Petang itu, usai mengerjakan pekerjaan rumah bersama di rumah Taeyong. Sicheng melangkah dengan gaya berjalannya yang biasa. Yang pelan dengan wajahnya yang terlihat polos.

Dan sesekali mata tajam milik lelaki Jepang yang berjalan beriringan dengannya akan menoleh. Ekspresinya datar, bahkan dia meliriknya dengan sangat sinis.

Tapi, ini Dong Sicheng. Si pemuda polos dan lugu yang tak peduli apapun.

"Oh! Aku akan lewat sini." Sicheng berhenti di pertigaan, menujuk jalan di belakang tubuhnya. Ia tersenyum ke arah Yuta.

"Kalau begitu- sampai ketemu besok di Sekolah."

Baru saja kaki Sicheng ingin memutar dan menarik langkah, Yuta bergumam pelan.

"Tunggu."

Lantas, Sicheng menunda pergerakannya. Mendongak sedikit, menatap Yuta dengan latar belakang mentari yang pudar.

"Ada apa?"

Yuta merogoh isi tasnya, mencari-cari suatu. Sepersekian detik, mata Sicheng memerhatikan Yuta dengan saksama.

Hingga barang yang dicari Nakamoto Yuta akhirnya ditemukan. Itu lembaran kertas yang banyak dan disodorkannya kepada Sicheng.

"Apa ini?" tanya Sicheng sembari menerima lembaran kertas yang diberikan Yuta.

Yuta berdeham. "Itu pr matematikaku. Sudah kutambah dengan penjelasnya di bagian kotak-kotak. Kau bisa menyalinnya." Kedua netra Yuta segera menghindari kontak mata yang sejurus dilakukan Sicheng.

Sicheng terhenyak beberapa saat. "A-aku ingat kertas ini. Saat di SMP dulu."

Kepala Sicheng yang tadi menunduk kini mendongak, menatap Yuta.

"Aku selalu ingin tahu siapa yang melakukannya. Dan ternyata- itu kau Nakamoto Yuta. Tapi, kenapa?"

Setelah bersusah payah menahan kontak mata, akhirnya Yuta menunduk dan melihat ke arah Sicheng.

"Kau tidak pernah berusaha menyelesaikan masalahmu sendiri. Jadi, aku ingin membuatmu sadar. Namun, sepertinya tidak bisa ya?"

Tidak bisa bertahan lebih lama. Yuta segera pamit. "Kalau begitu. Aku duluan."

Kedua penumpu Yuta segera menjauhi titik di mana Sicheng berdiri.

"Hati-hati Nakamoto Yuta. Aku senang orang itu dirimu, aku berharap kau selalu bisa untuk diandalkan." Sicheng mengangkat tangannya, melambai pada punggung Yuta.

Satu dengusan yang diikuti lekungan senyum terpatri pada wajah Yuta.

Ada dua rasa pada masing-masing raga. Satu rasa sadar akan sebuah kasih yang baru menjadi benih dan sebuah rasa di mana bunga yang kuncup akan segera mengembang.

Yuta tak akan melupakan petang itu. Nampaknya, Sicheng pun begitu.