A Thousand Candles

written by Merica Super

enjoy it!

Ruangan yang dingin, sepi dan gelap. Aku berjalan dengan membawa sebuah lilin. Lilin ini akan membawaku menyusuri hidupku kembali. Aku Jeon Wonwoo. Ini adalah hidupku.

Masa sekolah mungkin menjadi masa yang menyenangkan bagi remaja seusiaku. Tapi tidak bagiku.

Pernahkah kalian menjadi pusat perhatian saat berjalan di koridor? Aku setiap pagi mendapatkannya.

Bukan tatapan kagum melainkan tatapan kebencian dari seluruh murid di sekolahku.

Pernahkah kalian mendapati loker yang penuh kejutan saat kalian membukanya? Aku tiap pagi harus membersihkan loker dari banyak "kejutan" yang kudapat.

Karena itu aku lebih memilih membawa pulang barangku. Mungkin kalian juga akan melakukan hal yang sama karena lokerku ini penuh dengan sampah dan ada beberapa bangkai tikus.

Pagi ini masih seperti biasa. Setelah membersihkan kelas karena penuh coretan buruk atas namaku, aku mempersiapkan seragam olahragaku. Tiba-tiba ketua kelas memanggil.

"Hei, Jeon! Kau dipanggil Kang ssaem sekarang"

Ruang guru lagi. Aku sudah menduga. Ini pasti masalah uang sekolah yang menunggak. Apakah aku tidak dapat beasiswa? Tentu aku pernah mendapatkannya. Tapi semua dicabut karena segala fitnah yang kudapat. Ya aku memang sangat beruntung kan?

Bagaimana dengan keuangan keluarga? Oh aku hanya punya seorang kakak laki laki. Ibuku meninggal saat aku lahir dan ayah kabur saat aku berusia 2 tahun. Karena itulah kakakku sangat membenciku. Aku dianggap pembawa sial. Ya inilah aku.

Aku kembali ke kelas setelah meminta perpanjangan waktu lagi pada wali kelas. Dan yah aku sangat ceroboh meninggalkan seragam olahragaku di atas meja. Karena sekarang seragamku sudah penuh dengan cairan berbau aneh.

Daripada mendapat hukuman karena tidak memakai seragam, aku lebih memilih tidur di UKS. Kuharap tidurku kali ini sangat nyenyak sehingga aku tidak perlu bangun lagi.

Masa sekolah yang sangat kelam. Aku kembali berjalan bersama lilin di tanganku. Di depan sana aku melihat sebuah lilin dengan sebuah foto disampingnya.

Seorang laki laki yang sangat tinggi dengan kulit kecoklatan dan sepasang gigi taring yang menonjol yang membuat senyumnya terlihat manis. Kim Min Gyu namanya.

Pagi ini Kang ssaem masuk bersama seorang laki laki di belakangnya. Murid baru?

"Annyeong haseyo. Namaku Kim Mingyu. Mohon bantuan kalian semua"

"Kim Mingyu-ssi duduklah di sebelah Jeon Wonwoo. Jeon Wonwoo haksaeng, angkat tanganmu"

Aku mengangkat tanganku dan murid baru itu berjalan menuju arahku.

'Anak baru yang malang'

'Aku bertaruh 500 won dia akan terkena kesialan'

'Aku kasihan dengan anak baru itu'

Oh aku juga mendengar bisik-bisik anak sekelas itu. Tapi biarlah. Aku tidak akan mempedulikannya.

"Annyeong Jeon Wonwoo-ssi. Aku Mingyu" ujarnya setelah menaruh tas.

"Ya aku sudah mendengarnya tadi"

"Dingin sekali kau ini"

Aku tidak membalas dan mulai memperhatikan materi di depan.

Jam pelajaran selesai. Aku sudah membereskan peralatanku. Aku harus segera menuju toko buku tempatku bekerja paruh waktu.

"Hei Jeon Wonwoo-ssi! Kau meninggalkan sesuatu!"

Aku berhenti di depan pintu kelas karena suara itu. Ah ya. Mereka melimpahkan segala bentuk piket kelas padaku. Akhirnya aku kembali lagi dan mulai membersihkan kelas.

Apakah aku terlihat bodoh menurut kalian. Aku memang bodoh dan tidak berdaya disini. Aku lebih baik menerima ini daripada aku harus pulang dengan tubuh hancur karena dipukul beramai-ramai. Aku sudah pernah merasakannya omong-omong.

Semua murid di kelasku pergi saat itu. Hanya ada satu orang. Si anak baru itu. Entah kenapa dia hanya diam di bangkunya.

"Apa kau membersihkan kelas ini sendirian?"

Aku hanya menatapnya dan melanjutkan pekerjaanku.

"Bolehkah aku membantumu?"

Aku tidak membalas walau aku mendengarnya.

"Kuanggap kau setuju"

Anak itu segera mengambil alat pel dan air. Setelahnya dia mengepel lantai yang sudah kusapu. Aku tidak tahu kenapa dia melakukan ini tapi yang jelas dia sangat membantuku.

Setelah selesai membersihkan kelas, aku mengambil tas.

"Terima kasih atas bantuanmu Kim Mingyu-ssi. Aku pergi dulu"

Aku langsung keluar dari kelas. Bukan maksud tidak tahu diri. Tapi aku sudah terlambat 10 menit untuk bekerja.

Aku sampai di depan toko buku. Tapi ada yang aneh. Kenapa toko masih tutup? Toko ini buka setiap hari.

"Nak, Wonwoo" panggil seseorang. Ah ternyata Choi ahjussi. Pemilik toko ini.

"Oh ahjussi. Maaf aku terlambat" aku segera membungkukkan tubuhku.

"Maaf sebelumnya. Toko ini terlalu sepi. Aku terpaksa menjualnya untuk membayar hutang. Dan aku hanya bisa memberimu buku ini"

Aku menerima 2 buah novel terkenal yang diberi Choi ahjussi.

"Terima kasih atas buku ini. Lalu sekarang ahjussi bagaimana?" Aku tetap saja memikirkan ahjussi daripada diriku sendiri.

"Aku akan pulang ke Yeoseo-do. Baik baiklah kau disini nak. Atau kau mau ikut denganku?"

"Ah tidak ahjussi. Anda sudah banyak membantuku selama ini. Aku akan mencari pekerjaan lagi"

"Baiklah. Aku pergi dulu. Selamat tinggal nak"

"Sekali lagi terima kasih ahjussi atas buku ini dan bantuan anda selama ini" aku kembali membungkukkan badanku.

Yah seperti inilah. Aku butuh uang dan aku kehilangan pekerjaan.

Aku membalikkan badan dan menemukan Mingyu disana.

"Eum hai. Aku tadi mengikutimu dan tidak sengaja mendengar yang tadi. Maaf"

Aku hanya menatapnya sebentar dan hendak berjalan melewatinya.

"Tunggu! Kau butuh pekerjaan kan? Kafe tempatku bekerja sepertinya butuh karyawan tambahan"

Aku berhenti dan mendekat padanya.

"Apa? Kenapa kau melihatku seperti itu?" Tanyanya

"Kenapa kau melakukan ini?" Tanyaku

"Melakukan apa? Aku hanya berusaha membantumu"

"Kenapa kau membantuku?"

"Karena kau temanku"

Teman. Omong kosong apalagi ini?

"Teman kau bilang?" Ujarku.

"Ya. Kau mau kan jadi temanku?"

Aku tidak menjawabnya.

"Oh! Kalau kau tidak mau jadi temanku, maukah kau jadi teman laki-lakiku?"

Aku secara reflek memukul wajahnya.

"Pukulanmu lumayan juga. Kuanggap itu jawaban kau mau menjadi temanku. Kutunggu besok di tempat kerja teman! Hanya 2 blok dari sini. Sampai jumpa!" Ujarnya sambil berjalan meninggalkanku.

Kim Mingyu itu memang bodoh ya? Tapi dia juga orang pertama yang mengajakku berteman dengan tulus.

Setelah hari itu aku bekerja bersama Mingyu di kafe milik lelaki muda bernama Jeonghan hyung.

Aku kembali berjalan. Di depan sana ada sebuah lilin berwarna merah. Merah. Itu adalah warna kesukaan kakakku.

Malam itu aku baru pulang bekerja. Begitu masuk rumah, aku mendapati rumah yang sangat berantakan.

Aroma alkohol dan pecahan kaca memenuhi ruangan. Aku tahu ini perbuatan kakakku.

"Hei anak sial! Beri aku uang!"

Benarkan? Dia langsung muncul tuh.

"Aku tidak punya uang!"

"Anak tidak berguna! Dimana kau sembunyikan hah? Berikan!" Ujarnya sambil menggeledah seluruh sakuku.

"Kubilang aku tidak punya uang brengsek!" Aku mendorong tubuhnya menjauh.

"Anak sialan. Kenapa aku harus hidup denganmu hah?"

"Aku juga tidak mau hidup denganmu"

"Berani menjawab kau?! Dasar anak tidak tahu diri! Anak pembawa sial! Gara gara kau ibu meninggal dan ayah pergi. Harusnya kau mati saja sialan!"

Cukup sudah. Aku benci mendengar ini setiap hari.

Aku segera menuju ke dapur dan mengambil sebuah pisau.

"Kau bilang aku anak pembawa sial kan? Ini. Bunuh saja aku. Dengan begitu kesialan akan berhenti menghampirimu." Aku memberikan pisau itu pada kakak.

"Bicara apa kau?" Dia tidak mengambil pisau ini.

"Kau pikir aku menjalani hidup dengan mudah? Aku masih harus bersekolah dan bekerja sedangkan kau? Kau hanya menghambur-hamburkan uang yang kucari. Sebenarnya siapa yang sialan disini hah?" Ah lega sekali aku bisa mengeluarkan emosiku.

"Kenapa tidak kau ambil pisau ini hah? Ah. Apa kau tidak mau mengotori nama terhormatmu sebagai lulusan terbaik dengan membunuh orang huh? Baik. Aku akan membunuh diriku sendiri"

Aku menempelkan pisau itu pada pergelangan tangan kiriku.

"Apa yang kau lakukan? Hentikan bodoh!" Ujarnya

"Kenapa?! Aku juga sudah lelah hidup seperti ini!"

Aku menggores lenganku cukup dalam. Ah ternyata rasanya sangat melegakan. Perih dan kebas ini rasanya sangat menyenangkan.

Tiba-tiba ada yang membuang pisauku dan memukul wajahku.

"Kubilang hentikan bodoh!"

Ah rupanya itu adalah kakak.

"Kenapa? Bukannya kau tidak mau hidup denganku?"

Aku merasakan tubuhku mulai lemas. Pandanganku kabur dan aku tidak kuat menyangga tubuhku lagi. Aku tidak memikirkan apa-apa dan langsung menjatuhkan diri. Kuharap aku benar-benar mati.

Tapi nyatanya aku masih bisa sadar. Aku melihat sekeliling. Ini adalah kamarku. Tangan kiriku dibalut perban dengan rapi dan tangan kananku yang digenggam kakak.

Huh? Apa yang terjadi?