental lalu meraih tangannya.
"Well, honey. Aku yakin Mr. umm."
"Uchiwa, mommy, Uchiwa… Maafkan ibuku, dia lambat." Aku tercekat sementara Sai terkekeh.
"Ha ha… bukankah dia lucu." Kataku dan diam-diam mengirimkan tatapan tertarik pada Camerri dan menarik lengannya.
"Dan siapa namamu, miss?" Tanyanya. Aku mendekat sampai Camerri tidak bisa mendengarku.
"Dengarkan, bung. Aku punya yang hal yang lebih baik dilakukan sekarang dan anakku sama sekali tidak butuh jadi perokok pasif atau asma, jadi katakan padaku apa maumu sehingga kami bisa segera pergi!" Bentakku dan dia menaikkan alisnya sebelum mengeluarkan rokok dari mulutnya dan membuangnya ke bawah.
"Dobe, aku suka ini, berapa tarifmu untuk semalam?" Aku tercekat dan mengepalkan tanganku yang bebas menjadi sebuah tinju dan mendorong diriku sendiri untuk menampar bajingan ini dan mengenyahkan seringainya.
"Maksudku ayolah, ibu tunggal dengan seorang anak, bagaimana kau membayar semua tagihan, huh? Aku bertaruh kau punya empat laki-laki semalam, tidak, mungkin 3." Katanya dengan suara rendah yang seduktif.
Aku merasakan amarah yang membumbung dan membiarkan tanganku bertindak yang mana menyebabkan seluruh penghuni taman berhenti dan menatap. Dua laki-laki yang aku asumsikan pengawalnya bergerak ke depan ketika Sai menghentikan mereka.
Dia kelihatan marah dan matanya berkabut, membuatku takut.
Dia meraih lenganku yang bebas dengan kelembutan yang tidak ada jika aku boleh menambahkan, dan membawa wajahnya mendekatiku. "Kau akan membayar untuk itu, Naruto." Aku menggigil pada caranya namaku tergulung di lidahnya dan merasakan lebih banyak rasa terkejut pada bagaimana bisa dia tahu namaku.
"Menyenangkan bertemu denganmu, Camerri. Aku akan menemuimu lagi nanti." Katanya sambil mengedip pada Cam sebelum membebaskan lenganku dan pergi menjauh tanpa menengok ke belakang.
.
.
.
"Mommy, kenapa kau memukul lelaki baik itu?" Tanya Camerri di perjalanan kami pulang, aku menyerah pada pertanyaannya dan mengendikkan bahu. Apa yang membuatku benar-benar ingin tahu adalah bagaimana Sai tahu namaku.
.
.
.
.
Ketika kami sampai di rumah, aku menggiring Cam untuk mandi sebelum mekan malam dan mengirimnya tidur.
Saat berbaring di ranjang, aku mencoba berpikir tentang ribuan cara Sai tahu namaku sebelum jatuh tertidur dengan perasaan seseorang sedang mengawasiku.
.
.
.
.
.
"Jwangan lwupa, mommy." Aku mengangguk lagi untuk ribuan kalinya ketika aku berjalan bersama Camerri ke pintu. Dia sudah mengingatkanku bahwa penjaga-penjaga di day care tidak bisa bekerja untuk sisa minggu ini dan aku tetap mengingatkannya bahwa aku tahu dan bahwa aku sudah meliburkan diri untuk minggu itu.
"Oke ok honey, hanya selesaikan hari ini dan kemudian kita bisa menikmati minggu menyenangkan itu. Bagaimana?" Kataku. Cam memekik sebelum memberikanku sebuah ciuman di pipi dan berjalan masuk ke day care.
Aku melambai sampai jumpa pada Hinata dan Kiba, dua pekerja, sebelum memasuki mobilku untuk bekerja. Ok, hanya tinggal jual 2 lagi lukisan dan melakukan dua shift di stasiun radio.
Ya, aku melukis. Hanya pekerjaan sampingan tapi aku sudah mendapatkan banyak uang sejauh ini, dan aku sedang berpikir aku bisa meninggalkan job tetapku untuk yang lebih baik, seperti memulai sebuah art Galla.
.
.
.
.
Setelah shiftku di stasiun radio, aku mengemudi ke rumah dengan cepat dan berganti pakaian menjadi sebuah gaun ketat hitam selutut dan punggungnya kosong sementara aku membiarkan rambutku terurai dengan keriting kecil di belakang. Aku meraih dua lukisanku sebelum dengan lembut meletakkannya di mobil dan mengemudi ke priaku.
Pria yang membeli lukisanku dan menjualnya kembali atas namaku.
Sejauh ini aku meraup 300 ribu dolar, tapi di New York uang habis dengan cepat. Terlebih ketika kau punya dua orang untuk dinafkahi ditambah day care. Aku juga menabung untuk biaya kuliah Cam dengan baik.
Ketika aku sampai, aku mulai merasa gugup. Hari ini aku harus bertemu dengan salah satu pembeliku. Ketika aku masuk ke ruangan Galla besar, aku meraih lukisan-lukisanku dan menahannya dengan erat karena mereka berat. Aku melihat beberapa lukisanku dan tersenyum ketika beberapa orang mengamatinya dengan takjub.
Menuju ke seorang pria dengan setelah ungu, lebih dikenal sebagai pria yang kusebut tadi (Chouji). Aku melihat seorang pria lagi berumur sekitar 40 dan seorang wanita kurang lebih berumur sama. Si pria semacam pria yang punya keriput dan rambut abu-abu. Sementara si wanita terlihat cantik dan modis.
Ini adalah pembeliku. Aku bergidik pada pemikiran dari beberapa hal yang mana segalanya bisa jadi salah. Seperti bagaimana jika aku terpeleset ketika menuju mereka dengan lukisan-lukisan berat ini atau rambutku tersangkut di kanvas. Aku bergidik lagi dan berjalan mendekat dengan kepercayaan diri di heelsku.
"Aah ini dia!" Aku membiarkan sebuah senyum terumbar pada sapaan Chouji ketika aku meletakkan bungkusan kanvas ke lantai.
Aku mengulurkan tanganku dan memperkenalkan diri, "Hai, aku Namikaze Naruto, senang bertemu denganmu." Si wanita tersenyum dengan hangat dan suaminya mengambil tanganku untuk dijabat.
"Fuku Uchiwa, dan ini istriku Mito." Aku tersenyum pada mereka dan menganggukkan kepalaku. "Dan ini adalah anak kami, oh ya kau harus bertemu dia," Aku mendongak dan merasakan rahangku membentur lantai.
"Sai Uchiwa." Kata pria itu sambil mengulurkan tangannya. Aku menjabatnya dan menemukan penampilannya sekarang berbeda. Sekarang dia mengenakan setelah biru navy dan dia kelihatan menawan.
"Na-Naruto Namikaze." Kataku sambil berusaha mengontrol gagapku ketika tangan hangat Sai membungkus milikku, menyebabkan kejut merambati lenganku. Kami bertatapan satu sama lain sebelum sebuah deheman membuatku menarik tangan.
"Baiklah, jadi sekarang karena perkenalan sudah selesai, mari bicara mengenai bisnis." Chouji berkata ketika dia membimbing kami berempat masuk ke ruang belakang besar. Membawa kanvas-kanvasku, aku berusaha tetap menjaga diriku imbang, tapi malah berakhir jatuh.
Sebuah tangan menggapai dan meraihku. Lengannya melilit perutku, menyebabkan sengatan listrik mengaliri tubuhku. Aku bergidik ketika mendongak pada mata gelap itu dan merasakan perutku mencelus.
"Dobe." Katanya sebelum melepaskanku dan berbailk. Aku menatapnya tajam sambil berjalan menabrak bahunya dengan kasar.
"Kami sangat menyukai karyamu, Naruto, oh gosh bisakah kita memanggilmu Naruto?" Aku tersenyum pada bagaimana Mrs. Uchiwa berusaha dekat denganku dan karyaku. Aku mengangguk, membuat senyumnya lebih lebar ketika aku mendengar sebuah bersitan dari pojokan.
Kenapa dia melakukan itu? Aku berpikir sambil melempar belati pada Sai.
"Terimakasih, kuharap kalian tertarik membeli salah satu dari ini?" Aku mengeluarkan dua lukisanku. Salah satunya adalah seorang gadis yang punya desain ikatan rambut rumit dan sebuah air mata mengalir di wajahnya, sementara yang lain adalah sebuah pantai dengan mata hari terbenam.
Mata Mr. Uchiwa melebar dan Mrs. Uchiwa tercekat, tapi mataku terarah pada Sai ketika dia mempelajari lukisanku. "Terlihat seperti sampah." Itu memukulku dengan sangat kuat dan aku menatap Sai dengan sebuah tatapan tajam.
"Sai! Tidak!" Mrs. Uchiwa berkata sambil menatap puteranya dengan tatapan tidak percaya.
"Mr. Uchiwa, apakah ada yang salah?" Chouji bertanya dan Mr. Uchiwa menggeleng ketika dia mengamati lukisanku.
"Wow, nak, kau punya bakat. Ini, ini mengesankan." Aku tersenyum pada kesungguhan tatapan di wajahnya dan merasa lebih baik. Chouji mengajukan sebuah harga. 400 ribu dolar untuk keduanya.
"Jadi, Naruto, kau sudah menikah?" Aku menoleh pada Mito dan tersenyum sambil menggeleng.
"Tidak, aku tidak menikah, tapi aku punya seorang puteri." Aku tidak berani menatap wajah mereka, mengetahui sebuah tatapan ada pada wajah mereka.
Seperti wow, ibu tunggal.
"Bisakah kita melihatnya, oh nak, anak-anak pasti bagus!" Aku menatap kaget pada reaksi Mrs. Uchiwa dan tersenyum padanya sebelum mengeluarkan ponselku dan menunjukkan si paling manis yang memakai gaun matahari. Mereka tercekat pada Cam dan aku melihat Sai yang memperlajariku dengan alis terangkat intens.
Aku mengambil kembali ponselku ketika kami berdiri untuk mengatakan salam perpisahan. Sai pergi tanpa kata dan Mr. maupun Mrs. Uchiwa meminta maaf atas kelakuan anaknya sebelum pergi.
Aku berjalan ke mobilku dan melihat sebuah catatan di penghalau hujanku. Oh bukan, bukan sebuah tiket.
Aku mengambil dan membaca apa yang ada disana berisi satu kata.
Dobe.
Bersambung...
