HARIAN SEOUL

Rabu, 18 Januari 2017

Siswa Tewas di Perpustakaan

Oleh: Kim Young-Soo

Seorang siswa ditemukan tewas di dalam sebuah perpustakaan sekolahnya pada hari Selasa 17/01/17 dini hari. Berdasarkan keterangan dari sang penjaga sekolah, Oh Sang-Ook, yang menemukan tubuhnya pertama kali, saat itu seperti biasa ia bertugas untuk membuka semua ruangan yang ada di gedung sekolah sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Terkejut saat melihat ada seseorang siswa yang terduduk dengan wajah tertunduk di atas meja. Persisi seperti orang sedang tidur. Namun ketika dibangunkan, Sang-Ook terkejut karena ternyata tubuh siswa tersebut sudah dingin dan kaku.

Oh Sang-Ook memang kerap kali mendapati beberapa siswa/i masih berada di perpustakan di luar jam pelajaran. Bahkan sampai larut malam, hingga ia harus mengusir mereka agar bisa menutup semua akses sekolah. Bahkan pada malam sebelumnya ia sangat yakin sudah memastikan tidak ada siapapun di dalam perpustakaan.

Hingga berita ini diturunkan, pihak sekolah maupun aparat setempat belum mau memberikan keterangan perihal kasus ini. Kepolisian hanya menyatakan bahwa siswa tersebut tewas akibat serangan jantung, karena tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan di tubuh korban.

Pihak sekolah meminta untuk tidak mempublikasikan identitas sekolah maupun korban untuk alasan privasi. Namun berdasarkan keterangan seorang teman siswa, korban memang terlihat aneh dan ketakutan selama beberapa hari sebelum kematiannya. Seolah-olah ada seseorang yang memang tengah mengancam hidupnya.

Judi Games Online Meresahkan Orang Tua

Oleh : Baek Kwan

Maraknya judi yang difasilitasi beberapa game online membuat para orang tua yang memiliki anak di bawah umur semakin resah. Pasalnya beberapa keterangan menyatakan bahwa anak-anak semakin kecanduan hingga melakukan tindakan tercela untuk mendapatkan uang. Pencurian dan perampasan kepada banyak siswa bahkan semakin sering terjadi di luar, jauh dari pengawasan sekolah dan orang tua.

Perusahaan games online menolak disalahkan atas keadaan ini, karena menganggap bahwa mainan yang mereka ciptakan pada dasarnya ditujukan untuk kalangan masyarakat yang memang sudah memiliki penghasilan

karena untuk mengakses games mereka membutuhkan kar-tu kredit sebagai media pembayaran. Jadi tidak ada alasan bagi anak-anak dibawah umur untuk bisa memainkannya kecuali sudah membeli dengan menggunakan kartu kredit orang tua mereka.

Kang Dae-Hee, seorang pelajar kelas dua SMP bahkan harus dilarikan ke rumah sakit akibat perkelahian dengan teman sekelasnya karena menagih uang kemenangan dalam games yang ia mainkan.

Tidak hanya itu, Jung Jae-Hwa, siswa kelas satu SMA, terpaksa harus bermalam di kantor polisi karena mencuri uang dari seorang pria paruh baya di kedai soju di dekat rumahnya. Pemuda itu mengaku harus membayar hutang judi games online dengan beberapa orang jika tidak ingin kehilangan kedua tangannya.

Entah apa yang terjadi dengan pengawasan dari para orang tua hingga anak-anak mereka bisa dengan mudah mengakses situs games online yang memang kebanyakan diperuntukan bagi mereka yang sudah berumur 20 tahun keatas.

Sampai berita ini turun, sudah ada 34 kasus pencurian dan 18 penganiayaan yang dilakukan oleh pelajar dari berbagai sekolah menengah pertama dan atas. Sembilan puluh persen dari semua kasus tersebut diakibatkan oleh games online.

Orang Hilang

Dicari seorang anak laki-laki berumur 13 tahun bernama Cha Dae-Ho. Terakhir terlihat keluar dari sekolahnya sekitar pukul 9.30 pagi karena alasan sakit.

Ciri-ciri:

Tinggi badan sekitar 155 cm

Tubuh kurus

Ada bekas luka jahitan di dagu

Terakhir terlihat menggunakan seragam SMP Hareum

Jika mengetahui keberadaannya agar segera menghubungi orang tuanya (Cha Jin-Suk / Mirae 01N XXXX YYYY)


Rabu, 18 Januari 2018, Kantor Satuan Divisi Forensik Seoul

Aku sudah disini satu jam!

Tapi tidak ada tanda-tanda kami akan segera melakukan briefing. Saat pertama kali datang ke kantor, aku hanya disuruh untuk melapor ke bagian perekrutan dan diantar ke ruang dimana aku akan menghabiskan waktu bekerja kedepannya. Mereka menyambutku dengan hangat, berjabat tangan seperti orang kebanyakan yang baru bertemu, saling menyebutkan nama, dan menunjukkan meja kerjaku. Namun setelah itu seperti mati. (Calon) rekan-rekan kerjaku langsung kembali ke tempat mereka masing-masing dan asik dengan komputernya setelah sebelumnya salah satu dari mereka memberitahuku jika akan segera ada brefing pagi untuk sambutan resmi dari ketua tim kami.

Aku orang yang mudah bosan jika tidak bekerja. Jadi sedari tadi sudah mulai menyalakan komputer dengan kode akses yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Seperti yang kuperkirakan, belum ada apapun di dalamnya. Wallpaper desktop masih status default dan hanya ada beberapa icon bawaan dari setelan perangkat. Aku mengeluarkan flashdisk dan mulai menaruh beberap file ke dalamnya. Kebanyakan folder yang kupindahkan adalah kumpulan beberapa referensi penelitian dan hasil pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang sempat aku bantu kerjakan saat masih magang di rumah sakit Goyang.

Membaca adalah satu dari sekian banyak hal yang kusukai. Rasanya tidak tahan untuk tidak membaca tulisan apapun yang melintas di hadapanku. Bahkan tulisan-tulisan iklan di badan bus pun tidak luput dari obsesiku akan membaca. Untungnya hal itu tidak mempengaruhi kesehatan mataku. Aku memakai kaca mata hanya untuk gaya. Serius. Aku memang bukan manusia yang ekstrim dalam berfashion, tapi terlihat rapi juga menjadi bagian dalam keseharianku.

Setelah menjadikan komputer ini milikku, aku beralih untuk mengecek apakah aku bisa mengakses internet atau tidak. Karena di tempatku bekerja sebelumnya, akses internet sangat selektif. Kami hanya diperbolehkan membuka situs-situs resmi yang berhubungan dengan pekerjaan dan bidang ilmu kami. Dan mungkin beberapa yang berhubungan dengan kasus, walaupun kebanyakan kami memang hanya menerima laporan kasus-kasus dari kepolisian yang menangani.

Setelah sekali lagi kumasukkan user id dan password, aku tersenyum karena situs-situs dan bahkan media sosial umum bisa kuakses dari komputer ini. Tidak ada bedanya dengan divisi digital forensik. Karena rasanya aku juga bisa membuat virus dalam komputer ini. Hal yang selalu kulakukan jika memiliki laptop baru agar tidak mudah dibajak.

Ah, tenang dulu. Aku bukan jenius komputer. Ini hanya trik yang kupelajari dari seorang teman. Aku pasti menemukan kesulitan jika trik yang kugunakan kadaluarsa karena perangkat yang kugunakan sudah memakai aplikasi terbaru. Jadi kuulangi, aku bukan jenius komputer. Aku seorang dokter forensik.

Hampir dua jam berlalu. Semua orang di ruangan langsung berdiri ketika seorang bapak tua dengan perawakan pendek dan botak membuka pintu. Aku juga ikut berdiri karena sepertinya tahu siapa yang tengah ada di hadapanku sekarang.

Dokter Kim Woosik. Profesor sekaligus ahli bedah forensik yang namanya sudah tidak akan asing bagi semua orang yang berkecimpung di dunia ini. Dan akhirnya aku bisa bertemu langsung dengan sang legenda itu.

"Kim Namjoon."

Kedua matanya langsung menemukanku yang memang terlihat paling menjulang diantara dokter-dokter lain. Dia maju dan menjabat tanganku sebelum aku sempat membungkuk hormat.

"Setelah melihatmu, aku punya firasat kalau di luar sana akan ternyadi banyak pembunuhan."

Waaah… benar-benar sambutan yang berbeda. Bagaimana bisa dia begitu bersemangat saat memikirkan bahwa mungkin akan ada orang tua yang kehilangan anaknya, kakak yang kehilangan adik, dan suami yang kehilangan istrinya. Walaupun ini memang pekerjaan kami, tapi bukankah terlalu berlebihan jika mendoakan sebuah kematian? Oh iya… aku seorang atheis… aku tidak pernah berdoa.

"Apa itu sesuatu yang baik, Profesor?" aku bertanya masih sambil menjabat tangannya.

"Tentu saja, setelah menerima surat rekomendasimu, tiba-tiba saja Kesatuan Unit Kejahatan Berat langsung menghubungi untuk memeriksa TKP. Kemarin kami juga sibuk dan hari ini saat kau mulai bergabung pun aku sudah mendapat pekerjaan lagi. Karena itu maaf kalau aku agak telat."

Sekarang aku tahu kalau dua jam bisa disebut 'agak' terlambat di Seoul.

"Jadi kau sudah siap bekerja di hari pertamamu, Namjoon?"

Itu bukan pertanyaan dalam pandanganku. Tapi sebuah perintah mutlak. Jadi tidak ada kesempatan bagiku untuk bertanya ini itu selain mengangguk dan bersiap mengikutinya keluar ruangan.


18 Januari 2017, Kamar Jenazah Rumah Sakit Seoul

Profesor Kim dan aku masuk ke dalam ruangan yang memang tidak asing. Di sana sudah ada dua orang dengan pakaian yang sama dengan kami serta dua orang yang kurasa adalah petugas kepolisian sedang mengelilingi sebuah meja operasi. Ada jasad seseorang di atasnya. Kami mendekat dan aku langsung menyambar masker beserta sarung tangan. Sebuah refleks atas dasar prosedural. Jadi aku sudah tidak memerlukan training lagi.

Ho Insu. Tujuh belas tahun. Siswa kelas dua SMA. Begitu yang aku baca dari catatan di sana. Dugaan awal kematian adalah gagal jantung. Ditemukan tewas di perpustakaan sekolahnya.

Aku menatap Profesor Kim dan ia langsung mengangguk, "Dia siswa yang diberitakan pagi ini."

Yang lain masih tetap diam, hanya aku yang terlihat bingung. "Apa ada masalah dengan kematian—?" belum selesai aku melontarkan pertanyaan, seseorang sudah memberikan sesuatu padaku, sebuah amplop besar. Sebetulnya tidak akan jadi masalah jika orang tersebut memberikannya dengan sopan, namun aku cukup kesal karena amplop itu diberikan dengan memukul bagian dadaku. Cara yang kasar walaupun dilakukan dengan sesama lelaki.

Namun bukan aku jika langsung naik darah hanya dengan perlakuan seperti itu. Aku memilih diam dan mengeluarkan isi amplop coklat tadi. Kini di tanganku ada tiga buah foto yang bisa kutebak diambil dari tempat dimana korban ditemukan. Perpustakaan.

"Buku yang ditemukan di bawah kepala korban sama sekali tidak memiliki sidik jari Ho Insu. Hanya ada bekas air matanya yang membuat lembaran bukunya menempel di wajah."

Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Dengan cara yang aneh bagian otakku mulai membelah untuk menganalisa dua hal. Yang pertama, tentang korban yang bisa jadi tewas bukan karena tidak ada orang yang menolongnya saat terkena serangan jantung. Namun seseorang dengan sengaja menahan kepala korban yang saat itu sudah sangat lemah agar tidak bisa meraih obat di dalam tas yang tergelatak tak jauh dari tubuhnya ditemukan. Aku mengkonfirmasi foto pertama sebagai obat aspirin. Pertolongan pertama pada orang yang terkena serangan jantung. Sedangkan foto kedua memperlihatkan buku yang halamannya sudah koyak. Melihat kerusakannya, aku yakin jika korban memang menekan kepalanya dengan keras ke atas halaman buku tersebut. Atau seseorang memang menekannya dengan sengaja. Foto ketiga adalah robekan kertas pada halaman buku tersebut. Ada kode yang menunjukkan bahwa itu juga merupakan salah satu barang bukti yang harus kami periksa di laboratorium.

Lalu bagian otakku yang lain tengah memikirkan suara seseorang yang terdengar ganjil. Hmm… apa ya? Aku tidak bisa mengatakan itu indah, karena menurutku tidak wajar jika terdengar dari seorang pria. Aku melirik si pemilik suara. Seorang polisi yang kasar—untuk kesan pertama. Aku tidak bisa melihat wajahnya secara utuh karena dia juga menggunakan masker.

Tapi matanya… sudah lama aku tidak melihat mata sebening itu.

"Berapa lama kami bisa mengetahui hasil untuk kertas ini, profesor?"

Polisi itu kemudian bertanya. Aku benar-benar kaget karena kupikir dia menyadari kalau aku sedang diam-diam memperhatikannya.

"Biasanya dua sampai tiga hari."

Polisi itu terlihat tidak suka dengan jawaban tadi. Kemudian saat ia memandangku dengan kedua mata itu, entah mengapa sebuah suara yang mirip dengan suaraku menginterupsi.

"Aku bisa melakukannya kurang dari dua puluh empat jam."

Lalu aku sadar kalau itu bukan suara yang mirip dengan suara Kim Namjoon… tapi memang suaraku sendiri.


19 Januari 2018, Laboratorium RS Seoul, 00.34 KST

Menatap Soxhlet berjam-jam bukan pengalaman menyenangkan di hari pertama bekerja. Namun aku melakukannya demi seseorang. Profesor Kim bukan satu-satunya yang terkejut dengan pernyataan kesanggupan untuk mengekstraksi potongan kertas ini dalam waktu dua puluh empat jam. Bahkan aku sendiri juga tidak percaya.

Rentan waktu dua sampai tiga hari untuk menguji apakah ada zat asing dalam suatu barang bukti bukan tanpa alasan. Hasil ekstraksi dari uji lab memang hanya memakan waktu delapan sampai sepuluh jam. Namun prosedur setelahnya lah yang bisa memakan waktu lama. Mengidentifikasi. Jika hanya menyebutkan mungkin aku tidak ada bedanya dengan level mahasiswa kedokteran. Namun ahli forensik harus menyertakan hipotesa yang bisa memberikan arahan jelas untuk sebuah penyidikan. Itu bagian tersulitnya.

Namun…

Aku mungkin bukan jenius komputer karena hanya bisa melakukan trik pembuatan virus lokal. Tapi aku cukup jenius di bagian lain.

BPA, atau Bisphenol-A. Zat kimia yang biasa digunakan untuk membuat bahan plastik dan resin. Zat ini sudah lama dilarang untuk banyak produk terutama makanan dan minuman. Dalam kandungan tertentu bisa memicu serangan jantung. Ini bisa jadi penyebab kematiannya. Lalu bagaimana?

"BPA?"

Jantungku rasanya mau copot. Ini sudah lewat tengah malam dan aku di kantor sendirian. Lalu tiba-tiba ada yang muncul di sebelahku seperti hantu. Dalam kondisi ini wajar jika hormon Adrenalinku meningkat. Hampir saja aku meninjunya.

"Bisa tidak kalau mengetuk dulu?!"

Berteriak itu adalah reaksi lanjutan dari meningkatnya adrenalin.

"Sudah. Tiga kali."

Aku menatapnya. Dalam kegelapan yang hanya ada pencahayaan dari layar komputer wajah itu terlihat seperti manekin. Dia tidak tertawa atau apapun itu seperti reaksi orang biasanya saat berhasil membuatku kaget karena takut. Senyum geli juga tidak. Jadi bisa kusimpulkan kalau dia tidak sengaja melakukannya. Itu membuat rasa kesalku sedikit berkurang.

"Delapan puluh persen BPA. Kau mau menjelaskannya padaku?" dia melihat lagi ke arah komputer. Namun kedua mataku justru tertuju pada minuman kaleng di atas meja. Sepertinya masih hangat dan cukup membuatku ingin minum. Aku baru sadar kalau belum makan apapun sejak pukul enam sore.

Detektif muda itu menatapku lagi. Mungkin karena aku tak kunjung memberikan jawaban. Lalu berlih pada sesuatu yang sedang kulihat. Tak lama tangannya meraih minuman tersebut dan membukanya. Ia menyodorkannya padaku setelahnya. "Aku sudah berusaha membuatnya tetap hangat saat kesini. Jadi maaf jika masih tidak berhasil. Cuacanya sangat dingin diluar.

Tentu saja. Bulan apa ini? Jam berapa sekarang?

Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Kemudian setelah membiarkanku menikmati minuman ini sebentar, dia kembali serius—atau dari tadi dia memang hanya punya satu ekspresi saja. Tangannya menarik sebuah kursi dan mulai memposisikan duduknya disebelahku.

"Apa zat ini ada hubungannya dengan kematian korban?"

Matanya membuatku kembali terjaga. Atau mungkin juga karena minumannya. "BPA dulu sering digunakan untuk membuat plastik. Banyak produk makanan dan minuman yang wadahnya mengandung zat ini. Namun sudah dilarang sekarang."

"Apa zat ini biasa digunakan untuk membuat kertas juga?"

"Ya. Kandungan ini digunakan untuk membuat kertas tahan panas. Kertas koran, tisu toilet atau kertas tiket dan struk belanjaan. Jadi pastikan bahan-bahan itu tidak kau gunakan untuk menaruh makanan. Sebuah studi pernah menyebutkan bahwa dosis kecil BPA dapat menyebabkan serangan jantung mendadak."

Wajahnya terlihat kecewa, "Korban punya riwayat penyakit jantung. Jadi mungkin ini tidak akan ada artinya untuk penyidikan."

"Detektif Park, kau belum melihatnya dari sudut pandang lain. Aku yakin kau juga merasakan sesuatu saat memberikan foto-foto itu padaku. Korban memiliki riwayat penyakit jantung dan selalu membawa obatnya. Jika seseorang memiliki riwayat kesehatan seperti itu dia akan waspada dengan rasa sakitnya karena satu atau dua kali sudah pernah ia rasakan. Jadi ketika penderita merasakan tanda-tandanya, ia masih bisa menolong dirinya sendiri. Jadi kesimpulannya—"

"Seseorang mencegah anak ini untuk menolong dirinya sendiri."

Aku tersenyum padanya. "Selamat detektif Park Jimin, mulai hari ini kau resmi menangani kasus pembunuhan seorang siswa di perpustakaan."


19 Januari 2018, Divisi Unit Kejahatan Berat Kepolisian Seoul, 09.00 KST

Setelah memberikan presentasi untuk hasil laboratorium barak bukti kepada seluruh tim penyidik, aku hanya duduk di lobi kantor polisi. Dingin dan lapar adalah teman setia sejak beberapa jam lalu. Setelah menganalisis barang bukti dengan kurun waktu sesingkat-singkatnya, aku baru merasa lelah. Sofa di ruang kerjaku adalah saksi bagaimana pulasnya tidurku dini hari tadi. Detektif Park memilih untuk langsung pulang setelah sebelumnya mentraktirku makan malam—yang terlambat.

Penyidikan untuk kasus siswa yang tewas di perpustakaan, secara resmi dibuka. Semua orang begitu bersemangat. Bahkan profesor Kim memberikan selamat padaku karena hari pertama yang begitu spektakuler, katanya.

Bertanya kenapa aku masih ada di kantor polisi dan bukan di rumah sakit? Itu karena aku belum sempat berpamitan dengan detektif Park. Iya… hanya itu alasannya. Dia menghilang entah kemana setelah presentasiku tadi. Berpamitan dan memberikan semangat untuk kasusnya. Karena setelah bertanya sana-sini, aku baru tahu kalau kasus ini merupakan kasus Detektif Park yang pertama. Rupanya orang itu juga belum lama diangkat menjadi seorang detektif. Dan yang mengesankan, orang pertama yang menyadari adanya kejanggalan dari kematian korban adalah dia sendiri.

Aku tidak begitu suka dengan orang yang pintar dalam segala hal, karena akan membuatku terlihat bodoh. Tapi aku sangat tertarik dengan orang-orang yang jenius dalam bidangnya. Mereka akan lebih berguna karena selalu memulainya dari hal-hal yang kecil dan tersistem.

"Kim Namjoon… kau masih disini?"

Leherku sakit sekali karena harus menoleh tiba-tiba. Namun itu tidak berarti apa-apa karena akhirnya orang yang sedari tadi kucari kini ada di depan mata. "Aku mencarimu."

"Mencariku? Apa ada hal yang belum kau sampaikan?"

"Ya. Ada."

Aku hampir tertawa melihat wajahnya yang langsung berubah saaaangat serius. "Selamat untuk kasus pertamamu."

Dia memang tidak tersenyum lebar. Namun aku bisa melihat rasa terima kasih sekaligus semangat yang membara dari wajahnya.

"Setelah kasus ini selesai, aku akan mentraktirmu minum." Ujarnya sebelum berbalik dan meninggalkanku berdiri mematung.

Ya ampun, Park Jimin, apa yang harus aku lakukan padamu mulai sekarang?


21 Januari 2017, 10.00 KST

Seperti yang kuduga. Mungkin keluarga korban akan lebih memilih untuk percaya dengan kematian anak mereka dinyatakan sebagai kecelakaan. Namun dari sudut pandang korban, hal ini akan sangat tidak adil. Setidaknya itu yang kupelajari saat masih menjadi mahasiswa kedokteran. Hal-hal yang bersifat sentimetal bahkan menjurus kepada sesuatu yang klenik bisa dijadikan alasan mengapa hukum harus terus menggali kebenarannya.

Aku sempat berbicara dengan Park Jimin di tengah-tengah tugasnya dalam melakukan penyidikan untuk meringkus si pelaku. Jo Inha, teman sekelas Ho Insu—sekaligus pacar, terlihat bersama dengan korban sebelum ia ditemukan tewas. Dalam rekaman kamera pengawas sekolah keduanya terlihat sedang bertengkar. Gadis itu cukup mengenal posisi kamera pengawas karena malam saat kejadian ia memilih tempat yang tidak bisa dijangkau cctv. Begitu pula ketika keluar dari perpustakaan.

Namun sepandai-pandainya menghindar, gadis itu tetap lah siswa SMA. Di era modern saat ini, kamera pengawas adalah benda yang mudah sekali dipasang dimanapun. Salah satu black box mobil milik sekolah merekamnya keluar dari pintu gerbang sambil berlari ketakutan. Entah bagaimana mereka berdua bisa luput dari pengawasan penjaga sekolah yang berpatroli, yang jelas sidik jari terakhir di permukaan sampul buku merupakan milik Jo Inha. Gadis itu tidak melawan saat diringkus di rumahnya.

"Dia sama sekali tidak mau menjawab pertanyaan. Seolah mulutnya dipasang perekat kuat."

Begitulah komentar Jimin saat menceritakan kondisi terakhir dari tersangka. Aku hanya bisa mengatakan untuk menyerahkan interogasi kepada psikiater anak, mengingat gadis itu masih terhitung anak di bawah umur. Ada perlindungan khusus kepada tersangka anak-anak dalam hukum negara.

Aku menawarkan diri untuk membantu menganalisa bukti lain yang bisa menjelaskan motif pembunuhan tersebut. Jangan tanya alasanku mengapa jadi ikut terobsesi dengan kasus ini. Hanya saja… yah… aku tidak suka melihat Jimin uring-uringan. Rasanya mengganggu. Tidak tahu sejak kapan kami jadi seperti ini, yang jelas sejak hari dimana kami mendeklarasikan bahwa anak SMA itu dibunuh, aku dan Jimin sudah menanggalkan panggilan 'dokter' dan 'detektif'. Tidak peduli siapa yang lebih tua dan siapa yang lebih muda, kami mulai menggunakan bahasa informal satu sama lain.

Jangan meledekku karena mudah bersimpati ataupun dekat kepada seorang Park Jimin. Ini mungkin bukan romansa, tapi tidak ada yang tahu jika pertemuanku dengannya mungkin akan membawa perubahan besar dalam hidupku.


22 Januari 2017, Gangnam Distrik 14.00 KST

Matahari bersinar cukup terik siang ini. Terkadang jadi menimbulkan sengatan aneh dalam cuaca dingin bulan Januari. Tidak banyak orang lalu lalang dalam cuaca yang seperti ini. Walaupun akhir pekan, sebagian besar orang mungkin hanya menghabiskan waktu di rumah mereka yang hangat ataupun memenuhi tempat sauna dengan handuk dikepala mereka. Hal itu mungkin juga akan kulakukan jika saja kepalaku tidak sedang dipenuhi berbagai macam hal.

Siang ini Jimin tidak menjawab telepon dan hanya mengirimkan pesan kalau dirinya sedang tidak bisa diganggu. Aku menebak tentu dia masih saja dipusingkan dengan kasus siswa SMA itu. Lantaran merupakan kasusnya yang pertama sejak diangkat menjadi seorang detektif, Jimin pasti sangat ingin menyelesaikan kasus ini dengan baik. Dan karena ini juga kasus pertamaku, aku juga ikut pusing.

Aku duduk di salah satu halte bus tedekat tanpa berniat untuk menaiki alat transportasi tersebut. Pikiranku terkunci, seolah otak ini membeku akibat udara dingin.

Sepuluh menit berlalu. Seorang siswi dengan masih berseragam sekolah duduk tidak jauh dari tempatku. Jika ada seorang siswa yang masih memakai seragam di akhir pekan, aku pastikan dia adalah siswa tingkat akhir yang masih harus menerima pelajaran tambahan. Aku sedikit melirik. Pakaian gadis itu sedikit terlihat ketat untuk ukuran anak sekolah. Badannya yang kurus jadi terlihat jelas karena dia membuat baju seragam itu menempel sesuai dengan ukuran tubuhnya. Hanya memakai hodie berbulu warna merah dan penutup kuping serta sarung tangan. Kakinya yang kecil hanya dilindungi dengan kaos kaki panjang yang tidak cukup tebal. Kuharap dia tidak kedinginan dengan fashion seperti itu. Sepatu kets pendek yang memperlihatkan tonjolan mata kakinya bergerak maju mundur seperti tengah menggali lantai beraspal.

Nada dering sebuah ponsel gadis itu menyadarkanku dari lamunan.

Anak itu terlihat ragu untuk menjawab panggilan tersebut. Sehingga butuh sekitar lima detik untuk akhirnya menekan tombol jawab.

"Jangan telepon aku lagi, Pak. Aku sudah mengatakan semuanya di kantor polisi tadi. Aku tidak tahu kemana Daeho setelah itu. Kami hanya pergi membeli obat dan aku langsung berpisah di jalan karena harus kembali ke sekolah."

Kenapa gadis ini terlibat dengan polisi?

"Kubilang aku tidak tahu! Aku tidak tahu apa-apa!"

Teriakan itu mengakhiri pembicaraannya di telepon yang entah dengan siapa. Dan secara bersamaan sebuah bus datang dan berhenti di hadapan kami. Gadis itu buru-buru memasukkan ponselnya dan berlari untuk naik bus.

Kemudian aku yang selalu lemah terhadap insting, akhirnya mengikuti siswi tersebut dengan tujuan yang masih belum jelas.

Sebelum naik aku sempat menghapal nomor bus ini. Bus dengan nomor 247. Tujuan bus ini adalah distrik Eunpyeong, Mapo, Yeong deungpo, dan Guro. Sejak datang ke Seoul aku memang belum sempat untuk mengelilingi kota besar ini. Salahkan surat rekomendasi yang terlalu cepat disetujui. Aku jadi benar-benar tak bisa menikmati perjalan. Mungkin keputusan untuk mengikuti gadis berseragam itu bukan ide yang buruk. Aku jadi bisa jalan-jalan.

Baru satu halte terlewati. Ketika bus ini berhenti di depan taman kota, ada satu penumpang yang naik. Seorang pelajar lagi. Dan lagi-lagi masih memakai pakaian seragam. Berbeda dengan siswi tadi yang kuperkirakan masih duduk di bangku SMP, kali ini adalah pelajar SMA. Anak itu berjalan ke arah kami—ke arah gadis yang sedang kuikuti ini, kemudian duduk di sebelahnya.

Aku tahu saat insting yang menuntunku untuk bergerak, pasti ada hal menarik yang akan segera terjadi.

"Ketemu."

Anak SMA itu berkata dengan suara khas pemuda yang baru mencapai akhil baligh. Aku memutuskan untuk mengawasi mereka secara penuh dan menguping sebisa mungkin sambil bersandar di jendela.

"Kau sudah mengatakan yang semua yang kusuruh kan?"

"Aku sudah menuruti perkataanmu. Jadi jangan ganggu aku lagi!"

Suaranya melengking. Hal ini pasti akan membuat siswa SMA itu panik. Seperti yang sudah aku perkirakan, dia pasti akan melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. Untuk itu aku langsung menutup mata dan membuka mulut seolah sedang tidur pulas.

"Kau mau mati ya? Jangan berisik! Memang aku mau memperkosamu?"

Bisikan itu terdengar panik. Jika sudah begitu berarti si anak SMA sudah yakin tidak ada yang memperhatikan pembicaraan mereka. Kesempatan itu kugunakan untuk membuka mata perlahan.

"Memangnya kau tidak mau mengetahui keadaan Daeho? Kau melakukan ini untuk menyelamatkannya kan?"

Terisak. Gadis itu mulai menangis. "Daeho sudah mati!" cicitnya.

Kedua mataku langsung membelalak. Wah, pembicaraan pelajar jaman sekarang kenapa bisa begitu mengerikan?

"Tahu darimana kau?!"

"Aku melihatnya sendiri. Kakak itu yang membunuhnya, kemudian membunuh pacarnya karena ketahuan."

Aku benar-benar mau muntah. Apa sih yang mereka bicarakan? Kenapa menyeramkan sekali?

"Kalian menculik Daeho dan kakak itu mendorongnya ke sungai. Lalu pacar kakak itu datang dan ingin melaporkan ke polisi. Tapi sekarang pacar kakak itu sudah mati. Aku mendengarnya dari teman-teman di Hareum. Kakak itu pasti sudah membunuh pacarnya."

Tunggu… apa ini sebuah kebetulan? Jika iya, terlalu mudah. Aku seperti mendapatkan jackpot.

"Jo Inha tidak mendorongnya. Mereka berkelahi karena Daeho tidak mau mengembalikan uang yang dipinjamnya. Itu kecelakaan."

Jika membaca pesan ini, kumohon segera datang ke Mapo.

Itulah pesan yang kukirim kepada Jimin, dan berharap dia segera membacanya.


22 Januari 2017, Distrik Mapo, 19.25 KST

"Bagaimana?"

Jimin menatapku setelah memutus panggilan teleponnya. "Tim SAR sudah mulai melakukan pencarian. Berdoa saja mereka bisa menemukan sesuatu—tubuh anak itu."

Aku membutuhkan waktu tiga jam sebelum akhirnya Jimin menelepon. Saat itu kupikir dia akan kesal karena aku hanya memberinya pesan yang sangat singkat dan misterius, kemudian mengabaikannya. Jimin memang kesal, tapi dia tetap menjemputku di Mapo.

Setelah menceritakan semua yang kualami dengan menguntit dua pelajar tadi, dia langsung menelepon markas kepolisian dan melaporkan jika anak hilang yang saat itu diberitakan sudah ditemukan keberadaannya—walaupun cukup tragis untuk mengatakan bahwa mereka harus menyelam sungai Han untuk 'menjemput' anak itu.

Kedua pelajar tadi juga sudah diamankan dan saat ini sedang dalam pemeriksaan. Sudah dapat dipastikan hal ini akan menjadi trauma yang mendalam bagi mereka di masa depan.

"Namjoon. Apa kau tahu? Yang kau lakukan hari ini sungguh luar biasa…"

"Aku tahu. Aku memang cukup keren kan?"

"Luar biasa berbahaya."

Aku terdiam dengan perkataannya. Kedua mata yang selalu bisa menyihirku ini sekarang sedang bersinar penuh amarah dan kekhawatiran. Tapi kenapa?

"Mereka hanya pelajar." Jawabku bingung.

"Hal itulah yang sampai saat ini masih aku syukuri. Mereka hanya dua pelajar di bawah umur, bukannya sindikat pengedar narkoba ataupun pembunuh berantai. Kau tahu apa yang akan terjadi jika kau mengikuti orang-orang seperti itu, bukan? Setidaknya kau pasti akan masuk ke dalam daftar orang hilang."

Aku tersenyum mendengar perkataannya, walaupun dalam hati sempat gemetar karena memikirkan kemungkinan buruk itu bisa menimpa diriku hari ini. "Kau mencemaskanku?—ah!"

Terlalu cepat, hingga aku tidak bisa menghindar. Jimin memukul kepalaku. Mungkin maksudnya bukan untuk menyakiti. Tapi percayalah, rasanya sakit sekali. Aku penasaran bagaimana bisa tangan putih itu mampu menghasilkan tenaga yang besar.

Dia tak bicara apapun. Hanya menatapku dengan kesal.

"Hei, tenanglah. Aku baik-baik saja sekarang. Kali ini katakan aku memang beruntung. Beruntung karena akhirnya bisa menemukan motif pembunuhan untuk kasusumu, beruntung karena sudah menemukan anak hilang—walaupun tidak bisa dikatakan keberuntungan sih. Lalu beruntung karena aku hanya menunggumu kurang dari dua puluh empat jam untuk membaca pesanku."

"Orang bodoh."

Aku mendengar suaranya yang pelan. Kemudian melanjutkan, "Judi games online yang marak di kota saat ini membuat anak-anak pelajar semakin mengerikan. Kuharap pemerintah punya solusi untuk mengatasi masalah ini."

"Kenapa kau menuntut pemerintah? Sudah jelas perusahaan pembuatan games itulah yang memberikan racun kepada generasi muda sekarang." Jimin menyerah untuk menatapku dan mulai menyandarkan punggungnya. Matanya terpejam tanda betapa lelah hari-harinya sebelum ini.

"Jangan seperti itu. Banyak anak laki-laki, suami, ataupun orang tua yang mungkin menggantungkan hidupnya di perusahaan games tersebut. Mereka pasti punya visi misi baik pada awal peluncuran produknya. Hanya saja eksekusi dan cara penerimaan masyarakat lah yang salah. Itu sebabnya memutuskan untuk menjadi orang tua bukan hal yang bisa diputuskan ketika kau jatuh cinta dan ingin hidup bersama dengan seseorang."

Jimin masih diam. Tapi aku tahu dia membenarkan.

"Jo Inha, Ho Insu, Cha Daeho dan Mimi adalah contoh betapa buruk pengawasan orang tua terhadap anak-anaknya."

Lama kami berdiam diri untuk menikmati secangkir kopi yang sudah hampir dingin. Memandangi suasana restoran kecil yang memang tidak terlalu ramai karena cuaca di luar sana sangat dingin sehingga orang malas untuk keluar rumah. Aku banyak melihat kasus saat masih dalam masa magang. Namun tidak pernah melibatkan emosi. Dan untuk pertama kali ini lah semuanya berubah. Mungkin untuk kedepannya aku tidak bisa sepenuhnya percaya ataupun menyalahkan logika. Mungkin kali ini aku menemukan kebenaran dari perkataan seseorang. 'Setiap pekerjaan memiliki nyawa. Jika pendekatan melalui ilmu pengetahuan berujung dengan jalan buntu, berdoalah, karena mungkin Tuhan akan menuntunmu'.

Mungkin memiliki Tuhan bukan ide yang bagus bagiku untuk saat ini. Tapi aku akan mulai percaya pada takdir.

Takdir yang menuntunku untuk memecahkan sebuah kasus di hari pertamaku bekerja.

Juga…

Takdir yang mempertemukan aku dengan Park Jimin.

"Jimin…"

"Hm?"

"Aku punya firasat kalau aku akan melihat wajah cemberutmu lagi nanti."

"Bicara apa kau ini?"

"Kau mungkin akan sering mengabaikan teleponku karena sibuk. Tapi jangan pernah mengabaikan pesan yang kukirim." Karena kita tak tahu akan sampai kapan takdir bisa membiarkan aku untuk bisa terus melihat wajahmu.

-Harian Seoul selesai-