Disclaimer: APH punya Hidekaz Himaruya. Sebel.
Pairing: Male!MalaysiaXMale!Indonesia
Rate: T
Warning: OOC. Gagal. Ancur. Don't like? Don't read, baby~
A - Ambush
Tubuh pemuda itu telah dibasahi peluh. Nafasnya berat dan tidak beraturan. Kedua kakinya gemetar kelelahan setelah melawan adiknya tersayang. Tapi, ia tidak menyesal. Akhirnya, perjuangannya terbayar.
Sorak sorai para pendukung mewarnai tribun. Ia tersenyum puas mendengarnya. Suasana suka cita di stadion itu sesuai dengan harapannya.
Adiknya, di sisi lain, tidak dapat menerima fakta bahwa ia telah kalah telak. Ia kalah dengan skor yang cukup jauh. 5-1. Betapa kejam kakaknya itu sehingga tega menjatuhkan adiknya begitu keras. Tapi, mau apa lagi? Memang begitu hasilnya, dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengubahnya sekarang.
"Malon! Gua menang loh! Inget taruhan kita?", sahut kakaknya sambil menepuk punggungnya.
"Mana bisa lupa? Lu ngingetin gue setiap lima menit sekali.", jawabnya dengan wajah masam.
Kakaknya hanya tertawa sambil merangkul pundaknya. Aroma tidak mengenakkan terkoar sampai ke hidungnya.
"Endon! Bau keringet lu! Jangan deket-deket gua!"
Ia tidak peduli dan tetap merangkul pundak adiknya. Setelah berdebat beberapa lama, akhirnya ia menyerah. Ia melepas rangkulannya dan pergi menemui timnya.
"Hei, Malon.", ia menghentikan langkahnya.
"Apa?"
"Sampai ketemu di final nanti.", sekilas terlihat senyuman hangat di wajah sang personifikasi negeri melati.
"Iya. Itu juga kalo lo bisa sampe final.", ia menjulurkan lidahnya ke arah kakaknya.
.
B - Bald
Sehari setelah kemenangan Indonesia, Malaysia menepati janjinya. Sebelum pertandingan, mereka sempat bertaruh. Dan Indonesialah yang menang. Jadi, Malaysia dengan wajah ingin menangis terpaksa melaksanakan hukuman yang telah disiapkan Indonesia.
"Udah, lon. Gak papa. Nanti juga tumbuh lagi.", kata Indonesia dengan santai.
"Berisik.", jawab Malaysia dengan nada sebal.
"Kiper timnas aja banyak fans-nya walaupun kinclong.", Indonesia menambahkan.
"Diem lu.", Malaysia semakin kesal.
"Lagian kan enak, adem. Gak ribet lagi. Gak bakal kutuan. Hemat sampo."
"BACOT LU!", Malaysia meledak.
Indonesia pun terdiam sebentar. Lalu, dia melanjutkan pekerjaannya.
Akhirnya…
"Malon…"
"Apa hah?"
"Gantengan begini, lho, lon… Kenapa gak dibotakin dari dulu aja?"
"#%$^~#$$#!"
Begitulah hukuman untuk Malaysia. Pembotakan.
~.~
Keesokan harinya…
"PFFFFT- KAK MALAYSIA BOTAK! HUAHAHAHAHAHA!"
Malaysia hanya dapat meratapi nasib kegundulannya yang mengakibatkan ejekan dari adik-adiknya.
.
C - Collapse
Hari ini, pertandingan Indonesia melawan Filipina. Malaysia datang menontonnya. Malaysia selalu datang menonton pertandingan Indonesia dan diam-diam ia mendukung Indonesia bersama dengan 250 juta supporter lainnya. Ia selalu berharap untuk bertemu kembali dengan Indonesia di final nanti. Seperti kata-kata Indonesia setelah mengalahkannya.
Pertandingan berjalan dengan tegang. Permainan Filipina yang kasar benar-benar menguras tenaga Indonesia. Terlihat dari wajahnya, ia benar-benar kelelahan dalam melawannya. Tetapi, ia tidak menyerah. Ia tetap berjuang sampai peluit berbunyi. Ia akan terus berusaha untuk tidak mengecewakan rakyatnya.
Akhirnya, pertandingan selesai. Indonesia menang. Senyum mengembang di bibir Malaysia. Tinggal satu lawan lagi untuk bertemu kembali di final. Tinggal satu pertandingan lagi untuk dapat membalas rangkulan sang kakak tercinta di pundaknya.
Satu lagi…
"I- INDONESIA!"
Tiba-tiba, sang pemuda merah putih terjatuh di tengah lapangan. Ia pingsan. Nampaknya, Filipina benar-benar telah meruntuhkan segenap tenaganya. Malaysia ingin sekali turun ke lapangan. Ia ingin mengetahui keadaan kakak tersayang. Ia ingin menghampiri Indonesia dan memeluknya. Tapi, yang dapat ia lakukan sekarang hanyalah berdoa akan keselamatan kakaknya dari atas tribun.
.
D - Damage
Pandangannya menggelap. Nafasnya melemah. Rasa sakit di kepalanya terus menyerang tanpa belas kasihan. Tim medis segera turun tangan dan membawanya ke sebuah ruangan khusus.
Seorang pemuda berbaju putih menghampirinya. Ia bertanya apa yang dirasakannya.
"Kepalaku sakit.", hanya itu yang diucapkannya.
Ia melihat ke penjuru ruangan. Ada dua rekan setimnya yang sedang ditangani oleh tim medis. Kaki salah satu temannya luka memar dan berdarah. Sepertinya ia sudah jatuh dan dijegal berkali-kali.
Lalu, ia melihat ke arah pintu. Ada seorang petugas medis berbaju putih sedang berbicara dengan seorang pria berbaju batik yang sepertinya familiar di matanya. Ia mencoba menerka-nerka identitas pria itu. Tetapi, rasa sakit di kepalanya kembali menyerang, dan kali ini lebih parah dari sebelumnya.
"Aaaargh.", ia mengerang.
Petugas medis segera menghampirinya. Begitu juga pria berbaju batik tadi. Matanya buram. Ia tidak dapat mengenali pria itu. Yang ia tahu, pria itu selalu menggenggam tangannya di dalam ruangan medis.
Yang ia tahu, pria itu mengelus rambutnya lembut dan mengecup keningnya sebelum ia tak sadarkan diri.
"Bertahanlah, Indonesia."
.
E - Euphoria
Lima hari sebelum pertandingan final Indonesia vs Malaysia. Indonesia telah kembali cerah ceria walaupun ia masih dalam masa pemulihan. Di sisi kanan keningnya, terdapat kain kassa yang menutupi luka kecil hasil penjegalan pemain Filipina. Lututnya berwarna biru keungu-unguan karena memar. Tetapi tidak apa. Semua luka itu sesuai dengan harga kemenangannya yang penuh perjuangan.
Sekarang ia berada di kamarnya. Ia menyalakan laptopnya dan menghubungkan koneksi internet. Dengan sabar ia menunggu koneksinya terhubung.
"Lemot amat, sih. Ck."
Setelah beberapa menit, akhirnya koneksi terhubung. Ia segera mengklik icon Motzila Fayerfoks. Ia lalu membuka Feisbuk dan masuk ke akunnya. Ia memandangi layar laptopnya dengan senyum haru.
'Garuda di dadaku… Garuda kebanggaanku… Kuyakin final nanti pasti menaaaang…'
You and 10 people like this.
'GO, INDONESIA! WIN IT! GO TIMNAS!'
You and 23 people like this.
'GANYANG HARIMAU MELAYU!'
You and 4 people like this.
'INDONESIA (prokprokprokprokprok)'
You and 18 people like this.
'Terbanglah, Garudaku!'
You and 19 people like this.
Lalu ia membuka Tuiter, Plerek, dan situs jaringan sosial lainnya. Semuanya sama. Semuanya mendukung dirinya. Betapa ia merasa dicintai saat ini. Ia merasa terharu akan euforia yang melanda rakyatnya. Tetapi, selain rasa haru, ia juga merasakan suatu ganjalan dalam hatinya. Ia berpikir, gimana jadinya kalo gue kalah? Apa mereka bakal benci sama gue? Apa semua status, tuit, plerek, semuanya akan berbalik menghujam gue?
Semakin dipikirkan, mentalnya semakin terbebani. Ia tidak berani kalah. Ia tidak mau kalah. Dan dalam dirinya, ia tanamkan suatu sugesti.
"Gua gak akan kalah."
.
F - Fanatics
"PRANG!"
Pukul empat pagi, Indonesia dibangunkan oleh lemparan batu ke arah jendela kamarnya. Ini sudah yang kedua kalinya ia diterror. Entah oleh siapa. Yang pasti, penerrornya selalu meninggalkan catatan bertuliskan hal-hal tidak menyenangkan. Kali ini, catatan itu diikat di batu yang memecahkan jendela kamarnya. Catatan itu berbunyi 'Budak Indon pasti kalah!'
Indonesia menyobek kertas itu menjadi serpihan-serpihan kecil dan melemparnya ke tempat sampah. Ia marah. Ia tidak terima direndahkan seperti itu. Siangnya, ia segera ke rumah Malaysia. Ia menggedor pintu dengan keras.
"HEH, MALAY! KELUAR LO!"
Malaysia segera membuka pintu rumahnya.
"Apa-apaan, sih, Indo- BUK!"
Indonesia tak dapat menahan amarahnya. Ia menghantamkan kepalan tangannya ke wajah Malaysia dengan keras.
"APA-APAAN KATA LO? MESTINYA ITU PERTANYAAN GUE! APA MAKSUD SUPPORTER LO NERROR-NERROR GUE?"
Malaysia mengusap wajahnya yang tadi ditonjok oleh Indonesia. Denga wajah santai, ia menepuk pundak Indonesia.
"Santai, dong…"
Indonesia menepis tangan Malaysia. Emosinya semakin memuncak.
"JAWAB, MALAYSIASU!"
Malaysia mendesah panjang.
"Udah lah… Wajar aja… Paling cuma fanatik.", jawab Malaysia. Jawaban tidak tepat yang menghasilkan satu tonjokan cinta dari kakak tersayang.
.
G - Gamble
"Eh, Ndon, taruhan lagi, yuk…"
Indonesia yang sedang membaca entah-itu-komik-apa-sepertinya-tentang-hubungan-pria-dengan-pria mengalihkan pandangannya ke adiknya yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
"Yakin? Rambut lu aja belom balik lagi. Udah berani ngajak taruhan lu?", jawab Indonesia sambil mengusap kepala Malaysia dengan wajah mengejek.
"Tch. Udah. Mau apa enggak? Apa lu takut kalah?", Malaysia menyeringai dengan muka sama mengejek ke Indonesia.
Ugh. Tepat sasaran.
"Si- Siapa bilang gua takut kalah? Yaudah, taruhan apa?", tsundere Indonesia keluar.
Malaysia menyembulkan senyum yang mencurigakan. Gotcha!, katanya dalam hati.
"Gini… Yang kalah harus…"
.
H - Hell
"APA?", Indonesia terkejut mendengar ide Malaysia.
"Lu budek, ya? Perlu gua ulang sekali lagi? Yang kalah nanti harus…"
"Gua denger, tolol! Tapi, serius lu?"
Malaysia mengangguk. Ia lalu pergi ke kamarnya dan kembali menemui Indonesia sambil membawa sesuatu di tangannya.
"Dan yang kalah harus pake ini.", Malaysia menambahkan sambil menyeringai. Seringai yang membuat Indonesia semakin ingin menamparnya.
Pipi Indonesia memerah. Ia tidak dapat membayangkan dirinya memakai kostum memalukan itu. Lebih baik ia jatuh ke neraka daripada mengenakan baju itu di depan umum dan harus melayani bocah tengik melayu itu seharian.
"Gimana? Kalo lo takut, sih, gak usah. Ahempengecutahem.", Malaysia memanasi benak Indonesia.
"Oke! Gua terima tantangan lo!", Indonesia tentu saja tidak mau dibilang pengecut.
Lalu, mereka berjabat tangan tanda persetujuan mereka atas taruhan ini. Taruhan yang lebih buruk dari neraka untuk Indonesia.
.
I - Idiot
Bego. Bego bego bego.
Indonesia berjalan mondar-mandir di kamarnya.
Bego banget, sih, lu, Indonesia.
Ia mengutuk dirinya sendiri tanpa suara.
Bisa-bisanya lu mau taruhan sama si melayu licik.
Ekspresinya tercampur antara kesal, bingung, takut, dan sebagainya.
Dia pasti udah siap-siap curang di final nanti.
Ia terus mengutuk perjanjian neraka yang telah ia setujui dengan Malaysia.
Kalo gua beneran kalah, mau ditaro dimana muka gua ini?
Entah apa yang dipikirkannya saat mengiyakan ide adiknya itu.
Idioooot. Emang gua ini idioooot.
Dengan frustasi, ia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
Ah. Tenang, Indonesia. Tenang. Optimis! Gua pasti bisa menang! Pasti!
Ia mencoba menghibur dirinya sendiri.
Ya Tuhan, jangan biarkan hambamu ini dipermalukan setelah final nanti. Amin.
Setelah berdo'a dengan penuh pengharapan, akhirnya Indonesia pun memejamkan matanya dan tertidur. Do'a sebelum tidurnya memang unik.
"Idiot…", Indonesia mengigau.
Bahkan setelah tertidur pun ia masih mengutuk dirinya idiot.
.
J - Jerk
Sejak Indonesia dan Malaysia bertaruh, Malaysia sering mengulang-ulang kata 'Budak' di depan Indonesia. Kostum 'itu' pun dipajang oleh Malaysia di ruang rapat ASEAN. Setiap adik-adiknya bertanya, Malaysia hanya menjawab "Hadiah buat orang." sambil menyeringai ke arah Indonesia.
Final semakin dekat. Mental Indonesia naik-turun bagai ombak. Ia sering tiba-tiba merasa takut. Tapi, ia segera mengusir ketakutannya dengan berpikir optimis. Ia selalu menanamkan dalam benaknya bahwa ia akan menang. Ya, ia pasti menang. Ia tidak akan tega mengecewakan pendukungnya.
Sedangkan Malaysia, dengan angkuhnya menyindir-nyindir Indonesia yang mulai kalut. Ia selalu menggoda dan mengejek Indonesia. Ia sering sengaja mengatakan hal-hal yang ia tahu dapat menjatuhkan mental Indonesia.
"Heh, Ndon."
"Hmm?"
"Lu yakin bakal menang? Kalo lu kalah, lu bisa digebukin sama pendukung lu yang ramenya gak ketulungan. Mereka pasti kecewa sama lu. Mending mundur aja, deh… Daripada lu jadi babak belur.", Malaysia sengaja memanas-manasi Indonesia.
Indonesia terdiam sesaat. Ia memikirkan kata-kata Malaysia berusan.
Mereka bisa kecewa sama gue. Apa gue mundur aja, ya?
"Lagian, lu sanggup emangnya bayar taruhan? Lu beneran rela ngerendahin diri lu sendiri serendah itu?", Malaysia menambahkan dengan nada seakan-akan simpatik.
Ini sebanding gak, sih, sama perjuangan gue? Apa gue bakal berakhir serendah itu?
"Udah lah, Ndon… Gue kan seme. Lu udah ditakdirkan jadi uke ASEAN. Mundur aja, ya?"
Kata-kata terakhir Malaysia membuat pipi sang pemuda merah putih merona. Ia segera menghentikan intramonolog sedihnya dan kembali ke dunia nyata.
"Se- seme? Uke? Gua uke? U- ukenya siapa?", Indonesia bertanya dengan terbata-bata. Semburat merah di pipinya semakin terlihat.
Mendengar pertanyaan Indonesia, pipi Malaysia ikut merona. Tapi, ia dapat mengendalikan dirinya kembali beberapa detik kemudian. Lalu ia tersenyum nakal ke arah Indonesia.
"Ukenya gua, lah.", Malaysia menjawab dengan nada santai namun cukup menggoda untuk membuat Indonesia semakin salah tingkah.
"A- Apa-apaan, lay?", Indonesia berubah tsundere lengkap dengan bibir cemberut khasnya. Ugh. Terlalu imut.
"Perlu gua ulang?", Malaysia semakin ingin menggoda Indonesia.
"E- Enggak usah.", Indonesia menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan semburat-semburat yang muncul di pipinya.
Malaysia tertawa kecil melihat kelakuan 'uke'-nya.
"Bercanda, kok, Ndon. Hahaha aku pulang dulu, ya, uke-ku yang manis…", ia meninggalkan Indonesia yang jantungnya sudah lari entah kemana.
"….Ugh. Malaysial. That jerk."
.
K - KYAAAAA! (?)
Malamnya, Indonesia dihantui ocehan 'seme-uke' Malaysia tadi siang.
Uke? Gua uke? Dari sisi mana gua uke? Apalagi ukenya 'dia'.
Ia membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Mencoba kabur meninggalkan realita dan pergi ke alam bawah sadar. Semakin ia memaksakan dirinya, semakin frustasi ia jadinya.
Lagian, mana mau gua sama dia? Kalaupun gua mau, gua kan lebih manly dari dia. Masa uke, sih?
Ia mengulang kalimat terakhir pada intramonolognya.
Eh, gua mikir apa, sih? Enggak. Gua enggak bakalan mau sama dia. Dia sama gua kan musuh!
Tiba-tiba, pikirannya melayang ke Malaysia. Pemuda bertubuh hampir pendek yang lumayan mirip dengannya. Hanya kulitnya lebih putih dan matanya sedikit lebih sipit dari Indonesia. Ia mengulang-ulang kata-kata Malaysia dalam pikirannya.
"...Uke-ku yang manis."
Semburat-semburat merah muda kembali muncul di kulit sawo matangnya. Ia tidak mengerti mengapa dan bagaimana ia bisa merasa seperti ini.
Ya, Tuhan. Kenapa bisa? Kenapa harus dia? Kenapa?
Ia mencengkeram bantalnya dan membenamkan kepalanya lebih dalam. Ia berharap tidak akan ada yang mendengar suaranya di dalam bantal merah putihnya.
"KYAAAAAAAAAAAAAAAA!"
.
L - Lose
Pertandingan final telah usai. Papan skor menunjukkan angka 1 untuk adiknya dan 2 untuknya. Semestinya ia gembira. Semestinya sorak sorai pendukungnya sudah mewarnai stadion. Semestinya airmata dan senyum puas muncul di wajah rekan-rekan timnya. Semestinya, ia menang.
Tapi, semua kata-kata tadi diawali dengan 'semestinya'. Dan tidak, author tidak salah mengetik. Semuanya memang tidak terjadi sesuai 'semestinya'.
Dadanya sesak. Wajahnya menunduk ke bawah, pandangannya kosong. Ia tidak tega- ia tidak sanggup mengangkat wajahnya dan melihat wajah pendukungnya yang kecewa. Salah satu rekan timnya menangis kecewa. Ia menutup telinganya dan memejamkan matanya. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya mimpi buruk, dan dengan suara jam weker ia akan bangun tidak lama lagi.
Ia menunggu, menunggu, dan menunggu.
Ayo, bunyi, alarm laknat! Bunyi!
Tidak ada yang terjadi.
"Hoi, Indon!", seseorang memanggilmu. Suaranya familiar. Suara itu. Suara-'nya'.
"Hahaha gua menang! Lagian, budak main bola! Cuci ngepel saja, lah, awak…", tawa puas yang menyebalkan itu memekakkan telinganya. Membuatnya ingin menggunting mulut besar itu.
Ia mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya yang ramping. Ingin sekali ia memukul-'nya'. Ingin sekali ia memaki-maki 'dia'. Tapi, tidak bisa. Yang ia lakukan hanya diam di tempat dan menerima setiap kesombongan sang pemuda melayu berseragam biru tua.
"Siap-siap, ya, budak! Besok rasain pembalasan gua! Hahahaha!"
Itulah kata-kata terakhir-'nya' sebelum pergi meninggalkannya untuk pengambilan piala. Piala yang seharusnya menjadi miliknya.
"Hei, Malon!", ia memanggil si pemuda congkak tadi saat pulang.
"Apa, budak?", pemuda melayu itu menoleh ke arahnya dengan pandangan merendahkan.
"Selamat, ya.", ia menjulurkan tangannya ke arah sang pemenang palsu sambil berusaha tersenyum setulus mungkin.
Untuk sesaat, pemuda melayu itu terkejut. Lalu, dengan ragu-ragu ia berjabat tangan dengan sang pecundang jujur.
"Uhm, makasih?"
Lalu, ia meninggalkan sang pemuda melayu dengan tangan gemetar. Entah karena udara dingin atau karena aura kebencian yang terus ia tahan dalam dirinya. Di perjalanan pulang, ia berhenti sebentar. Ia mengulang saat-saat pemberian piala di kepalanya. Lalu, ia mengangkat kedua pundaknya.
"Cuma piala kosong, kok.", ia tersenyum dan kembali melangkahkan kakinya.
.
M - My Dear
Kulit putih bersih. Bola mata coklat penuh kebanggaan. Rambut hitam pendek dengan potongan rapi.
Semuanya kuwariskan padanya.
Piala emas mengkilap. Uang sebesar US$100.000,00. Penghargaan top scorer.
Terpaksa kurelakan padanya juga.
Batik. Reog Ponorogo. Tari Pendet.
Ia menginginkan itu. Tapi, yang itu tidak boleh, sayang.
Aku.
Kubagi setengah untuknya.
.
.
Adikku sayang,
gapailah segala impianmu yang tidak dapat kuberikan untukmu.
.
Tertanda,
Indonesia.
(A-M End. N-Z next chap :D)
