Disclaimer: YunJae dkk bukan milik saya.
Warning: AU, BL, Don't Like Don't Read
OC: Jung Jiyool
.
.
Lotus Candles
.
.
Tantangan terbesar bagi cinta adalah waktu, dan musuh terbesarnya bukanlah pengkhianatan, tetapi kejenuhan.
.
.
Setiap pasangan yang sudah berumah tangga pasti punya mimpi untuk memiliki rumah. Begitupun dengan Jaejoong, bahkan sebelum ia meresmikan hubungannya dengan Yunho di New York beberapa tahun silam. Namun rumah idamannya bukanlah sekadar bangunan yang menjadi naungan. Lebih dari itu, rumah adalah tempat dimana ia tidak pernah merasa asing, tak pernah membuat dirinya merasa sendiri, pun tempat dimana ia bisa pulang dan melepas segala kepenatan.
Rumah idaman yang dibangun bersama atas dasar cinta dan tetes keringat, yang baginya indah di luarnya serta memberikan kebahagiaan bagi penghuninya. Terlebih setelah diisi tangisan bayi perempuan yang diadopsi olehnya dan Yunho, Jung Jiyool, yang kini sudah berusia tiga tahunan.
Yang tak kalah penting, ia menyisakan petak khusus di halaman rumahnya dengan menambahkan kolam ikan koi yang dipercantik bunga lotus. Koi bisa berarti cinta, sementara lotus adalah perlambang kemurnian serta kesetiaan terhadap pasangan, harapan agar memperoleh banyak keturunan, agar pasangan seiya-sekata, juga bersama dalam suka dan duka.
Tak banyak asa yang Jaejoong gantungkan dalam jalinan cinta terlarangnya dengan Yunho. Ia tak bermuluk-muluk, tanpa restu keluarga Jung, ia hanya mampu berharap agar dapat terus hidup bersama Yunho—juga sang buah hati.
Namun semua berubah semenjak kesibukan begitu menyita waktu Yunho. Semurka apapun keluarga Jung, mereka tetap membutuhkan Yunho sang ahli waris tunggal. Mencoret nama Yunho dari silsilah keluarga Jung—setelah pembangkangannya dengan menikahi Jaejoong—kini bagaikan gertakan sambal belaka. Nyatanya Yunho tetap diharuskan untuk mengambil alih kepemimpinan Jung Property dimana beberapa mall besar merupakan anak usahanya. Jaejoong tahu awalnya Yunho menolak dan bersikeras untuk terus menjalani hidup tenteram bersamanya, meski materi tak berlimpah ruah, namun ia pun tak begitu paham mengapa akhirnya tawaran itu diterima.
Terkadang ia berpikir bahwa keluarga Jung hanya bermaksud meminjamkan Yunho sesaat kepadanya, dan ketika semua kembali diambil darinya, ia dipaksa untuk menerimanya.
Entahlah, ia hanya merasa semua tak lagi sama, termasuk Yunho.
Pasangan hidupnya itu lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah, bahkan luar negeri. Ia bisa membayangkan bagaimana kesepiannya ia jika tak ada Jiyool.
Longing for lost love….
Layaknya bahasa bunga lotus yang tak banyak diketahui, ia kembali mendambakan pertemuan berkualitas, begitu merindukan obrolan menjelang tidur—pillow talk—salah satu momen yang sanggup membuat matanya berkaca-kaca hanya dengan mengingatnya. Momen yang selalu menjadi dambaannya, yang dulu bisa terjadi hampir setiap malam, dimana ia bisa menceritakan apapun yang dialaminya dalam sehari penuh kepada Yunho, tentang rencana rumah tangganya dalam sekian tahun ke depan, maupun berbagi cerita tanpa makna, atau bahkan tidak lebih dari sekadar berpelukan hingga pagi. Dan sekarang yang tersisa hanya sesaknya.
Jangankan bertemu, memberi kabar pun Yunho seperti enggan. Tak akan ada telepon ataupun pesan bila bukan dirinya yang memulai.
Rumah yang tak terlalu luas pun bisa terasa begitu besar dan dingin jika tanpa Yunho di sisinya, membuatnya memilih tinggal di apartemen pribadinya bila lagi-lagi ia ditinggal dalam waktu yang cukup lama. Pun ia tak bisa bekerja di luar rumah sejak Jiyool hadir di tengah keluarga kecilnya, lantaran ia tak rela memercayakan anak semata wayangnya dengan Yunho kepada baby sitter, membuatnya semakin merasa sepi karena terbatasnya interaksi dengan dunia luar.
Namun ia masih bisa menyegarkan pikiran dengan berjalan santai bersama Jiyool di sekitar huniannya, seperti sore ini. Ia dengar ada kafe outdoor yang baru buka dan masih dalam masa promosi. Jiyool suka makanan manis, tak ada salahnya ia memanjakan putri tersayangnya itu.
"Papa—Yoyi mau muffin, donat, blonis, es klim, telus…."
Jaejoong tersenyum gemas menanggapi bocah dalam gendongannya yang mengabsen daftar keinginannya sembari menggerakkan jemarinya bak menghitung, dan seolah mampu menghabiskan semuanya. Ia pun tak kuasa menahan dirinya untuk mendaratkan banyak kecupan di wajah cantik putrinya itu, terlebih kedua pipi gembil yang selalu membuatnya ingin menghadiahi cubitan sayang, tak peduli kini ia sedang menyusuri trotoar yang lumayan ramai karena termasuk jam pulang kantor.
"Hm? Terus?"
"Apa lagi, ya? Hm—aa~ Yoyi juga mau pelmen tama cokelat!" Jiyool berseru penuh semangat. Tentu saja ia tak akan menyia-nyiakan ketika sang papa memberikan kelonggaran sehari ini dengan memperbolehkannya mengonsumsi makanan manis apapun yang ia mau.
"Boleh—"
BRAK!
Di tengah kesenangan itu, Jaejoong terhenti begitu mendengar bunyi benda jatuh tak jauh di depannya. Orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya hanya melihat sekilas asal keributan, kemudian tetap melanjutkan langkah lebarnya. Jaejoong tak bisa untuk tak acuh, apalagi ia sedang tak terburu-buru, sehingga ia berjongkok di dekat sang pria untuk membantu merapikan segerombol bunga segar yang tercecer di depan toko itu, sebelum terinjak oleh para pengguna jalan.
"Sudah sekian kali ku bilang kan Hyung, lebih baik pakai troli saja."
Sejenak suara bernada tinggi itu menarik perhatian Jaejoong. Lantas pemuda tegap sang pemilik suara itu pun turut membantu sehingga mereka menyelesaikannya dengan lebih cepat.
"Kau selalu saja meremehkanku, Min, seolah-olah aku sudah benar-benar tak mampu menggunakan tanganku."
"Bukan begitu maksudku, Hyung—jangan mulai lagi."
Jaejoong menahan napas tanpa sadar begitu wajah sang pria terlihat lebih jelas setelah mereka menegakkan tubuh masing-masing. Mata kecil itu, dan bibir penuh itu—sontak mengingatkannya pada satu orang; Jung Yunho. Bila Yunho yang berdiri di posisinya kali ini, barangkali akan merasa seperti tengah bercermin. Bedanya hanya pada tahi lalat di atas bibir, yang tak dimiliki oleh pria di depan Jaejoong tersebut. Namun tak mungkin Yunho ada di hadapannya, karena yang ia tahu partner hidupnya itu masih ada di Las Vegas saat ini.
"Appaaa~"
Seruan Jiyool membuat Jaejoong semakin yakin bahwa tak ada kesalahan pada indra penglihatannya. Sebelumnya ia mengira bahwa ia mulai berhalusinasi akibat rasa rindunya yang menumpuk.
"A-ah—maaf telah mengganggu perjalanan Anda, dan terima kasih sudah membantu kami," ucap sang pria sembari membungkuk sopan, setelah si pemuda jangkung kembali masuk.
Sementara Jaejoong masih terpaku tanpa mampu berucap. Ia bahkan tanpa sadar memeluk Jiyool terlalu erat, sedangkan putrinya itu mulai merentangkan kedua lengannya ke arah sang pria yang ia kira adalah appanya.
"Omong-omong, kami baru di sini. Jika Anda berkenan, kapan-kapan mampirlah ke toko bunga kami." Sang pria menggerakkan lengan kanannya dengan ramah ke arah tokonya yang berkaca lebar dengan papan nama bertuliskan 'Shim' itu. Di lain sisi ia tampak bingung lantaran batita yang baru ditemuinya terlihat berusaha menggapainya.
"Yuno Hyung, aku butuh bantuanmu!"
Bersamaan seruan dari dalam itu, Jaejoong memacu langkahnya tanpa kata, disertai gumaman berulang yang ia rapalkan bagaikan mantra, "Tidak mungkin—bagaimana bisa—bahkan namanya—"
Tubuhnya pun gemetar pelan karena terlalu terkejut dan bingung dengan apa yang baru dialaminya. Bahkan ia seperti tak peduli akan Jiyool yang mulai rewel dalam gendongannya, yang berusaha untuk kembali ke tempat semula. Ia tahu putrinya itu juga sangat merindukan sang appa, namun ia tahu bahwa pria tadi bukan Yunho. Untuk memastikan semuanya, ia meraih ponselnya dan langsung menghubungi nomor Yunho tanpa mengindahkan rengekan Jiyool.
"Yun—"
Begitu telepon tersambung, Jaejoong tak sabar untuk mendengar suara Yunho, dan memastikan bahwa pasangannya itu memang masih berada di luar Korea, terutama Seoul. Namun tenggorokannya tercekat karena suara dari seberang beradu dengan deru napas tak beraturan dan desah lirih yang bersahutan.
"Di sini masih tengah malam, Jae—ngh—kau tidak melihat jam? Atau kau akan berasalan lupa—mmh…."
"A-aa—nde … mianh—"
Sambungan diputus sepihak oleh Yunho. Kata-kata yang ingin diucapkan Jaejoong seketika tertelan kembali. Perasaannya bercampur aduk, batinnya serasa diremas, dan benaknya nyaris kosong. Ia seolah terlupa akan sosok serupa Yunho yang sebelumnya menimbulkan banyak pertanyaan, begitupun dengan rencananya untuk memanjakan Jiyool, karena langkah gontainya membawanya kembali menuju apartemennya. Tatapan matanya kosong, membuat putrinya ketakutan dan hanya mampu menangis dalam diam. Ia seperti hilang akal dan terlupa akan apapun di sekitarnya, selain berbagai asumsi yang berakar pada Yunho.
.
.
.
Pagi yang cerah, namun tidak bagi Jaejoong yang bangun dengan lingkar hitam di sekitar matanya. Sejatinya ia tak bisa tidur semalaman, hingga ia terlelap menjelang pagi lantaran tubuhnya terlalu letih. Ia mendapati Jiyool yang masih pulas memeluk dirinya dengan begitu posesif, tak ubahnya seperti sang appa, dulu.
Teringat akan Yunho, saat itu pula lukanya kembali menganga. Ia ingin terus berpikiran positif dan berprasangka baik terhadap Yunho, namun sisi hatinya yang lain telah mendakwa bahwa ia telah diduakan, atau mungkin lebih—karena ia pun tak tahu bagaimana perilaku suaminya itu di luar sana. Meski begitu ia senantiasa berharap Yunho tak akan pernah berpaling.
Ia sadar ia tak boleh berlarut-larut dalam pikiran kelamnya. Pun ia tak boleh membuat Jiyool kembali takut akan sikapnya. Usai membersihkan diri, ia melakukan rutinitasnya seperti biasa; mengambil susu langganan yang masih hangat di depan apartemennya sebelum menyiapkan sarapan. Saat itulah untuk pertama kalinya ia mendapati setangkai bunga matahari di depan pintunya. Tak ada identitas pengirim, selain 'Uknow' yang tertulis pada secarik kertas.
.
.
Haruskah bertahan menaruh kasih layaknya lilin yang terus memberikan cahaya walau tahu akan terluka karenanya?
.
.
.
TBC
Note: Bayangkan saja Jung Yunho berambut rapi tapi trendi kayak era KYHD, dan Yuno kayak rambutnya sekarang yang lumayan panjang itu.
Thanks for reading #B
20140813
