Ini adalah fanfic pertama saya. Saya masih agak kaku menulis sebuah cerita yang karakternya telah melekat di benak banyak orang, tetapi menceritakan kembali versi saya dengan gaya saya sendiri, apalagi dengan penokohan yang saya buat agak berbeda dengan karakter asli yang telah terpancang kuat itu. Sangat dinantikan dan diharapkan komentar dari pembaca, baik itu berupa pujian, saran, kritik, atau mungkin hinaan (huaaaa!). yah, intinya saya mohon pembaca agar kritis-korektif-konstruktif (jiah, bahasa KWn dibawa-bawa! Hehe) Boleh dalam bahasa yang sesuai dengan EYD serta nilai dan norma, boleh juga dalam bahasa santai yang justru mengena.
Beginilah cerita yang saya buat itu dimulaiā¦
CHAPTER 1
Tiga buah kaus berwarna cerah dengan motif kerang, dua celana selutut masing-masing berwarna biru tua dan hitam, sebuah jaket yang tidak tebal berwarna biru, dan beberapa pakaian dalam dipilih dan dipisahkan ke atas tempat tidur. Lalu si empunya beralih dari lemari pakaian menuju lemari buku. Ia menelengkan kepalanya membaca judul di sisi kiri buku yang ditumpuk menyamping itu. Jemarinya menelusuri buku-buku itu, lalu mengeluarkan dua buah novel dan 3 buku nonfiksi. Kelima buku itu diletakkannya di atas ranjang juga, di sebelah pakaian-pakaian tadi. Setelah itu ia berpaling pada meja belajarnya, tempat tergeletaknya beberapa gadget yang biasanya setia mengambil posisi di dalam tasnya kemanapun ia pergi. Sebuah laptop mini, camcorder, ipod, dan handphone dipindahkan dari atas meja belajar mendekati barang-barang 'terpilih' tadi. Lalu ia mengedarkan pandang menyapu seluruh penjuru kamarnya, tiba-tiba ia menepuk dahinya karena hampir terlupa membawa tiga buah barang yang justru sangat penting baginya. Dua di antaranya tersembunyi di balik yang satu lagi. Dan benda yang menyembunyikan kawan-kawannya itu terpojok oleh bantal yang tadi secara tidak sengaja berubah posisi karena tergeser si pemilik saat meletakkan barang-barang di atas ranjangnya. Dengan segera ia mengambil ketiga benda itu sebelum terlupa lagi. Sebuah boneka berbentuk kerang berwarna putih dengan sedikit corak biru, sebuah diary tebal berwarna abu-abu, dan sebuah beanie hat berwarna kuning. Setelah tiga kali berputar di kamarnya, menyisirnya dengan teliti karena khawatir ada yang seharusnya ia bawa tapi tertinggal, gadis berambut gelap itu memasukkan barang-barang yang dipilihnya tadi ke dalam ranselnya yang kemudian dijejali tas kecil berisi peralatan mandi dan handuk tebalnya. Sebuah ransel telah siap dan telah terisi barang-barang itu dalam waktu tak lama. Sementara buku-buku lain yang masih ada di lemari buku diseleksi kembali dan dipisahkan dalam dua kelompok. Kelompok yang pertama masuk kardus dan kelompok yang lain tetap di lemari buku itu.
---
"HInata, bagaimana persiapanmu?" Tanya ayah Hinata pada putri bungsunya.
"Baik. Semuanya sudah selesai." Jawab HInata mantap.
"Kalau begitu, keluarkan saja sekarang. Biar Ayah dan Mas yang mengangkatnya ke dalam mobil." Ujar Mas Neji, kakak lelaki Hinata satu-satunya yang lebih suka dipanggil Mas daripada panggilan apapun.
"Tidak perlu. Nanti Hinata yang akan memasukkannya sendiri ke mobil." Sahut Hinata ringan.
"Memangnya kamu kuat?" Tanya Mas Neji tidak yakin.
Hinata hanya menjawab dengan mengangguk mantap sambil mengacungkan ibu jarinya.
Setelah makan siang itu, Ayah langsung keluar menuju mobil dan mengatur barang-barang di dalamnya sedemikian rupa, yang kian lama kian bertambah banyak karena Mas Neji berulang kali keluar masuk rumah untuk mengambil barang-barang yang akan mereka bawa. Sementara Bunda menyiapkan bekal di dapur, Hinata malah asyik berfoto-foto dan merekam suasana saat itu. Dimulai dari kamarnya, yang didominasi warna abu-abu. Lalu ke halaman belakang rumahnya tempat jendela di kamar Hinata menghadap, yang berwarna-warni oleh tanaman-tanaman hias tetapi tetap didominasi warna hijau dedaunan dan rerumputan yang selalu terlihat lembab. Setelah itu Hinata beranjak ke ruang keluarga, dimana terdapat rak built in besar yang awalnya berisi banyak sekali buku-buku, beberapa foto-foto anggota keluarga dalam bingkai, dan pajangan-pajangan, yang saat itu telah nyaris kosong. Hanya tersisa beberapa pajangan saja. Pajangan itu adalah hasil kerajinan tangan Mas Neji dan Hinata saat di sekolah dasar dulu. Tidak bagus memang, tapi sayang bila dibuang. Jadi barang-barang itu ditinggal begitu saja. Sisanya ruangan itu kosong, tak ada lagi karpet tebal dan beberapa bantal serta peralatan home theater. Karena tak ada lagi yang istimewa dari ruang yang awalnya sangat istimewa ini, Hinata hanya mengambil gambarnya sebentar. Lalu ia beralih ke ruang tamu, yang masih ada beberapa kursi tamu dari kayu jati yang dicat cokelat tua. Meja tamu yang atasnya berupa kaca dan dibawahnya terdapat kerang-kerang ikut terekam oleh Hinata. Kemudian ia beranjak mendekati pintu kamar Mas Neji, tapi tiba-tiba gambar rekamannya terguncang karena Hinata terkejut saat Mas Neji yang sejak tadi sibuk keluar-masuk membuka pintu kamarnya dari dalam sambil membawa Nunu, seekor ular berukuran cukup besar yang sedang menggelayut manja di lehernya.
"Mas Neji! Kau mengagetkanku saja!" omel Hinata kesal. Hinata memang tidak terlalu suka pada binatang kesayangan kakaknya itu. Namanya saja yang imut, tapi tidak dengan penampilannya. Ular itu cukup menakutkan bagi Hinata.
"Salahmu sendiri, bukannya bersiap-siap malah berdiri seenaknya di depan pintu kamar orang! Kamar laki-laki pula!" balas Mas Neji santai.
"Berlebihan sekali kau! Kau kan kakakku sendiri! Lagipula, aku hanya ingin merekam kamarmu saja kok!" ucap Hinata kesal. "Dan, oh iya, sebentar lagi aku siap. Justru sekarang aku sedang menyiapkannya!" lanjutnya. Lalu gadis itu menyingkirkan kakaknya dengan paksa untuk masuk ke kamarnya.
"Percuma saja, Hinata. Kamarku sudah kosong! Kalau mau merekam, kenapa tidak dari kemarin-kemarin?"
"Kau tahu aku sibuk! Aku baru sempat sekarang!" jawab Hinata sambil berusaha mencari-cari objek untuk direkamnya. Yang bisa ia temukan hanya sesuatu di sudut kamar Mas Neji, yaitu poster 'Pretentious', nama boy band yang salah satu personelnya adalah Mas Neji sendiri.
"Lebih tepatnya, kau ini sok sibuk! Dan lebih lebih lebih tepatnya lagi, kau mulai berubah seperti ini sejak berteman dengan scar boy itu!" kata Mas Neji dengan penekanan pada kata scar boy yang maksudnya adalah Naruto, salah satu teman Hinata yang memang di pipinya terdapat beberapa goresan bekas luka.
BUKK! Mas Neji mengelus-ngelus dahinya yang memerah sementara Nunu melesat turun ke kaki Mas Neji menghindari lemparan sandal kayu warna biru milik Hinata yang dilempar pemiliknya tepat mengenai sasaran.
Hinata bergegas keluar dari kamar Mas Neji dengan langkah terhentak-hentak dan nafas memburu karena emosi. Mas Neji memang seperti saudara-saudara yang kau punya, yang seringkali bertengkar denganmu lalu tanpa ada ucapan maaf atau apapun akan bersikap seolah tak pernah ada pertengakaran sebelumnya beberapa saat kemudian. Tapi tak lama kemudian bertengkar lagi, begitu seterusnya.
Hinata yang wajahnya masih tertekuk-tekuk dengan dahi berkerut seperti nenek-nenek dan bibir mengerucut menuju dapur dan mengambil segelas air dingin lalu meneguknya terburu-buru sampai hampir tersedak.
"Bertengkar lagi dengan Mas Neji?" tebak bunda tepat.
"Apalagi selain itu? Mas Neji menyebalkan! Masa ia bilang aku sok sibuk? Aku kan memang sedang sibuk belakangan ini. Apalagi mengurus surat ini-itu ke sekolah. Lalu, ia bilang temanku scar boy! Memangnya ia sendiri mau dibilang pretty boy dengan wajah cantiknya itu?" keluh Hinata. "Lagi pula, orang yang dijuluki scar boy itu kan bukan temanku! Dia itu selalu bertengkar denganku, Bu! Tapi, aku memang tidak suka seseorang yang mengatai fisik orang lain! Memangnya ia bisa menciptakan yang lebih baik dari itu?" tambahnya.
Bunda yang masih sibuk membereskan dapur setelah menyiapkan bekal hanya tersenyum sambil terus meneruskan pekerjaannya. Ia yakin beberapa saat lagi, bahkan tidak lama lagi, kedua anak kesayangannya akan kembali baikan.
"Oh iya, aku belum merekam dapur ini!" tiba-tiba Hinata berkata begitu sambil menepuk dahinya lagi, sebuah gerakan refleks kalau ia menyadari telah kelupaan sesuatu.
Hinata segera merekam dapur itu, termasuk bunda yang merapikan beberapa barang lalu memasukkannya ke dalam kardus untuk dibawa mereka pergi.
"Jadi, Hinata, kau sudah siap?" Tanya bunda.
"Dari tadi aku siap. Hanya tinggal satu hal lagi, eh salah, dua hal lagi." Jawab Hinata.
"Apa itu? Berganti pakaian pasti salah satunya." Tebak bunda melihat Hinata yang mengenakan kaus biru cerah dengan gambar pelangi di dadanya dan celana pendek biru muda. Sementara alas kakinya hanya sepasang sandal birunya.
"Tidak. Aku begini saja. Dua hal itu, Bunda lihat saja nanti." Jawab Hinata sambil tersenyum sok misterius.
---
"Hinata, dari mana saja kau? Ayah dari tadi tidak melihatmu mengambil barang-barangmu selain ransel dan sebuah kardus. Lalu, apa yang kau rencanakan dengan barang-barang di kamarmu yang kau larang untuk dibawa truk tadi pagi?" Tanya ayah yang baru masuk ke rumah setelah beberapa lama membereskan barang-barang di mobil. Mungkin ayah haus sehingga beliau menghentikan sejenak kegiatannya dan masuk rumah.
"Ya ampun! Kau bahkan belum siap sama sekali!" lanjut ayah ketika ia melihat putrinya berpakaian seperti itu.
"Aku sudah siap, Ayah. Aku berpakaian begini saja." Jawab Hinata.
"Hinata, kita bukan akan pergi jalan-jalan ke pantai atau ke rumah Bibi Tsunade, tapi kita akan pindah rumah! Pindah ke luar kota, Sayang! Masa kau berpakaian seperti itu?" Tanya ayah sangat heran.
"Kita kan akan pergi ke kota yang dekat pantai, Ayah. Jadi aku tak perlu memakai baju hangatku."
"Tapi kan ada baju dan celana yang lebih baik dari itu! Alas kakimu apalagi! Kemana sepatu yang bunda berikan saat ulang tahunmu kemarin?" Tanya ayah yang mulai emosi.
"Maaf, Ayah, maaf Bunda. Kurasa aku tak pantas memakainya. Terlalu fenimim." Jawab Hinata santai. Saat itu Hinata memang sudah minta maaf pada bunda, dan bunda justru menyarankan agar Hinata menyumbangkan sepatunya itu untuk orang lain yang membutuhkannya. Sementara Hinata akan dibelikan sepatu kets saat sudah pindah nanti. Hal itu memang hanya diketahui Hinata dan bunda.
"Ah! Kau ini! Kenapa tak minta bunda membelikan sepatu boot saja kalau begitu?" Tanya ayah lagi yang kepalanya sudah berasap.
"Memang aku tahu akan dihadiahi sepatu?"
"Terserahlah!" kata Ayah kesal. Lalu ayah menuju lemari pendingin dan mengambil segelas air dingin kemudian meminumnya perlahan.
"Lihat, Hinata! Ayah kesal seperti itu! Ayah itu sedang lelah, tahu! Kau malah membuatnya kesal!" omel Mas Neji pada HInata.
"Aku kan tak bermaksud begitu." Jawab Hinata.
---
"Jadi, dua hal itu adalah, yang pertama, aku akan menyumbangkan semua barang-barangku yang ku tinggal di kamar. Aku telah meminta Pak Ochi mengurusnya." Kata Hinata pada ayah, bunda, dan Mas Neji. Pak Ochi yang dimaksud Hinata adalah Pak Orochimaru, tukang kebun yang bekerja di rumah keluarga mereka sejak Mas Neji masih dalam kandungan.
Ketiga anggota keluarganya hanya melongo. Mungkin bila digambar mulut mereka akan terbuka panjang secara vertikal dengan dagu menyentuh tanah.
"Lalu yang kedua, aku akan menagih janji ayah dan Mas Neji yang akan membelikan apapun sebagai hadiah ulang tahun yang tidak kalian berikan saat aku ulang tahun kemarin. Setelah kupikir-pikir, aku ingin minta dibelikan perlengkapan kamarku. Mulai dari tempat tidur, lemari pakaian, lemari buku, meja belajar, dan lain-lainnya. Selengkap-lengkapnya dan warnanya didominasi biru dengan gambar-gambar laut, seperti kerang, ikan, dan lain-lain. Jadi kamarku nanti akan benar-benar baru." Jelas Hinata panjang sekali, membuat rahang bawah ketiga anggota keluarganya semakin merosot lebih panjang lagi.
"Apa-apaan kau ini!" bentak ayah yang sudah benar-benar jengkel pada putrinya.
"Enak saja, kau!" sambung Mas Neji.
"Biar." Sahut Hinata cuek lalu masuk mobil. Bunda menyusulnya tak lama kemudian dengan tawa terkeras yang pernah bunda keluarkan, meskipun itu hanya berupa tawa kecil dengan mulut ditutup dan mata bunda juga tertutup saking gelinya, wajah bunda merah padam menahan tawanya agar tak meledak seperti Hinata yang tertawa keras sekali.
"Jadi, warna kesukaanmu sudah berubah?" Tanya bunda.
"Ha?" Hinata agak kaget ditanya bunda seperti itu.
"Belum lama ini kau membeli pakaian dengan warna-warna cerah, bahkan sekarang kau ingin mengganti semua warna abu-abu kamarmu menjadi biru, kan? Itu kan artinya abu-abu bukan lagi warna kesukaanmu." Tebak bunda.
"Hmm, tidak juga. Aku hanya ingin warna yang cerah membawa keceriaan buatku." Aku Hinata.
Ayah dan Mas Neji menyusul mereka beberapa saat kemudian, tapi dengan ekspresi bertolak belakang dari ekspresi bunda dan Hinata. Raut wajah mereka kusut seperti kertas digumpal. Beberapa saat kemudian keluarga itu pergi. Meninggalkan rumah yang telah mereka tinggali selama lebih dari tujuh belas tahun yang saat ini sudah nyaris kosong (kecuali kamar Hinata) karena barang-barang besar telah diangkut truk pagi tadi.
Ringkasan next chapter :
Hinata di sekolah barunya bagaikan seorang superstar yang mampu menyihir jutaan mata untuk tertuju padanya, sebuah pusaran air yang menyedot semua perhatian padanya, juga sebuah matahari di musim semi yang memekarkan Sakura.
