Chapter 1: New Life

.

.

.

Flashback..

Normal's POV..

"Sakura-chan, kau akan menikah denganku!" seru suara cempreng dari seorang bocah berambut pirang pada seorang bocah perempuan di dekatnya. Bocah perempuan itu tak memperhatikannya sampai bocah laki-laki itu mengatakan hal yang belum seharusnya anak kecil katakan.

Sakura, nama bocah perempuan itu, mengerutkan alisnya tanda dia tidak menyukai apa yang baru saja dikatakan teman pirangnya itu. Dia yang sedari tadi asik bermain dengan bonekanya menatap bocah laki-laki itu dengan garang khas anak-anak, dan berkata, "Aku tidak mau menikah denganmu, Naruto! Aku hanya ingin menikah dengan Sasuke."

Bocah bernama Naruto itu sedikit kecewa dengan jawaban dari Sakura. Namun baginya penolakkan seperti ini bukan yang pertama, seperti sudah terbiasa. Dengan gaya bak seorang pria dewasa ia berjalan mendekati Sakura, jalannya sedikit terhambat karena hakama kebesaran yang dia kenakan. "Tidak. Kau hanya boleh menikah denganku!"

"Mengapa kau begitu memaksa sih?" Sakura mendengus kesal mendengar pemaksaan dari Naruto, dia letakkan tangannya dipinggang berpose menantang di hadapan Naruto.

"Karena kelak aku akan menjadi seorang daimyo dan kau adalah seorang putri bangsawan. Seorang putri hanya pantas bersanding dengan seorang daimyo." jawab Naruto mantap.

"Kau hanya mengada-ada. Lagipula kau tidak tampan dan tidak pandai bermain pedang, tidak seperti Sasuke." Sakura menjulurkan lidahnya pada Naruto dan kemudian melanjutkan bermain dengan bonekanya.

"Kalau begitu tunggu saja, aku akan giat berlatih. Dan akan kupastikan akulah yang akan melidungimu Sakura-chan, hehe.. ini janji seumur hidupku!" bocah itu berkata bangga sambil memamerkan giginya yang tidak rata.

Sakura memperhatikan Naruto sejenak, dan kemudian membuang muka setelah mendengar pernyataan dari Naruto itu. Pipinya sedikit merona, "Te-terserah kau saja, baka!"

Normal"s POV end..

Flashback end..

.

.

.

~Our Footsteps~

by: Kuroi River

Disclaimer: Naruto belong to Masashi Kishimoto

Warning: AU, OOC, rate M here, lack description, Typos everywhere and many more mistake..

.

.

.

Aku berjalan gelisah, memutari kamarku tak menghiraukan tatapan pelayanku yang memandangku khawatir. Jariku saling bertaut, meremas. Hampir sepanjang hari aku melakukan hal seperti ini. Jika aku bosan aku akan keluar dari kamarku dan berjalan menuju taman belakang lalu kembali ke kamar. Begitu seterusnya. Meskipun para pelayanku terus saja memintaku untuk beristirahat sejenak namun aku tak bisa. Apa saja akan kulakukan asal bisa mengenyahkan kekhawatiranku terhadapnya. Satu-satunya yang bisa membuatku tenang hanyalah kabar dari salah satu pengawalnya. Namun hampir tengah malam aku tak mendengar kabar apapun. Bukankah Sasuke sudah berjanji padaku untuk mengabarkan secepatnya bila terjadi sesuatu? Apa yang sedang dia lakukan sebenarnya?

"Sakura-sama, anda sebaiknya beristirahat. Ini sudah larut malam." pinta salah satu pelayanku.

"Diamlah!" aku membentaknya begitu saja. Walaupun aku tak bermaksud seperti itu, namun untuk saat ini kepalaku tak bisa berpikir jernih.

Terdengar derap kaki berlari menuju kamarku. Seorang ajudan, aku dapat melihatnya dari dalam kamarku, siluetnya tercetak jelas duduk membungkukkan badan. "Bagaimana?"

"Tuan akan kembali secepatnya. Tuan menang, Sakura-sama." jawab ajudan itu dari luar kamar.

Aku bernapas lega. Bersyukur semuanya baik-baik saja. Aku tersenyum kepada para pelayanku. Dan mereka pun sepertinya juga berlega hati mendengar tuannya baik-baik saja.

Tak berapa lama rombongan yang kutunggu-tunggu akhirnya datang. Sorak sorai prajurit membahana meneriakkan kemenangan mereka. Sepertinya setelah ini mereka akan mengadakan pesta kemenangan.

Aku tersenyum menyambut kedatangan Naruto. Jubah perang samurai Naruto bergemerincing saat dia berjalan memasuki kastil utama. Di belakangnya Sasuke berjalan mengikutinya. Mukanya tampak kelelahan setelah berperang namun terlihat baik-baik saja. "Anda sudah pulang, Naruto-sama. Aku senang anda baik-baik saja."

Naruto hanya melihatku, tak menunjukkan ekspresi apapun. Lalu mengangguk "Ya.". Kemudian berlalu begitu saja.

Aku terdiam. Ini bukan kali pertama dia bersikap seperti itu.

"Naruto hanya kelelahan." Sasuke menepuk pundakku membuyarkan lamunanku. Sebenarnya hal seperti ini sangat dilarang mengingat statusku dan Sasuke sangat berbeda terlebih aku sudah menjadi seorang istri. Namun jika hanya ada kami berdua, aku ingin dia memperlakukanku seperti biasanya, selayaknya teman dekat, seperti dulu.. Terlebih untuk saat-saat seperti ini, aku benar-benar membutuhkan sosok seorang teman.

Aku mengangguk. "Aku akan menemuinya di kamar. Terima kasih, Sasuke." Aku berjalan meninggalkan Sasuke menuju kamar Naruto.

.

.

.

"Sebaiknya kau segera beristirahat Naruto. Seharian kau berperang, pasti sangat melelahkan," aku kini berada di kamar Naruto, memintanya untuk beristirahat. Karena apa yang kulihat kini Naruto sedang sibuk melihat kertas-kertas laporan yang ada di mejanya.

"Aku akan segera beristirahat, aku hanya perlu memeriksanya sebentar sebelum ku serahkan ini pada Sasuke besok pagi." jawab Naruto tanpa mengalihkan pandangannya pada berkas-berkas itu. "Jadi kau tak perlu menemaniku, kembalilah ke kamarmu."

Aku terdiam. Belum beranjak dari tempatku untuk menuruti permintaan Naruto. "Naruto, aku tahu kau mungkin sedang kelelahan tapi bisakah malam ini kita melakukannya?"

Naruto berhenti seketika dari perkerjaanya. Menoleh kepadaku.

Dengan sedikit merona aku melanjutkan, "Sudah sangat lama semenjak kita menikah, dan kau belum menyentuhku. Aku bukan ingin memaksa tapi kebetulan hari ini aku dalam keadaan subur jadi mungkin kita bisa-"

"Kau benar. Sebaiknya aku segera beristirahat. Aku bisa melanjutkan ini besok." Naruto memotong begitu saja kata-kata dariku. Dia beranjak menuju biliknya dan berganti dengan kimono tidurnya.

"Naruto?"

"Aku minta kau kembali ke kamarmu, sekarang!" Pinta Naruto begitu dingin terdengar di telingaku.

Aku segera beranjak dari kamarnya. Selalu seperti ini, menolakku untuk berhubungan meskipun kami sudah menikah lebih dari 30 hari. Setelah menikah dengannya aku merasakan Naruto begitu dingin. Dan entah sejak kapan Naruto yang dulu kukenal berubah. Aku ingin dia kembali menjadi Naruto yang ceria dan selalu menjahiliku. Aku ingin kau segera kembali pada dirimu yang dulu, Naruto.

.

.

.

"Aku berterima kasih atas kerja keras kalian. Tanpa kalian semua kita tak akan bisa menaklukan klan Zabuza. Kali ini mereka tidak akan berbuat keonaran lagi di sekitar desa Shiso. Aku sudah meminta Kiba untuk berpatroli di sana untuk sementara waktu menjaga jika ada sisa dari klan Zabuza yang memberontak." Naruto memulai pembicaraan pada para Samurai yang sudah mendukungnya dalam perang kemarin.

Aku mendengarkannya dari dalam kamarku. Perang kemarin adalah peraang perdana yang Naruto ikuti. Bukan berarti dia tidak pernah ikut berperang. Namun perang kemarin adalah perang yang dia pimpin sendiri untuk pertama kali. Maka dari itu aku begitu mencemaskannya.

Aku teringat saat kecil dulu dia selalu merengek pada ayahnya-mendiang Minato Namikaze-untuk ikut berperang. Namun ayahnya selalu melarangnya. Tentu saja, karena pada saat itu Naruto belum genap berumur 10 tahun tapi sudah berkeinginan untuk ikut berperang. Laki-laki baru boleh diijinkan untuk ikut berperang bila dia telah berumur 13 tahun. Tapi Naruto tak peduli soal itu. Maka dari itu, dia akan selalu mengendap-endap masuk ke ruang penyimpanan jubah perang ayahnya dan memakai jubah itu meskipun tahu bahwa bocah berumur 10 tahun tak akan kuat memakai itu yang beratnya saja bekilo-kilo. Naruto terjatuh karena tak kuat menahan beban jubah itu dan membuat seluruh benda-benda yang ada disekitarnya berserakan.

Dan yang terjadi setelahnya adalah Naruto tak akan bisa menghindari amarah dari ibunya. Naruto selalu tak bisa sberkutik jika mendapat omelan dari ibunya. Setelah berjam-jam mendapat ceramah bagaimana seharunya seorang pria bersikap dan semacamnya dari ibunya, Naruto akan mendatangiku, mengunjungi kediamanku yang bisa dibilang lumayan jauh. Meskipun dia tahu aku tak pernah mengharapkannya. Dia akan merengek, mengadukan semuanya padaku. Aku hampir bosan melihat tingkahnya yang seperti itu. Maka dari itu aku tak pernah menghiraukannya.

Aku tersenyum mengingat semua itu. Melihat seorang Naruto yang dulunya selalu merajuk kini telah tumbuh menjadi seorang daimyo dan Samurai yang disegani. Namun terkadang aku merindukan hal-hal seperti itu. Naruto yang selalu datang padaku menceritakan banyak hal meskipun hal itu tak penting sekalipun.

"Sakura-sama, pertemuannya telah selesai. Bukankah anda ingin menemui Naruto-sama?" pelayanku membuyarkan lamunanku.

"Ya. Segera bersiap"

Aku keluar dari kamarku bermaksud menuju balai pertemuan, namun sudah tak ada orang di sana.

"Jika anda mencari Naruto-sama, dia baru saja pergi." Ujar Sasuke yang masih ada di sekitar itu.

"Ke mana dia pergi, Sasuke?"

"Ke tempat biasa."

"Ah, terima kasih. Aku akan ke sana, sampai nanti." Aku segera beranjak meninggalkan balai pertemuan itu dan menuju tempat yang di maksud oleh Sasuke.

.

.

.

Tempat itu adalah makam orang tua Naruto. Dan benar saja Naruto ada di sana sedang berdoa untuk kedua orang tuanya. Aku hanya memperhatikannya dari jauh, belum berniat untuk mendekatinya. Ku tatap punggung pria itu, begitu lebar dan kokoh. Namun di balik semua itu ada kerapuhan. Aku tahu dengan pasti apa yang menimpa kedua orang tua Naruto. Dan bagaiman dia melewati semua itu.

Terjadi huru-hara besar 3 tahun yang lalu. Pada saat itu Naruto sedang tidak ada di kediaman, dia sedang menjadi utusan dari pihak klan Uzumaki untuk menjalin aliansi dengan klan Suna. Aku medengar desas-desus bahwa ada pemberontak di dalam klan Uzumaki, mereka yang tidak menyukai klan Uzumaki dipimipin oleh Minato. Memang Minato bukanlah pewaris sah dari klan Uzumaki, namun istrinyalah yang seorang Uzumaki, Kushina Uzumaki. Tapi karena masalah kesehatan, Kushina tak bisa memimpin klan Uzumaki yang begitu besar. Dan hanya Kushinalah satu-satunya keturunan langsung dan sah dari daimyo terdahulu. Terlebih dengan adanya anggapan bahwa wanita tak boleh menjadi pemimpin sebuah klan. Maka dari itu Minatolah yang menjadi pemimpin klan ini sebagaimana dia adalah suami dari Kushina Uzumaki. Namun bukan berarti masalah selesai, ada banyak pertentangan di dalamnya. Baru setelah kelahiran seorang pewaris sah dalam klan, seorang anak laki-laki, pertentangan sedikit mereda. Para tetua beranggapan segera setelah Naruto mencapai usia dewasa dia akan dinobatkan menjadi daimyo pewaris klan Uzumaki selanjutnya.

Beberapa tahun kemudian setelah Naruto beranjak dewasa, pihak yang mengakui kepimpinan Minato tak bersedia untuk menobatkan Naruto segera. Mereka beranggapan bahwa Minato masih cukup cakap untuk memimpin klan ini. Ia menilai Naruto masih harus belajar hingga bisa melampaui Minato. Bagi Naruto itu bukan masalah baginya karena ia begitu mengagumi ayahnya itu. Namun berbeda dengan para tetua yang meminta dikembalikannya klan Uzumaki pada pewaris sahnya, seorang yang berdarah Uzumaki. Mereka terus menekan Minato dan pengikutnya. Hal ini membuat geram Minato dan menitahkan siapa saja menentangnya akan dihukum sesuai aturan. Sikap tegas Minato membuat orang-orang yang menentangnya mundur perlahan. Tapi bukan berarti mereka lenyap.

Mereka merencanakan kudeta dan membunuh Minato dan Kushina yang pada saat itu berada di kastil. Mendengar hal itu, Naruto segera bergegas untuk kembali ke Konohagakure. Namun sekembalinya dia ke sana yang dia hadapi hanyalah jasad kedua orang tuanya.

Aku tak sanggup jika harus membayangkannya. Aku sangat menyukai Minato-sama dan Kushina-sama. Mereka sudah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri. Meninggal dengan cara seperti itu pasti membuat Naruto begitu hancur. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Naruto saat ini. Apakah dirinya menaruh dendam pada pembunuh orang tuanya atau tidak. Aku harap Naruto bisa melupakan semua itu dan lebih berfokus pada memimpin klan Uzumaki yang ditinggalkan orang tuanya. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu saja.

"Sakura? Sedang apa kau di sini?" Naruto menyadari kehadiranku.

Ku usap air mataku dan tersenyum padanya. "Ku dengar kau mengunjungi makam kedua orang tuamu, jadi aku memutuskan untuk datang berkunjung juga."

"Aku hanya melakukan kunjungan seperti biasa."

"Pasti kau melaporkan tentang kemenangan perang pertamamu, ya?" aku berjalan mendekati nisan mengulum senyum mencoba menggodanya. "Seperti anak kecil saja."

Tak ada reaksi darinya.

Aku mengambil dupa yang ada di sana dan membakarnya.

"Aku sudah selesai. Silahkan kau lanjutkan. Aku pergi dulu."

"Temani aku sebentar.."

Naruto menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku.

"Ku mohon.."

Naruto tak bergeming maupun beranjak dari sana. Aku mengasumsikan bahwa ia memenuhi permintaanku. Aku sedikit tersenyum.

Aku melanjutkan doaku pada kedua orang tua Naruto. Saat berdoa aku masih merasakan Naruto berada di sana memandangiku. Walaupun aku tak tahu sepertia apa cara ia memandang. Tapi aku seolah merasakan bahwa tatapannya masih sama seperti dulu saat dia masih dengan polosnya meneriakkan bahwa dia menyukaiku kepada setiap orang.

"Yak, aku selesai." Aku membalikkan badanku tersenyum pada Naruto yang masih ada disana. "Ayo kita pulang"

Kudahuli langkahku, karena aku tahu Naruto takkan mau berjalan berdampingan denganku. Kami melangkah sendiri-sendiri. Naruto yang sedari tadi diam tiba-tiba saja bersuara, "Apa yang kau doakan?"

Aku terkesiap, menghentikan langkahku, lalu berbalik berhadapan dengan Naruto. "Rahasia." Aku menjulurkan lidahku lalu bergegas pergi meninggalkan Naruto yang terkejut dengan reaksiku.

Sambil tersenyum aku mengingat kembali apa yang kukatakan dihadapan Nisan kedua orang tua Naruto, 'Paman, Bibi, aku berjanji akan mengembalikan senyum Naruto seperti dulu.'

.

to be continued..

.

.

.

Author's note:

Yeah rate M akhirnya muncul! Dan kali ini multichap. ahaha.. agak malu sebenernya mengakui kalo sebenernya aku ini juga suka dengan fic ber-rate M. *blushing* Belum tahu apakah fic ini bakalan ada Lemon atau ngga, jika pun ada mungkin hanya Lime aja. Yang jelas aku memberi rate M pada fic ini karena kekerasan dan kata-kata yang kemungkin akan ada di dalam fic ini.

Ide fic ini aku dapat setelah menonton drama Jepang berjudul Nobunaga Concerto, dan sudah pasti setting cerita berkisaran pada jaman Sengoku. Namun dari segi cerita aku pastikan sama sekali berbeda. Kira-kira desain pakaian, latar dan sebagainya aku ambil dari situ, berhubung aku sendiri sangat lemah dalam hal deskripsi yang kemungkinan menjadikan setting ceritanya jadi tak berasa, jadi akan lebih mudah jika sudah ada yang pernah menontonnya.

Thx for reading.. Hope you like it! ^^