Semua kisah cinta memiliki awal.
Kisah cintaku berawal dari Graduation Party.
Malam ini semua murid senior yang telah lulus berkumpul untuk bersenang-senang. Merayakan saat-saat terakhir sebelum resmi melepas gelar anak sekolah, sekaligus menggunakannya sebagai acara perpisahan. Ini bukan acara resmi sekolah. Hanya inisiatif yang mendapat dukungan mayoritas murid.
Semua orang tampak bersenang-senang. Sayangnya, aku tidak termasuk semua orang itu. Aku tidak bisa menikmati pesta itu karena diseret paksa menuju taman tak jauh dari sana.
Kalian lihat? Anak laki-laki malang di bawah pohon dekat sana? Yang sedang dipukuli oleh sekawanan anak laki-laki lain?
Ya, itu aku. Aku yang malang.
Tidak, kalian tidak perlu merasa kasihan. Aku tahu akan mendapat perlakuan seperti ini, makanya aku hanya diam saja menerima semua itu.
Kenapa aku dipukuli dan ditendangi hingga babak belur begini, kalian tanya?
Itu karena teman sekelasku -yang sepertinya menaruh dendam padaku karena aku sempat mengencani gadis idamannya- entah bagaimana mengetahui rahasia terbesarku. Rahasia yang bahkan baru aku sadari dua minggu lalu dan masih kuragukan kebenarannya. Sesuatu yang menyangkut orientasi seksualku.
Aku -gay.
Bagaimana bisa itu terjadi, aku tidak tahu. Tapi sepertinya itu cukup menjelaskan alasan kenapa aku tidak pernah mampu berkencan lebih dari satu bulan dengan gadis secantik atau semenarik apapun dan kenapa aku selalu tidak bisa menikmati setiap skinship saat bersama mereka.
Kenyataan ini hanya pernah aku katakan pada dua orang.
Sahabatku, Ten dan teman cinanya yang berjanji akan menutup mulut rapat-rapat; Dong Sicheng -Winwin.
Aku harusnya belajar dari film-film yang pernah kutonton, jika aku tidak boleh begitu saja mempercayai siapapun yang belum aku kenal baik -bahkan satu yang mempunyai wajah terlampau polos dan tak berdosa seperti Winwin.
Aku tahu Ten tidak mungkin mengkhianati kepercayaanku karena aku terlalu mengenal baik dirinya. Dimana aku bisa menemukannya, dimana dia tinggal, alamat kampung halamannya di Thailand, sampai nomor telepon orangtua dan adiknya pun aku punya. Itu akan memudahkanku jika aku ingin membalas dendam padanya.
Jadi satu-satunya alasan kenapa orang-orang ini tahu, tak lain dan tak bukan adalah, pasti karena Winwin -dan mulut polosnya. Aku tak bisa terlalu menyalahkannya.
Aku menduga dia tidak sengaja mengatakannya pada Yuta, yang memang dekat dengannya. Kemudian Yuta asal bicara lagi saat bersama teman-temannya di klub sepak bola.
Fuck my life.
Aku tidak keberatan dipukuli karena orientasi seksualku yang menyimpang. Mengingat fakta aku juga masih berusaha mencari kebenaran tentang itu. Bisa saja kan, setelah aku dipukuli pikiran tentangku menjadi gay itu akan hilang? Aku tahu itu sedikit ekstrim, tapi tak ada jalan lain yang bisa kupikirkan.
Aku juga belum memberitahukan tentang hal ini pada orangtuaku. Karena rasanya terlalu aneh.
Ayahku orang yang tak banyak bicara, cuek, dan dingin. Jadi sepertinya ini takkan berpengaruh banyak untuknya. Sementara ibuku yang penyayang, mungkin hanya akan berkata dia akan mendukung apapun yang bisa membuatku bahagia, tapi tetap berusaha menjauhkanku dari adikku, Jaemin, agar dia tidak menjadi sepertiku nanti karena masih menginginkan cucu.
Setidaknya, itulah skenario yang melintas berulang kali di benakku, sehingga aku terus memilih untuk tutup mulut.
Tepat saat salah satu dari mereka mendaratkan tendangan keras di tulang rusukku, seseorang berteriak.
"Hey, berhenti! Apa yang kalian lakukan!"
Tawa-tawa itu terhenti. Mereka semua berpaling dariku.
"Kami hanya sedang bersenang-senang."
Sambil terbatuk kecil, aku tertawa lemah. Jadi memukuli orang seperti ini mereka anggap sebagai bersenang-senang?
Aku tidak tahu apa yang terjadi, kepalaku sangat pusing.
Berguling ke samping, aku memuntahkan darah dari mulutku dan mencoba bangkit sebelum seseorang dari mereka meletakkan tangannya di bahuku. Tanpa sadar aku tersentak, masih menunggunya mendorongku kembali ke tanah, tapi tangannya hanya diam di sana.
Sebuah suara lembut mulai berbicara padaku.
"Hey, tidak apa-apa. Aku tidak akan menyakitimu. Mereka sudah pergi. Ayo, aku bantu membersihkan lukamu."
Aku membiarkan orang asing itu membantuku berdiri, tetap menahan pandangan mata ke tanah saat dia membawaku ke salah satu kursi. Dia berkata padaku untuk menunggu sementara dia akan berlari pergi ke apotek sebentar.
Mata kiriku bengkak dan susah dibuka, sudut-sudut bibirku berdarah, seluruh tubuhku sakit, apalagi dibagian tulang rusuk dan bahu. Benar-benar sial.
"Jangan pegang lukamu dengan tangan seperti itu."
Jenis suara itu lagi, lembut namun tegas.
"Tahan. Ini akan sedikit perih."
Aku terkesiap saat kapas beralkohol menyentuh luka di sekitar bibirku. Aku meringis sambil mencoba memelototi penyelamatku itu, meski tanpa benar-benar mengangkat kepala.
"Kau benar-benar dibuat babak belur. Apa yang terjadi?"
Aku hanya diam.
"Kurasa kita harus ke kantor polisi dan membuat laporan."
"Tidak perlu. Ini bukan urusanmu -uhg!"
Sebuah kain basah menyentuh wajahku, digunakan menyeka dan membersihkan darah yang tersisa untuk beberapa menit.
Aku menatapnya. Anak laki-laki yang berdiri di depanku sepertinya seusia denganku dan sangat tampan. Memakai pakaian kasual dan berambut cokelat gelap. Dada bidang dan otot lengannya terlihat jelas dari balik kaos di bawah jaket yang dia kenakan.
Aku mengerang diam-diam.
Kenapa penyelamatku justru harus dia? Aku sudah punya cukup masalah untuk dipikirkan sekarang! Tidak perlu ditambah pemikiran betapa sexy-nya dia!
"Ini pasti sakit."
Mata cokelat indah itu melihatku dari dekat, hingga dahi kami hampir bersentuhan.
Dadaku tiba-tiba nyeri.
"Tidak ada luka yang terlalu parah, selain luka di dahi yang harus diperban. Tapi kau harus tetap pergi ke dokter untuk diperiksa."
Rambut cokelatnya tertimpa cahaya remang lampu taman dari atas, membuatnya semakin menawan.
Setelah dia memakaikanku perban, dia juga menyerahkan kantung es yang sudah agak mencair untuk mengompres mataku yang bengkak.
"Aku tidak yakin kau bisa pulang sendiri dalam keadaan seperti ini. Apa kau mau aku mengantarmu?"
"Bisa aku pinjam ponselmu saja? Aku akan menelpon temanku dan menyuruhnya datang untuk menjemput."
"Tentu. Pakai saja."
Aku menerima benda itu dan langsung menghubungi Ten.
Setelah berbicara beberapa saat dan menutup telepon, dia kembali menyodorkan kaleng minuman padaku. Aku menerimanya dan mengucapkan terimakasih pelan.
Dia mengulurkan tangan, berkata, "Namaku Jung Jaehyun."
"Taeyong. Lee Taeyong. Senang bertemu denganmu."
"Aku yakin, akan lebih menyenangkan jika kita tidak bertemu dengan keadaan seperti tadi."
Jaehyun meraih tanganku dan membaliknya, memeriksa punggung tanganku dan kembali mengobati beberapa luka gores di sana dengan hati-hati.
"Boleh aku bertanya sesuatu? Kenapa kau tidak melawan? Kenapa kau hanya diam dan membiarkan mereka memukulimu?"
Aku mencoba menarik tanganku, tapi Jaehyun tidak membiarkannya. Matanya menatap mata hitamku, seakan mencari jawaban dari sebuah pertanyaan yang bahkan belum aku beri izin untuk dia tanyakan.
Aku akan bicara tapi Ten lebih dulu datang. Memakai kaos merah muda kesukaannya dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Taeyongie! Astaga! Lihat apa yang mereka lakukan pada wajah cantikmu!"
Ten! Aku tidak cantik!
Aku ingin sekali berteriak. Tapi sahabatku itu bergegas mendekat, mendorong penyelamatku bergeser dari tempatnya semula, dan duduk tepat disampingku. Ten mulai melayangkan tangannya disekitar luka yang menghiasi wajahku sampai aku meringis karena dia tanpa sengaja menekannya.
"Aku pasti akan menyuruh orang membunuh mereka setelah ini. Aku janji!"
Ten terus mengoceh dan mengumpat heboh. Aku memutar mata, kembali merutuki hidupku sekali lagi.
Melewati bahu Ten, aku bisa melihat Jaehyun sedang menatap sahabatku itu dengan pandangan terhibur. Dia berusaha keras untuk tidak tertawa karena ucapan melantur Ten yang sesekali diselipi bahasa Inggris dan Thailand.
"Ten, bisa pergi dan ambilkan mobilku? Aku ingin cepat pulang dan tidur."
Aku melemparkan kunci mobil pada Ten, yang langsung menangkapnya.
"Tentu! Aku siap jadi sopirmu malam ini, Taeyongie! Kau akan sampai di rumah dengan selamat sebelum selesai berkedip!"
Berbalik untuk pergi, Ten melihat Jaehyun sejenak, menilainya dari atas ke bawah dengan sedikit air liur di sudut bibirnya. Seakan Jaehyun adalah potongan cokelat lezat siap santap.
Di belakang punggung Jaehyun aku memelototinya, menggerakkan bibir dengan maksud 'Pergi!' tanpa suara. Dia bergegas pergi setelah terkikik-kikik dan meminta maaf.
"Maaf untuk yang tadi itu."
Jaehyun mulai tertawa.
"Kau punya selera unik dalam memilih teman, Taeyong."
Aku mengangguk. Ini bukan pertama kalinya aku mendengar seseorang berkata seperti itu padaku.
"Ten memang sedikit terlalu hyper, tapi dia teman yang baik. Dia tidak pernah peduli dengan pandangan orang lain terhadapnya dan selalu bahagia menjalani hidup. Dia juga sangat berbakat. Semua orang yang pernah mengenalnya, pasti menyukainya."
Aku bangkit dari bangku perlahan, memastikan tidak jatuh meski sedikit limbung.
"Terima kasih sudah membantuku."
"Tidak masalah."
Jaehyun juga berdiri dan meraih lenganku.
"Aku akan menemanimu ke mobil. Orang-orang yang memukulimu tadi mungkin masih berkeliaran di sekitar sini."
"Tidak usah."
"Sayangnya aku memaksa. Aku tidak mau hasil kerja kerasku mengobati lukamu tadi berakhir menjadi sia-sia."
Aku menyerah dan membiarkannya memapahku menuju mobil yang sudah terparkir di pinggir jalan depan sana. Saat berjalan, aku tiba-tiba saja merasa bersyukur karena sudah lulus dan tidak akan bertemu dengan orang-orang itu lagi, juga tatapan mencemooh mereka di sekolah.
Memandang ke samping, aku baru menyadari jika Jaehyun ternyata lebih tinggi beberapa senti dariku.
"Taeyongie! Sini! Sini!"
Ten mengayunkan tangannya dari jendela mobil dengan berlebihan dan kelewat semangat. Berteriak sambil tersenyum lebar. Disaat seperti inilah kadang aku malu harus mengakui Ten sebagai teman.
"It's okay! Aku yang akan mengurusnya. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu lagi saat bersamaku, Taeyongie! Kau aman bersamaku! Seratus persen! Trust me! I'll be your guardian angel!"
Jaehyun tertawa saat ia membuka pintu penumpang, berbisik pelan penuh candaan.
"Haruskah aku lebih takut membiarkanmu pergi dengannya?"
Entah bagaimana aku berhasil tersenyum mendengar yang satu itu dan duduk di kursi tepat di samping Ten.
"Terima kasih."
Aku baru sadar Jaehyun punya dimple. Senyumnya juga manis sekali. Seberapa banyak pesona yang dimiliki orang ini sebenarnya?
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku senang bisa membantu."
Tidak tahu kenapa, tapi memikirkan kenyataan aku harus pergi sekarang membuatku sedikit tidak rela. Aku ingin mengobrol dengan Jaehyun sedikit lebih lama.
Aku mengangguk padanya, tersenyum kecil.
"Kami pergi sekarang. Jalankan mobilnya, Ten."
Aku melihat Jaehyun mundur dua langkah untuk memberi mobil kami jalan. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum dan berjalan kembali ke taman. Aku menyandarkan kepala pada kaca jendela mobil, menghela napas.
"Kau ingin aku mengantarmu pulang ke rumah?"
"Tidak. Aku tidak mau membuat orangtuaku dan Jaemin khawatir karena melihatku terluka. Kita ke tempatmu saja, Ten."
"Yippy~ aku sudah menunggumu mengatakan itu daritadi!"
Ten langsung memutar arah. Terlonjak girang sepanjang jalan saat berkata dia akan memaksaku menemaninya menonton Barbie semalaman.
Oh, God. Aku tertawa sumbang, sedikit meringis saat melakukannya. Siapapun tolong aku...
"Taeyong! Mau kemana?!"
"Pergi sebentar, bu!"
Setelah sembuh -secara fisik setidaknya. Aku mulai sering mengunjungi taman itu. Hanya untuk menghabiskan waktu, duduk, sambil melihat orang berlalu lalang dan menikmati waktu santai mereka -meski itu hanya alibi.
Alasanku yang paling utama tentu saja berharap bisa bertemu Jaehyun lagi.
Meski rasanya tidak mungkin mengakui ini pada orang lain, tapi sepertinya keraguanku terhadap orientasi seksualku waktu itu sudah sirna. Kini aku bisa dengan yakin mengakuinya.
Ya, aku memang gay dan aku menyukai penyelamatku waktu itu -Jung Jaehyun.
Mengenaskan sekali, bukan? Memiliki perasaan seperti ini pada laki-laki yang baru sekali kutemui dan hanya kutahu namanya saja.
"Apa yang kau harapkan, bodoh?"
Aku pulang ke rumah hari itu. Sekali lagi dengan perasaan kecewa karena orang yang kuharapkan tidak terlihat.
Masa liburan berakhir.
Aku berkemas dan memulai kehidupan baruku sebagai mahasiswa.
Aku memutuskan untuk melupakan semuanya saat melangkah pergi dari rumah. Melupakan Jaehyun, kenyataan tentang orientasi seksualku, dan segala hal yang pernah aku alami di masa sekolah. Aku akan memulai semuanya dari awal dan membuka lembaran
Ibuku dan Jaemin menangis karena aku akan tinggal jauh dari rumah. Sementara ayah -dia hanya menepuk bahuku sekali. Berkata agar aku belajar dengan giat dan menelpon jika butuh sesuatu.
Itulah yang mengantarku saat benar-benar pergi. Meninggalkanku berakhir kebingungan saat berjalan di sekitar kampus untuk menemukan kamar asrama dengan dua koper besar. Aku merasa seperti anak kecil yang ditinggalkan di hutan sendirian tanpa petunjuk apapun. Rasanya sangat asing.
"Taeyongie!"
Aku kenal suara itu-
"T-ten?"
Aku berpaling padanya. Sosok itu terlihat sangat berbeda dari yang terakhir kali kulihat. Model rambutnya baru -hitam side shave berponi- dan dia memakai banyak pierching ditelinganya. Satu-satunya yang tak berubah mungkin senyum lebarnya yang manis itu.
"Apa -yang kau lakukan di sini?" tanyaku kaget.
"Aku juga mahasiswa baru di sini. Duh, dulu aku kan sudah bilang akan mendaftar! Yah, dan aku lolos! Yay! Senangnya!"
Ten melompat-lompat bahagia sambil bertepuk tangan kecil -berhasil menarik perhatian setiap pasang mata dari orang yang kebetulan melewati kami.
Sambil memandang ke langit, aku mulai kembali bertanya-tanya.
Kenapa dulu aku mau berteman dengan Ten? Kenapa takdir sangat senang mempermainkanku?
Aku baru saja bertekad untuk memulai hidup baru di perguruan tinggi dengan melupakan semuanya. Tapi kini Ten malah ada tepat dihadapanku -dengan kopernya juga.
Aku ingin menangis.
"Kita satu kampus, Taeyongie! Jadi kita bisa sering bertemu dan menonton Barbie bersama lagi!"
Seseorang bunuh aku sekarang.
"Okay! Ayo ke asrama dulu. Aku tidak sabar melihat kamarku. Ayo! Ayo~!"
Lupakan. Siapapun, beri saja aku pistol atau senjata tajam. Aku akan membunuh diriku sendiri saat ini juga.
Butuh dua puluh menit penuh untuk menemukan letak gedung asramanya. Setelah perjalanan yang melelahkan itu setidaknya masih ada satu hal yang bisa aku syukuri. Ternyata Ten bukanlah teman sekamarku.
Maaf, Ten. Aku memang menyayangimu. Tapi aku tidak akan tahan jika harus mendengar teriakanmu. Juga menemanimu menonton Barbie tiap malam.
"Lihat, Taeyongie! Ini kamarku!"
Ten menarikku ke sebuah ruangan dengan bahagia -kapan dia tidak bahagia?- sambil menatap ke sekitar ruangan itu dengan terkagum-kagum. Dia duduk -melompat-lompat- di tempat tidur barunya.
Aku hanya berdiri di pintu, melakukan hal yang sama -menatap ke sekeliling.
Sejujurnya aku membayangkan ruangan yang lebih besar dari ini. Ruangan ini terlalu kecil jika diperuntukkan untuk dihuni oleh dua orang!
"Welcome."
Seseorang yang -baru kusadari- sudah lebih dulu ada di sana menyapa kami sambil tersenyum. Aku tiba-tiba merasa kasihan padanya karena dia harus sekamar dengan Ten.
"Aku Johnny. Yang mana teman sekamarku?" Tanyanya bingung -begitu melihat kami.
Aku menunjuk Ten yang mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi dengan bersemangat sambil berkata 'Aku! Aku! Aku!' tanpa henti. Aku ingin menegur dan mengingatkannya jika dia bukan lagi anak TK, tapi tidak tega.
Tingkahnya setelah itu, yang melihat teman sekamarnya sambil mengeluarkan liur -hal biasa yang dia lakukan saat melihat laki-laki tampan- juga sedikit memalukan.
Aku hanya bisa menghela napas.
Setelah berkenalan sekedarnya, aku menuju kamarku sendiri -yang rupanya ada dilantai yang berbeda. Lantai dua.
Butuh waktu berjam-jam untuk membongkar semua barang-barangku dan menatanya sampai memenuhi standar kerapihanku.
Setelah itu aku juga tidak bisa istirahat meski lelah, karena Ten datang dan langsung menarikku paksa untuk berkeliling -melihat-lihat sekaligus mengingat lokasi tempat yang akan sering kami datangi katanya.
Itu sudah cukup sore saat aku kembali ke kamar, sedang menatap keluar jendela -yang tepat berhadapan dengan sebuah pohon besar, yang salah satu batang kokohnya bisa digapai dan dinaiki dari sana- saat aku menyadari jika aku masih belum punya teman sekamar.
Mungkinkah aku salah satu mahasiswa beruntung yang akan tinggal sendiri dan bisa menikmati kamar asrama sendirian?
"Permisi. Aku masuk ya!"
Sayangnya pikiran menyenangkan itu tidak berlangsung lama.
Segera setelahnya, seseorang membuka pintu ruangan itu dan masuk dengan tumpukan kotak besar di tangannya.
Seketika melonjak dari posisi berbaring di tempat tidur, aku berjalan ke arahnya.
"Sini aku bantu." kataku berbaik hati.
Wajah orang itu tak terlihat karena terhalang tumpukan kardus.
"Terima kasih."
Mengambil alih kotak paling atas -yang rupanya cukup berat- aku langsung berbalik dan meletakkannya di meja lain yang masih kosong. Sementara orang itu mulai menaruh kotak-kotak lain ditangannya ke lantai dekat tempat tidur satunya dan kembali berdiri -mengusap peluh di dahinya dengan tangan.
Oh, no.
Jika aku sedang memegang sesuatu sekarang, aku pasti sudah menjatuhkannya. Sama seperti aku yang hampir menjatuhkan diriku sendiri ke kursi saat aku bisa melihat jelas wajahnya.
Kulit putih bersih, rambut cokelat halus yang tersinar cahaya matahari sore dari jendela, mata cokelat berkilauan, dada bidang juga bisep itu-
Dia tak lain dan tak bukan adalah orang yang sudah menyelamatkanku waktu itu.
Jung Jaehyun.
"Eh? Sepertinya kau tidak asing. Apa kita pernah bertemu?" Dia memiringkan kepalanya sedikit -seolah-olah berusaha melihat wajahku lebih jelas. "Oh! Kau yang ditaman waktu itu, kan? Yang dipukuli sampai babak belur?"
Masih belum mampu membuat lidahku bekerja, aku mengangguk kaku.
Dia tertawa merdu dan duduk di salah satu kursi. Menghadap ke belakang -menaruh dagunya di lipatan tangan yang disimpan diatas sandaran kursi itu.
"Kebetulan sekali, ya? Taeyoung, kan?"
"Taeyong."
Bagaimana bisa ini malah berakhir seperti ini? Tadi Ten dan sekarang...
Kenapa takdir benar-benar mempermainanku begini?
"Ya, benar, Taeyong. Maaf. Senang bisa bertemu denganmu lagi. Tapi hey, kau keberatan tidak membantu membawakan barang-barangku yang lain yang masih ada dibawah? Aku ingin menyelesaikan ini sebelum gelap."
"O-okay."
Dan kehidupan baruku dimulai.
Terkurung di ruangan yang sama dengan orang yang menjadi objek fantasi kotor nan liarku selama tiga bulan kebelakang. Kehidupanku bersama teman sekamarku yang baru. Jung Jaehyun.
Fuck my life.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mulai mengenal sosok Jung Jaehyun. Karena dia sendiri orang yang cukup terbuka.
Jaehyun adalah mantan anggota klub jurnalistik sekaligus ketua klub basket saat sekolah. Pernah bergabung dengan grup paduan suara dan menjadi vocalis band.
Dia anak pertama dari sepasang suami istri yang sukses bekerja di firma hukum dan dunia bisnis. Mendapat dukungan penuh dari orangtuanya untuk melakukan apapun yang dia inginkan.
Dia sering menyombong mengenai banyak hal. Mengenai adiknya -Mark- yang tinggal di Kanada, mengenai kakeknya yang mantan jendral dan neneknya yang merupakan salah satu penulis buku best seller saat masih muda. Juga bibi, paman, dan sepupu-sepupunya yang bekerja sebagai dosen, arsitek, dan dokter sekaligus pemilik rumah sakit.
Intinya, dia dikelilingi oleh orang-orang sukses. Jenis anak yang tidak akan pernah tahu arti kesulitan dalam hidup karena kekurangan uang.
Itu sedikit memuakkan, tapi sayang sekali tidak mempengaruhi perasaan anehku padanya.
Aku juga yakin dia masih akan menjadi bahan perbincangan panas sekaligus sosok paling diinginkan seantero kampus mulai besok.
"Lalu kau?"
Jaehyun mencoba balik bertanya mengenai keluargaku, tapi melihat bagaimana biasanya mereka dibanding keluarga Jaehyun membuatku menghindari pertanyaan itu dan cepat-cepat mengganti topik.
"Mana lagi yang bisa kubantu?"
Hampir jam sepuluh, Ten datang dan menjatuhkan dirinya ke tempat tidurku. Tempat tidur di ruangan ini berupa bunk bed. Aku yang takut ketinggian diperbolehkan Jaehyun mengklaim bagian bawah.
"Jadi, bagaimana kamarnya? Tidak terlalu buruk kan, Taeyongie? Apalagi jika kau mendapat teman sekamar seperti itu!" Bisik Ten padaku keras. Dia menatap Jaehyun dengan penuh kekaguman dan senyum lebarnya.
Kebiasaan memalukan Ten saat bertemu pria tampan tidak pernah berubah. Aku hanya bisa menghela napas.
"Hai, kita bertemu lagi. Ten, kan?" Jaehyun menyapa dengan senyum yang tampaknya tidak pernah pergi dari tepi bibir -menunjukan dimplenya yang manis. Jenis orang ramah yang senang mempermainkan perasaan gadis-gadis dengan harapan palsu.
"Yup! Aku Ten!"
Ten mengulurkan tangannya.
Jaehyun, layaknya pria sejati -atau playboy sejati?- menyambut uluran tangan itu.
"Jung Jaehyun. Senang berkenalan denganmu, manis."
Ten tertawa bahagia. Dia selalu lemah akan segala jenis pujian.
Aku berbaring lemas di tempat tidur, membiarkan mereka mengobrol sampai puas -meski dongkol karena jadi sedikit terlupakan.
"Sudah malam, aku harus kembali. Aku butuh tidur cantik yang cukup agar awet muda dan tetap tampan. Bye bye!"
Ten pun pergi dengan heboh. Yeah, dia memang selalu heboh dalam melakukan apapun.
"Sepertinya aku harus membiasan Ten berkeliaran disekitarku dari sekarang, ya? Dia sangat aktif."
"Ide bagus. Persiapkan diri juga mendengar teriakannya tiap waktu dan uhh, ajakannya menonton Barbie."
"Barbie?" Jaehyun meminum minuman kalengnya. "Serius?"
"Serius."
"Unik sekali. Aku baru dengar ada laki-laki remaja yang senang menonton Barbie. Jangan tersinggung, tapi aku jadi cukup bersyukur tidak berbagi kamar dengannya."
"Tidak apa-apa. Sebenarnya aku juga senang Ten bukan roommate-ku. Dia memang sahabat yang baik, tapi bukan berarti teman sekamar yang baik juga."
Jaehyun tertawa.
Aku pikir jantungku benar-benar berhenti saat melihatnya berdiri dan melepas kemeja hingga bertelanjang dada begitu saja.
Damn, tubuhnya seksi sekali!
"Kukira sudah saatnya kita istirahat. Besok kita harus bangun pagi."
Duduk di tempat tidur, aku menatapnya tanpa berkedip sama sekali. Otot tangan dan perut Jaehyun sungguh mengesankan, dadanya juga bidang dan sedikit berisi. Terus kebawah... aku bisa melihat sesuatu terbentuk di bagian depan celananya yang ketat dan itu- aku malu mengakui ini, tapi pikiranku seketika kotor!
Damn, Jung Jaehyun!
Memberikan tepukan pelan di bahuku, dia memanjat naik ke ranjang bagian atas -berbaring nyaman di tempat tidurnya.
"Malam, Taeyong."
"M-malam."
Tak perlu kuberitahu alasannya kan? Tapi aku tidak bisa tidur nyenyak malam itu.
Pagi datang lebih cepat dari yang kukira. Matahari tahu-tahu sudah bersinar cerah.
Padahal aku baru bisa benar-benar tertidur pukul tiga pagi tadi, tapi sekarang Jaehyun sudah melompat dari ranjang dan berbaik hati membangunkanku.
"Bangun, hey. Upacara penerimaan mahasiswa baru dimulai satu jam lagi. Kita harus bersiap dan sarapan dulu."
Sambil menggerutu, aku berguling dari tempat tidurku untuk pergi mandi. Aku masih mengantuk, sesekali menguap dan menggigil kedinginan -dengan sebelah tangan aku meraih selimut biru lautku dan merasakan jika itu- basah?!
SHIT!
Aku berdiri untuk melihat sprei dan menemukan noda basah yang sama di sana. Cepat-cepat aku melemparkan setenag selimutku lagi, mencoba bangkit untuk menutupinya dan menutupi bagian depan celanaku.
"Kau baik-baik saja, Taeyong?"
Jaehyun menatap penasaran ke balik punggungku, juga padaku yang memegang erat sebelah selimut di depan perut -terlihat sekali sedang menutupi sesuatu.
Jaehyun terlihat memandangiku -menilaiku- penasaran.
"Aku mendengarmu mengerang beberapa kali semalam. Mimpi buruk?"
"Eh? Hmh, ya, sepertinya -um, aku memang mimpi buruk."
Sejujurnya, itu adalah mimpi paling erotis yang pernah kualami. Dengan Jaehyun sebagai pemeran utamanya bersamaku. Shit, pikiranku sudah kotor sekali sepagi ini. Semua ini gara-gara dia!
"Jaehyun, ini sudah jam berapa? Kau mandi duluan sana! Aku mau merapikan tempat tidur dan menyetrika pakaianku dulu."
"Hee? Benar juga!":Kagetnya sambil melihat jam.
Dia buru-buru mengambil handuk dan alat mandi, berlari ke kamar mandi.
"Aku sekalian titip setrika. Bajuku ada di koper, ambil saja!"
Dan, itulah bagaimana kehidupanku dimulai diperguruan tinggi.
Jaehyun jadi berpikir aku adalah penggila kebersihan karena sering sekali mengganti sprei dalam seminggu, padahal nyatanya- ya, aku memang cinta kebersihan, tapi alasanku sering mengganti sprei bukan hanya itu. Melainkan karenanya yang selalu datang di mimpiku tiap malam.
Aku tidak bisa melakukan apapun selain menghela napas, merutuk, dan mencoba menghibur diri.
"Tidak apa-apa selama Jaehyun tidak tahu... tidak apa-apa..."
Hanya butuh waktu empat bulan dan kami akhirnya menjadi sahabat.
Jaehyun berhasil masuk tim inti meski masih berstatus mahasiswa baru karena kemampuannya -bahkan dirumorkan menjadi kandidat terkuat untuk posisi kapten berikutnya. Aku tidak pernah absen dan selalu datang menonton semua pertandingan basketnya -untuk menyemangati, sekaligus melihat aksi kerennya saat di lapangan.
"Sudah pesan makanan?"
"Sudah, Ten sedang memesan. Untukmu, aku pesankan yang biasa."
"Terimakasih, Taeyongie~ kau memang paling mengerti aku."
"Ew."
"Kapan pertandinganmu lagi, Jay?"
"Besok. Kau dan Ten harus datang untuk melihat dan mendukungku."
"Yeah, semoga saja waktuku kosong besok."
"Sok sibuk sekali!"
Meski berbeda jurusan, kami sering nongkrong dan menghabiskan waktu bersama, bahkan dengan Ten dan Johnny.
Semuanya berjalan biasa saja hari itu, hingga aku mendapati satu fakta tentang Jaehyun yang baru kutahu.
"Hyunnie."
"Chae!"
Seorang gadis cantik berambut hitam panjang menghampiri meja kami. Jaehyun menariknya duduk, merangkulnya sambil tersenyum manis.
Aku merasa dadaku seakan diremas kencang oleh lilitan kawat berduri. Sakit sekali.
"Kalian semua, kenalkan ini kekasihku- Chaeyeon."
Jadi aku tengah jatuh cinta pada pria straight yang sudah punya pacar? Seberapa jauh lagi takdir ingin mempermainkanku sebenarnya?
Fuck my life.
TBC
.
.
.
Mind to Review? :)
