#ChanBaekID Fanfic Games

.

.

.

Hello. #ChanBaekID ada fanfic games buat penggemar setia ChanBaek fanfic di FFn. Di bawah ini ada 8 cerita pendek dengan genre random which is tiap cerita beda dan tidak berkaitan, tapi semua cast tentunya OTP kesayangan kalian, Chanyeol dan Baekhyun, pastinya juga semua Boys Love dengan rating aman terkendali, ditulis oleh 8 author ChanBaek fanfic yang sudah malang melintang di Ffn, mereka adalah (disebut urut sesuai abjad) : Amie Leen, Blood Type-B, JongTakGu88, Oh Lana, Pupuputri, RedApplee, Sayaka Dini, SilvieVienoy96. Kami yakin kalian pasti sudah baca fanfic-fanfic mereka di akun masing-masing. How to play? Simple. Kalian cukup menebak secara urut siapa author yang menulis fanfic pendek di bawah ini. Kalau kalian sering baca fanfic mereka, mungkin kalian bisa tahu dengan mudah

.

Rules? Read below :

- Baca, cermati, dan kenali tulisannya

- Tulis jawaban kamu di review, contoh : 1. JongTakGu88, 2. Pupuputri, 3. Oh Lana, dst

- Harus login, so jawaban dari guest tidak diterima, karena yang menang akan dihubungi via Private Message FFn

- 1 orang hanya 1 jawaban

.

Hadiah? Ada pulsa total 50.000 buat 2 orang pertama yang menjawab dengan benar dengan masing-masing pulsa 25.000 plus akun IG-nya akan dipromote di IG #ChanBaekID : chanbaek_idclub plus lagi akan di-follow sama author-author di atas ^^

Fanfic games berlaku 24 jam sejak dipublish. Dan sekarang siapkan waktu kalian karena ada 8 cerita dengan jumlah word masing-masing kurang lebih 1.5K ^^. Let's start

.

.

.


- 1 -

HELLO

.

PARK CHANYEOL

AND

JUNG EUNJI

TOGETHER WITH THEIR FAMILIES

REQUEST THE HONOR OF YOUR PRESENCE

AT THE CELEBRATION OF THEIR MARRIAGE

Aku sudah membaca undangan itu sebanyak sembilan kali, seharusnya aku sudah paham betul maksudnya, tetapi otakku kesusahan mencerna kata per kata yang ditulis menggunakan tinta emas itu. Undangannya cantik, sangat cantik, semestinya aku tidak merasa iri, tapi sial, aku iri, undangan cantik itu bukan tertulis namaku.

Sudah lima tahun berlalu semenjak terakhir kali aku berhubungan dengan Chanyeol. Dan alasan aku menolak berkencan dengan orang lain lagi adalah perpisahan kami. Setiap malam, sejam sebelum tidur, aku menganalisa kembali pertengkaran kami, percakapan mengerikan itu, kepergiannya, dan semua yang telah kami lalui, yang sampai saat ini masih membekas di memori. Dua tahun menjalin hubungan dengan Chanyeol, aku menyadari satu hal: sifat keras kepalanya dan sifat kekanak-kanakanku bukanlah sesuatu yang pas jika dikombinasikan. Aku selalu merasa akulah satu-satunya di dunia ini yang mengerti Chanyeol. Ternyata tidak. Aku tidak pernah benar-benar memahaminya. Justru aku mengacaukan semuanya. Aku mengacaukan hubungan kami. Dan kenyataan itu menghantuiku dalam mimpi-mimpi burukku lima tahun ini.

Surat undangan yang cantik itu kuremas. Sejujurnya, alasan yang paling mendasar mengapa aku tidak mencoba berkencan dengan pria lain lagi adalah karena sampai detik ini aku masih memikirkan kecilnya kemungkinan meluruskan kesalahpahaman kami dulu, karena aku masih berharap dia akan kembali ke kota ini untuk mengatakan merindukan aku. Tapi undangan pernikahannya sudah kugenggam; sudah saatnya berhenti berharap.

Chanyeol baik-baik saja. Perpisahan kami tampaknya tidak menyakitinya terlalu dalam. Kata orang waktu dapat menyembuhkan luka, tapi aku tidak begitu sembuh.

Bucheon diguyur hujan seharian. Aku bakal terserang flu; risiko yang kuambil akibat berjalan di tengah hujan. Kadang-kadang aku suka melakukan itu. Aku menyukai ketika air hujan menyamarkan air mataku sehingga orang-orang tidak akan tahu aku sedang menangis.

Ibu dan ayah tidak ada di rumah, jadi aku sendirian, tapi aku masih saja mengunci diriku di kamar. Aku berbaring di tempat tidur menatap langit-langit sambil bertanya-tanya apa yang akan kulakukan dengan undangan itu. Apakah tampak menyedihkan jika berpikir aku takkan menghadiri pernikahan Chanyeol? Aku tidak yakin bisa menghadirinya terutama karena aku dan Chanyeol tidak bisa dikatakan berpisah secara baik-baik. Sial, aku sangat yakin Chanyeol akan merangkul istrinya dengan mesra selagi aku mengucapkan selamat atas pernikahan mereka. Itu berarti akan menyakitiku juga. Apa sebaiknya aku tidak usah hadir? Toh hadir atau tidaknya aku tidak akan berpengaruh banyak pada Chanyeol. Atau bahkan tidak mempengaruhi Chanyeol sama sekali? Tapi akan kelihatan seperti mantan pacar yang arogan jika aku benar takkan hadir. Ketidakhadiranku nanti semakin menegaskan buruknya cara berpisah kami.

Pikiranku berputar-putar dengan kebingungan dan terlalu banyak masalah sampingan yang sebenarnya tak perlu ku khawatirkan saat ini. Apa yang perlu kupikirkan adalah bagaimana mengatakan permintaan maaf kepada Chanyeol sekaligus memberinya selamat saat kami bertemu lagi nanti. Tentu saja, aku bisa berpura-pura bahwa aku telah melupakannya dan melanjutkan hidupku dengan baik serta membuat segalanya terlihat baik-baik saja. Hanya saja aku membuat itu terlihat baik-baik saja untuk orang lain. Tapi aku sama sekali tidak akan merasa baik. Dan bagian dari hidupku akan berakhir ketika kebahagiaan yang pernah kuimpikan dulu jadi milik orang lain.

Aku merasa gelisah, aku belum tidur, aku tidak nafsu makan, dan aku tidak karuan. Butuh usaha keras untuk menjalani hari dan tetap bertingkah seperti seseorang yang tidak hancur di dalam. Untuk kesekian kalinya hari ini aku membaca undangan itu lagi. Senyum cerah Chanyeol bersama calon istrinya dalam undangan itu seperti mengolok-olok aku. Mereka tampak bahagia dan serasi. Seolah-olah tidak pernah merasakan patah hati. Lalu aku tersadar aku harus membuat langkah ke depan di jalan hidupku yang baru. Terbaring di kamar yang gelap dan sepi, pilihan ini hanya akan membuatku berpuluh-puluh kali lipat tampak menyedihkan. Aku harus melanjutkan hidupku yangmana tak ada Chanyeol di dalamnya.

Gambar wajah Chanyeol kuusap tepat pada saat air mataku jatuh menodainya. Dia bahagia. Aku tidak.

.

"Kau kelihatan seperti tidak ingin menghadiri pernikahan itu." Kyungsoo meletakkan kaleng soda di atas meja depan kami sambil memicingkan mata padaku. Undangan pernikahan Chanyeol kudapat darinya. Menurut pengakuannya, dia bertemu Chanyeol dalam perjalanan bisnisnya ke Seoul beberapa minggu lalu, dan keesokan harinya Chanyeol datang menemuinya lagi untuk memberi undangan. Kyungsoo pikir, namaku takkan ada dalam daftar tamu, tapi ternyata Chanyeol telah menyiapkan satu untukku. Dua hal itu mengejutkan Kyungsoo. Dan sejujurnya, aku juga sama.

"Tentu saja aku akan datang. Aku akan datang dan mengacaukan pernikahan itu, aku akan bilang kalau Chanyeol telah menghamiliku dan menjerit histeris meminta pernikahannya dibatalkan," kataku sebelum menyesap minuman berbuih yang Kyungsoo tawarkan.

Kyungsoo berdecak sambil memandang hina aku. "Hahaha. Lucu."

Aku tertawa. "Aku khawatir akan benar-benar mengacau disana jika aku hadir."

"Kau kedengaran seperti mantan pacar yang gagal move-on. Ayolah, ini sudah lima tahun berlalu, Baekhyun" cibir Kyungsoo dengan carannya yang biasa.

Aku tersenyum miring. Sudah lima tahun berlalu, dan itu tidak merubah apapun. Tapi aku sudah mengambil keputusan. "Aku akan mencoba lebih keras lagi. Mungkin selama ini aku gagal karena aku tidak pernah sungguh-sungguh mencoba. Sekarang tak ada alasan lagi untuk tidak move on. Aku harus memikirkan kebahagiaanku juga."

"Kau sangat mencintainya?"

Aku menyesap minumanku, memberi senyum pada Kyungsoo dan berkata, "Tidak juga. Hanya saja, kami tidak berpisah secara baik-baik dan itu membuatku berharap bisa memperbaikinya."

"Maka sekaranglah kesempatanmu." Kyungsoo menggeser duduknya lebih dekat padaku. "Aku dan Chanyeol sempat bertukar nomor ponsel. Jika kau merasa tidak yakin sanggup datang ke pernikahannya, mungkin kau bisa mencobanya di telepon. Kau tidak perlu bertatap muka dengannya dan calon istrinya, ya kan? Tidak bertatap muka mengurangi risiko sakit hati."

"Yah, selain itu dia tidak perlu melihat bagaimana air mataku berlinang saat mengatakannya." Aku memutar mata, dan Kyungsoo tertawa terbahak-bahak.

.

Nomor ponsel Chanyeol kupandangi lamat-lamat. Kupikir Kyungsoo ada benarnya. Jika aku serius ingin move on, maka aku bisa memulainya dengan meluruskan kesalahpahaman kami. Mengumpulkan keberanian untuk kembali menghubunginya setelah aku mematahkan hati sekaligus meneriakinya dengan makian menyakitkan lima tahun yang lalu adalah hal yang sangat sulit. Harapanku bahwa hatiku tidak akan bereaksi saat mendengar suaranya telah sia-sia. Panggilanku dijawab oleh voice mail. Tulang kakiku melemas, jantungku mencelus jatuh dan dadaku mengerut sangat parah sehingga merupakan keajaiban bahwa aku masih bisa bernapas. Apapun yang dilakukanya sekarang, kelihatannya dia sangat sibuk. Di sisi lain aku lega aku tidak mendengar suara Chanyeol sekarang.

Aku akan menghubunginya nanti malam, aku pikir, tapi panggilanku yang kesekian malam ini lagi-lagi jiwab oleh voice mail. Aku mulai berpikir bahwa semua ini adalah kesengajaannya, bahwa dia tidak ingin mengangkat panggilan dariku, walaupun aku bersikeras berkata bahwa itu tidak benar. Aku harus memberinya waktu beristirahat, walaupun dia si brengsek yang membuatku kesusahan move on, dia adalah calon pengantin yang tiga hari lagi akan berdiri di pelaminan untuk menyambut para tamu yang menyelamatinya. Aku berharap aku bukan salah satu dari tamu itu.

Di tengah malam aku mulai gelisah. Aku selalu mengecek ponsel setiap lima menit, membuatku kesulitan tidur. Lalu tanpa sadar aku mendial nomor ponsel itu lagi dan menempelkannya di telinga dengan isi kepala yang kosong. Suara operator voice mail satu-satunya yang menarikku kembali dalam sadar.

"Tekan 1 untuk meninggalkan pesan…"

Ponselku kutatap dan dengan ragu menekan tombol 1. Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku mulai ketakutan Chanyeol memang sengaja tidak ingin mengangkat panggilanku, dan pikiranku itu membuatku sebegitu putus asa. Aku akan tetap berbicara walalupun dia bahkan tidak ingin mendengarnya.

Ponselku kugenggam dengan kedua tangan dan mendekatkannya pada daun telinga.

"Halo, Chanyeol. Ini aku, Baekhyun."

Hening. Sahutan apa yang bisa aku harapkan dari sebuah pesan suara?

"Aku sudah menerima undangan pernikahan itu, undangannya cantik." Aku tertawa pedih setelah mengatakannya, dan saat itulah aku merasa hidupku amat menyedihkan. "Aku juga sudah melihat calon istrimu dan whoa dia sangat cantik."

Aku terkejut saat tahu aku mengatakan itu dengan suara yang sangat tulus. Aku sempat mengira aku buruk dalam ber-acting, tapi sungguh, calon istrinya memang cantik. Kelihatannya Chanyeol telah menemukan gadis yang diimpikannya yang bisa memberinya apa yang tidak bisa kuberikan untuknya. "Oh iya, bagaimana kabarmu? Kau kelihatan segar bugar di foto itu, kau pasti baik-baik saja."

Aku menggosok hidungku yang tiba-tiba menjadi agak mampet dan melanjutkan, "Kau ingat dulu aku sering mengeluh karena dengkuranmu seperti suara dengkuran raksasa? Aku harap calon istrimu bisa tahan, yah?"

Aku tertawa lagi, dan durasi voice mail yang sedikit ini tidak kumanfaatkan dengan baik. Ada banyak hal yang ingin kukatakan padanya. Sangat banyak. Tetapi semua kata-kata itu tersangkut di kerongkonganku yang tercekat sampai rasanya perih saat menelan ludah.

"Kalau ada kesempatan, ayo bertemu dan minum kopi bersama. Apa kau masih menyukai Ice vanilla latte? Aku masih menyukai Ice Americano. Ajak istrimu juga, aku ingin berkenalan dengannya."

Sebelum sambungannya terputus secara otomatis, ponselku kuremas sekuat tenaga dan berbisik, "Chanyeol, selamat menempuh hidup baru."

Bunyi Pip mengakhiri pesan itu. Ponselku jatuh ke kasur. Aku menunduk dan melihat layarnya basah oleh setetes air. Air mata itu kutatap nanar kemudian aku tertawa. Rasanya tidak benar-benar melegakan, tetapi akhirnya aku bisa tertawa. Aku belum bisa sepenuhnya move on, tapi ini adalah sebuah awal yang bagus. Chanyeol telah menemukan kebahagiaannya, aku pun harus menemukan milikku.


- 2 -

AMOR FATI

.

Baekhyun punya banyak waktu luang.

Terutama sekarang ini. Dimana pagi, siang, sore ia tak perlu sibuk dengan panggilan-panggilan pekerjaan. Tak perlu banyak pikiran dengan naskah yang belum disetor. Tak perlu pusing-pusing berdebat dengan editornya. Baekhyun benar-benar bebas. Bebas dalam artian yang sebenarnya. Ketika orang lain bahkan tak berani melangkah ke daerah teritorial yang ia bangun.

Baekhyun sedang menikmati kesendiriannya. Atau barangkali, ia sedang ingin mengubur kepedihan hanya untuk dirinya sendiri.

Pagi ini ia bertandang ke kedai kopi. Memesan segelas Americano dingin dan mengambil tempat duduk di samping jendela. Padahal, temperatur di pertengahan bulan Desember ini telah terjun bebas ke angka dibawah nol. Tapi lihat dia dengan segala keangkuhanya yang bahkan hanya mengenakan satu lapis jaket. Entah sejak kapan tepatnya Baekhyun menjadi penyuka anomali.

Sesekali ia mendengus. Namun wajahnya berpaling ke luar jendela. Mengalihkan fokus pada gundukan salju yang mulai memenuhi jalan. Hatinya jengkel. Bukan tanpa alasan, sebab, telah kita cerna di awal bahwa Baekhyun hanya ingin ia dan dirinya sendiri. Tapi mungkin, pria yang duduk di depannya kini tidaklah mengerti.

"Aku minta maaf..." Suara pria itu terdengar parau. Namun Baekhyun dengan senang hati sedang mencoba menulikan telinganya.

"Aku betul-betul tidak bisa berbuat apa-apa" tuturnya lagi.

Baekhyun masih memajang tatapanya keluar. Ia sudah lebih dari jemu mendengar kalimat itu dikatakan selama dua minggu berturut-turut tanpa henti. Makanya sedikitpun, ia tak tertarik untuk menatap kembali lawan bicaranya.

Selanjutnya hening.

"Tapi Baekhyun, kau akan menemukan seseorang yang lebih baik dariku. Percayalah."

Kali ini Baekhyun mendelik. Matanya berkilat dan bibirnya siap meluncurkan sarkas. "Lucu." Jeda kala ia mengambil senyum. "Kau berbicara seakan-akan perasaanku bisa dibuang kapan saja."

"Aku tahu kau tersinggung, Baek. Tapi hanya itu yang bisa kau lakukan."

"Bagaimana kalau kukatakan bahwa aku akan menunggu?" Baekhyun menyerukan sebuah tantangan.

Di depannya, si pria menggelang. "Kau tidak bisa menunggu sepanjang itu, sepanjang hidupmu..."

"Tidak..." Ucapan Baekhyun tertahan di tenggorokan. Ada sesuatu yang serasa mencekiknya, dan membuatnya ingin menangis keras-keras. Tapi itu tak mungkin ia lakukan.

"...Tidak Chanyeol, tentangmu tidak akan sepanjang itu..." pada akhirnya kata-kata itu hanya kembali tertelan tanpa mampu ia ucapkan dengan baik.

"Baekhyun, kau laki-laki yang tegar"

"Bahkan aku merasa sangat terhina saat kau mengatakan hal itu sekarang."

"Baekhyun, demi Tuhan! Aku hanya ingin kau hidup dengan baik!" Nada suaranya meninggi. Namun itu bukan pilihan yang bijak sebab Baekhyun akan berbalik menjadi lebih garang.

"Katakan itu pada seseorang yang sudah mencampakkanku!"

-ia menjerit sambil mengangkat gelas kopinya ke depan, dan menyemburkan seluruh isinya ke wajah Chanyeol.

Hal tersebut menarik perhatian pengunjung lain. Baekhyun diberi tatapan selayaknya ia adalah orang tak waras yang tengah mengamuk. Tapi peduli setan. Biar semua orang tahu, bahwa yang didepannya kini adalah seorang bajingan.

"Berengsek kau, Chanyeol."

Orang-orang masih menatapnya penuh heran.

Di depan, Chanyeol menghela napas atas perlakuan Baekhyun terhadapnya. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.

Baekhyun berdiri. Ia merasa tak lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal. Dirinya sudah terlanjur muak. Muak dengan keadaan di sekitar, muak dengan Chanyeol, muak dengan dirinya sendiri. Maka segera setelah menaruh beberapa lembar uang, ia pun angkat kaki.

Chanyeol tidak mengejarnya.

Langkah lebar-lebar yang Baekhyun ambil membuatnya mencapai mobilnya dengan cepat. Lantas ia pun mengurung diri disana. Menundukkan keningnya hingga beradu dengan setir, dan menangis sesenggukan.

Bagaimana bisa hidup menjadi begitu kejam?

Chanyeol. Baekhyun selalu mencoba melenyapkan nama itu dari benaknya. Namun semakin keras ia berusaha, semakin sia-sia hasil yang ia dapat.

Chanyeol adalah perwujudan tragedi.

Mereka, jika perlu dihitung, sudah menghabiskan waktu tak kurang dari tujuh tahun untuk saling mencinta. Bahkan mereka berdua telah merancang gambaran masa depan bagi mereka kelak. Baekhyun sangat ingat akan hal itu. Namun bagaimana mungkin takdir membalik keadaan sekarang? Bahkan setelah Baekhyun dan Chanyeol berniat mengikat diri mereka menjadi satu di altar.

Ya, hal itu hanya akan menjadi angan-angan saja kini. Sebab sesuatu yang tidak terduga, dengan sialnya telah menimpa hubungan mereka berdua. Baekhyun tidak bisa mencegah ketika Chanyeol pergi meninggalkannya.

"Kau pembohong, kau bilang akan selalu ada di sisiku..."

Baekhyun memacu mobilnya dengan air mata ta kunjung kering. Sepanjang perjalanan, ia terus berpikir. Bahwa seharunya, Chanyeol tidak seperti itu.

Dia masih punya hutang yang belum ia tuntaskan bersama Baekhyun. Seharusnya mereka berdua hidup bahagia. Seharusnya, ada banyak seharusnya yang Baekhyun sebutkan. Termasuk, seharusnya Chanyeol tidak menggores luka hingga sesakit ini. Luka yang membuat Baekhyun merintih kesakitan kala mengingat sosoknya.

Karena Chanyeol telah meninggalkan Baekhyun tanpa menyisakan apapun. Bahkan jika itu hanya aroma tubuh.

.

Hingga tanpa sadar, setelah waktu berjalan cukup lama berikut roda mobil yang terus menggilas aspal, Baekhyun akhirnya sampai di pemberhentian yang ia tuju. Sisa airmata yang ia punya tidak terhapus. Baekhyun membiarkan matanya sembab saat keluar dari mobil.

Kejadian ini selalu sama.

Kapanpun ketika Chanyeol menemuinya selepas ia membuka mata, Baekhyun akan berakhir dengan menangis sendirian sambil meniti tangga menuju tempat yang kadang kala membuatnya merindu sekaligus muak. Tempat yang sunyi. Tempat dimana Chanyeol seharusnya berada.

Sebuah pemakaman. Memangnya apa lagi yang bisa ia harapkan?

Jadi, Baekhyun hanya akan berdiri mematung. Di depan sebuah pusara dengan nama "Park Chanyeol" yang terukir indah disana.

Baekhyun benci ini. Ia benci dimana dua minggu lalu, kabar kematin Chanyeol bergema lewat telepon. Ia benci dimana saat terakhir ia melihat Chanyeol, pria itu tidak lagi bernyawa. Ia benci kenyataan bahwa tanah telah menelan habis kekasihnya. Ia benci dengan takdir yang ia dapat sekarang.

"Kau datang lagi."

Baekhyun tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara itu. Suara yang hanya ia sendiri yang bisa mendengar.

"Itu karena kau seenaknya sendiri." Ujar Baekhyun lirih.

"Sudah kubilang aku tak bisa berbuat apa-apa." Chanyeol berkata penuh sesal. "Kematian bukan sesuatu yang bisa kita cegah."

"Lalu aku harus apa? Sementara di dunia ini hanya kau seorang yang membuatku merasa sangat dicintai."

"Kau bisa melupakanku." Jeda. "Apa lagi yang bisa diharapkan seseorang yang sudah mati selain dilupakan."

Gigi Baekhyun gemeretak. Chanyeol ternyata tak kunjung mengerti apa inginnya.

"Ayo kita saling menunggu. Aku akan menunggu sampai kematianku datang. Dan kau, tunggu aku. Tunggu sampai aku bisa mencapaimu."

"Kau akan berumur panjang, Baekhyun. Kau bisa melakukan hal-hal yang kau mau termasuk mencari penggantiku."

"Tapi aku mencintaimu!"

Dan sebetulnya Baekhyun keliru, sebab yang mencintai disini bukanlah dirinya seorang.

"Aku pun sama, mencintaimu sebegini besarnya." Chanyeol masih setia menatapi punggung ringkih di depannya dengan miris. "Aku juga merasakan sakit yang sama. Tapi sampai kapan kau akan merusak dirimu seperti ini? Membuatku tak tenang dan berakhir dengan kita berdua yang selalu bertemu. Kau tahu tempatku bukan lagi di dunia, Baekhyun."

Sialnya Baekhyun tidak mampu menyangkal fakta itu. Kenyataan yang harus ia telan bulat-bulat bagai pil pahit. Mereka sudah berpisah, dalam artian yang sebenarnya. Hanya disini, cuma Baekhyun yang sukar mengucap salam perpisahan.

Lelaki itu lantas menengadahkan wajahnya ke langit. Terpejam sehingga setetes air mata meluncur lewat dagunya dan menghempas ke tanah. Barangkali, Chanyeol memang benar. Dia tidak bisa menjalani hidup seperti ini.

"Aku tidak akan melupakanmu." ia berkata. Chanyeol masih diam mendengarkan. "Kau adalah kenangan terindah yang pernah aku punya, bagian dari hidupku. Tentangmu tidak akan pernah ada habisnya."

"Tapi aku... Masih harus menjalani sisa hidupku. Mengerikan ketika aku ingat bahwa kau tak ada lagi di dunia. Dan kita manusia bisa apa..." Baekhyun menggigit bibirnya keras-keras. Berusaha untuk menghentikan tangis sebisa mungkin.

"...Chanyeol, aku selalu cinta padamu...tapi kita memang harus berpisah..."

Lalu tubuh Baekhyun perlahan menghangat. Suhu tidak pernah berubah, namun sesuatu tengah menutupinya. Sebuah tubuh yang lebih besar, yang mendekap Baekhyun dengan tulus.

Di belakang, Chanyeol memeluknya.

Baekhyun bisa merasakan itu. Saat dimana tangis Chanyeol bisa ia dengar dengan amat jelas, bersama suaranya yang bergetar. "Terimakasih sudah mencintaiku, Baekhyun. Kau adalah hal terindah yang dikirimkan Tuhan untukku."

"...Selamat tinggal, Chanyeol..."

Sekeras apapun Baekhyun mencoba menghentikan tangis, ia tetap tak bisa. Sama halnya ketika ia tak bisa menahan Chanyeol untuk tetap tinggal.

Hingga pada akhirnya, semua berakhir.

Baekhyun sendirian. Dengan Chanyeol yang menghilang entah kemana.

"...Ya, selamat tinggal Baekhyun. Dan aku minta maaf karena sudah mati..."


- 3 -

THE MONSTER

.

Di tengah sunyinya malam. Sepasang kaki berlari dengan cepat. Luhan, remaja laki-laki berusia 17 tahun, mengeluarkan seluruh tenaganya untuk terus berlari melewati jejeran pohon dalam kebun tersebut. Sementara lengan kanannya terasa sangat ngilu dengan darah yang terus merembes dari luka tusuk dibalik kaos hitam yang ia kenakan. Dinginnya angin malam yang berhembus dan cahaya bulan yang merambat di sela dedaunan pohon dengan suasana sunyi yang mencekam, tak membuat Luhan gentar. Satu-satu yang ia takuti saat ini ialah —sesekali Luhan menoleh ke belakang dengan was-was— namja mengerikan yang bisa saja menyusulnya kapan saja. Dia harus cepat.

Seluit sosok lain yang tiba-tiba nampak berdiri di hadapannya, membuat Luhan terhenti. Ia tak tahu pasti perasaan apa yang muncul dihatinya saat melihat sosok itu adalah remaja laki-laki bersurai hitam yang begitu ia kenal. Tubuh Luhan bergetar. Ketakutan dan keputusasaan menjadi satu. Lidah yang kelu ia paksa bersuara meski terdengar bergetar di tiap hurufnya.

"Baekhyun-ah…"

Yang dipanggil hanya diam. Menatapnya dengan pandangan datar yang begitu sulit ditebak. Bibir tipis Baekhyun bergerak, berucap "Aku…"

.

Lima hari sebelumnya.

"Aku menyukai Luhan hyung."

Gerakan bulpoin yang digenggam Chanyeol terhenti. Dokter psikiater muda itu menatap pasien yang duduk di seberang mejanya. Melihat Baekhyun yang baru saja mengucapkan sebuah kalimat dengan nada begitu datar.

"Kau bilang apa?" tanya Chanyeol memastikan.

"Aku menyukai Luhan hyung. Dan aku membenci Sehun," nada yang digunakan remaja mungil bersurai hitam itu tetap saja datar seperti sebelumnya.

Alis sang dokter psikiater berkerut heran. "Dan siapa Luhan dan Sehun yang kau maksud itu?"

Baekhyun menunduk. Melihat kedua tangan lentiknya yang saling memilin di atas meja sang dokter. "Luhan hyung adalah sunbaeku di sekolah. Dia selalu memperlakukan aku dengan baik dan juga satu-satunya yang menganggapku normal selama ini."

Tangan besar Chanyeol meraih tangan Baekhyun, menggenggamnya. "Kau lupa kalau aku juga menganggapmu normal, hm?"

Ada kehangatan yang dirasakan Baekhyun dari genggaman tersebut. Baru enam bulan mereka bertemu, dan Baekhyun sadar. Hanya dokter psikiater ini yang bisa memahaminya dan membuat ia tersenyum seperti ini. "Maksudku selain kau Chanyeol." Meski terpaut enam tahun lebih muda, Baekhyun lebih nyaman langsung menyebut namanya dan dokter itu pun tak keberatan dengan hal itu.

"Lalu, kenapa kau membenci satunya lagi, siapa tadi namanya?"

"Sehun."

"Ya, Sehun. Siapa dia?"

"Kekasih Luhan."

"Oh, kau cemburu karena dia kekasih Luhan?" ada nada sinis yang keluar dari suara berat sang dokter.

"Aku tidak cemburu."

"Lalu?"

"Aku membencinya. Karena meskipun dia sudah menjadi kekasih Luhan, dia tetap saja menggodaku." Tanpa sadar tangan Baekhyun mencengkram Chanyeol, menyalurkan rasa bencinya yang begitu dalam. "Playboy menjijikkan," desisnya.

"Baekhyunnie," suara lembut Chanyeol serta usapan pada telapak tangannya membuat amarah Baekhyun segera mereda. "Kau tenang saja..." Chanyeol menarik tangan lentik Baekhyun, mencium punggung tangannya dengan lembut. Pipi Baekhyun merona. "Tidak akan ada yang berani menyentuhmu. Tentu saja selain aku," bisik dokter muda berambut merah tersebut.

Baekhyun tak sanggup mengatakan apapun. Hanya bisa merona malu sambil menggigit bibir bawahnya, menahan senyum.

.

Dua minggu sebelumnya.

Tubuh Kyungsoo tidak bisa berhenti gemetar. Ia duduk memeluk kedua lutut dan membekap mulutnya. Bersembunyi di dalam lemari kayu pakaian. Gelap. Tapi itu menurutnya lebih baik daripada ia keluar dan bertemu dengan psikopat sadis yang baru saja membunuh kedua orang tua di depan matanya. Masih teringat jelas bagaimana tubuh ayahnya dimasukkan kedalam mesin cuci, dan bagaimana tubuh ibunya dimasukkan ke dalam oven pemanggang di bawah kompor. Bau darah segar menyebar di seluruh penjuru rumahnya. Kyungsoo tak berhenti berdoa, terus berharap akan ada seseorang, siapa pun itu yang bisa menyelamatkan dirinya dari korban psikopat gila yang masih berada di rumahnya.

Langkah kaki terdengar memasuki kamarnya. Kyungsoo menahan nafas. Satu-satunya indra yang bisa ia andalkan dari dalam lemari hanya pendengarannya. Dari langkah kaki di luar sana, Kyungsoo bisa menebak psikopat gila itu sedang menelusuri kamarnya, mencari dirinya. Jantung Kyungsoo berdetak begitu cepat. Air mata terus mengelir dengan isakan yang tertahan. Jangan sampai psikopat itu membuka pintu lemarinya.

Langkah kaki itu pun terdengar menjauh, menghilang setelah bunyi pintu kamarnya yang tertutup. Kyungsoo menghela nafas. Ia selamat. Untuk saat ini.

BRAAK

Pintu lemari terbuka dengan kasar. Pemuda mungil itu terperanjat, jantungnya seakan melompat keluar begitu saja. Tubuhnya menegang, dengan gerakan patah-patah Kyungsoo mendongak. Menatap seringai kejam sang psikopat.

"KE. TE. MU. KAU."

"AAAAAAAA!"

...

Ruang tamu yang tampak sangat berantakan dengan aliran dan genangan darah di mana-mana, serta bau amis yang mencekat indra penciuman itu, seolah sama sekali tak mengganggu Baekhyun yang berdiri tegak di tengah ruangan.

Ia menunduk. Tanpa rasa takut menatap datar sepasang mata yang bersinar kosong di bawahnya. Sepasang mata bulat dari sepotong kepala Kyungsoo tanpa tubuh yang baru saja berguling –seperti bola– dan berhenti diujung sandalnya.

.

Lima bulan sebelumnya.

"AAAAAAAA!"

Sepasang suami istri keluarga Do terperanjat mendengar teriakan histeris anak semata wayang mereka dari lantai dua. Segera keduanya berlari menaiki tangga, menghampiri kamar Do Kyungsoo.

"Ada apa Kyung– Astaga!" Nyonya Do membekap mulutnya. Matanya melotot ketakutan melihat pemandangan di hadapannya. Tak beda jauh dengan ekspresi tuan Do yang berdiri di sampingnya.

Baekhyun, keponakan mereka sedang memegang pisau dapur di tangan kanan. Sementara di tangan kirinya ada anak anjing yang perutnya terbelah dan bermandikan darah serta isi perut yang bergelantungan jatuh dari tubuh berbulu tersebut. Wajah dan seluruh pakaian Baekhyun ternodai darah. Tapi pemuda itu tampak tidak jijik sama sekali, ia hanya menoleh ke ambang pintu. Memandang paman dan bibinya dengan pandangan datar.

Kyungsoo terus menangisi kematian hewan peliharaan barunya. Nyonya Do hampir pingsan di tempatnya. Sementara tuan Do yang berusaha menanyakan alasan mengapa keponakannya itu melakukan hal kejam seperti itu. Dengan polos remaja bersurai hitam itu menjawab,

"Aku suka bau darahnya..."

Hari itu, tuan Do langsung membawa Baekhyun menemui klinik dokter psikiater terdekat.

"Dokter Park, tolong sembuhkan keponakanku," pinta tuan Do pada dokter muda berambut merah pemilik klinik tersebut. Ia sempat meragukan dokter itu melihat dari warna rambutnya yang terlalu menyala. Namun saat sang dokter tersenyum ramah dan mengatakan warna rambut merah itu salah satu terapi yang bisa membuat pasiennya nyaman, keraguan itupun hilang.

"Tentu saja, klinik ini dibuka untuk membantu siapa pun." Chanyeol tersenyum lebar, terlihat begitu tulus.

"Ini keponakanku, namanya Byun Baekhyun."

"Ah," mata Chanyeol bersinar. "Bukankah kita pernah bertemu sebelumnya, adik kecil?"

Tuan Do terkejut, tak menyangka. Ia menatap keponakannya yang sedang membuang muka ke samping, menolak pandangan sang dokter psikiater dan terlihat begitu kesal. Tuan Do mengerjap bingung.

"Kalian saling kenal, sejak kapan?"

Sebuah senyuman misterius terukir di wajah tampan sang dokter muda. "Hanya pernah bertemu, di jalan."

"Pembohong," bisik Baekhyun tanpa ada yang menyadarinya.

.

Awalnya Luhan hanya sedang menyelidiki hilangnya Sehun selama lebih dari tiga hari. Mengikuti semua petunjuk yang ia temukan secara diam-diam, membawanya ke sebuah pondok rumah yang berada di atas bukit pinggir kota. Ia menemukan kekasihnya yang diikat di sebuah kursi dalam ruangan pondok itu, dengan mata tertutup dan mulut yang dibekap oleh lakban. Luhan menangis mengintip kondisi lemas kekasihnya dari lubang dinding kayu pondok tersebut.

Sehun tampak tak bernyawa namun masih bisa bernafas meski tersendat-sendat. Di kaki kursi yang ia duduki menggenang darahnya sendiri yang terus mengalir dari kedua tangan yang tak lagi memiliki kesepuluh jarinya. Entah dimana potongan-potongan jari tersebut. Rasa sakit saat seseorang memotong kesepuluh jarinya itu masih terasa begitu menyakitkan sampai sekarang. Sehun memilih lebih baik segera mati namun psikopat gila itu tak kunjung membunuhnya.

Luhan yang ingin menyelematkan Sehun dengan cara mendobrak pintu pondok kecil tersebut malah kepergok oleh psikopat yang sudah kembali entah dari mana. Ia berhasil lolos, meski lengan kanannya robek karena goresan pisau yang digenggam sang psikopat.

Luhan berlari menuruni bukit. Melewati pepohonan di bawah cahaya bulan. Sampai akhirnya, ia bertemu Baekhyun di kaki bukit. Tubuh Luhan bergetar. Ketakutan dan keputusasaan menjadi satu. Lidah yang kelu ia paksa bersuara meski terdengar bergetar di tiap hurufnya.

"Baekhyun-ah…"

Yang dipanggil hanya diam. Menatapnya dengan pandangan datar yang begitu sulit ditebak. Bibir tipis Baekhyun bergerak, berucap "Aku 'kan sudah bilang," suaranya terdengar begitu kecewa. "Jangan mencoba mencari tahu, hyung..."

"Tapi aku sudah menemukan Sehun, dia–" Luhan tak lagi melanjutkan kalimatnya saat ia menyadari sesuatu. Ada noda darah di kedua tangan Baekhyun. Luhan menatap Baekhyun tak percaya. "Baek, kau..." Luhan mundur dengan tubuh gemetar. Ketika Luhan sadar ada sebuah bayangan lain yang berdiri di belakangnya, ia terlambat.

Sosok yang lebih tinggi, dengan seringai kejam, berambut merah dan membawa sebuah pisau bedah berdiri di belakang Luhan. Psikopat gila itu mengapit leher Luhan dari belakang dengan tangan kiri, mengayunkan kedepan sebuah pisau dari tangan kanannya, lalu berbisik dengan suara bass-nya,

"KE. TE. MU. KAU."

JLEB!

Sebilah pisau bedah itu menusuk perut Luhan. Memutarnya. Seakan ingin meremas isi lambungnya. Darah segar Luhan muncrat keluar, menodai wajah Baekhyun yang berdiri di hadapannya. Dengan pandangan yang mulai buram, Luhan dapat melihat Baekhyun yang mencium bau darahnya dengan ekspresi nikmat seperti sedang menyesap sebuah coklat panas.

"Aku sungguh menyukai bau darah," bisikan Baekhyun menjadi pengantar tidur bagi Luhan untuk selamanya.

Tubuh tanpa nyawa itu terjatuh di antara mereka. Menodai rerumputan di kaki bukit tersebut. Dokter muda berambut merah itu membuang pisau bedah di tangannya. Ia berjalan melangkahi mayat di bawahnya, mendekati pemuda mungil bersurai hitam di hadapannya.

"Baekhyunie, mana hadiahku?"

Senyuman tulus Baekhyun berkembang. Ia mengusap pipi Chanyeol, menodainya dengan darah yang tertempel di tangan lentik tersebut. "Terimakasih Yeol." Ia berjinjit, mencium bibir sang kekasih, yang sekaligus berprofesi sebagai dokter psikiaternya...

...dan juga algojo yang selalu membawakan bau darah segar untuknya.

.

Enam bulan yang lalu

Baekhyun berjongkok di pinggir jalan yang sepi. Menatap kucing yang mengeong kecil, terbaring kesakitan setelah ditabrak lari oleh sebuah mobil. Tangan lentik Baekhyun terulur, mengusap sebentar kepala si kucing. Lalu merambat ke leher. Dengan pandangan yang tetap datar, tangan lentik itu mengerat, mencekik keras leher si kucing hingga bunyi patah tulang leher terdengar. Ngeongan kesakitan itu pun tak lagi terdengar.

"Itu jelek sekali."

Suara berat yang menyahut menarik perhatian Baekhyun. Pemuda mungil berseragam sekolah menengah atas itu mendongak, menatap pria tinggi berambut merah yang sedang berdiri sambil membawa kantung belanjaan.

Ditatap dengan pandangan datar, Chanyeol malah tertawa. "Aku suka sinar matamu," ucapan ambigunya membuat Baekhyun tak mengerti. "Mau kuperlihatkan sesuatu yang lebih menarik dari hal yang kau lakukan itu, hm?" tawarnya sambil mengulurkan tangan di depan wajah Baekhyun.

Mata Baekhyun memandang uluran tangan itu, cukup lama tanpa ada tanda-tanda ingin menerimanya.

Chanyeol sudah ingin menarik tangannya lagi yang sempat terabaikan, sebelum akhirnya tangan lentik Baekhyun terangkat dan menyambut uluran telapak tangannya.

Genggaman tangan pertama yang dilakukan dua anak manusia itu, menjadi pertanda yang benar-benar akan mengubah kehidupan keduanya, juga kehidupan orang-orang di sekeliling mereka...

Angin aneh pembawa firasat mulai berhembus sendiri di sekitar mereka.

Dalam waktu yang sama di ketiga tempat berbeda, Do Kyungsoo, Oh Sehun, dan Xi Luhan. Merasakan sebuah firasat yang sama. Ketiga namja yang tak tahu apa-apa itu saling mengusap tengkuk mereka yang merinding sendiri di tempat mereka masing-masing.


- 4 -

THE CODE

.

Baekhyun adalah nama depan seorang pria kelahiran London, tanggal 23 Juni 1912. Ia bukanlah tipikal keturunan asli Inggris. Manik hazel adalah warisan dari gen Ayahnya yang berdarah Inggris, sementara surai ebony-nya didapatkan dari Ibunya yang berdarah Korea. Otaknya yang cemerlang menjadikan Baekhyun seorang matematikawan jenius. Ia bahkan memiliki pekerjaan yang tak semua orang bisa miliki, yakni pemecah kode enkripsi dari mesin Nazi (Enigma) di Government Code and Chyper School (GCCS), Bletchley Park. Sebagai catatan, ini adalah program rahasia.

Enigma adalah sebuah mesin yang menyediakan data intelijen penting bagi sekutu. Inggris menggunakan mesin yang diselundupkan Intelijen Polandia dari Berlin itu untuk mengetahui detail dari semua serangan tiba-tiba, semua konvoi rahasia, dan semua kapal selam Jerman di Samudera Atlantik yang berniat menyerang Inggris. Cara kerja Enigma itu sendiri sangatlah rumit. Untuk memecahkan kode rahasia Jerman, pengaturan mesinnya harus diketahui. Bagian terburuknya adalah ada lebih dari seratus lima puluh juta kemungkinan pengaturan, mengingat Jerman selalu mengubah pengaturannya setiap hari saat tengah malam.

Kebanyakan orang―termasuk Intelijen Inggris―menganggap Enigma sebagai 'sebuah kemustahilan', namun Baekhyun justru menganggapnya sebagai 'kode terbaik sepanjang sejarah'. Bertujuan membongkar kode rahasia para tentara Nazi melalui Enigma, Kris Wu―agen MI6―tentunya mengharapkan sebuah kerja sama antara Baekhyun dengan beberapa ahli yang ia pekerjakan, tapi sepertinya itu lebih sulit dari perkiraannya. Cara kerja Baekhyun yang individual dan cenderung keras kepala, membuatnya tak begitu disukai rekan-rekan kerjanya―termasuk Richard Hanks.

Richard tak jarang berdebat dengan Baekhyun mengenai dirinya yang lebih suka menghabiskan sebagian besar waktunya merancang sebuah mesin yang―dipikirnya―dapat memecahkan kode rahasia Jerman secara instan, daripada bekerja sama dengan rekan-rekannya. Emosi Richard-pun mencapai batasnya tatkala Kris memberikan posisinya sebagai penanggung jawab pada Baekhyun, tepat setelah pria mungil itu mengajukan ide tentang mesin ciptaannya yang―menurut Richard―belum bisa dipastikan keberhasilannya. Membuang-buang waktu dan uang―pikir Richard.

Setahun berlalu, dan mesin Baekhyun tak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pria mungil itu tersadar bahwa ia tak'kan bisa menang melawan Enigma jika ia bekerja sendiri. Ia harus mengesampingkan ego-nya karena ia tak sedang berperang dengan Jerman, melainkan dengan waktu. Semakin banyak waktu yang ia habiskan, semakin banyak pula warga Inggris yang terancam oleh kebengisan Hitler. Maka dari itu, Baekhyun mulai belajar bersosialisasi dengan rekan-rekannya, membangun kerja sama di antara mereka. Dimulai dari Thomas, Stephen, Alexander, kemudian Richard.

Terasa aneh bagi Baekhyun pada awalnya, tapi rencananya berhasil. Mereka berteman.

"Kau mau?" Richard menawarkan sepotong roti isi pada Baekhyun yang tengah sibuk membaca buku.

"Tidak, terima kasih."

"Kau tahu?" Richard duduk di sebelah Baekhyun seraya mengunyah roti isinya. "Kau harus makan sesuatu jika tak ingin otakmu panas."

Baekhyun mendengus. "Itu pemikiran konyol."

Richard tersenyum tipis. Pria tinggi itu merogoh sesuatu dari saku celananya, lalu memberikannya pada yang lebih pendek. "Coba lihat ini." Baekhyun menoleh dua detik kemudian. "Jika kau susun kabel secara diagonal pada matriks panel, itu akan mengurangi posisi rotor lima ratus kali lebih cepat."

"Ini.." Baekhyun memerhatikan tulisan Richard dengan saksama. "Ini sepertinya bukan ide yang buruk."

Richard geleng-geleng kepala―agak kesal dengan respon menyebalkan Baekhyun. "Astaga, Baekhyun, sesulit itukah mengatakan 'terima kasih'?"

Baekhyun terdiam. Tepat saat Richard bangkit dari posisi duduknya, pria mungil itu menahan tangan yang lebih tinggi, kemudian berkata, "Terima kasih."

Untuk sesaat, Richard merasa terkejut, namun setelahnya ia merasa geli sendiri. Ia penasaran, bagaimana bisa Baekhyun terlihat begitu polos seperti anak SD saat mengucapkan 'terima kasih'?

"Sama-sama." Richard tersenyum begitu lebar, kemudian mendudukkan dirinya kembali di samping Baekhyun. Sejenak, tak ada percakapan di antara dua jenius itu. Baekhyun sibuk menganalisa temuan Richard, sampai tak sadar bahwa pria bersurai dark brown di sebelahnya tengah memerhatikan parasnya terlampau intens. "Aku selalu penasaran apa arti namamu, Baekhyun."

Baekhyun melirik Richard sekilas, lalu menjawab, "Artinya bijak dan berbudi luhur."

"Begitukah?" Richard berpikir lagi, mulai berandai-andai. "Jika aku orang Korea, kira-kira nama apa yang cocok untukku?"

Baekhyun mengubah haluan atensinya ke kanan, memandang paras tampan Richard seraya memikirkan nama yang cocok untuk pria bertelinga lebar itu. "Chanyeol."

"Chanyeol? Apa artinya?"

"Asal mula buah kesuksesan."

Mendengarnya, Richard tersenyum puas. Tangannya secara refleks mengacak surai ebony Baekhyun dengan gemas. "Chanyeol. Aku suka~"

Semenjak masih duduk di bangku sekolah, Baekhyun sadar bahwa dirinya berbeda. Tidak hanya mengenai otak jeniusnya, tapi juga orientasi seksualnya. Tentu saja tak ada yang mengetahuinya, dan tak akan pernah ada. Bahkan ketika jantungnya berdebar begitu cepat saat Richard tersenyum padanya, tak seorangpun boleh mengetahuinya.

Karena kala itu, homoseksual adalah tindakan ilegal.

.

Waktupun berlalu, Inggris mencapai kejayaannya satu tahun setelah Enigma berhasil ditaklukkan Baekhyun dan rekan-rekannya. Tentu saja itu semua adalah rahasia, Jerman tak pernah tahu hal itu. Baekhyun mengatakan bahwa jika hal ini sampai ke telinga pihak Jerman, mereka mungkin saja akan menghentikan komunikasi radio yang setiap hari Inggris sadap, kemudian mengubah desain Enigma yang telah susah payah dipecahkan selama dua tahun ini. Terlalu riskan―Baekhyun menyebutnya.

Maka dari itu, Baekhyun dan Richard meminta langsung bantuan Kris untuk merahasiakan hal ini dari siapapun―termasuk Angkatan Laut, Angkatan Darat, juga Angkatan Udara. Sebagai gantinya, mereka akan membantu menentukan jumlah minimun aksi yang harus dilakukan untuk memenangkan perang melalui analisa statistik, sementara MI6 akan menyebarkan berita bohong pada orang-orang―termasuk pihak Jerman dan militer Inggris―tanpa melibatkan Enigma di dalamnya. Sebanyak mungkin yang bisa mereka lakukan sebelum pihak Jerman curiga.

Bagi Baekhyun sendiri, itu bukanlah bagian tersulit, bahkan saat Kris memerintahkan untuk membakar semua penemuan yang berbau Enigma begitu perang selesai. Justru hal tersulit yang harus Baekhyun lakukan adalah berpisah dengan Richard. Walaubagaimanapun, program rahasia di Bletchley Park telah berakhir, yang artinya mereka harus kembali ke tempat kerja masing-masing, menganggap semua hal yang telah mereka kerjakan selama ini tak pernah ada.

"Jadi, kurasa ini adalah perpisahan." ucap Richard pada Baekhyun, tepat saat kereta api yang ditunggunya tiba. Pria tinggi itu tersenyum tipis mendapati pria mungil yang mengantar kepergiannya hanya terdiam dengan kepala menunduk. "Kau tak'kan mengucapkan 'selamat tinggal' pada sahabatmu ini?"

Tetap tidak ada respon. Baekhyun justru semakin tak bisa menatap Richard karena ia tak yakin airmata yang sedari tadi mati-matian ditahannya tak'kan jatuh jika manik mereka bertemu. Maka, pria mungil itupun memilih untuk tak mendongak.

"Dasar Tuan Keras Kepala."

Baekhyun tak bisa untuk tak terkesiap saat Richard tiba-tiba memeluknya. Namun tidak seperti sindiran yang dikatakannya barusan, pelukan Richard justru terasa begitu erat juga hangat, membuat lelehan bening di pelupuk mata Baekhyun jatuh begitu saja. Dadanya semakin terasa sesak tatkala suara husky Richard mengucapkan kalimat yang tak pernah Baekhyun bayangkan akan diucapkan pria tinggi itu kepadanya.

"Aku akan merindukanmu, Baekhyun.."

Baekhyun sungguh tak mampu melakukan yang lebih baik selain membalas pelukan Richard, melampiaskan segala emosi yang dirasakannya melalui remasan di mantel yang lebih tinggi. Tanpa Richard ketahui, Baekhyun ternyata membalas ucapannya. Sebuah kalimat 'aku juga akan merindukanmu, Richard' terucap tanpa suara.

.

Sepuluh tahun kemudian..

"Hey, blushing bride~" Richard tersenyum manis pada Tiffany dari balik pintu, tepat setelah wanita yang lebih muda lima tahun darinya itu memperbolehkannya masuk ke dalam ruang ganti pengantin wanita.

"Richard, kau kemana saja?! Kenapa baru datang?! Aku sudah sedikit ini untuk menyimpulkan kau tidak akan datang ke pernikahanku, kau tahu?!" Tiffany mengomel tanpa henti. Tapi bukannya merasa bersalah, Richard justru terkekeh melihat kekesalan sahabat sejak kecilnya itu.

"Maaf, maaf, tadi ada sedikit krisis di tempat kerja, jadi–"

"Ugh, lagi-lagi pekerjaanmu!" Tiffany menyela dengan intonasi jengah. "Berapa kali aku harus memberitahumu, Richard, kau harus berhenti menjadi workaholic! Usiamu hampir empat puluh tahun, dan kau bahkan masih belum menikah!"

Sudut bibir Richard menyunggingkan sebuah senyuman yang terkesan dipaksakan. Well, ini bukan pertama kalinya Tiffany merecoki hidup Richard yang berubah menjadi workaholic semenjak pria itu kembali dari Bletchley Park.

"Well, maaf, aku tak bisa, Tiff. Kau juga tahu kenapa."

Tiffany terdiam setelahnya. Ia tak'kan menyangkal ucapan sahabatnya, karena―ya, ia tahu pasti alasan Richard belum menikah sampai detik ini. Tapi tetap saja ia khawatir, lihat saja pipi Richard yang semakin tirus dari terakhir kali mereka bertemu. Pria tinggi itu pasti mencoba menyibukkan dirinya lagi.

"Rich, sampai kapan kau terus begini? Serius, aku mengkhawatirkanmu."

Richard tersenyum tulus kali ini, ibu jarinya mengelus lembut pipi Tiffany. "Aku tahu. Dan aku tak bisa lebih beruntung memilikimu sebagai sahabatku, Tiff."

Itu sama sekali tak menjawab pertanyaan Tiffany ataupun mengurangi kekhawatirannya. Meski begitu, ia tahu benar akan sia-sia saja mengomeli Richard karena sebenarnya inti permasalahan pria tinggi itu adalah–

"Jadi, kapan kau akan benar-benar melupakannya?"

Selama beberapa detik, pria bersurai dark brown itu temenung dengan netra balas menatap obsidian Tiffany yang menuntut jawaban pasti darinya. Selama itu pula, benaknya melayang pada sosok yang sudah sepuluh tahun ini tak ditemuinya. Sosok yang diam-diam ia cintai, sosok yang tak bisa ia miliki karena tak diizinkan hukum negara.

"Setelah dia menikah."

Sosok dengan nama Baekhyun.


- 5 -

WARM FEELING

.

"Baek— Baekhyun! Tunggu!"

"Lepaskan." Suara dingin dengan wajah tanpa ekspresi itu benar−benar membuat Sehun mematung. Byun Baekhyun, dia tak pernah bersikap sedingin itu padanya. Tatapan mata yang biasanya mengerling lucu itu kini berubah warna menjadi merah dan berkilat seperti mata seorang psikopat ketika menemukan mangsa. Melihat wajah cantik yang dulunya begitu mendebarkannya berubah menjadimonster yang siap memangsa seseorang, membuat nyalinya menciut. Ia menyesal, sungguh. Tidak seharusnya dia bermain api di belakang kekasih mungilnya itu.

"Baekhyun..."

"Sekarang kau sudah memiliki alasan untuk berpisah denganku." Sehun membeku tanpa bisa menjawab ucapan menusuk Baekhyun. Memang benar,selama ini cinta diantara mereka sudah berbeda. Dan bodohnya Sehun justru memilih untuk berpaling dari sosok mungil itu. "Selamat tinggal, Oh Sehun."

"Baek—" Baekhyun melompat ke atas dahan pohon di taman belakang Moorim High School, sedangkan Sehun menatapnya dengan pandangan bersalah. "Baek, ayo bicara baik−baik."

"Sayangnya, aku tidak memiliki waktu untuk berbasa−basi denganmu lagi."

"Baek!Tung—argh!" Baru saja Sehun ingin melompat menyusul Baekhyun, namun sebuah serangan kecil menghentikannya."Baek..." Sehun terduduk di tanah saat Baekhyun berhasil melempar bola cahaya dalam ukuran kecil ke dalam retina matanya −yang selalu berhasil membutakan lawannya selama beberapa menit. Lelaki mungil itu menatap mantan kekasihnya selama beberapa detik dengan pandangan sendu, kemudian melompat pergi dari dahan ke dahan hingga keluar dari area Moorim, menuju hutan pinus yang tak jauh dari lokasi sekolahnya. Ia membutuhkan udara segar sekarang.

.

Baekhyun memandang jernihnya air sungai hutan Jindongjae dengan pandangan sendu. Kedua kakinya bermain−main dengan dinginnya air dan beberapa ikan kecil menghampirinya untuk sekedar menggelitiki kaki mungilnya. Ujung bibirnya tertarik, sebuah senyuman kecil –dan rapuh. Teringat sosok tadi, Baekhyun sebenarnya tak seberapa peduli jikalau Sehun berselingkuh toh dia juga tak benar−benar menyukai sosok itu. Hanya saja, rasa dikhianati itu selalu mengingatkannya akan kedua orang tuanya yang juga harus berpisah dikarenakan sebuah perselingkuhan. Hal itulah yang membuat Baekhyun begitu benci seorang pengkhianat.

"Luhan memang cantik dan polos. Dia juga seorang wolf, sama denganmu..." Baekhyun menatap seekor fish gold di balik jemari kakinya, membuka−tutup mulutnya menyesuaikan udara yang masuk ke dalam insangnya. Begitu lucu dan menggemaskan bagi seorang penyayang binatang sepertinya. Baekhyun mencondongkan tubuhnya dan mengetuk−ngetuk permukaan air dengan jemarinya, membuat cahaya kecil−kecil yang mengganggu aktivitas ikan−ikan mungil di dalam sana. Ia terkekeh pelan. "Setidaknya Luhan adalah lelaki baik−baik. Kau beruntung, Oh Sehun."

Plung.

Baekhyun menoleh saat matanya menangkap beriak air yang ditimbulkan oleh lemparan batu seseorang. Dahinya mengernyit, kemudian mengalihkan tatapannya pada sosok lain yang kini tengah menyengir tanpa dosa padanya. Lelaki tinggi berambut merah maroon yang tengah bersandar santai di salah satu dahan pohon yang tak seberapa tinggi, tengah menatapnya dengan tatapan jenaka yang sudah dihafalnya di luar kepala.

Park Chanyeol, si mutan pengganggu.

"Tch." Baekhyun berdecih dan mengabaikan keberadaan lelaki tinggi itu. Ia lebih memilih untuk bermain−main dengan ikan−ikan kecil di bawah jemarinya.

Bugh.

Suara hentakan kaki yang mendarat mulus diatas tanah. Dan Baekhyun tak perlu menoleh untuk sekedar menebak kalau lelaki itu sudah turun dari atas dahan dan kini berjalan menghampirinya –mengganggunya setiap waktu.

"Baekhyunee."

"..."

"Park Baekhyun, jangan mengabaikanku!~"

"Berhentilah bermimpi untuk menikahiku, idiot!" Seolah sudah kebal akan kalimat pedas Baekhyun, Chanyeol hanya tertawa kecil lalu duduk di sebelah Baekhyun tanpa memberi jarak sedikit pun. Lengan mereka bahkan menempel dengan sempurna. Lelaki yang lebih tinggi memberikan eksistensinya secara penuh pada seorang Byun disana tanpa berkedip sedikit pun. Bibir tebalnya mengulum senyuman saat melihat wajah manyun Baekhyun. Meskipun sifatnya begitu dingin, Baekhyun tetap saja manis baginya.

"Kita 'kan memang akan menikah." bisiknya penuh percaya diri.

"Ha. ha, lucu."

"Aigoo, calon istriku kenapa murung, huh? Baru putus?" goda Chanyeol sembari mencolek−colek lengan Baekhyun main−main. Ia tak membutuhkan jawaban sebenarnya, karena tanpa bertanya pun Chanyeol tahu apa yang dilakukan Baekhyun setiap harinya. Termasuk berpelukan hingga berciuman dengan mantan−mantan kekasihnya, ia bahkan tahu kapan tepatnya semua itu terjadi. Chanyeol takkan cemburu toh ciuman pertama Baekhyun adalah dirinya. Dan dia bangga akan hal , lelaki berambut merah maroon itu tahu betul kalau Baekhyunnya tak pernah memiliki perasaan pada mereka. "Baekhyun~"

"Istri? Aku lelaki dan aku seorang vampire, Park!"

"Lalu kenapa?"

"Kau adalah seorang phoenix, keturunan murni dari Klan Qian. Tak sepantasnya kau duduk disini dengan seorang vampireberdarah kotor. Apalagi mengobrol dengannya!"

Chanyeol mencibir.

"Memangnya aku peduli?" Chanyeol masih saja tersenyum dan Baekhyun hanya bisa membuang nafas pasrah akan jawaban Chanyeol yang selalu sama. Jika ada yang bertanya apakah hubungan keduanya? Maka jawabannya adalah teman. Chanyeol berasal klan phoenix, seorang mutan berkekuatan api. Berbeda dengan klan Baekhyun maupun Sehun, Chanyeol adalah seorang bangsa murni, kakek moyangnya bahkan berasal dari Yunani. Seperti para bangsa griffin, centaur,venus, sylph atau pun makhluk mitologi lainnya. Di Moorim, klan keturunan bangsa Yunani adalah seorang yang sangat dihormati.

"..."

"Berhentilah berkencan dengan orang lain, karena itu takkan bisa membuatmu berpaling dariku." Suara Chanyeol mendadak serius dan Baekhyun bisa merasakan benda dalam dirinya berdetak begitu kencang.

Baekhyun tertawa sinis.

"Sok tahu."

Jantung itu menari dan berteriak semakin keras saat sebuah kecupan mendarat di pelipisnya. Rasa hangat langsung berlomba−lomba melingkupi hatinya. Seorang vampire seharusnya tak merasakannya. Namun ia berbeda, ia seorang dampire. Ia adalah seorang manusia yang dialiri darah vampire dalam tubuhnya. Dan ia benci perasaan manusia yang dimilikinya!

"Aku memang tahu."

.

"Byun Baekhyun−sshi..." Baekhyun menghentikan langkahnya dan menatap sosok Luhan yang berjalan kearahnya sembali memilinjari−jemarinya dan kepalanya tertunduk takut −tak berani menatapnya.

"Oh, kau rupanya." Luhan memberanikan dirinya untuk menatap Baekhyun, dan sial sekali karena Baekhyun harus melihat mata serigala yang mirip mata rusa itu menatapnya dengan kilauan airmata yang sungguh menyilaukan. Wajah cantik lelaki itu memerah menahan tangis dan Baekhyun tahu benar apa penyebabnya. Helaan nafas keluar dari bibir tipisnya. Sepertinya ia harus segera menyelesaikan ini. "Ada apa kau men—"

"Maaf," Luhan terisak kecil. "Maaf karena merebut Sehun darimu. A−Aku tidak bermaksud melakukannya, Baekhyun−sshi. A−Aku hanya sangat mencintainya dan... dan..."

"Sudahlah." Baekhyun tersenyum lalu menepuk pundak Luhan. "Aku tidak keberatan kalau kalian bersama. Lagipula—" Mata sipit Baekhyun menangkap keberadaan Sehun tak jauh dari mereka –memandang keduanya dengan sendu dan penuh rasa bersalah. Lelaki berkulit pucat itu mengalihkan pandangannya. "—aku juga tak bisa berpura−pura mencintai Sehun dan menyakiti kalian berdua. Akulah yang seharusnya minta maaf. Maaf karena merebut cinta pertamamu, Luhan−sshi."

"Ba−Bagaimana kau—"

"Aku masih seorang vampire, ingat? Aku selalu mengintai targetku sebelum mendapatkannya."

.

Sebuah rangkulan mendarat di bahu Baekhyun. Lelaki mungil itu sempat ingin melempar pelakunya sebelum akhirnya menyadari kalau sosok yang merangkulnya adalah Chanyeol –membuat ia mengurungkan niat jahatnya beberapa detik yang lalu. Lelaki tinggi itu tersenyum tampan dan sempat membuat Baekhyun merona –sehingga ia harus berpaling demi menyembunyikan ekspresi memalukannya itu. Rona sialan!

Chanyeol menunduk lalu berbisik pelan di telingannya,

"Sudah lega?" —suara yang selalu menggetarkan.

"Aku tak menyangka akan selesai secepat ini. Ini hanya berjarak seminggu, kau tahu."

"Bukankah itu lebih baik?"

"Ya."

.

Beberapa helai dandelion api terbang beriringan bersama kupu−kupu cantik yang terbuat dari cahaya, menghiasi langit malam Moorim dengan indahnya. Perbuatan siapa lagi kalau bukan Chanyeol dan Baekhyun yang kini tengah berbaring dengan lengan Chanyeol sebagai sandaran yang lebih mungil? Tangan mungil Baekhyun bergerak perlahan, mengayun seolah tengah menggambar sesuatu sebelum akhirnya secercah cahaya muncul dan puluhan kupu−kupu kembali keluar dari telapak tangannya.

"Trik sulap yang bagus." ujar Chanyeol lalu menatap lelaki mungil dalam dekapannya.

Baekhyun tersenyum kecil –menikmati debaran di jantungnya dan hangatnya pelukan dari lelaki berkepala api disebelahnya. Tubuh Baekhyun bisa merasakan betapa pasnya suhu tubuh Chanyeol. Chi dalam tubuhnya pasti terbentuk dengan sangat apik sehingga api−api itu bisa hidup disana dan menghangatkannya setiap waktu. Rasanya memang berbeda ketika dekat dengan keturunan murni.

"Ini sudah empat tahun, Baek."

"Ya, benar."

"Apa kau masih ingin menolak takdirmu ini?"

Baekhyun terkekeh kecil –geli akan ucapan sok puitis lelaki tinggi itu. Melihat senyuman cantik dari sang terkasih membuat Chanyeol tak bisa untuk menahan hasratnya hingga sebuah ciuman mesra mendarat di bibir tipis Baekhyun dengan lembut. Keduanya memejamkan mata, menikmati hisapan dan lumatan mendebarkan yang terasa begitu membuai setiap detiknya. Baekhyun, sudah sejak lama ia memiliki perasaan itu... namun, keadaan membuatnya memilih untuk mengabaikannya.

Ciuman itu berakhir dengan kecupan kecil dari lelaki yang lebih tinggi.

"Aku tak tahu." jawab Baekhyun dengan bisikan yang sama lirihnya dengan suara angin di musim semi.

"Teruslah mengelak, aku tak peduli. Karena aku juga takkan menyerah padamu."

"Kalau begitu jangan melepaskanku."

"Takkan pernah."

Keduanya kembali terlarut dalam sebuah pagutan. Diatas sana, sebuah cahaya yang berasal dari salah satu sisi bintang sirius berkilau terang –seolah ikut bahagia dengan kemesraan kedua insan berbeda klan itu. Phoenix dan dampire, perbedaan takkan bisa memisahkan sebuah perasaan yang suci. Melainkan, perbedaan itulah yang menyatukan keduanya dalam buaian kasih yang tulus.


- 6 -

I AM FINE

.

Langit yang gelap, angin dingin yang berhembus menusuk tulang serta hujan yang tidak menunjukan tanda akan berhenti terus membasahi bumi.

Baekhyun, laki-laki bertubuh mungil, dengan atasan baju kasual serta celana jeans belelnya itu nampak basah.

"Sebentar lagi kita sampai rumah. Bertahan sebentar lagi ya sayang," ucapnya seraya lebih mendekap erat tubuh kecil di dekapannya.

Tadi sore cuaca tidak menunjukan akan hujan makanya ia dan anaknya asik bermain di taman kota hingga lupa waktu. Hujan lebat inilah yang membuat mereka ingat pulang dan berakhir dengan basah kuyup.

.

Pukul 23.00.

"Daddy pulang~"

Tidak ada sahutan. Kening namja dengan setelan jas formal yang baru saja masuk ke apartement mewahnya itu mengernyit. Tidak biasanya tidak ada yang menyahut saat aku bilang aku pulang, itu ucapnya dalam hati.

Pekerjaannya yang merupakan petinggi perusahaan inilah yang membuatnya pulang larut. Namun selarut apapun biasanya 'istri' mungilnya itu pasti menungunya -duduk cantik seraya menonton siaran televisi.

"Oh, kau sudah pulang?" ini dia suara sang 'istri'. Baekhyun keluar dari kamar sang anak.

Chanyeol, nama laki-laki berpakaian formal, melihat ke arah suara. "Ehm... ya." jawabnya.

Baekhyun berjalan mendekatinya lalu mengambil tas kerja dan jas Chanyeol. "Kau tunggu dulu aku akan menyiapkan air hangat untukmu mandi." Baekhyun tersenyum tipis.

Kening Chanyeol mengernyit. Matanya tidak salah lihat untuk melihat keadaan Baekhyun. Mata Baekhyun sayu, bibirnya juga pucat lalu cara jalannya (Chanyeol mengamati cara jalan Baekhyun) yang begitu lemas. Sesekali tangan Baekhyun akan memegang kepala lalu kepalanya akan menggeleng. Chanyeol mengikuti Baekhyun yang masuk ke kamar mereka -Baekhyun menyiapkan air hangat di kamar mandi kamar mereka.

Betapa terkejutnya ia saat melihat Baekhyun sempoyongan dan akhirnya duduk di sisi ranjang. Jas dan tas kerja Chanyeol tergeletak begitu saja dibawah.

"Gweanchanayo?" tanya Chanyeol khawatir. Kedua tangannya menangkup sisi wajah Baekhyun, membuat Baekhyun mendongak karenanya.

"Gweanchana." Baekhyun menampik pelan kedua tangan Chanyeol. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Baekhyun berdiri lagi. "Tunggu sebentar, aku akan menyiapkan air untukmu." dengan langkah di seretnya, Baekhyun masuk ke kamar mandi.

Chanyeol bukanlah orang yang tidak peka atau bodoh. Berpuluh-puluh tahun hidup dengan Baekhyun -dimulai dari masa mereka bersahabat saat awal sekolah menangah atas lalu ke kencan dan berlanjut ke pacaran hingga akhirnya memutuskan untuk menikah dan mengangkat seorang anak yang sekarang sudah berumur tujuh tahun- Chanyeol tidak bodoh untuk mengetahui Baekhyun sedang tidak baik-baik saja.

BRUK

Dan telinganya tidak tuli untuk mendengar suara gedebuk jatuh. Chanyeol bergegas ke kamar mandi. Dilihatnya Baekhyun sudah terduduk. Chanyeol jongkok di sebelah Baekhyun dan memeriksa keadaannya. Beruntunglah ia Baekhyun tidak mengalami luka.

Saat memeriksa suhu tubuh Baekhyun, mata Chanyeol membulat. "Kau demam?! Bagaimana bisa?" Air dalam kamar mandi Chanyeol matikan dulu sebelum memapah Baekhyun kembali ke ranjang.

"Tadi aku dan Jackson kehujanan. Setelah memandikan Jackson dan menjaga Jackson, setelah yakin keadaan Jackson baik, aku baru keluar dari kamar Jackson.

Tunggu itu berati...

"Apa pakaian ini yang kau gunakan saat kau kehujanan?"

Baekhyun mengangguk.

"Apa kau belum mandi atau apapun itu?"

Lagi, Baekhyun mengangguk.

"Aish, jinjja. Kalau begini bisa-bisa kau yang sakit. Sekarang kau mandi dan ganti baju. Aku akan membuat makanan dan membawa obat untukmu." ucapnya tegas tak terbantahkan.

"Tapi Chan-"

"Lakukan karena aku tidak menerima bantahan!"

Akhirnya Baekhyun mengangguk pasrah.

.

Cukup lama Baekhyun menunggu Chanyeol datang membawa semangkuk bubur dan segelas air putih lengkap dengan obat yang masih dibungkus. Rambut Baekhyun bahkan sudah kering sekarang ini.

"Kau harus makan beberapa suap setelahnya minum obat. Untunglah masih ada sisa obat di kotak obat." Chanyeol menaruh gelas dan obat dimeja nakas.

"Tidak usah berlebihan seperti itu. Aku tidak akan sakit karena kehujanan."

"Yak! Berlebihan kau bilang? Aku khawatir, bodoh. Dan apa yang barusan kau bilang, tidak akan sakit karena kehujanan?" Chanyeol tersenyum miring, "kau pikir kita baru bertemu kemarin sampai tidak tau luar dalam? Aku sudah menghabiskan separuh hidupku denganmu, Baek. Aku tau kau dengan baik."

Baekhyun memutar bola katanya dengan malas, "Baiklah, baiklah, aku akan makan dan minum obat agar kau diam."

"Aku yang akan menyuapimu."

Chanyeol menyuapinya dengan telaten, menunggu dengan sabar Baekhyun yang ogah-ogahan makan. Menyuapi Baekhyun dari suapan ke satu, lanjut kedua dan sampai ke suapan terakhir. Sesekali Chanyeol harus mengomel agar Baekhyun mau menerima suapannya.

Sekarang tugasnya sudah beres; menyuapi dan memberi obat. Masih dengan posisi Baekhyun duduk di atas ranjang dan Chanyeol di sisi ranjang, mereka memulai pembicaraan.

"Lagian, kenapa bisa sampai kehujanan?" tanya Chanyeol.

Baekhyun menunduk, memainkan ujung piyama bajunya. "Aku dan Jackson tapi main ke taman sampai lupa waktu dan akhirnya kami kehujanan."

"Lalu bagaimana keadaan Jackson sekarang? Terlalu mengkhawatirkanmu aku sampai lupa dengan keadaan anakku sendiri. Lain kali jangan sampai lupa waktu saat main dengan Jackson. Perhatikan kodisi kau dan Jackson. Aku tidak mau kalau kalian sakit."

Baekhyun semakin merasa bersalah karenanya. "Mianhae." ucapnya penuh sesal.

Chanyeol menghela nafas. Melihat Baekhyun menunduk bersalah seperti ini membuat ikut merasa bersalah. Dia berkata seperti tadi bukan karena menyalahkan Baekhyun, hanya memperingatkan saja, cuma itu.

Chanyeol menggenggam tangan Baekhyun, "Baekhyunie, tatap aku."

Baekhyun mendongak menatapnya.

Chanyeol meremat lembut tangan Baekhyun, "bukan maksudku menyalahkanmu, aku hanya memberitahumu saja agar lebih menjaga kesehatan. Lihat sekarang karena tidak menjaga kesehatan kau sakit kan,"

"Aku tidak sakit, Chanyeolie~ I am fine!"

Bibir Baekhyun masih melengkung ke bawah dan itu malah membuat wajahnya begitu menggemaskan. Saat Baekhyun merajuk adalah saat Chanyeol ingin menghujaninya dengan ciuman agar bibir itu melengkung ke atas.

Kedua tangan Chanyeol beralih menangkup ke sisi wajah Baekhyun. "Baiklah, baiklah, kau tidak sakit."

Bibir Baekhyun akhirnya melengkung ke atas, membentuk senyum. Chanyeol ikut tersenyum.

Mereka saling tatap, saling menyelami manik mata. Tatapan mereka begitu dalam seolah mereka berbicara hanya dengan saling tatap. Mata Chanyeol beralih ke bibir pucat Baekhyun, kembali ke mata dan kembali ke bibir. Begitu terus sampai Chanyeol perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Baekhyun. Baekhyun pun memejamkan matanya.

Semakin dekat...

Dekat...

Begitu dekat...

Dan...

HACHI!

Chanyeol kena sembur.

Chanyeol refleks menjauhkan wajahnya dari wajah Baekhyun, menatap begis ke Baekhyun. Dengan telunjuknya, Baekhyun mengusap hidungnya yang merah. Ia meringis polos, "sepertinya aku flu dan.. I am not fine."


- 7 -

CHANYEOL'S MINIATUR

.

Seorang pria terkenal pernah berkata di televisi, mencari pendamping hidup itu bukan perihal gelar dan eksistensi, tapi tentang seseorang yang mau duduk bersamamu hingga rambut memutih dan raga tak mampu lagi berbuat banyak.

Kupikir dia benar. Banyak dari kita yang masih berdistorsi dengan pengaruh-pengaruh sosial yang ada, lupa bahwa sebenarnya berkomitmen itu tentang berkomunikasi. Mereka mengejekku karena aku tidak ingin menikah, bahkan ada yang mengiba sampai memberikanku tatapan menuduh.

Aku selalu percaya Pernikahan ibarat reaksi kimia, gabungan antara feromon, endorfin dan serotonin. Setelah beberapa tahun, zat-zat tersebut akan menghilang dari setiap pasangan. Itu juga yang terjadi diantara ayah dan ibuku. Mereka memilih berpisah disaat usiaku masih belum mampu menerima sebuah perpisahan.

Lalu kenapa kakek dan nenekku bisa bertahan hidup berdua sampai mereka meninggal? Karena saat cinta mereka menghilang, dan pernikahan mereka sampai pada titik jenuh, mereka masih punya sesuatu yang disebut kasih sayang, keterbiasaan, empati dan tentu saja, komunikasi.

Sementara aku, berada ditengah-tengah keluarga yang retak, gen kedua orangtuaku mengalir deras dalam darahku. Aku tidak mendapat kasih sayang seperti anak kebanyakaan, mereka jarang berkomunikasi denganku setelah bercerai, dan aku hidup dari hasil percintaan kedua manusia yang tidak memiliki empati. Aku mendapat banyak contoh buruk dari mereka. Ibu sering marah-marah pada sesuatu yang tidak jelas, bahkan tak jarang membiarkanku kelaparan sehabis pulang sekolah. Dia menyimpan semua makanan didalam lemarinya. Ibu bilang wajahku sangat mirip dengan ayah dan itu membuatnya benci padaku. Dia suka menjambak rambutku dan menyebutku bakteri.

Sedangkan tinggal bersama ayah didalam rumah besarnya, tak ada bedanya seperti hidup didalam neraka. Setiap hari ayah membawa pulang gadis yang berbeda-beda seperti dia tidak kenal waktu, suara mereka sangat berisik hingga terdengar ke kamarku. Aku tidak tahan melihat kelakuan ayah, tapi aku memilih tidak peduli meskipun aku tidak sekuat itu. Biasanya aku melarikan diri ke rumah Sehun, membawakan lima botol bubble tea untuknya sebagai permintaan maaf karena mengganggunya malam-malam.

Aku tidak pernah tahu sampai kapan aku mampu bertahan hidup dalam ketakutan.

Namun semenjak aku memutuskan hidup sendiri setelah masuk perguruan, aku mempunyai tekad untuk tidak lagi pulang ke rumah ayah dan ibu. Satu-satunya yang menemaniku saat ini adalah miniatur avenger pemberian dari almarhum kakek. Benda itu kubawa kemana-mana karena dia adalah temanku, yang tidak akan mungkin menyakitiku.

Berminggu-minggu, berbulan-bulan aku menjalani kehidupan layaknya robot yang diprogram. Aku sadar, walau bagaimanapun usahaku menghindar dari pengaruh sosial, aku tetaplah manusia yang akan selalu membutuhkan manusia lain dalam hidupku. Jadi, untuk pertama kalinya, aku meninggalkan miniatur tersebut didalam flat dan tidak membawanya ikut bersamaku ke kampus.

Di kampus, aku juga tidak memiliki teman selain Sehun. Mungkin ibu benar, aku seperti bakteri. Orang-orang menganggapku terlalu aneh untuk menjadi teman mereka, hanya Sehun satu-satunya yang mau mengajakku makan ke kantin.

Hari-hariku berjalan membosankan, entah harus bagaimana aku menyebutnya.

Aku jadi merindukan benda mungil yang sudah seminggu ini kuabaikan didalam kamar. Dengan perasaan yang kacau, aku masuk kedalam flat dengan langkah terburu-buru seperti orang yang tidak memiliki adab. Aku terkejut menemukan seseorang menangis dibawah jendela kamarku, tepat disebelah miniatur avenger kebanggaanku.

Sejatinya aku tidak tahu bagaimana dia bisa masuk sementara terakhir kali kuperiksa, flatku yang pengap sudah kukunci dengan benar.

Malam dimana makhluk itu masuk kedalam flatku secara misterius adalah malam yang sama saat terjadi pemadaman listrik secara tiba-tiba. Aku mendekatinya bermaksud ingin mengintrogasinya, aku khawatir dia itu bukan manusia.

"Apa yang kau lakukan didalam kediamanku?" Kutanya dia, namun makhluk itu masih tidak mau mengangkat kepalanya. Secara fisik dia terlihat seperti perempuan, namun rambutnya pendek, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu siapa dia, dan apa keperluannya.

"Kau tuli?"

Tiba-tiba aku merasa memerlukan sebuah alat pemukul, siapa tahu dia adalah seseorang yang ibu kirim untuk membunuhku. Cukup selama ini aku hidup seperti orang tolol, asalkan aku tidak mati secara konyol.

"Maaf.." Makhluk itu bersuara. "Maafkan aku."

"Kenapa aku harus memaafkanmu?"

Dia mengangkat kepalanya. Detik itu juga aku tenggelam didalam matanya yang berwarna sekelam malam, mata itu indah dan aku dibuat mabuk. Aku berlutut dihadapannya, entah kekuatan semacam apa yang menggerakkan tubuh besarku untuk melakukan hal tersebut.

"Aku butuh tempat tinggal." Lanjutnya, wajah itu ketakutan melihatku walaupun aku tidak sedang menakut-nakutinya.

Kuusap pipinya yang berair. Dia tidak kelihatan seperti manusia, dia lebih terlihat seperti malaikat yang terdampar ke dunia manusia. Duniaku; yang mana didalamnya kekejaman merajalela, kejahatan seolah menyeringai menyambut kedatangannya.

Tanpa kusadari, aku bergumam "Tak apa, tinggallah bersamaku."

Kemudian hal yang paling indah muncul di wajahnya, dia tersenyum. Dan kupikir jantungku tidak sedang baik-baik saja.

Malam itu, aku membiarkannya tidur di ranjang yang sama denganku. Kami berbagi banyak hal. Cerita, kehangatan, dan perasaan. Dari sana aku mengetahui dia bernama Baekhyun. Dan aku bisa jamin, dia akan menjadi satu-satunya orang yang terbangun disebelahku dan berkata, "Hidup akan baik-baik saja selagi kau masih memiliki aku."

.

Baekhyun merawat flatku dengan baik. Ruangan yang dulunya pengap dan bau makanan busuk itu disulap olehnya menjadi kediaman kecil yang nyaman. Aku tidak lagi menemukan pakaian dalamku tergeletak sembarangan atau keranjang sampah yang penuh dengan makanan busuk. Aku bahkan ragu menyebut bahwa dulu flatku layak dihuni.

Kegembiraanku sampai ke telinga Sehun, aku tidak tahan untuk tidak memberitahunya. Dia tetap temanku, tidak ada yang dapat merubah itu.

Awalnya kupikir Sehun akan kecewa mendengar aku memiliki seorang teman baru, lalu dia merasa aku tidak menganggapnya lagi sebagai teman. Demi Tuhan, Sehun bukan orang yang seperti itu. Harusnya aku sadar akan hal itu sejak awal, tidak perlu menduga-duga hal yang tidak pasti.

"Kalau begitu, kenalkan aku dengan Baekhyun-mu itu segera."

"Tentu saja. Baekhyun pasti senang bertemu denganmu."

Siang itu aku mengalami perasaan gembira yang luar biasa karena dua orang paling berarti dalam hidupku akan kupertemukan.

Untungnya Sehun tidak memiliki kelas yang panjang hari itu, jadi kami bisa pulang dengan cepat. Di perjalanan menuju gang, giliran Sehun yang bercerita padaku tentang dirinya yang akan segera dimagangkan ke pusat rehabilitas yang terkenal di Gangnam, dia bilang dia ingin cepat-cepat menjadi seorang psikeater. Aku mendukung semua keputusannya dan ikut bahagia untuknya.

"Silahkan masuk." Aku membuka pintu flat dengan perlahan, hari ini aku sengaja membawa kunci duplikat karena sudah menduga Sehun akan berkunjung. "Tapi jangan berisik, Baekhyun bisa terkejut."

Sehun hanya tersenyum maklum sambil membawa langkahnya masuk, tapi senyum itu hilang dengan tiba-tiba ketika melihat keadaan flatku.

"Chanyeol..."

"Ya?" Aku menoleh bingung.

"Kalau aku tidak salah dengar, tadi kau bilang Baekhyun membersihkan flatmu setiap hari, bukan?"

Aku dibuat bingung dengan pertanyaan Sehun. "Benar."

"Tapi kenapa... ruangan ini sangat berantakan?"

Alis mataku bertemu, mungkin aku terlihat sangat jelek dengan ekspresi ini. Sehun ingin mengerjaiku atau bagaimana? Aku refleks tertawa keras.

"Bercandamu tidak lucu Sehun, jelas-jelas flatku terlihat sangat bersih sekarang. Kau lihatkan? Baekhyun sangat pandai mengurus rumah."

Namun bukannya anggukkan mantap yang kuterima, Sehun justru memasang wajah paling menyedihkan yang pernah kulihat. Aku tidak suka melihat itu.

"Chanyeol." Dia mendekat dan aku mundur selangkah. "Katakan padaku, bahwa kau sudah sembuh."

Sekarang aku jadi membenci Oh Sehun, pertanyaannya membuat ketakutan yang dulu hampir lenyap kembali muncul dalam diriku dan itu membuatku tiba-tiba panik. "AKU TIDAK SAKIT!"

Aku merasakan Sehun menahan tanganku yang ingin membanting sebuah pigura tua, hal itu membuatku sadar bahwa aku tidak pernah melihat benda itu sebelumnya.

"Chanyeol tenanglah! Kumohon!" Dia mencengkram tulang rahangku, membawa wajahku untuk menghadap melihat matanya. "Kau adalah temanku, oke?! Kau percaya padaku, bukan?!"

Aku mengangguk, lemah. Masih bingung dengan apa yang terjadi.

"Disana.." Sehun menunjuk kulkas disudut kiri ruangan, "Aku dapat melihat pakaian kotormu masih menumpuk seperti minggu lalu, dan jujur, baju yang kau pakai saat ini sangat bau. Tapi karena kau temanku, tak masalah."

Aku kembali melihat kulkas itu, semakin lama, lama dan lebih lama, dan terlihat semakin jelas bahwa disana tidak pernah ada kulkas. Aku terjatuh ke lantai, bunyi debum yang keras mengenai lantai flatku. Dari penglihatanku sekarang, ruangan yang awalnya kuanggap bersih, berubah menjadi sangat kotor. Bungkus dan kuah ramyeon berserak di lantai.

"Apa Baekhyun itu... benar-benar ada?" Sehun ikut berlutut didepanku, aku menatapnya lekat, mencari kepastian didalam matanya yang teduh.

"Baekhyun, di kamar." jawabku tidak yakin.

Kemudian Sehun membantuku berdiri, dia membawaku pergi ke kamar. Kamarku dan Baekhyun.

Namun aku tidak menemukan siapapun didalam sana, justru miniatur avenger kebanggaanku hancur berkeping-keping di lantai kamar.


- 8 -

GOODBYE

.

"Eoh, nu..nuguseyo?" sebuah cengiran lucu yang terkesan idiot menjadi pengantar sebelum si lelaki bertubuh tinggi itu memberikan jawaban.

"Aku Park Chanyeol, aku baru pindah ke flat sebelah, salam kenal," jawabnya dengan suara berat yang menyenangkan pendengaran simanis bertubuh mungil.

"O..oh.. aku Byun Baekhyun, salam kenal juga."

Itu 4 tahun yang lalu, setelah menghabiskan waktu liburannya selama seminggu untuk traveling seorang diri di Busan, akhirnya Baekhyun kembali ke Seoul dan saat itulah ia mengetahui bahwa flat sebelah kanan yang seminggu lalu masih kosong itu sudah dihuni oleh seorang lelaki bernama Park Chanyeol.

"Baekhyun-ssi," Baekhyun menoleh ketika mendengar seseorang menyebut namanya saat ia tengah mengantri membeli bubble tea pada stand yang tersedia di cafetaria kampus

"Chanyeol-ssi."

"Hei, kau kuliah disini?"

"Ya, aku kuliah disini, apa kau... kuliah disini juga?"

"Tidak, kebetulan aku sedang memiliki janji dengan sepupuku yang berkuliah disini."

"Ahh begitu," angguk Baekhyun mengerti.

"Kita bahkan tinggal bersebelahan tapi aku tidak tahu kau kuliah dikampus yang sama dengan sepupuku."

"Bukan hal yang aneh sebenarnya, aku tidak terlalu pandai bergaul dengan tetangga," jawab Baekhyun ringan. Dahi Chanyeol membentuk kerutan atas jawaban Baekhyun barusan. "Aku duluan Chanyeol-ssi," Baekhyun baru saja akan berlalu dengan segelas bubble tea ditangannya namun pertanyaan Chanyeol mengehentikan langkahnya dan ia menoleh kearah Chanyeol dengan wajah bingung yang lucu. Mata mengerjap-ngerjap dengan bibir masig menyedot ujung sedotan bubble milkteanya.

"Ya?" Chanyeol tertawa kecil, menahan keinginan untuk mencubit pipi gembil Baekhyun karena anak itu tanpa sadar bertingkah menggemaskan.

"Boleh aku tahu nomor ponselmu?"

Jari telunjuk dan jari tengah Baekhyun secara bergantian saling mengetuk diatas sebuah kertas undangan yang ia terima seminggu yang lalu. Dan kembali ia bawa tatapannya bergulir pada sebuah nama yang tidak asing yang tercetak dalam tinta perak diatas kertas undangan dengan motif cantik berwarna baby blue.

"Hei!" sapa Chanyeol riang dengan melambaikan telapak tangannya didepan pintu flat Baekhyun setelah lebih dulu mengetuknya sebanyak 3 kali.

"Ada... yang bisa kubantu Chanyeol-ssi?" tanya Baekhyun sembari melirik kotak pizza yang ditenteng Chanyeol ditangan kirinya.

"Yeah, aku butuh bantuanmu untuk menghabiskan pizza ini," Ia mengangkat kotak pizza masih dengan cengiran lucu idiotnya. Cengiran itu tampak tidak cocok dengan wajah tampan Chanyeol namun entah kenapa, Baekhyun menyukai senyuman idiot itu. Bagai bocah yang minta diperhatikan oleh teman mainnya.

"Apa kau... tidak mendengar desas-desus tentangku di flat ini?" tanya Baekhyun setelah menggigit ujung pizza dengan pinggiran cheese bite itu.

"Aku mendengar beberapa, dan aku bukan tipe orang yang terlalu peduli dengan desas-desus begitu Baekhyun-ssi," jawabnya santai.

"Apa kau pernah dengar pepatah kalau berteman dengan seorang penjual parfum maka kau akan terkena wanginya pula?" tanya Baekhyun. Untuk sesaat keduanya saling berpandangan, Baekhyun menunggu tanggapan dari Chanyeol atas ucapannya barusan dengan dada berdetak kencang. Baekhyun sudah terbiasa merasakan penolakan.

"Apa salahnya dengan menjadi wangi, bukankah bagus?" canda Chanyeol. Baekhyun mengalihkan tatapan dan menggigit kecil ujung pizza yang tadi digigitnya dengan wajah tidak puas namun enggan memaksa Chanyeol untuk memberikan jawaban yang lebih spesifik. "Aku tidak bisa menjawab tentang itu sekarang Baekhyun-ssi, karena aku bukan seseorang yang bisa membaca masa depan. Yang aku tahu saat ini aku ingin menjalin pertemanan denganmu, karena kau... terlihat..."

"Kesepian?" potong Baekhyun pelan.

"Membutuhkan teman untuk berbagi," Chanyeol tersenyum yang mana secara tiba-tiba membuat detakan aneh muncul dihati Baekhyun. "Itu yang ingin kukatakan."

Kedekatan Baekhyun dan Chanyeol dengan cepat menjadi perbincangan dan bahan gosip terhangat para penghuni flat. Chanyeol tidak segan sama sekali untuk berjalan berdampingan bersama Baekhyun ketika berangkat ke kampus meskipun letak kampus mereka berbeda.

"Kau tidak khawatir itu akan merusak imejmu Chanyeol-ah."

"Memangnya aku memiliki imej macam apa sih Baekhyun?" tanya Chanyeol sambil merangkul Baekhyun keluar dari gedung flat.

"Yeahh... tampan, keren, kaya, pintar, sesuatu yang menjadi incaran para gadis diluaran sana ataupun para gadis yang tinggal satu gedung flat dengan kita.

"Sebodo amatlah," jawab Chanyeol. "Aku hanya peduli padamu," ia mencubit pipi Baekhyun lembut dan menghantuk lembut kepala mereka. Baekhyun tertawa kecil, tanpa ia sadari sejak Chanyeol masuk kedalam kehidupannya Baekhyun lebih banyak tersenyum dan tertawa.

.

Chanyeol menggedor pintu flat Baekhyun dengan gedoran yang tidak bisa dikatakan pelan karena itu tidak akan mempan. Baekhyun mengabaikan pesan dan panggilannya lewat ponsel.

"Buka pintunya Byun Baekhyun!" Chanyeol mengencangkan suaranya.

"Ia tidak akan keluar," Chanyeol menoleh kesamping dan mendapati seorang bibi tetangga yang tinggal didepan flat Baekhyun baru saja pulang dari berbelanja.

"Tapi kenapa bi?" wanita berusia 40 tahunan itu menghela nafas pelan.

"Ia mendapatkan beberapa luka memar diwajahnya semalam," mata Chanyeol membola mendengarnya.

"Apa, bagaimana bisa bi?" bibi tetangga melirik pada seorang gadis yang sejak beberapa menit tadi muncul didepan pintu flatnya yang bernomor 18 untuk menguping secara terang-terangan.

"Mungkin saja dipukuli oleh om-omnya," celetuk suara yang berhasil membuat Chanyeol menoleh kebelakang.

"Kau bilang apa barusan?"

.

Baekhyun terkejut saat lengannya ditarik keika ia melewati pintu flat Chanyeol. Ia ditarik masuk kedalam flat Chanyeol dan disudutkan pada dinding lorong pintu masuk. Baekhyun bisa mendengarkan deru nafas Chanyeol menyapu kulit wajahnya. Ia bergidik ketika merasakan telapak tangan Chanyeol yang agak kasar merengsek menuju tengkuknya dan mengelus salah satu bagian sensitif ditubuhnya itu.

"Katakan itu tidak benar Baekhyun," Chanyeol bersuara lirih menyatukkan kening mereka.

"Chan.. Chanyeol."

"Katakan bahwa apa yang dikatakan Sohee itu bohong, kau memang seorang gay tetapi kau bukan simpanan om-om bukan?" jemari Baekhyun meremat ujung kemeja Chanyeol.

"Ba.. bagaimana jika itu benar?" tanya Baekhyun dengan suara bergetar. Kedua mata itu bertemu untuk saling menatap intens.

"Aku tidak akan membiarkannya, aku tidak akan membiarkan kau terjerumus dalam hal seperti itu Baekhyun, tidak," Chanyeol membawa Baekhyun kedalam pelukannya.

"Jangan bersikap terlalu baik padaku Chanyeol, aku... bisa saja jatuh hati padamu nantinya," mendengar jawaban Baekhyun membuat Chanyeol meregangkan pelukan untuk mencari keseriusan ucapan Baekhyun lewat tatapan sayu bola mata menggemaskan milik Baekhyun.

"Kalau begitu biarkan dirimu jatuh padaku, karena aku akan menangkapmu kedalam pelukanku dan menenggelamkan perasaanmu didalam hatikku," Chanyeol menyentuh kulit wajah Baekhyun yang telah ternodai memar kebiruan yang masih misteri dari mana ia mendapatkannya

"Chanyeol kumohon jangan..."

"Percayalah padaku Baekhyun, aku tidak pernah seyakin ini untuk menjaga perasaan seseorang selain padamu."

.

Suatu malam di bulan Desember, ketika Chanyeol memperkenalkan Baekhyun pada keluarganya. Untuk pertama kalinya Baekhyun merasa ia diterima namun tidak diizinkan masuk.

"Kau tahu bahwa ayah memberikanmu kebebasan untuk menentukan hidupmu Chanyeol-ah, tetapi ayah tetap berfikir bahwa perasaan dan pikiranmu bisa berubah sewaktu-waktu," jawab ayahnya tenang. Setelah makan malam natal bersama, Chanyeol dan ayahnya duduk berdampingan di teras belakang rumah mereka untuk menikmati secangkir teh hangat. "Ayah masih berharap kau bisa menikahi seorang perempuan sehingga kau bisa meneruskan nama keluarga kita," dan Baekhyun meremas toples cookies yang dibawanya dibalik tembok menuju keteras belakang kediaman Park.

Baekhyun mengangkat sebuah kertas dengan bekas lipatan yang sedari tadi tertindih oleh undangan baby blue yang manis. Membacanya untuk kesekian kalinya lalu ia meraih bolpoin dan menanda tangani kolom dimana namanya tertera disana. Sebuah surat persetujuan dari Kyunhee Hospital.

"Nah selesai, mari berangkat," ucapnya sing a song pada dirinya sendiri. "Kau bisa Baekhyun," ia menyemangati dirinya dengan mengepalkan telapak tangan dan berseru kecil didepan cermin.

.

Baekhyun terlambat datang dalam upacara pemberkatan pernikahan yang dilaksanakan disebuah gereja yang telah didekorasi dengan begitu indah. Diluar gereja ia bisa melihat begitu banyak karangan bunga yang diperuntukkan bagi kedua calon pengantin.

Selamat atas Pernikahan

Park Chanyeol

Lee Hyekyo

Baekhyun memasuki gereja dengan langkah pelan, keadaan gereja begitu ramai terutama didekat bagian altar karena disanalah tempat sang pengantin berada. Matanya menangkap keberadaan sang pengantin pria yang berbalut tuxedo, Park Chanyeol. Namun tatapan yang pertama kali didapatnya bukan dari pria itu melainkan dari ayah sang pria. Baekhyun tersenyum sopan menundukkan kepala sebagai hormat. Beberapa pasang mata tampak melirik begitu melihat kehadiran Baekhyun.

"Baekhyun," lirih Chanyeol begitu menyadari kehadiran Baekhyun.

"Hei Chanyeol-ah, Hyekyo-ssi," wanita cantik yang telah resmi menyandang status sebagai istri resmi Park Chanyeol itu tersenyum membalas sapaan Baekhyun sambil menggandeng lengan Chanyeol.

"Kau...datang?"

"Tentu saja, ini hari spesialmu."

"Terima kasih," jawab Chanyeol merasa agak canggung. Baekhyun menyodorkan tangan untuk berjabat dan Chanyeol menyambutnya. Getaran itu masih terasa saat kulit mereka saling bersentuhan namun keduanya berusaha untuk meredamnya didalam hati.

"Selamat atas pernikahanmu Chanyeol-ah, Hyekyo-ssi," Baekhyun membawa tatapannya pada Hyekyo yang mengangguk. Hyekyo memang tidak mengetahui masa lalu suaminya itu bersama dengan Baekhyun. "Kudoakan kalian mendapatkan begitu banyak kebahagiaan."

"Terima kasih Baekhyun-ssi."

Baekhyun membalikkan badannya setelah memberikan sebuah senyuman bulan sabit nan cantik yang selalu membuat hati Chanyeol bergetar. Ia masih menancapkan tatapan pada punggung Baekhyun yang berlalu, berjalan lurus menuju pintu keluar. Namun saat ia sampai didepan pintu masuk, ia berhenti dan berbalik untuk menatap Chanyeol yang masih memperhatikannya meskipun disekelilingnya tampak begitu riuh.

"Annyeong," itu ucapan Baekhyun sebelum melambaikan tangan pada Chanyeol. Cahaya dari pintu masuk perlahan menelan Baekhyun hingga menghilang, menghantarkan perasaan aneh dihati Chanyeol. Seakan cahaya itu... membawa Baekhyun pergi selamanya.

.

"Aku mengusirnya dari rumah, menyumpah-serapahinya dengan kata-kata kasar ketika mengetahui orientasi seksualnya," ujar pria berusia setengah abad itu sendu pada Chanyeol saat ia mengunjungi kediaman keluarga Byun untuk mencari kebenaran dari kabar yang didengarnya tentang Baekhyun. "Namun hari itu ia datang mengunjungi Seulgi dirumah sakit, dengan takut-takut mengatakan padaku bahwa ia akan melakukan apapun untuk kesembuhan adiknya. Seminggu lalu dokter Hwan menghubungiku dan mengatakan bahwa seseorang telah setuju untuk menjadi donor jantung Seulgi. Mereka tidak bisa memberitahukannya saat itu, namun begitu operasi telah selesai dan berjalan dengan baik dokter Hwan memberikan surat dari Baekhyun untukku."

Teruntuk Ayah

Selama 6 tahun ini aku begitu merindukan ayah, merindukan ibu disurga dan juga merindukan Seulgi. Namun aku cukup sadar diri bahwa aku telah mengecewakan ayah. Kumohon maafkan segala kesalahanku ya ayah, aku ingin bertemu dengan ibu dan bermanja dipangkuannya. Aku akan menyampaikan salam dari ayah dan Seulgi untuk ibu, ibu pasti senang sekali. Berbahagialah selalu ayah, dimasa mendatang jika aku terlahir kembali maka aku akan menjadi anak yang lebih baik dan berbakti padamu. Aku mencintaimu ayah.

"Ia menitipkan ini untukmu Chanyeol-ssi," Chanyeol menerima sebuah amplop berukuran kecil berwarna baby blue dari ayah Baekhyun. Ayah Baekhyun bangkit dan meninggalkannya untuk lebih leluasa membaca surat dari Baekhyun. Chanyeol membukanya dengan tangan bergetar. Sebuah kertas note yang dilipat dua ia dapati berada didalamnya. Dan hanya ada beberapa baris kalimat dalam tulisan rapi yang dikenalinya.

Untuk Yeollie yang telah menjaga hatiku

Annyeong


.

.

.

REMINDER. How to play? Cukup menebak dari 8 author ini (disebut urut sesuai abjad) : Amie Leen, Blood Type-B, JongTakGu88, Oh Lana, Pupuputri, RedApplee, Sayaka Dini, SilvieVienoy96, siapa yang menulis fanfic-fanfic di atas. INGAT! Per judul beda author dan tentunya acak, jadi tidak sesuai abjad seperti kami yang sebut

Rules? Baca, cermati narasi, diksi, kenali tulisannya lalu tulis jawaban kamu di review, contoh : 1. JongTakGu88, 2. Pupuputri, 3. Oh Lana, dst. Kalian harus login FFn, Guest tidak dianggap. Dan 1 orang hanya boleh 1 jawaban

Hadiah? Total pulsa 50.000 buat 2 orang pertama yang menjawab dengan benar

Pemenang akan diumumkan di IG #ChanBaekID : chanbaek_idclub. Anyway, #ChanBaekID publish malam ini bersama Pupuputri yang publish prolog fanfic baru, RedApplee yang update si kembar kesayangan -re : Friends dan Innocent Bee- dan Sayaka Dini yang publish fanfic baru, sempatkan mampir ke lapak mereka. Last, selamat menebak ^^. Thank you