Chapter 1: Awal.
Dewa, Penyihir, Dan, Naruto?
Summary:
Akhir dari Perang Dunia Shinobi ke-Empat ternyata tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan Naruto. Sebagai ninja terakhir, dia berdiam diri menunggu ajal. Namun, tiga orang tidak dikenal menjanjikannya sesuatu.
Disclaimer:
Percy Jackson dan Olympian(Rick Riordan).
Harry Potter(J. K. Rowling).
Naruto(Masashi Kishimoto).
Adalah milik pembuatnya masing-masing.
Chapter 1
Awal
(Story Start.)
"Apa kau akan menerima tawaran kami, Naruto Uzumaki?"
Naruto lebih memilih diam, iris safirnya berputar memandang area tempat terjadinya peperangan paling bersejarah di Elemental Nation.
Perang Dunia Shinobi ke-4.
Selang beberapa menit, Naruto membuka mulutnya.
"Mengapa?"
"Hmm?"
"Mengapa kalian memberi tawaran itu pada orang asing semacam diriku?"
Satu dari tiga orang berjubah itu terkekeh, kemudian menjawab. "Disamping kekuatanmu yang melampaui batas manusia biasa." Dia melanjutkan. "Di dunia yang akan kau masuki nanti, ada seorang wanita, yang hidupnya hanya diisi menjaga perapian. Wanita ini menginginkan seorang anak, tapi tak bisa sebab Sumpah Perawan Abadi yang dipegang olehnya. Namun, anggap saja kami mempunyai solusi untuk membalas segala kesabaran dan kebaikan hatinya."
"Jadi sekali lagi, apa keputusanmu, Naruto Uzumaki? Apa kau mau menerima tawaran kami?" tanya orang berjubah dua.
"Bagaimana jika aku menolak?"
Orang jubah ketiga angkat bicara. "Kalau kau menolak, yah sudah. Kami takkan memaksamu. Tapi ketahuilah, era yang kau tahu akan hancur dan digantikan dengan era yang baru. Kau tinggal disini, eksistensimu akan lenyap. Jadi pikirkan kembali keputusanmu."
Dalam situasi seperti ini, Naruto membutuhkan saran partnernya.
'Kurama, bagaimana menurutmu?'
"Lebih baik terima menurutku. Dari sekian banyaknya shinobi baik disini. Kau yang pantas diberi kesempatan membuka lembaran baru. Lagipula, meski aku benci mengakuinya, semua chakra seluruh ninja perlahan masuk kedalam tubuhmu. Entah kau sadar atau tidak."
Naruto terkejut.
'Semua... chakra?'
"Yep. Jadi, selamat Naruto. Kau sekarang bukan lagi mortal, melainkan Dewa Shinobi. Rikudou-jiji pasti bangga padamu."
Si pemuda iris safir sweatdrop, mendengar fakta dirinya bukan lagi mortal.
'Tapi aku tidak pernah berkeinginan menjadi seperti ini, Kurama. Aku... Aku tak ingin menjadi Dewa.'
Kurama menggeram. "Aku berani bertaruh beberapa orang haus kekuatan ingin berada di posisimu. Contoh si Uchiha dan si Danzo itu. Cih, sekali pengkhianat tetap saja pengkhianat."
'Hah, kalau kau berpikir seperti itu. Baiklah.'
Menghela napas, Naruto menegakkan badan dan menatap lagi tiga orang berjubah di depannya.
"Aku... Terima tawaran kalian."
Ketiga orang berjubah itu saling membagi lirikan, sebelum menoleh kembali kepada Naruto.
"Pilihan yang bijak."
(Scene change.)
Terlihat dalam sebuah rumah minimalis di kota New York. Seorang wanita rambut auburn, iris mata hazel, mengenakan gaun warna putih. Sedang menyanyikan lagu "Nina Bobo" sambil menyusui bayi yang masih berusia lima belas bulan.
Wanita itu mengelus rambut pirang sang bayi, tersenyum ketika melihat iris safir si bayi menatapnya tanpa berkedip.
"Hestia."
Hestia memutar badannya, senyumannya melebar mengetahui siapa yang memanggil namanya.
"Poseidon."
Poseidon A.K.A. Dewa Laut Olympus. Memiliki penampilan pria berambut hitam dan beriris hijau laut. Mengenakan kemeja bertema tropis yang bercorak kelapa dan burung beo, celana pendek bermuda warna khaki, serta sendal kulit.
"Bagaimana keadaan Naruto?" kata Poseidon, memamerkan cengiran. "Aku kesini untuk menjenguk keponakan favoritku."
Hestia menaikkan alisnya. "Kau ingin menemui Naruto... Atau itu hanya alasan untuk kabur dari tugasmu?"
Poseidon menggaruk bagian belakang kepalanya, tertawa gugup. "Dua-duanya mungkin?"
"Amphitrite akan kecewa dengan sikap malasmu itu." kata Hestia, menggelengkan kepalanya.
Poseidon pucat kemudian.
"Tolong jangan menga—ehem, memberitahunya maksudku. Ya, saudari? Tolong?"
"Baiklah," ujar Hestia, membuat saudara tengahnya itu tersenyum seleganya.
Dia menambahkan. "Tapi jangan salahkan aku kalau kau tidur di sofa dikemudian hari."
Poseidon sweatdrop. Mengangguk pasrah.
Naruto kecil berseri, menampilkan rahangnya yang belum terisi gigi. Dia melebarkan kedua tangannya, berusaha menggapai sang Raja Atlantis.
Hestia yang sadar, hanya tersenyum dan menyerahkan 'anak'nya pada Poseidon, yang dengan gembira menerimanya.
Selagi Naruto 'kecil' memainkan tiap-tiap jari Poseidon. Sang Bapak Para Kuda membuka mulutnya.
"Zeus tahu."
Bagai disambar petir, Hestia melebarkan matanya. "A-Apa? B-Bagaimana bisa?"
Poseidon memasang ekspresi kesal. "Hypnos. Dewa Tidur. Dan Morpheus. Dewa Mimpi. Memberitahu saudara paranoidku ketika Naruto berada dalam daerah kekuasaan mereka. Pada awalnya dua dewa minor itu tidak terlalu peduli, tapi dikarenakan aura dewa yang menguar dari jiwa Naruto. Mereka tanpa pikir panjang memberitahukan info tersebut kepada Zeus."
Hestia tampak panik. Dan Poseidon sadar akan hal itu.
"Menarik. Tubuhmu kembali menyusut."
'Jangan ingatkan aku!'
Naruto Uzumaki. Anak Hokage ke-Empat dan reinkarnasi dari putera termuda Rikudou Sennin. Telah dilahirkan kembali melalui rahim sang Olympian terakhir.
Kurama memutar bola matanya. "Aku mencoba bercanda, Naruto."
'Tapi jangan menyangkut diriku juga!'
"Terserah."
Poseidon kaget mendengar tangisan keponakannya, kemudian memeluknya seerat mungkin.
"Tenang, Naruto, yah. Tenang. Paman ada disini untuk menjagamu."
'Mulutku belum bisa mengeluarkan kata-kata rupanya.'
"Melihat kondisimu yang sekarang, tidak terlalu aneh."
"Kau tidak perlu khawatir tentang keselamatan Naruto, Hestia," kata Poseidon, menyadari kekhawatiran Dewi Perapian, "Hades dan aku sepakat untuk mengirim Naruto ke Dunia Lintas. Satu-satunya tempat dimana Zeus tidak mempunyai kekuasaan."
"Tapi dia masih kecil!" seru Hestia.
"Hecate akan menemani Naruto," tambah Poseidon, "jadi kau tidak perlu risau dengan keadaannya."
Hestia menggigit bibir bawahnya, tak menyukai fakta bahwa dirinya sebentar lagi akan berpisah dengan putera kandungnya.
Tiba-tiba kabut terbentuk di dekat Poseidon, setelah menghilang, terlihat seorang wanita rambut hitam bergelombang, iris mata onyx, mengenakan gaun warna merah.
"Nona Hestia," kata wanita itu, raut wajahnya kelihatan panik, "Raja Olympus berniat datang kemari. Nona Hera saat ini tengah menahannya. Dimana Tuan Naruto sekarang?"
Poseidon menyerahkan Naruto, yang ditutupi selimut bergambar matahari, pada wanita tersebut.
"Hecate," kata Poseidon, membiarkan raut tegas tertempel di muka, "tolong jaga dan rawatlah Naruto. Turunkan seluruh pengetahuan yang kau tahu padanya. Ajari dia. Bimbing dia. Pastikan sebelum umurnya yang delapan belas dia sudah menguasai kemampuan dewanya."
"Aku, Hecate. Sang Dewi Sihir." ujar Hecate. "Bersumpah di atas Sungai Styx aku akan menjalankan permintaan sang Dewa Laut."
Petir menyambar di luar rumah, pertanda sumpah itu telah disegel dan tak bisa ditarik.
Poseidon tersenyum lembut, menaruh tangan kanannya di atas kepala Naruto. Kemudian, sebuah hologram hijau berbentuk trisula, bersinar dan berputar, lalu memudar seketika.
"Poseidon," ujar Hestia, terharu, "terima kasih."
"Tidak perlu berterima kasih," sahut sang Pengguncang Bumi, "kuberi Naruto berkat untuk bernafas di air, berbicara dengan hewan laut dan makhluk ciptaanku, terakhir, penyembuhan melalui air."
"Apa ada kata-kata terakhir yang mau kau sampaikan, Nona Hestia?" tanya Hecate.
Hestia mengangguk. Mengamati wajah anaknya sebelum berkata.
"Nak, ketika aku mengandungmu. Itu merupakan pengalaman paling terindah dalam kehidupan abadiku. Meski Tiga Moirai memperingatkanku tentang eksistensimu, saat itu yang kupikirkan hanyalah menggendongmu dan menjagamu sampai kau tertidur."
Sang Dewi Perapian mengelus pipi bayi Naruto. "Aku akan merindukan dengkuranmu. Tangisanmu. Mengganti pakaianmu. Memandikanmu. Menyanyikanmu lagu. Dan bermain bersamamu."
"Tolong maafkan ibu, yang takkan mungkin membesarkanmu. Melihatmu tumbuh, menjadi dewa berkepribadian mulia.
"Aku tak peduli kau akan membenciku. Aku tak ambil pusing jika kau marah padaku. Kau berhak melampiaskan emosimu kepadaku. Tapi ketahuilah, Nak, ibu akan selalu mencintaimu."
Hestia mengecup kening bayi Naruto, tetes demi tetes air mata jatuh dari iris hazelnya.
"Aku menyayangimu... Pusaran kecilku."
Sekujur badan Hecate diselimuti kabut, yang kemudian lenyap tanpa meninggalkan sisa.
Tepat setelah itu, kilatan listrik menabrak permukaan lantai, menunjukkan seorang pria mengenakan setelan jas biru putih, rambut putih, iris abu-abu badai. Di tangan kanannya, terdapat silinder logam dengan kedua ujungnya sama tajam, mendengung dengan energi.
"DIMANA DIA?!" raung pria itu.
Poseidon menyipitkan bola matanya, sebuah trisula logam muncul di lengannya. "Datang kerumah saudari tertua kita tanpa mengetuk pintu. Apa kau tidak punya sopan santun, eh, Zeus?"
"Poseidon," ujar Zeus, memelototi saudara tengahnya, "kau... Begitu. Jadi KAU bersengkongkol dengan HESTIA untuk menjatuhkanku dari tahtaku."
"TARIK KATA-KATAMU DEWA TEATER!" teriak Poseidon dengan amarah, senjata kebanggaannya menyala warna biru, "KAU DAN PENYAKIT PARANOIDMU ITU HANYA MEMBAWA MASALAH PADA SEMUA ORANG!"
"KAU BERANI MENANTANGKU, POSEIDON?!" bentak sang Dewa Langit, Petir Asalinya menghasilkan kilatan kecil.
"Ya!" Poseidon mendesis. "Dan kau harusnya tahu, Dik, bukan aku seorang yang akan melindungi Hestia dari amarah tak jelasmu itu."
"Setuju."
Zeus, Poseidon, dan Hestia yang menangis tersedu-sedu, menoleh dan melihat pria berambut hitam legam, iris obsidian, mengenakan jubah sutra hitam.
Disamping si pria, nampak wanita berambut hitam setengah punggung, iris hijau daun, mengenakan gaun didominasi warna hijau.
"Hades. Demeter." gumam Zeus.
Dengan pandangan fokus pada adik termudanya, Hades berujar. "Demeter. Bawa Hestia pergi dari sini."
"Jangan memberitahu apa yang akan aku lakukan, Penculik!"
Mengabaikan raut kesal sang Dewa Dunia Bawah, Demeter menghampiri Hestia. Dia memegang pundaknya kemudian keduanya menghilang ditelan lingkaran sihir.
"2 lawan 1," kata Hades tenang, bola matanya memicing, "apa kau masih berani mengacungkan petir asalimu kearah dua kakakmu ini, Dik?"
Zeus bergemuruh. Iris abu-abunya memandang tajam Poseidon dan Hades. Sang Tiga Besar terdiam, menunggu masing-masing pihak melancarkan serangan masing-masing.
Zeus menghilangkan petir asalinya, melempar lototan terakhir lalu berucap. "Tidak peduli secerdas apapun kalian, bocah itu akan aku temukan lalu kulempar dia ke Tartarus."
Kilatan listrik menyambar Zeus, membawanya pergi dari rumah itu.
Poseidon dan Hades mengendurkan penjagaannya. Sang Dewa Kekayaan mendekati sang Pembawa Badai.
"Aku asumsikan Hecate telah kabur membawa Naruto?" tanyanya.
Poseidon mengangguk. "Ya. Dia aman sekarang." Seringai tercipta di wajahnya. "Sebelum kabur, aku telah menghadiahinya berkat dari laut. Kau?"
Hades memasang ekspresi datar, tapi yang terlihat dia sedang menahan seringainya. "Kau lupa, kalau Hecate itu berada dalam daerah domainku."
Seringai Poseidon luntur, dia menyilangkan kedua lengannya di depan dada. Berkata dengan nada kekanakan. "Bah, paling yang kau titipkan hanya berkat mengendalikan orang mati. Apa gunanya itu?"
"Kau salah besar, Dik," balas Hades, membiarkan senyum sombong terbentuk di mukanya, "aku memberikan keponakan kita dua buah senjata yang terbuat dari besi Stygian. Serta satu 'benda' yang dapat menutupinya dari 'kematian'."
"..." Poseidon menggumamkan sesuatu seperti "tantangan ini belum berakhir" atau "keponakanku pasti memilihku sebagai paman favoritnya".
"Hanya karena 'Naruto' memiliki arti 'pusaran' bukan berarti dia berada dalam jangkauanmu." ujar Hades, terlihat angkuh.
Poseidon berkedip. "Sejak kapan kau tahu budaya Jepang?"
Hades mendengus, menjawab dengan nada jijik.
"...Apollo."
"Ah, semuanya jelas kalau begitu."
(Scene change.)
Kabut terkumpul di depan sebuah pintu rumah di negara Inggris, dan Hecate keluar dari kabut tersebut. Dia masuk ke dalam bangunan itu, sebelum menurunkan bayi Naruto ke suatu kasur yang dindingnya di cat warna-warni.
"Tuan Naruto, tunggulah disini. Aku akan siapkan makan malam terlebih dahulu."
Hecate beranjak pergi, meninggalkan bayi Naruto yang menguap.
BZZT!
'Suara apa itu, Dattebayo?'
"Chakra dan sihir tidak dapat menyatu sepertinya." kata Kurama, mengamati jari lengannya yang hitam bagai dibakar api. "Aku coba sentuh segel dan jariku terkena setrum."
'Sihir? Apa itu sihir?'
"Jangan bilang kau tidak memperhatikan percakapan Hestia selama ini."
'Berada di pelukannya.. Cukup membuatku cepat tertidur.'
"...Apa aku baru saja mendengar gaya bicaramu mirip seperti si gadis Hyuuga itu?"
'Aku anggap kau tidak baru saja mengatakan hal itu.'
"Singkatnya, sihir dan chakra itu sama. Hanya intinya yang beda."
'Tunggu, apa itu berarti semua teknik ninjaku tidak dapat kugunakan lagi?'
"Belum tentu, Naruto," tukas Kurama, "fakta aku masih berada dalam tubuhmu beserta chakraku membuktikan kau masih bisa menggunakan chakra. Ini hanya analisisku, namun, sepertinya ada suatu macam penghalang yang menutup koneksi chakraku dengan dirimu. Karena penghalang itu, sihir dengan leluasa merambati bagian terdalam tubuhmu."
'Syukurlah. Jadi, kau dapat menghancurkan penghalang itu kan?'
"Tidak semudah itu," kata si Bijuu terakhir, "karena sihir dan chakra hampir sama. Aku takut jika dipaksakan maka sihirmu akan pudar untuk selamanya."
'Bukankah itu bagus. Maksudku, chakraku akan kembali jika energi sihirku tiada bukan?'
"Bagaimana jika begini. Saat seorang ninja kehabisan chakra, maka apa yang terjadi padanya?"
'Dia... Kehilangan nyawanya. Benar?'
"Lalu kau ganti chakra dengan sihir, dan dalam kasusmu sihirmu yang lenyap."
'Aku mati?!'
"Itu yang kumaksud."
Hecate kembali dengan mangkuk berisi bubur khusus bayi. Dia mendekati bayi Naruto kemudian mengangkatnya.
"Aku tidak tahu harus iri atau kasihan dengan keadaanmu."
'Lucu, Kurama. Lucu.'
(Scene change - Enam Tahun Kemudian.)
"ANEH!"
Harry Potter terbangun dari tidurnya, mendengar suara berat Vernon memanggil namanya. Mengucek pelan matanya, dia kemudian mengambil kacamatanya sebelum bangkit dari lemari tidurnya.
Dia berlari menuju ruang tengah, melihat pamannya melempar lototan tajam kepadanya.
"Ya, paman?"
"Mana sarapanku?"
Harry terbelalak. "M-Maaf aku baru bangun paman. Akan segera aku sia—"
"MAAF KATAMU?!" teriak Vernon. Dia mengambil sebuah sabuk dan menyabetkannya pada Harry. Ia terus-menerus melakukan aksi itu.
Setelah puas, Vernon mendorong Harry, membuatnya terjatuh ke lantai.
"Cepat buatkan aku sarapan. Lain kali jangan lupa lagi. MENGERTI ANEH?!"
"B-Baik, paman."
"Bagus."
Dudley tertawa dari balik tangga. Dia memandang Harry sambil menjulurkan lidahnya padanya.
Harry meringis menahan sakit, perlahan dia berdiri dan berjalan kearah dapur.
Ketika Vernon bekerja, Dudley main ke rumah temannya, dan Petunia gosip di teras tetangga. Harry melangkah keluar dengan niat menghirup udara segar, kemudian, iris hijaunya tak sengaja menangkap seorang remaja rambut pirang, usianya kira-kira sembilan, warna mata mengikuti langit, serta tiga garis macam kumis kucing di masing-masing pipinya.
"Sepi juga daerah ini," kata si remaja pirang, menggaruk bagian belakang kepalanya, "ngomong-ngomong. Letak super-market dimana lagi?"
Didorong dengan keberanian dan rasa iba, Harry mulai menghampiri remaja asing itu.
"Hai." sapanya canggung.
Remaja tersebut menatap Harry, dan Harry merasa bobot tak kasat mata mendarat di pundaknya.
Rasa kaget menyelimuti Harry, melihat si remaja asing mengembangkan cengiran di wajahnya.
"Hai!" ujarnya riang. "Apa kau penghuni lokasi ini?"
"Yah, begitulah," kata Harry, sedikit gugup.
"Aku berpikir kita belum berkenalan, benar?" si remaja pirang mengulurkan lengannya ke depan. Cengirannya masih setia di tempat. "Naruto Uzumaki. Baru pindah kemari tiga hari yang lalu."
Harry tersenyum, dengan senang hati membalas uluran lengan Naruto.
"Harry, Harry Potter."
(Scene change.)
"Aku tak percaya ramen juga tidak ada disini."
Naruto dan Harry, baru saja keluar dari satu-satunya super-market yang ada di Privet Drive. Naruto memiliki ekspresi kesal, sementara Harry ekspresi bingung.
"Menyesal aku tidak menyiapkan persediaan sebelum pindah."
"Umm, Naruto," panggil Harry.
"Ya, Harry?"
"Ramen itu apa?"
Naruto menghentikan ocehannya, kepalanya bergeser menghadap Harry, bola matanya membulat.
Harry mengamati tangan Naruto melayang ke arahnya, dia berpikir dirinya akan dipukul. Jadi, matanya dia tutup rapat-rapat. Bersiap menerima perih.
"Kau tidak tahu apa itu ramen?"
Dan Harry merasakan tangan Naruto berada di bahunya. Dia mulai membuka mata dan menghembuskan napas, lega menyelimuti hatinya.
"Y-Ya."
Yang Harry tahu selanjutnya, adalah Naruto bersujud di atas jalan sambil mengatakan hal-hal seperti "Oh, Dewa Ramen, tolong maafkan umatmu yang telah melupakanmu" atau "Tunjukkan rahmatmu Dewa Ramen, pada pemujamu yang paling taat ini".
Harry tidak tahu kenapa, tapi perutnya terasa sakit. Bukan sakit kena hajar, namun sakit karena menahan tawa.
Di Dursley, dia selalu menahan emosinya. Baik marah, sedih, gembira maupun senang. Ketahuan Vernon, badannya nyeri. Ketahuan Dudley, wajahnya dijadikan samsak tinju oleh sepupunya.
Beberapa menit kemudian, dia melepaskan tawanya. Harry tidak bisa berpikir jernih, yang ia inginkan saat ini, hanyalah tertawa sekencang-kencangnya.
Naruto terdiam, dia mendirikan tubuh sambil menatap Harry. Menunggu si anak kacamata berhenti menertawakannya.
Harry merasa malu, menyadari kalau dirinya tidaklah sendirian.
"M-Maaf, Naruto. Aku tidak bermaksud—"
"Kau tertawa, untuk apa minta maaf?"
Harry berkedip. "H-Huh?"
Naruto berseri, tidak ada raut marah atau benci di mukanya. Hanya murni kesenangan. "Kau tahu, menahan perasaan itu tidaklah baik. Dan juga, kau sekarang jauh lebih santai dibandingkan tadi. Lehermu tidak terasa sakit lagi kan?"
'Eh?'
Penjagaan Harry longgar mendengarkan hal itu. Saat dirinya terbawa emosi, lehernya memang selalu tegang tanpa dipinta.
"Aku sadar akan keadaanmu," ujar Naruto, "saat kita berjalan bersama. Kau seakan-akan menjaga jarak denganku. Seolah kau takut padaku. Boleh aku tahu kenapa kau berperilaku seperti itu?"
Keheningan melanda suasana, angin berhembus menggerakkan rambut beda warna mereka.
Harry menggigit bibir bawahnya. Dia tidak tahu apa Naruto itu orang yang dapat dipercaya menjaga rahasia. Mereka baru saja bertemu selama beberapa jam. Dan karena masa lalunya jauh dari kata bahagia, dia memiliki persoalan mengenai kepercayaan.
Naruto membuka mulutnya. "Baik, lebih baik kita segera membeli pendingin kerongkongan."
"Apa?"
"Pendingin kerongkongan." ulang Naruto. "Oh, jangan bilang kau tidak tahu. Es lemon maksudku. Mungkin es krim dapat termasuk dalam kategori tersebut."
"K-Kupikir kau—"
"Harry," Naruto memotong perkataannya, "aku tidak masalah jika kau tak ingin membicarakan yang tadi. Kalau itu mengandung sesuatu yang sensitif, yah, aku takkan memaksamu untuk mengungkapkannya. Lagipula, tiap orang punya rahasianya masing-masing, bukan?"
Harry melongo. Tak habis pikir dirinya akan bertemu dengan orang sepengertian Naruto.
"Lalat awas masuk."
Harry reflek menutup mulutnya.
Naruto nyengir. "Pemberhentian berikutnya; dua buah es lemon di hari yang tengah panas."
"Tapi aku tidak punya uang," kata Harry.
Naruto menggelengkan kepalanya. "Aku yang mengajak, tentu saja aku yang traktir."
"Tapi kau tidak perlu—"
"Taksi!"
(Scene change.)
"Tadi enak, kan?"
"Kau benar."
"Dan kau tambah karena sangat haus."
"M-Maaf Naruto. Lain kali uangmu—"
"Santai saja, Harry. Kantungku lumayan tebal jadi kau tidak perlu membayar balik."
Setelah menghabiskan lima gelas plastik es lemon, mereka menaiki taksi dan berhenti di Jalan Magnolia.
Harry mengajak Naruto pergi ke salah satu tempat kesukaannya; yaitu taman bermain.
Mereka duduk di ayunan, main dan bersenang-senang bersama.
"Doronganku jauh lebih tinggi, Harry," kata Naruto, menyeringai, "coba kalahkan aku kalau kau bisa."
"Lihat baik-baik," ujar Harry, yang tidak mau kalah dari si remaja pirang.
Dia memberi ayunan dorongan selama mungkin, kemudian, ayunannya meluncur. Meluncur lebih tinggi.
"WUHU!"
"Kau kalah dari anak kecil."
"Lihat aku Naruto! Sekarang siapa yang dorongannya jauh lebih tinggi?"
'Ini hanya permainan, Kurama. Jangan dibawa serius.'
Naruto bertepuk tangan. "Oke Harry. Kau menang."
"Mau taruh dimana mukaku ketika Ekor-Satu tahu soal ini?"
Harry berseri. Merasa puas dengan pujian yang Naruto berikan.
'Err, Kurama. Kau tahu kan kalau—'
"Itu masalahnya. Pasti dia sedang menertawaiku habis-habisan di Heaven."
'...Oh.'
"Hey, aneh!"
Perasaan senang Harry memudar saat suara Dudley terdengar di belakangnya.
"Ngapain kau disini? Bukankah kau harusnya ada di dapur masak untuk makan malam?" kata Dudley. Dia menyeringai. "Oh, kau mulai lalai yah dari tugasmu. Biar kuberitahu daddy baru tahu rasa kau."
Naruto menyipitkan matanya. Melihat dari gerak-gerik karakter 'Dudley' ini cukup membuatnya tahu kalau dia itu bukanlah orang baik-baik.
'Memasak? Dapur? Makan malam?'
"Kedengarannya seperti pembantu bocah ini."
Dudley tampaknya menyadari kehadiran Naruto, berujar. "Oh, kau orang pindahan itu yah. Untuk apa kau dekat-dekat dengan si aneh ini? Ayolah, tidak ada gunanya berteman dengannya. Kau hanya akan tertular keanehannya kau tahu, demi kesehatanmu, menjauhlah darinya."
Harry menundukkan wajahnya, menyadari dirinya sebentar lagi akan kehilangan temannya. Lagi.
Setiap kali dia memiliki teman, pasti sepupunya akan menceritakan rumor mengenai keanehannya pada temannya itu. Dan diakhir, temannya itu akan jijik padanya dan mengolok-oloknya dari jauh.
Harry mencuri-curi pandang pada Naruto, penasaran dengan reaksinya. Dia melebarkan matanya kemudian.
"Aku berterima kasih atas nasehatnya," kata Naruto, tenang, "tapi maaf. Mau Harry aneh ataupun gila. Dia tetap sahabatku. Aku tidak akan menjauhinya hanya karena hal sepele seperti itu."
Harry merasa tersentuh dengan perkataan si remaja pirang, dia tidak pernah menyangka dirinya akhirnya bertemu dengan seseorang yang masih mau menerimanya sebagai teman.
Dudley menyipitkan matanya, tangan dia retakkan perlahan. "Kalau begitu. Aku tidak punya pilihan lain. Daddy bilang padaku untuk memukul orang yang telah tertular si aneh. Jangan khawatir, setelah ini selesai, kaukan berterima kasih padaku."
'Berterima kasih bokongku!'
"Tidak!"
Harry berdiri di antara Dudley dan Naruto, iris hijaunya berkilat dalam keberanian. "Jangan sentuh temanku, Dudley. Atau kau—"
"Atau apa aneh?" Dudley tertawa. "Dengan tubuh kecilmu itu, mungkin tenagamu hanya cukup untuk menampar lalat-lalat kecil yang ada di gudang."
Naruto berkedip melihat aksi yang Harry tunjukkan, membiarkan cengiran terbentuk di wajahnya. Dia lompat dari ayunan, menaruh lengannya di bahu si anak kacamata.
Saat Harry menoleh, Naruto berkata. "Aku kagum Harry. Kau mampu bersikap seperti singa dihadapan seekor 'babi' yang tak tahu arti kata idiot."
Harry memerah sementara Dudley menggeram.
'Chouji sepuluh kali lipat lebih baik daripada "babi" di depanku ini.'
"Aku bosan berdiam diri tanpa ada tontonan. Harap si "babi" ini ototnya besar dibanding nyalinya."
'Kita lihat, Kurama. Kita lihat.'
Dudley meraung sambil berlari ke arah Naruto, tangannya dia arahkan ke mukanya.
Naruto menarik Harry ke belakang, dia menangkap tangan Dudley kemudian ia pelintir sekerasnya.
Crack!
"ARGGGH!"
"Dengar, bung," ujar Naruto datar, "melayangkan pukulan sama saja meminta perang padaku. Berani melakukan hal yang sama, kakimu berikutnya. Mengerti?"
"M-Mengerti."
Naruto menambahkan tenaganya. "Aku tidak dengar."
"MENGERTI!"
"Bagus."
Naruto melepas cengkramannya. Dudley menatapnya dengan takut, sebelum berputar dan berlari sambil menangis.
Harry mematung. Memandang takjub pada teman pirangnya itu.
Naruto menoleh ke arahnya, berseri. "Ingat pesanku, Harry. Jangan pernah takut... Memperjuangkan apa yang menurutmu benar."
Harry berkedip, mengangguk dengan senyum lebar di wajahnya.
"Um."
(Scene change - Delapan Tahun Kemudian.)
Hogwarts. Merupakan sekolah sihir ternama yang dikepalai Albus Dumbledore. Penyihir, yang konon, ditakuti oleh Kau-Tahu-Siapa itu sendiri.
Di Aula Besar, para siswa dari keempat Asrama saling berbisik gembira satu sama lain. Sudah satu minggu sejak kepala sekolah mereka mengumumkan bahwa Hogwarts akan menjadi tuan rumah Turnamen Triwizard. Yaitu turnamen yang diadakan untuk mempererat antara sekolah sihir.
Mengingat turnamen ini merupakan salah satu ajang paling bergengsi di Dunia Sihir. Penyihir dari seluruh dunia akan datang untuk menonton tiga juara bersaing dalam tiga tugas berbeda yang ditetapkan sepanjang tahun.
Aula Besar dihias untuk menghormati mereka yang akan segera menjadi tamu, dengan puncak setiap Asrama dipajang spanduk-spanduk yang tergantung di langit. Dan, meja-mejanya dibuat banyak sehingga dua sekolah lain dapat duduk ketika sampai.
Turnamen sebenarnya tidak akan dimulai sampai bulan depan. Saat ketiga juara terpilih, semua siswa yang datang dari sekolah mereka akan tinggal di tahun ajaran dan mengikuti pelajaran bersama para murid dari Hogwarts.
Di meja Gryffindor, Hermione menceritakan sesuatu pada Ron, tentang turnamen dua puluh tahun lalu yang katanya ada juara yang terbunuh ketika menjalankan tugas. Sementara Harry, dia sedang mengamati seorang gadis berambut pirang pucat dengan iris mata biru laut, yang tempat duduknya berada di meja Slytherin. Secara kebetulan, gadis itu melirik ke arahnya.
Gadis itu mengulas senyum tipis, sebelum kembali menghadap teman semejanya, melewatkan rona tipis di pipi Harry.
"Harry!"
Harry terbangun dari lamunannya. "Ya, Hermione?"
Hermione menaikkan alisnya. "Aku lihat, matamu dari tadi hanya terfokus pada meja Slytherin. Peduli untuk membagi?"
Ron mendengus. "Palingan Harry sedang menyusun rencana untuk membalas perbuatan Malfoy di kelas Ramuan dua hari yang lalu."
"Aku menanyai Harry, Ron, kenapa kau yang menjawab?" ujar Hermione, sedikit kesal.
"Hey, tapi itu memang benar, bukan?" kata Ron, menatap Harry dengan harapan temannya itu mau membantunya.
"Ya."
"Tuh dengar."
Hermione merengut. Tapi tak menjawab apa-apa.
Harry mendongkak melihat burung hantunya, Hedwig, datang membawa sebuah surat di pergelangan kakinya.
"Prak!"
"Hedwig," ujar Harry, mengambil surat tersebut sebelum memberikannya tiga buah bacon.
"Surat dari siapa itu, Harry?" tanya Ron.
Harry tidak menjawab, dia hanya menarik tali yang mengikat surat kemudian membacanya.
Yo, Harry.
Kau kembali ke sekolahmu dan kau tidak mengucapkan salam perpisahan padaku? Hatiku sakit kau tahu.
Harry tersenyum.
Ngomong-ngomong, Dudley selalu ingin menghajarku tiap kali ada kesempatan. Dia bahkan mengajak teman-teman besarnya untuk mengeroyokku. Lalu, kau tahu hasilnya, benar? Aku takut rumah sakit marah padaku karena menambah pekerjaan mereka.
Ngomong-ngomong, Dudley selalu ingin menghajarku tiap kali dia punya kesempatan. Gilanya lagi, sepupumu itu bahkan mengajak teman-teman besarnya untuk mengeroyokku. Lalu, kau tahu hasilnya, benar? Aku takut rumah sakit marah padaku karena menambah pekerjaan mereka.
Tawa lepas dari mulut Harry, membuat rekan Gryffindornya menaruh perhatian terhadapnya.
Oh, bibi Alice menitipkan salam kau tahu. Dan juga, dia bilang kau harus menjaga asupan makanmu. Empat sehat lima sempurna atau apalah itu. Hah, padahal ramen saja cukup sehat menurutku.
Diam-diam, Hermione dan Ron ikut membaca surat tersebut.
Sialnya, bibi Alice tahu letak persembunyian ramenku. Disita lagi.
Harry merasakan simpati saat ini.
Selagi menulis surat ini, aku sedang mempersiapkan segala sesuatu yang kubutuhkan untuk sekolah baruku. Belajar privateku untungnya sudah selesai.
Oh ya, jangan terkejut sekolah apa yang kumasuki nanti.
Naruto.
"Naruto?" ulang Hermione, "siapa dia, Harry? Temanmu?"
Setelah digulung, Harry memasukkan surat itu ke jubahnya. Dia mengangguk. "Naruto merupakan teman pertamaku di dunia muggle, bisa dibilang, dia adalah sosok saudara yang selalu kuinginkan."
"Kenapa kau tidak memberitahu kita soal itu, Harry?" tanya Ron, nadanya terdengar marah. "Aku pikir kita ini teman."
Hermione menggeram. "Oh, tutup mulutmu, Ron! Setiap orang pasti memiliki rahasianya masing-masing. Lagipula, itu terserah Harry kalau dia mau atau tidak mau memberitahu kita soal kehidupan pribadinya."
"Tapi aku teman pertamanya sejak empat tahun di Hogwarts," rengek Ron, "seharusnya tidak aneh kalau aku berhak tahu."
"Naruto saja tidak pemaksa sepertimu, Ron," gumam Harry pelan.
Seluruh Asrama terdiam saat Filch berlari masuk melalui pintu ganda menuju Aula Besar, berwajah merah dan terengah-engah. Beberapa murid menahan tawa saat melihat celana Filch terjatuh ke lantai, memaksanya untuk menarik paksa celananya sebanyak... Tiga kali.
Ketika sampai di meja staff, dimana Dumbledore duduk bersama guru-guru lainnya. Filch berhenti sejenak untuk menarik napas, sebelum mencondongkan tubuhnya ke penyihir tua dan membisikkan sesuatu di telinganya. Ketika kepala sekolah mengangguk, Filch berlari kembali ke pintu, berdiri menunggu dengan tangan di pegangan pintu.
Dengan anggukan dari Dumbledore, pria yang membungkuk itu membuka pintu. Setelah dia melakukan itu, sekelompok tiga puluh gadis terindah masuk ke Aula Besar dengan teratur, senyum menyilaukan terpoles di wajah mereka. Mereka semua mengenakan seragam biru dengan rok berhenti di atas lutut, serta topi kecil dengan warnanya senada.
Mereka sepertinya beraneka ragam usia, dengan yang termuda di depan dan sulung di belakang. Pemimpin kelompok itu, mungkin wanita terbesar yang pernah ada, dia bahkan lebih tinggi dari Rubeus Hagrid.
Wanita tersebut bernama Madame Maxime. Kepala akademi sihir Beauxbatons.
Mereka berhenti di tengah Aula, sebelum melepaskan desahan bernada yang menciptakan kupu-kupu asap terbang dari pakaian mereka. Kupu-kupu itu melayang di sekitar Aula selama beberapa saat, kemudian menghilang tanpa bekas.
Keempat siswa-siswi Asrama bertepuk tangan setelah melihat demonstrasi singkat itu. Sementara gadis-gadis Beauxbatons mengabaikan tepuk tangan itu, mereka terus berjalan sampai berhenti di depan meja guru Hogwarts. Dumbledore menyapa Madam Maxime, dan berbicara sebentar. Selesai, gadis-gadis Beauxbatons bergerak lalu berdiri di satu sisi meja Asrama.
Beberapa saat kemudian pintu dibuka lagi, kali ini sekelompok tiga puluh anak laki-laki berjalan masuk. Seperti gadis-gadis Beauxbatons, mereka semua mengenakan seragam yang serasi, kemeja lengan panjang merah yang dipadukan celana panjang. Tapi ada satu anak laki-laki yang lebih mencolok dari yang lainnya, yang memakai tambahan atribut berupa mantel bulu. Pemimpinnya, seorang pria jangkung dengan topi dan mantel bulu aneh yang menutupi sebagian besar tubuhnya dari pandangan.
Berbeda dengan perempuan Beauxbatons, yang menunggu ke tengah untuk penerimaan resminya, anak laki-laki Durmstrang memulainya saat mereka memasuki ruangan.
Anak laki-laki di ujung setiap baris menggedor tanah menggunakan tongkat logam ketika melangkah, menyebabkan percikan api muncul di tiap hantaman, dan bersamaan mereka bersiul. Saat mereka sampai di depan profesor mereka, mereka melepas 'Hmph!' dan dari belakang berjalan salah satu siswa dengan pipa logam berbagai jenis. Berbalik menghadap murid Hogwarts, dia meniup pipa tersebut dan sebuah bola api meluncur dari ujungnya, yang berubah menjadi naga, menderu ke arah mereka sebelum menghilang.
Sama seperti pemimpin sebelumnya, Dumbledore menyapa pria yang memimpin kelompok itu, yang bernama Igor Karkaroff.
Ketika siswa Durmstrang berdiri di sisi meja Asrama lain, para murid Hogwarts mengira semuanya telah selesai, tapi kenyataannya salah.
Pintu dibuka lagi, dan kali ini bukan satu kelompok yang masuk, melainkan dua orang remaja lelaki bertudung hitam.
Semua murid tiga sekolah kebingungan dengan kehadiran keduanya, bahkan pemimpin Beauxbatons dan Durmstrang pun tidak jauh beda dari mereka.
Namun, hanya Dumbledore yang menyambut dua orang berjubah dengan senyuman, kedua matanya mengkilap lebih lama dari biasanya, seakan dirinya sudah menduga kehadiran mereka.
"Selamat datang di Hogwarts," kata Dumbledore, mengejutkan yang lainnya, "aku berterima kasih karena kau berdua mau datang kembali ke sekolah."
"Dumbledore, apa maksudnya ini?" ujar Madame Maxime, sedikit bingung dan marah.
"Dumbledore, jangan bilang kau..." perkataan Karkaroff terhenti saat Dumbledore mengangkat tangannya.
"Akan kujelaskan nanti di kantorku, Madame, Karkaroff," katanya, sebelum pandangannya beralih pada dua orang berjubah di depannya.
"Sebelumnya, apa kalian tahu tradisi mengunjungi sekolah sihir lain harus melakukan sesuatu setelah memasuki pintu utama?"
Salah satu orang jubah berujar. "Maaf kepala sekolah Hogwarts. Kita melupakan hal itu."
Dumbledore mengangguk. "Silahkan laksanakan."
Orang jubah kesatu menyenggol orang jubah kedua. "Kau saja yang lakukan, Fox."
Orang jubah kedua, A.K.A Fox, membalas. "Beneran nih, Wolf?"
Harry mengerutkan kening, meskipun posisinya agak jauh, tapi suara Fox masih dapat didengar olehnya. Dan dia merasa, suaranya itu terdengar familiar di kupingnya.
"Sana buruan."
"Oke, kau yang pembukaan."
"Hm."
Tepat setelah mengatakan itu, Crow mengeluarkan tongkat sihirnya dari balik jubah, tinggi sebelas inci dan berwarna coklat gelap. Dia mengarahkan ujung tongkatnya pada Fox, berkata.
"Stupefy."
Sinar putih melesat bagai jet menuju dada Fox, mengirimnya terbang ke ujung Aula Besar, kemudian berhenti saat dia menabrak dinding. Ketika Fox mendarat ke bawah, dinding tersebut retak hingga membentuk simbol jaring laba-laba.
Wolf mendapati dirinya dikelilingi lautan pasang mata, dia tidak terlalu peduli dengan hal itu. Tongkat pribadinya ia taruh kembali ke tempat semula.
"Jangan salahkan aku," ucapnya tenang, "profesor bilang "melakukan sesuatu"nya wajib dekat pintu utama. Jadi aku gunakan Stupefy agar Fox dapat sampai lebih cepat. Toh, aku ragu dia terkena luka serius."
Aula Besar benar-benar sunyi setelah mendengar pernyataan, yang mungkin, logis tersebut. Para murid tiga sekolah terkejut dengan tindakan brutal Wolf ini. Mereka memandang agak takut orang jubah satu itu.
Profesor McGonagall, yang menjadi orang pertama yang mengatasi keterkejutannya, melempar tatapan marah pada Wolf, sebelum berdiri dari meja dan dengan cepat berlari ke arah Fox.
Belum setengah jalan, dia bersama dengan guru dan murid tiga sekolah terkejut mendengar Fox tertawa terbahak-bahak.
Bola mata Harry membulat, tawa yang didengar olehnya, persis dengan tawa teman semasa kecilnya.
'Tidak. Naruto itu Muggle. Dia juga tidak seperti Hermione yang memiliki minat terhadap sihir. Tapi, kenapa suaranya bisa sama persis dengan dia?'
Setelah reda, Fox menatap langit-langit untuk sebentar. Membersihkan debu yang menempel di jubahnya, badannya dia tegakkan kemudian.
Fox melempar cengiran pada Wolf. "Kau benar-benar niat sekali, eh, Wolf?"
Wolf mendengus. "Kau hanya butuh air untuk lukamu."
"Hey, jangan suka umbar-umbar rahasiaku."
Dengan jentikkan jari, tongkat dua belas inci berwarna hitam keluar dari lengan jubahnya dan mendarat di tangannya. Sebelum ada yang berkomentar, dia mengayunkan tongkatnya cepat dan ujung tongkatnya menyala dengan cahaya merah. Dalam sekejap, awan besar nan merah tercipta di atas kepalanya, dengan satu aliran seperti tali yang masih menghubungkannya dengan tongkat sihir. Fox menyentakkan tongkat dan asap mulai mereplika bentuk seekor binatang.
Rubah. Atau lebih tepatnya hanya kepala rubah. Dengan sepasang telinga mirip kelinci, dua buah bola api sebagai pengganti mata. Itu tampaknya mengamati ruangan sejenak, sebelum tanpa peringatan melesat ke arah atap dan mulai mengelilingi Aula Besar, jejak uap mengikuti di belakangnya.
Setelah mengelilingi ruangan dua kali, kepala rubah tanpa tubuh itu berbelok tajam dan menembus tanah, lalu terbang lagi ke langit-langit.
Si rubah mengganti haluan, itu mengincar pemantranya. Si rubah membuka mulutnya lebar-lebar, udara tiba-tiba bergetar dengan raungan yang tajam, lalu menutup mulutnya dan me"makan" Fox, hanya untuk meledak menghasilkan hembusan angin yang lumayan kencang.
Karena dorongan angin, tudung yang menutupi wajahnya terjungkal ke arah belakang.
Fox, yang diperkirakan pria dewasa, ternyata merupakan seorang remaja usia tujuh belas tahun. Dia memiliki rambut pirang acak-acakan, iris mata biru safir, tiga garis di pipi kanan dan kiri.
Harry langsung berdiri tegak.
"NARUTO!"
Naruto meliriknya dengan cengiran, mengabaikan reaksi terkejut keempat Asrama Hogwarts. Dia menegakkan badannya ke arah para pemimpin sekolah, membungkuk sebelum tegak kembali.
"Namaku, Naruto Uzumaki. Murid tidak resmi Hogwarts. Asal Asrama Gryffindor."
Wolf melepas tudungnya juga, menampilkan muka seperti meniru muka Naruto. Yang membedakan, hanya warna rambutnya hitam dan iris matanya onyx.
Dia membuka mulut.
"Menma, Menma Namikaze. Murid tidak resmi Hogwarts. Asal Asrama Ravenclaw."
"EHHHHHHHHHHHHHHH!"
Naruto mengedarkan pandangan, mengamati para murid yang akan menjadi teman-teman barunya kelak. Iris safirnya berhenti bergerak, ketika dirinya melihat seorang gadis rambut perak, irisnya biru sama sepertinya, menatap balik dengan tatapan kagum.
Naruto menaikkan alisnya, melambaikan tangan sambil tersenyum lebar, sebelum berjalan mendekati Menma.
Sementara si gadis, melebarkan matanya, menyadari kalau remaja yang baru saja membuat kehebohan di Aula Besar, tahan dengan daya tariknya.
'Lelaki itu... Tidak terpengaruh dengan daya tarik Veela?'
T-B-C
A/N: Umm, sebelumnya, saya minta maaf pada para reader karena saya hiatus tanpa adanya pengumuman terlebih dahulu.Jujur, orang yang sebelumnya punya fic ini merupakan teman dekat saya. Dia tertarik membuat fic dan menunjukkannya pada saya sebelum di upload ke FF. Setelah mendapatkan review, dia memberitahukannya pada saya.Teman saya itu benar-benar kelihatan gembira, dan saya, hanya tersenyum menanggapinya.
Namun tak disangka-sangka, tadi pagi teman saya menghembuskan nafas terakhirnya.
Saya terpukul, tentu saja. Lalu, saya memutuskan kembali ke dunia FF. Dan fic teman saya ini, saya adopsi dan dilanjutkan oleh saya.
Setelah upload fic ini, saya memutuskan langsung menulis chap lanjutan fic HoM. Dan dua fic lainnya, saya hapus demi kenyamanan otak saya.
Tolong doakan teman saya semoga amal ibadahnya diterima di sisinya.
Amin.
Sama satu lagi, ada yang tahu kenapa saya upload fic lewat desktop mode malah ada peringatan merah?
Saya jadi terpaksa melalui APK FF yang agak ribet kalau digunakan.
Pluto111.
Sign out.
