"Kak Yaya kak Yaya!"

Bocah lelaki beriris safir menarik baju merah muda milik seorang gadis seraya menujuk ke suatu arah, membuat gadis tersebut menoleh.

"Iya?"

"Taufan mau beli es krim, boleh?"

Mendengar kata es krim membuat senyuman di gadis bernama Yaya itu mendadak layu. Bukan apa, ketiga adik kembarnya harus menghindari makanan atau minuman terlebih dahulu sebab adik tertuanya—Halilintar—mengalami demam akibat minum es teh.

Yaya berjongkok di depan adik keduanya dan tersenyum kecil. "Gulali aja, mau?" tanyanya. "Tadi kakak liat ada yang bentuknya muka Ironman."

.

.

Me vs Triplets

KaiYa, Child!HaliTauGem

Written by: Redmaroonc

.

.

Chapter 1: First Meet

Konyol bagi seorang Kaizo yang langsung jatuh cinta pada seorang gadis merah muda dengan setangkai gulali Ironman digenggaman, namun begitulah kenyataannya. Langkah kaki lelaki beriris delima itu kini berlanjut dengan mengikuti gadis tersebut diam-diam. Sengaja jarak diperjauh sehingga keberadaannya tidak terlalu tampak, namun lampu merah mengacaukan semua hingga tanpa sadar ia berdiri tepat di samping gadis itu—ralat, ia dipisah oleh anak kecil yang berada di dekat si gadis.

Ketika kepala mendongak, Taufan melihat seorang lelaki bermata merah seperti anjing dan tersenyum licik—mendadak membuatnya takut dan langsung merengek seraya memeluk Yaya.

"Kakakk! Ada orang jahaaaat!" ucapnya dengan suara melengking, membuat orang-orang yang menunggu di trotoar pun seketika panik, begitupula Kaizo yang ikut mencari-cari siapa 'orang jahat' yang dimaksud.

Yaya yang terkejut dengan tingkah adiknya itu langsung menggendongnya dan mengelus punggung Taufan. "Dimana? Dimana orang jahatnya?" tanya Yaya panik.

"Itu, itu!"

Taufan menunjuk—dengan gulali yang berada di tangan—ke arah Kaizo, membuat arah pandangan gadis itu tertuju pada lelaki bermahkota ungu tua. Yang ditunjuk tersentak, lalu menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi terkejut.

"Saya?"

"Oh, ini orang jahatnya?"

Seorang pria berbadan besar bertanya seraya memegang bahu Kaizo. Lelaki itu menoleh ke asal suara, mendapati tatapan horror dari seorang pria. Ia sendiri bingung—padahal hanya berdiri saja, apa yang diperbuatnya coba?

"Saya gak ada ngapa-ngapain." Kaizo berucap, membela diri.

"Aduh, Taufan. Kamu yakin kakak ini? Dia ada ngapain ke kamu?"

Yaya putuskan untuk bertanya pada sang adik, mengingat mereka masih kecil dan sembarangan menuduh orang. Masih berada digendongan, Taufan mengangguk-angguk hingga gulali yang dipegangnya pun ikut bergoyang.

"Iya yang ini!" ucapnya dengan tangan yang menunjuk Kaizo lagi, namun langsung diturunkan oleh Yaya. "Mukanya kayak orang jahat, kak!"

"Ah, ya. Wajah saya memang seperti ini." Lelaki bermahkota ungu tua itu berucap sekali lagi dan membela diri. Perasaannya tak terlalu takut sebab ia sendiri tak melakukan apapun. Hanya saja tatapan mengintimidasi dari pria tadi membuatnya risih.

"Dia gak ada ngapa-ngapain kamu 'kan?" Yaya bertanya sekali lagi, yang dijawab dengan gelengan kuat oleh Taufan.

"Tapi mukanya serem!"

Lampu untuk pejalan kaki telah menyala, orang-orang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sebab masalah mengenai 'orang jahat' yang disebut oleh anak kecil tadi hanya isu belaka. Apalagi tak ada satupun dari mereka yang melihat bahwa lelaki beriris delima itu melakukan sesuatu pada anak kecil tersebut. Kaizo pula tidak melakukan apapun selain berdiri dan menunggu lampu hijau.

Gadis merah muda itu menghela napas kasar, berdiri berhadapan dengan Kaizo dan sedikit membungkuk sebagai permintaan maaf atas kelakuan si adik.

"Maaf, adikku agak sedikit bawel."

Kaizo menggeleng pelan. "Tak apa, anak kecil memang seperti itu."

Sementara Taufan menatap lelaki itu dengan curiga. Pada pertemuan pertama mereka, Taufan benar-benar tidak menyukai Kaizo.

Lampu kembali berganti menjadi merah, yang mau tak mau membuat mereka kembali menunggu untuk menyebrang. Jarak diantara Kaizo dan gadis itu kian menipis, namun ia berusaha untuk tenang dan menoleh kesana kemari tanpa tujuan. Sempat melirik pada gadis merah muda yang senantiasa menunggu dengan melemparkan pandangan ke jalan raya.

"Rumahnya dimana, mbak?"

Putuskan untuk bertanya guna membunuh kebosanan. Yaya menoleh pada lelaki di sisi, hendak membuka mulut dan menjawab namun Taufan dengan cepat memeluk sang kakak hingga kepala Yaya tak bisa ditolehkan ke arah Kaizo.

"Eh, Taufan kenapa, sayang?"

"Taufan mau meluk kak Yaya! Nanti kalau di rumah berebut dengan kak Hali sama Gempa."

Ni bocah udah pandai cari alasan, pikir Kaizo jengkel. Hingga ia merasakan tatapan horror dari bocah kecil tersebut padanya, lalu menjulurkan lidah. Perempatan imajiner muncul di dahi Kaizo, melihat tingkah bocah kurang ajar yang benar-benar membencinya.

.

.

"Arah sini juga, mas?"

Yaya bertanya pada lelaki bermahkota ungu tua tersebut, yang dibalas dengan anggukkan. "Iya, saya baru aja pindah 3 hari yang lalu."

"Ohh, masih baru ya?" tanya gadis itu lagi, yang dijawab lagi dengan anggukkan. Ia beralih pada sang adik yang digendong lalu berucap, "Taufan jalan aja ya? Kak Yaya capek kalau gendong kamu sampe rumah."

Mendengar itu membuat Taufan memanyunkan bibirnya. "Kak Yaya gimana sih! Taufan 'kan ringan kayak kapas! Kak Yaya aja bisa angkat galon, masa' gak bisa gendong Taufan!" keluh lelaki kecil itu.

"Digendong sama saya aja mau g—"

"GAK!"

Belum sempat menyelesaikan kata-kata untuk menawarkan diri, ucapan Kaizo sudah dipotong dengan singkat, padat dan cukup jelas oleh Taufan. Biasanya ia sudah sering ditolak oleh adik sendiri, tapi kenapa ditolak oleh adik calon gebetan—tidak, gebetan—sesakit ini ya?

"Taufan sayang, nanti kakak gak bisa masakkin martabak mie kesukaan kamu kalau kakak kecapekan gendong kamu."

"M-Martabak mie?" lelaki beriris safir itu bertanya. "Kata mama, Taufan gak boleh makan mie!"

"Boleh kok, asal Taufan berbagi sama Hali sama Gempa."

Taufan kembali memanyunkan bibir. "Kalau itu sih Taufan gak mau! Martabak mie cuma buat Taufan sendiri!"

Mendengar ocehan bocah cilik itu saja sudah membuat darah Kaizo mendidih. Untung bukan adek gue, batinnya. Kalau adiknya sih, udah ditempeleng biar diem. Masa' bodoh kalau diomelin.

"Jadi Taufan mau turun atau gak nih?"

"Mau deh mau!"

Mengabaikan apa yang diocehkan oleh Taufan, Yaya kembali menanyai sang adik hingga lelaki kecil tersebut mau menuruti kata-katanya. Kini Taufan sudah berjalan beriringan bersama Yaya, namun lelaki itu enggan berdiri di dekat Kaizo membuatnya berpindah posisi.

"Ah, itu rumah saya."

Yaya berucap ketika mendapati sebuah rumah berpagar putih yang tak jauh dari tempat dimana ia berada. Kaizo tersentak, mengingat rumah gadis itu dan dirinya hanya berbeda tiga blok saja.

"Kalau yang itu rumah saya," ucap Kaizo seraya menunjuk sebuah rumah tanpa pagar dengan dagu. "Ternyata kita tetangga ya."

Di lubuk hati terdalam, lelaki itu bersorak gembira sebab ia bisa melihat pujaan hatinya setiap hari. Namun ekspresi datar yang ditunjukkan tak menampakkan bahwa lelaki itu sedang bahagia.

"Tapi kok saya jarang liat masnya?"

Lelaki beriris delima itu terkekeh. "Baru juga tiga hari, mbak. Sama hari ini hari keempat."

"Iya juga ya." Yaya berucap diiringi mengangguk pelan. "Ngontrak ya?"

"Enggak, saya yang punya rumah itu."

Kaizo tersenyum bangga karena bisa membeli rumah baru, namun lagi-lagi ia merasa bahwa bocah cilik itu memberi tatapan horror padanya. Sempat melirik pada lelaki beriris safir tersebut, lalu menjulurkan lidah—membuat Taufan tersentak dan menggembungkan pipi.

"AAA KAKAK! MAS-MAS INI JAHAAAT!"

Rasanya Kaizo pengin nempeleng adek ini.


Haloo~ saya datang lagi bawa ff baru wkwk masih pair KaiYa juga, cuma si Yaya punya tiga adek kembar-gegara gemes di tv liat anak kembar lima, tadinya mo dibikin lima aja tapi tiga keknya dah ribet wkwk