Disclaimer : Naruto milik Sasuke dan Masashi Kishimoto-sensei [saya tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apa pun. Cerita ini dibuat hanya sebagai penyalur rasa cinta kepada OTP dan terapi menulis]

Warning : au, miss typo(s), and other stuffs

a/n : Selamat datang kembali di kronik keluarga Uzumaki! Ide ceritanya sangat sederhana, dan karena saya lagi mood nulis yang family, jadi saya lanjutkan. Btw, ini pernah saya publish di sini tahun lalu, karena kangen menma dan lagi miskin ide, jadi saya republish^^

Terima kasih yang sudah mampir. Selamat membaca!


.

.

.

surat dan langkah-langkah kecil

[Menma centric]

a Naruto fanfiction, written by Rou

.

.

.


"Huuuft! Huuuft! Huuuft!"

Lilin berangka sepuluh itu mati, dikawani riuh tepuk tangan yang membahana ke seluruh penjuru lantai utama kediamannya.

Uchiha Menma mengerjap, tersenyum selebar pipi ke pipi dengan mata menyipit ke setiap tamu yang mengucap selamat ulang tahun hingga bergantian mengecup pipinya. Juga sahutan riang khas kanak-kanak yang secara otomatis meluncur dari bibir mungilnya. Menma fasih tersenyum seperti itu—senyum tipikal yang mewakili kata-kata terima kasih, aku sangat bahagia terlahir ke dunia, sampai-sampai melihatnya menangis adalah satu dari sekian hal tak lazim yang ditemui.

Di usia sepuluh tahun, Menma telah memiliki segalanya. Grandpa, Grandma, paman yang kelewat posesif dan protektif, seorang supir, satu asisten pribadi, dua pelayan rumah tangga, dan dua bodyguard. Orang-orang mengatakan hidupnya sempurna. Jauh dari kemiskinan, senantiasa bahagia, bergelimang harta, dan sudah pasti; calon tunggal pewaris bisnis gurita Uchiha Inc.

Semua pandangan itu tak membuat Uchiha Menma terkejut. Terlahir tanpa pernah bertemu kedua orangtuanya, membuat sisi dewasanya perlahan-lahan tumbuh secara alami. Menma mengerti, bahwa semua yang diterimanya, yang diberikan kakek-neneknya, yang dilakukan semua orang di sekelilingnya adalah wujud kasih sayang pengganti dari ayah dan ibu yang tak sempat ia rasakan.

Hanya saja, sesekali ia merasa lelah. Bosan bertemu dengan orang-orang yang memiliki stok senyum tiap kali menatapnya. Seolah-olah kesedihan adalah hal tabu baginya. Menma paham. Sebagaimana ia memahami bahwa semua itu omong kosong.

"Sayang? Kenapa kau di sini sendirian? Di mana pelayan-pelayanmu? Pamanmu? Asisten—"

"Gramps," Menma memotong cepat. Sisi kanak-kanaknya mengatakan itu tindakan tak terpuji, tetapi ia tak suka mendengar ocehan kakeknya yang kelewat dibuat-dibuat—mengingat di sekelilingnya berderet kolega-kolega sang kakek dengan wajah-wajah terpana, yang sama sekali tak ia kenal. Hela napas terembus, disusul senyum lebar hasil latihan. "Sorry, Gramps. Aku tak bermaksud begitu. Aku hanya—yeah, paman Itachi sedang sibuk dengan teman-temannya. Dan tidak mungkin mengobrol dengan orang dewasa, kan?"

Uchiha Fugaku tersenyum hangat. Senyum yang membuat Menma menyesali sikapnya barusan. Dan sungguh, Menma menyesal. Kakeknya berjongkok usai mengendikkan dagu kepada rekan-rekan bisnis yang bergantian mengacungkan bujari ke arahnya. "Tidak apa, Sayang. Kau bebas mengatakan apa saja di depanku," kata kakeknya. "Kalau kau bosan, kembalilah ke kamarmu, kau pasti lelah sekaligus penasaran dengan hadiah-hadiah apa yang ada di dalamnya."

Menma ingin sekali menjawab; tidak, Gramps. Aku sudah tahu apa saja isi semua itu, sumpah. Aku hanya ingin sendiri, aku hanya ingin—tapi tentu saja ia tak akan pernah mengatakannya. Menma mengangguk, menukar raut sendu dengan senyum antusias yang terpancar di wajah. "Gramps tak keberatan aku meninggalkan pesta sekarang?" nadanya terdengar tak yakin, namun Menma ingin sekali menjauh dari keramaian itu.

Kakeknya mengangguk. "Tentu saja, Sayangku," kemudian Menma merasakan tubuhnya terayun dalam gendongan kakeknya. "Kesehatanmu jauh lebih penting. Biarkan saja pamanmu yang menyebalkan itu yang mengatasinya."

Menma tertawa geli ketika sisa-sisa rambut di dagu sang kakek menggelitik lehernya. "Wow! Wow! Aku akan jatuh! Aku akan jatuh!" guraunya menggeliat sembari menangkup wajah Fugaku dan memberikan kecup balasan di pipi. "Selamat malam juga, Gramps. Aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu, Prince."

Menma menoleh, kemudian tersenyum lebar saat menemukan Uchiha Itachi yang telah memasang wajah memberengut di balik punggung kakeknya. "Sejak kapan Paman di sana? Aku tak melihat Paman berjalan ke sini."

Tubuhnya kini berpindah ke dalam gendongan pamannya. "Benarkah? Jadi aku sama sekali tak kelihatan?" kata Itachi. Tangannya yang bebas meremas fabrik jas bagian atas dada, berlagak terpukul mendengar jawaban Menma. "Apakah berarti aku sudah dilupakan?"

Menma terkekeh. "Nope," gelengannya dibalas dengan satu kecup hangat di pelipis, yang ketika Menma menoleh, ia telah menemukan neneknya di sana. "Gramps?"

"Ya, Sayang. Siapa lagi yang memiliki cucu setampan kau di rumah ini, hm? Katakan?"

Uchiha Mikoto dalam balutan gaun pesta terlihat sangat, sangat cantik dan anggun. Sama sekali tak kentara jika angka lima puluh enam telah mengekori namanya. Ia berdiri sehasta dari Menma, bertolak pinggang dan memasang ekspresi seorang nenek yang kehilangan sepotong kue dari dapur kesayangannya.

Menma terlepas dari dekapan Itachi, dan buru-buru menghambur untuk kemudian menciumi kedua belah pipi Mikoto. "Tidak ada, tidak ada lagi. Kau yang tercantik, Gramps."

"Oh, benarkah?"

Menma mengangguk semangat. "Tentu saja. Aku bersumpah," ujarnya jujur. Tawa-tawa hangat menyambutnya.

"Baiklah. Aku tak akan menahanmu lebih lama lagi. Kau sudah terlihat sangat lelah."

"Yeah, aku baru akan mengatakannya," tawa si kecil kembali jatuh. "Aku akan ke kamar sekarang, dan akan membuka kado-kado segunung itu. Kemudian bermimpi indah," Menma berjalan mundur sambil terus menggerak-gerakan tangannya membentuk simbol-simbol cinta ke hadapan orang-orang yang berdiri di dasar. "Aku mencintai kalian semuaaa! Bye!" untuk kemudian berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Kamar luas yang benderang seketika menyambutnya, juga senyap yang memantul di permukaan dinding-dinding. Ingar-bingar itu hilang, digantikan hampa yang melebar di depannya. Menma mengembuskan napas, sesak di dadanya menjalar ke sekujur tubuh, kemudian ia jatuh berlutut di balik pintu.

Jika ada yang bertanya apa hadiah yang paling ia inginkan saat ini, barangkali Menma akan menjawab dengan sebuah nama. Ia memang memiliki segalanya namun juga merasa tak memiliki apa pun di saat bersamaan. Bahkan hingga detik ini, ia belum pernah mendengar nama Mom dan Dad disebutkan. Terkadang, ia tak yakin apakah benar ia memiliki mereka atau tidak.

Orang-orang melihatnya dikelilingi kebahagiaan, tapi mereka tak tahu, jika kesepian juga teman baik baginya.

"Mom… Dad… Menma rindu…"

Menma tertidur dengan masih mengenakan tuksedo lengkap dengan sepatu pantofelnya.

.

.

Malam harinya, Menma terjaga.

Jarum tembaga yang berputar dalam bulatan di dinding menuding ke angka tiga ketika Menma menyadari kantuknya sudah sepenuhnya lenyap. Dengan sisa tenaga dan kepala yang berdenyut, si mungil merangsek turun dari ranjang. Mencopot sepatu, kaus kaki, jas, kemeja dalam, kemudian menarik stelan kaus lengan panjang dalam lemari. Sejenak berdiri di depan cermin, bocah itu tercenung.

Gramps, apakah aku mirip mom atau dad? Dulu, itu adalah kalimat paling tekun yang ia lontarkan kepada kakek-neneknya setiap hari. Menebak-nebak seperti apa wajah ayahnya, bagaimana rupa ibunya. Sejak ia mengetahui anggota keluarganya tak hanya kakek, nenek, dan paman, seringnya Menma menanyakan demikian. Namun, lambat hari, keadaan menjawab pertanyaan-pertanyaan kecil dalam benaknya.

Mom pergi, Sayang. Jauh. Dad juga. Tapi kau memiliki kami di sini. Jangan khawatir. Kami akan memberikan apa pun yang kau inginkan.

Tidak, bukan begitu yang ia mau. Menma ingin menjerit setiap kali jawaban itu mengantuk telinga. Ia tak ingin mendengar kebohongan-kebohongan itu, namun kalimat tersebut kadung mengendap dalam kepalanya. Membuatnya kadang berpikir apakah Mom dan Dad sudah mati? Apakah ia anak angkat? Apakah jangan-jangan ia anak yang tak diinginkan?

Nyatanya, usia sepuluh tahun tak membuat sisi kanak-kanaknya utuh, justru sebaliknya. Pemikiran dewasanya kian berkembang setiap hari. Ia terus merasa bahwa ia bukanlah anak-anak lagi. Heh, bocah mana yang bisa berpikir sejauh itu? Sungguh, Menma pun ingin menyangkal, akan tetapi itulah yang terus berputar dalam kepalanya.

Menma ingin tahu, dari mana ia mewarisi kulit secemerlang ini. Dari mana ikal kelam itu ia dapatkan. Juga iris sebiru langit, dan garis-garis cokelat muda yang tersebar di dua belah pipi, serta nama. Menma memang mendapatkan segalanya, tapi tak mengetahui apa pun. Bahkan potret kedua orangtuanya—yang Menma pikir bisa ia temukan di salah satu sudut istana ini—nyatanya tak pernah ada.

Satu-satunya hal yang paling ia tunggu setiap kali hari lahirnya tiba adalah surat. Surat yang kata kakek-neneknya adalah hadiah dari ibunya. Surat yang di waktu-waktu sebelumnya hanya bisa ia lihat, surat yang hanya boleh dibaca jika usianya genap sepuh tahun. Dan hari ini usianya jelas.

Ingatan itu membuat Menma tersadar. Membawanya buru-buru berlari keluar kamar, menuruni tangga menuju paviliun, dan berakhir di ruang baca yang lama tak dikunjungi. Sebuah rak yang dicat oranye cerah adalah yang paling kontras, hingga Menma tak menemukan kesulitan berarti ketika menarik satu kotak tebal dari kubikel teratas.

"Ini dia!"

Meskipun ruangan itu gelap, Menma tak sukar untuk mengenali amplop-amplop beremblem bunga persik merah segar pada bagian tengah. Totalnya sepuluh. Usai merapikan rak kembali, Menma buru-buru meninggalkan ruangan.

Kamarnya. Menma hanya ingin membaca surat-surat ini di dalam kamarnya yang sepi.

.

.

Selamat ulang tahun yang pertama, Sayang. Namamu Uchiha Menma.

Surat pertama terlalu singkat, tapi Menma membacanya dengan serius sebanyak lima kali. Dan tersenyum ketika membayangkan bagaimana wajah ibunya.

Selamat ulang tahun yang kedua, Sayang. Bangga karena kau tidak cengeng.

Iris birunya mengerjap bahagia, kemudian membawa surat itu ke dalam pelukan. Didekapnya erat-erat sambil terus tersenyum. Sementara wajahnya berkutat menatapi tulisan rapi yang berderet, tangannya yang bebas membentuk kepalan kecil, memukul dada dengan wajah terangkat. "Ha! Tentu saja, aku memang tidak cengeng. Mom harusnya tahu, aku tidak pernah menangis."

Monolognya menggaung ke seluruh penjuru kamar, tapi Menma tak peduli. Surat berikutnya ia buka dengan tergesa sekaligus hati-hati.

Selamat ulang tahun yang ketiga, Menma. Aku tidak tahu kalau kata 'Mom' yang keluar bibirmu terdengar sangat menyenangkan. Coba ulangi lagi.

Dan Menma mengikuti isi surat itu dengan tanpa berpikir. "Mom. Mom. Mom. Mom. Mom. Mom. Mom. Mom…," perlahan-lahan suaranya berubah sepelan bisikan, dan lamat-lamat tersendat. Menma merasakan secuil rasa pahit memenuhi tenggorokannya, sampai-sampai ia tak sanggup melanjutkan kata-kata. "Mom…," cairan bening yang mengendapi pelupuknya terjatuh.

Bangga karena kau tidak cengeng. Bagai pecut, kalimat dalam surat kedua dari ibunya terngiang-ngiang, membuatnya secepat mungkin mengusap pipi dan mengedip-ngedipkan mata. Jangan menangis! Anak laki-laki tak boleh menangis. Jangan cengeng! Bocah itu menyemangati dirinya sendiri.

Surat keempat berbunyi; Selamat ulang tahun yang ke empat, Menma. Lihat, pipimu sebelas dua belas dengan bakpau. Kalau besar nanti, jangan makan sembarangan. Nanti kau gendut. Tapi aku suka pipi gendutmu.

Menma mendengus, namun kekehan tetap lolos dari bibirnya. Selembar foto ia temukan di dalam amplop surat ke empat. Kepalanya miring ke dua arah secara bergantian, seolah-olah meyakinkan diri bahwa entitas bulat yang terekam dalam gambar adalah benar-benar dirinya. Gelak tawa tak bisa ia cegah begitu menyadari foto itu tak berbohong.

"Ya ampun! Jadi aku segendut ini waktu kecil? Aku pasti sangat menggemaskan, deh. Lihat, buktinya aku langsung menyayangi diriku yang ada dalam foto ini!" monolog dengan nada jumawa itu meluncur diiringi kikikannya sendiri. Entah berapa lama tubuh kecilnya berguncang saking tekunnya tertawa, hingga hampir tak ia sadari air mata mulai merembasi surat-suratnya. "Oh, gawat!"

Barangkali, surat kelima adalah surat pertama yang isinya sedikit lebih panjang. Paling tidak, ada tiga paragraf yang membuat Menma meredam tawa seketika.

Selamat ulang tahun yang ke lima, Sayang. Lima tahun, usia masuk sekolah. Apa kau senang bertemu orang-orang baru? Bagaimana sekolahmu? Di mana pun kau sekolah, pastikan kau memiliki banyak teman—

Menma menjeda sejenak, "Aku punya banyak teman, Mom."

kenali semua guru-gurumu dan jangan menjahili siapa pun. Oke, sekali dua kali tak masalah. Laki-laki harus nakal. Tapi lebih dari itu, percayalah, pamanmu tak akan tinggal diam. Kau akan kena hukum—

"Tapi paman Itachi tak pernah menghukumku."

kecuali jika pamanmu memanjakanmu. Ah, dia pasti melakukannya. Baiklah, aku tak akan memarahimu. Karena kau akan mengerti, esok hari, aku tak akan bisa melakukannya.

Titik yang mengakhiri surat serta merta membuat Menma tertegun. Napasnya yang mengombak terasa berhenti sepersekian detik. Ibunya benar bahwa ia tak akan bisa memarahi Menma, tapi itu lebih karena ibunya tak ada. Bukan karena paman Itachi yang memanjakannya, bukan juga karena kejahilannya, dan tentunya bukan karena dirinya nakal. Menma bahkan tak pernah merasa melakukan kesalahan yang berarti, karena jika pun ia melakukannya, kakek, nenek, dan pamannya selalu menganggap hal itu sebagai sebuah kewajaran. Dan pelan-pelan, kesalahan itu terlupakan.

Menma membawa kembali surat ke dadanya. "Mom…, apa kalau aku berbuat kesalahan kau akan pulang? Apakah kalau aku…, kalau aku melakukan salah, Mom akan menemuiku?"

Surat itu ia lipat dengan perlahan dan hati-hati, seolah-olah itu adalah kristal paling mahal yang apabila terjatuh, maka bumi dan seisinya akan goyah. Menma memeluknya erat-erat.

Sejenak berhenti, Menma menarik napas. Ada sesuatu yang menyumbat dadanya hingga menghela napas pun terasa sulit. Menma tidak tahu kenapa, yang jelas ia merasakan keheningan malam kompak mengejeknya, dinding-dinding kamarnya menertawakannya, dan diam-diam ia menangis.

"Mom, Dad, aku merindukan kalian… aku benar-benar merindukan kalian."

.

.

"Selamat pagi, Tuan Muda."

Menma berhenti mengucek mata dan menghela napas, tercium aroma pagi lewat kisi-kisi jendela kamarnya yang terbuka. Ia memejamkan mata sejenak, mengangkat satu tangan ke udara dan bergeming. Ingatan bahwa semalam kantuknya tiba-tiba menyerang di jam-jam menjelang fajar, membuat Menma spontan menoleh ke sisi ranjang. Napas lega terembus kala mendapati surat-suratnya masih berada di tempat aman.

"Tuan Muda, sudah waktunya mandi."

Menma menatap pintu, dua pelayannya sudah berdiri dengan perlengkapan sekolahnya. Si kecil enggan menghentikan kuapan sebenarnya, namun gagasan bahwa terlambat sedetik saja akan mengundang kehadiran sang paman di kamarnya, Menma gegas mengangkat tubuh dan beranjak meraup surat-suratnya untuk dimasukkan ke dalam tas.

"Taruh di kasur saja, aku turun sebentar lagi."

"Kami akan membantu Tuan Muda mandi."

"Tidak usah. Aku sudah besar. Cukup kalian keluar dan tutup pintunya."

Dua pelayannya menurut. "Baik, Tuan Muda."

Lima belas menit kemudian, Menma menuruni tangga dengan kantuk yang membekas di wajah.

"Tidurmu nyenyak, Sayang?"

Satu kursi ditarik untuknya, Menma duduk. Meletakkan tas ke kursi sebelah, kemudian mencomot setangkup roti. "Lumayan," katanya, "Kalau tidak harus ke ruang baca untuk mengambil hadiahku yang tertinggal. Tidak ada yang mengingatkan, sih, aku hampir lupa."

Denting sendok garpu di atas meja makan sekejap berhenti. Menma mengangkat wajah, menatap bingung kakek, nenek, dan pamannya yang tiba-tiba terdiam. "Kenapa?" ujarnya lagi. "Bukankah aku bisa mendapatkan surat-surat ibu sekarang? Aku sudah sepuluh tahun," menandaskan susu dalam satu tegukan panjang, ia berderap meraih tas kembali dan berdiri. "Aku sudah selesai."

Alih-alih memeluk seperti biasa, Menma hanya mengecup singkat pipi kakek, nenek, dan pamannya. Sesuatu yang menyerupai kebencian melandanya sepagi ini, membuat Menma enggan berlama-lama berada di meja makan. Ia takut, lebih lama di sana hanya akan membuatnya berteriak dan menangis.

"Aku berangkat."

Akan tetapi, ia lebih membenci dirinya yang tak berbalik dan meminta maaf, yang tak bertanya dan meminta penjelasan, yang hanya diam dan menerima udara kosong.

Hingga supir pribadinya membukakan pintu dan meninggalkan pekarangan mansion, Menma tak berbalik menatap neneknya yang berdiri di ambang pintu dengan wajah sedih.

"Maafkan aku, Gramps…"

.

.

"Selamat pagi, Menma-kun."

Sesampainya di kelas, Moegi tercengir menyambutnya, Menma membuang muka. Meletakkan tas ke atas meja dan bergumam pendek, "Pagi," timpalnya.

"Oi, Menma, kemarin aku datang ke pestamu, loh. Tapi kau tidak ada, sok banget kau, sampai tak ingin bertemu denganku."

Menma menoleh dengan dahi mengeryit dan menemukan Konohamaru bersidekap di sampingnya dengan bibir mengerucut kesal. "Jam berapa kau datang? Aku tak melihatmu."

"Oh, yeah? Benarkah? Tapi aku melihatmu menaiki tangga dengan suara 'dum-dum-dum' dan blas, masuk kamar. Raja di pesta tak seharusnya tidur cepat, man."

Menma merotasi bola matanya sebal. "Berisik, tahu."

"Nah, nah, lihat! Hei, Moegi, kau lihat muka jeleknya itu, kan? Ya ampun, dia baru saja menegaskan ketuaannya di depan kita. Lihat, lihat, lihat. Sekarang Menma kita menekuk wajahnya. Wah, aku tak ingat loh, semalam ada hujan badai."

Menma mendesis. Demi dewa Jasin, kenapa dua temannya ini suka sekali ribut. Tetapi, alih-alih meladeni keinginan menjitak kepala Konohamaru, Menma menatap temannya itu lekat-lekat. "Hei, Konohamaru, Moegi," cetusnya. "Ayo, bolos!"

Respons pertama kedua temannya adalah ekspresi blank paling polos. Kemudian seruan hah?! kencang mengudara. Ini tak lazim, sangat, sangat tak lazim. Selain Menma yang tiba-tiba menyebalkan, anak itu juga mengajak mereka membolos. Padahal, jika pun ajakan itu terlontar, Konohamaru adalah orang pertama yang sering mengucapkannya. Tapi kali ini lain.

"Serius, Menma-kun? Kau yakin?" Moegi setengah tak percaya, tapi tak membantah lebih jauh.

Menma merasakan bahunya ditepuk kencang. Dan menoleh untuk kemudian mendapati Konohamaru memasang wajah serius. "Sebenarnya ada apa, sih, denganmu?"

Menma tak langsung menjawab. Dirogohnya setumpuk surat dari dalam tas dan mengasurkannya, "Bantu aku menemukan Mom dan Dad."

.

.

Menma kurang setuju dengan pernyataan orang dewasa yang mengatakan bahwa anak-anak tak bisa melakukan banyak hal. Menurut Menma, pendapat itu salah besar. Justru anak-anak lah yang lebih banyak berpotensi melakukan hal-hal tak terduga. Karena di balik kepolosan itu, mereka bisa saja mengelabui.

"Jadi, bagaimana? Kau atau aku yang masuk?"

Sementara Konohamaru menuding bergantian wajahnya dan Moegi, memutuskan mana dari mereka yang harus masuk ke ruang guru untuk bertanya, Menma memilih luput memerhatikan. Fokusnya tercuri penuh oleh surat-surat yang berserakan di depannya.

Satu jam yang lalu, ia menunjukkan surat-surat hadiah ibunya kepada Konohamaru dan Moegi, dan kedua temannya membantunya menyadarai bahwa dari sepuluh surat, hanya surat terakhirlah yang memiliki sampul paling lusuh. Satu-satunya amplop gading yang tak beremblem bunga persik, melainkan krisan. Juga satu-satunya amplop yang memiliki perangko di sisi atasnya.

"Kau yakin ibumu yang menulis semua surat-surat ini?"

Menma tak mengerti maksud pertanyaan Konohamaru usai mereka mengindentifikasi surat-suratnya, namun ia tetap menggeleng memberi jawaban. "Memangnya kenapa?"

"Pikir saja, man. Bagaimana bisa kau tidak pernah merasa melihat wajah ibumu, tetapi di semua surat-suratnya beliau menjelaskan perkembanganmu waktu kecil, itu, kan, aneh."

Menma menyimak dengan serius.

"Nih, lihat. Ibumu mengatakan kau gendut di usia empat tahun, panggilan mom pertama, dan bertanya kegiatan sekolahmu. Kau tidak merasa itu aneh apa? Harusnya, kalau memang beliau yang menulis surat-surat itu langsung, sedikit-banyak, kau bisa mengingat bagaimana wajah ibumu, kan? Dia yang sedang menggendongmu, menyuapimu, atau memarahimu sekalipun. Tapi apa? Kau bahkan sama sekali tak bisa mengingatnya."

Menma ingin menyangkal, namun ia tak memiliki kata-kata yang tepat. Dan separuh isi kepalanya membenarkan perkataan itu.

"Konohamaru benar, Menma-kun. Aku saja masih ingat bagaimana ibuku ikut menangis saat gigi pertamaku tanggal, saat aku jatuh dari sepeda, saat aku sakit setelah hujan-hujanan, juga saat beliau membelikanku gaun pertama ke pesta. Ya memang, itu sudah bertahun-yahun lalu, tapi aku masih ingat, kok."

"Nah, kubilang juga apa, kan?"

Menma menatap kedua temannya bergantian dengan perasaan tak nyaman. Sesuatu yang menyerupai kekesalan terbit ke permukaan jantungnya, membuatnya ingin segera pulang dan marah-marah. Tetapi, ia menghela napas dalam-dalam berulang kali untuk menenangkan diri. Toh, Menma sendiri tidak tahu harus marah kepada siapa.

"Tapi, kalau bukan ibuku yang menulis semua ini, lalu siapa?"

Kedua temannya mengangkat bahu serempak. Menma bergeming, serius memikirkan jawaban. Namun, hingga Konohamaru dan Moegi melesat lebih dulu ke ruang guru, jawaban masih belum menghampirinya.

"Menma-kun, bagaimana ini? Kayaknya ruang guru sedang kosong. Dan lagi, kalau ada yang melihat kita berkeliaran di jam-jam pelajaran, kita akan ketangkap basah membolos."

"Moegi, jangan pengecut."

"Hei, Konohamaru, aku tidak—"

"Lupakan," akhirnya Menma menemukan suaranya. Ia menatapi kedua temannya dan berkata, "Sebaiknya kita kembali ke kelas."

"Ta-tapi, bagaimana kita tahu negara asal perangko di surat ibumu, Menma-kun?"

"Moegi benar, man."

"Aku akan mencarinya sendiri."

Hingga mereka kembali ke kelas dan pelajaran berakhir, fokusnya tak kembali.

.

.

Melempar tas, melepas seragam, dan mencopot sepatu adalah hal-hal pertama yang Menma lakukan sesampainya di rumah. Ia menutup pintu kamar rapat-rapat, dan menolak makan siang dengan alasan banyaknya tugas. Pelayan dan asistennya tak berani membantah, tentu saja. Dan Menma bersyukur karena tak bertemu neneknya.

Memandangi sejenak ransel, bocah itu menarik keluar tumpukan surat-surat. Meneliti satu persatu kemudian mendesah. Mendapati kenyataan bahwa Konohamaru benar mengenai surat-surat yang bukan ditulis oleh ibunya, hati Menma berdesir ngilu.

Orang-orang dewasa cenderung membenarkan kebohongan-kebohongan yang mereka lakukan. Dan Menma membenci itu.

Coba teliti saja, man. Surat-surat ini baru semua, hanya surat terakhir yang kelihatan berdebu. Aku yakin, itu hasil disimpan terlalu lama.

Ucapan Konohamaru menggema di dalam kepalanya, memantul-mantul dan membawa efek menyebalkan. Tetapi pernyataan itu benar. Dengan agak ragu, Menma meraih amplop gading di urutan terbawah, mengeluarkan lembar di dalam dan membacanya.

Tulisan tangan dalam surat ini memang berbeda, Menma yakin itu. Bahkan perbedaan itu kontras terlihat pada lembar pertama dan kedua suratnya. Seolah-olah lembar-lembar tersebut memang ditulis oleh dua orang yang berbeda.

Menma memastikan pintu kamarnya terkunci sebelum membaca ulang tulisan ibunya. Ia sengaja menarik lembar kedua untuk dibaca lebih dulu. Baris-baris tulisan tangan berantakan terpampang di depan mata.

[Hallo, sunshine.

Ah, namamu Menma, tentu saja. Tapi aku lebih suka memanggilmu begitu, atau kupanggil princess saja bagaimana?

Saat kau memabaca surat ini, berarti kau sudah besar. Sudah cukup mengerti bahwa aku tak ada di sampingmu. Selamat ulang tahun yang ke sepuluh, Sayang. Maaf, karena ayah tak ada bersamamu sekarang.

Mata Menma berhenti bergulir, sedikit mengangkat wajah dengan dahi terlipat. Dad? Jadi ini dari Dad? Serius? batinnya. Ia bahkan tak sempat membaca lembar ini di sekolah tadi, tapi rasanya jauh lebih baik karena hanya ia sendiri yang membacanya. Rasa hangat yang besar tiba-tiba menelusup tulang rusuk Menma, membuat perasaan lega memenuhi dirinya.

Dan meskipun ia enggan mengakui, tetapi Konohamaru benar. Dari semua surat-suratnya, inilah yang terasa berbeda. Berbagai perasaan berkecamuk dalam benaknya saat membaca.

Sepuluh tahun, artinya kau sudah kelas empat, benar? Bagaimana sekolahmu? Guru-gurumu? Teman-temanmu? Apa mereka menyenangkan? Sayangku, meskipun ayah tak bersamamu sekarang, tapi jangan pernah merasa sendirian. Pamanmu menjagamu dengan sangat baik, aku yakin.

Apa kau membenciku? Membenci ibumu? Tidak apa-apa, saat aku seusiamu pun, aku suka sekali membenci orang lain. Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku tak ada. Kenapa aku pergi. Kenapa aku meninggalkanmu sendirian. Jawaban yang sangat, sangat sulit, tentu saja.

Aku dan ibumu akan melakukan apa pun supaya kau tak membenci kami, tapi nyatanya kami tak bisa. Kami terlalu mencintaimu, dan karena alasan itulah kami pergi.

Suatu hari nanti, saat kau dewasa, kau akan mengerti bahwa hidup penuh dengan pilihan-pilihan. Pilihan mana yang lebih sedikit berisiko menyakiti orang-orang yang kita sayangi adalah apa yang seharusnya kita ambil, meski itu berarti menyakiti diri kita sendiri. Dan aku tak pernah menyesal telah melakukannya.

Maafkan aku, karena isi surat ini terdengar omong kosong dan merepotkan. Tapi percayalah, aku dan ibumu melihatmu dari jauh. Kami selalu ada di hatimu. Dan saat kau bertanya-tanya apakah, bagaimana, seandainya, satu jawaban yang bisa kuyakinkan untukmu adalah; kami mencintaimu, Menma. Sangat, sangat mencintaimu.

Jika pun aku dan Sasuke berlomba-lomba siapa yang lebih bisa membuatmu bahagia, maka aku akan melakukan apa pun. Tapi kami terlalu menyayangimu, hingga berada di satu titik bahwa tak apa-apa untuk melepasmu.

Menma, anakku... Selamat ulang tahun. Teruslah hidup dan bahagia. Apa pun yang terjadi, kau harus tetap berjuang dan meraih cita-citamu. Hiduplah dengan baik, karena hanya dengan kau baik-baik saja, maka aku dan ibumu juga akan baik-baik saja.

Dan, tidak masalah kalau sesekali kau menangis. Aku pun melakukannya hampir setiap kali saat merindukanmu. Laki-laki tak boleh menangis, ibumu selalu mengatakan demikian. Tetapi, Sayang. Sangat manusiawi untuk bersedih. Meskipun tak menyelesaikan apa-apa, namun tak ada yang salah dengan menangis.

Naa, Menma. Sekarang kau sudah besar. Teruslah sehat dan tumbuh dewasa. Aku mencintaimu.

Dad]

Menma tak menemukan apa-apa selain kehampaan dan rasa duka yang memenuhi katup jantungnya. Seolah-olah seseorang baru saja menghantam dadanya dengan benda tajam. Ia tak berdarah, namun paru-parunya terasa sesak dan sangat sakit.

Bagaimana ini? Bagaimana bisa rasa sayang yang ia percayai selama ini, justru menjadi satu-satunya alasan bagi Dad untuk meninggalkannya? Bagaimana bisa ia dicintai tapi malah ditinggal pergi? Apakah orang-orang dewasa selalu melakukan hal demikian? Menjadikan kepergian sebagai alasan kasih sayang?

Pembohong.

Tiba-tiba saja otaknya terasa penuh, berputar dan membuatnya kesulitan berpikir. Ia benci orang-orang pembohong, namun lebih membenci dirinya sendiri yang nyatanya tak bisa melakukan apa pun meski tahu dibohongi.

Menma bisa merasakan pandangannya memburam sebab kedua pelupuknya digenangi air, berbondong-bondong menjatuhi surat-suratnya. Akan tetapi, semua itu tak lebih jelas dari kepedihan di dadanya. Ia mengusap matanya, sekali, dua kali. Tapi air mata itu lebih deras mengalir.

Perlahan-lahan tubuh kecilnya ambruk ke lantai. Dan Menma tak mencegah gerung tangis yang menguasai dirinya.


(tbc)