A Late Story

LOVE IN THE PALACE

.

.

.

Kim Mingyu

Jeon Wonwoo

.

.

.

Genderswicth

Joseon Era

.

.

.

Sepuluh gadis yang baru menyelesaikan menstruasi pertama dan masih perawan akan menghilang di malam purnama pada bulan ketujuh setiap tahunnya untuk dijadikan tumbal kerajaan demi meminta kejayaan kepada leluhur.

Mitos itu berhembus dan sudah berjalan berabad-abad. Menjadi ketakutan tersendiri disetiap keluarga yang memiliki seorang putri yang baru beranjak dewasa di rumahnya.

Choi Wonwoo adalah gadis berusia duabelas tahun yang lahir dari klan bangsawan Choi. Sebuah klan besar yang memiliki pengaruh di pemerintahan kerajaan Joseon.

"Eonni, jangan keluar. Ibu menyuruhmu untuk tetap tinggal di kamar sampai besok pagi." Wonwoo bergeming ketika adik perempuan satu-satunya berteriak kepadanya.

"Diamlah Choi Jungkook. Aku hanya akan kerumah Jihoon sebentar dan kembali tidak lama." Wonwoo selesai menalikan hanbok biru suteranya kemudian beranjak keluar dari kamar.

"Eonni, Kookie takut. Jangan pergi. Nanti kalau eonni diculik hantu leluhur bagaimana?" sang adik sudah hampir menangis kalau saja sang kakak tidak menggenggam tangannya erat.

"Aku akan kembali sebelum bulan tegak di kepala. Jadi jangan bilang-bilang ibu. Dan pergilah tidur duluan." Wonwoo adalah gadis yang cerdas karena latar belakangnya yang seorang bangsawan.

Ayahnya adalah adik dari Perdana Menteri kerajaan yang sangat dipercaya oleh Ratu Yoon.

.

Wonwoo tahu betul tentang mitos tumbal kerajaan tersebut. Dan ia sadar ia adalah sasaran empuk karena ia baru saja mendapat menstruasi pertamanya semingu lalu. Tapi rasa penasaran dan janjinya dengan Jihoon, teman bermainnya membuat ia mengabaikan mitos kolot itu.

"Jihoon-ie, ayo. Sebelum aku ketahuan ibuku." Wonwoo berteriak kecil di ujung pagar rumah Jihoon. Jihoon sudah menunggunya dibalik pintu pagar. Malam ini mereka berencana ke bukit belakang kuil untuk melihat bulan purnama dari sana.

Sebenarnya berempat bersama Soonyoung dan Seokmin, dua orang teman lelaki mereka.

Soonyoung dan Seokmin sudah menunggu di kuil saat Wonwoo dan Jihoon tiba. Membawa empat buah lentera api yang dapat menerangi perjalanan mereka kebukit.

Sebenarnya bukit itu akan ramai jika malam biasa. Akan ada beberapa orang yang akan berjalan melewati bukit karena itu adalah rute utama dari istana ke pusat kota. Ada banyak pengawal kerajaan yang lalu lalang di sekitaran bukit untuk menjaga kuil yang memang biasa digunakan anggota kerajaan berdoa.

Malam ini sepi, mereka tau bahwa kebanyakan pengawal kerajaan disewa pejabat untuk mengawasi putri-putri perawan mereka. Seperti yang ayah Wonwoo juga lakukan di depan kamarnya dan Jungkook tadi. Namun Wonwoo cukup lihai untuk bisa menyelinap keluar.

.

Wonwoo berjalan agak sedikit dibelakang mengikuti ketiga temannya didepan. Tangannya menggenggam lentera dengan erat sembari memperhatikan sekeliling yang hanya ada pepohonan tinggi.

Wonwoo terhenti ketika telinganya menangkap sebuah suara rusuh di balik pepohonan di arah barat. Dia terdiam sejenak memastikan pendengarannya tidak salah. Tidak terdengar apapun.

Namun ketika hendak melangkah lagi suara itu terdengar kembali. Wonwoo diam lagi. Tidak ada perasaan takut sedikitpun didalam diri gadis duabelas tahun itu.

"Mungkin hanya kelinci. Hey, teman-teman tung- hmmp" Wonwoo terjatuh ketika seseorang membungkam mulut dan hidungnya dengan sehelai kain beraroma menyengat hingga Wonwoo tak sadarkan diri.

Seseorang menyeretnya ke sebuah tempat yang di penuhi sembilan gadis yang juga tak sadarkan diri.

.

Wonwoo bangun dengan wajah yang kusut. Telinganya berdenging ketika yang terdengar adalah suara tangisan gadis-gadis sebayanya.

"Aku dimana?" Wonwoo menoleh kearah jendela besar di sudut atas ruangan pengap itu. Ia dan gadis-gadis itu duduk beralaskan jerami lembab. Ruangan itu hanya disinari cahaya matahari yang datang dari jendela besar satu-satunya itu. Ah, itu bukan jendela. Melainkan sebuah rongga berpagar yang ada di bagian atas pintu ruangan itu.

"Kita akan dijadikan tumbal kerajaan. Seharusnya aku menuruti ayahku saat dia menyuruhku tidur dengan bangsawan kaya. Dari pada aku harus mati demi mitos konyol ini." Wonwoo mengernyit memandang seorang gadis dengan baju yang lusuh dan penuh debu.

Ya. Beberapa keluarga yang tidak ingin kehilangan putrinya lebih memilih menjual putri mereka untuk diperawani agar tidak di ambil roh leluhur. Kalau sudah tidak perawan maka leluhur tidak mau.

Wonwoo bergidik ngeri. Dia tidak bisa membayangkan kalau orang tuanya menjualnya kepada salah satu pejabat kerajaan hanya karena takut ia akan di jadikan tumbal leluhur.

Tapi jika mengingat dimana dia sekarang seharusnya ia lebih memilih pilihan dijual tersebut.

Wonwoo berdiri. Mengintip dibalik jendela pintu tersebut. Diluar ada beberapa penjaga dengan senjata tombak dan tameng.

Wonwoo mengernyit. Ini bukan pengawal ataupun prajurit kerajaan. Dalam bayangan Wonwoo, seharusnya pengawal kerajaanlah yang ada andil dalam penculikan ini mengingat ini untuk tumbal kejayaan kerajaan.

Wonwoo menajamkan pendengaran ketika seorang pria berbadan besar masuk dan memberi perintah pada prajurit yang berjaga sedari tadi.

Wonwoo membelalak kaget ketika percakapan berbahasa asing itu terdengar telinganya. Mereka diculik. Bukan untuk tumbal roh leluhur melainkan akan dijual sebagai budak dan gadis malam di China.

Jangan tanya bagaimana Wonwoo bisa paham percakapan asing itu karena diam-diam ia mempelajari semua buku yang dimiliki ayahnya tentang bahasa kerajaan tetangga, China. Sebenarnya seorang anak perempuan bahkan dari klan bangsawan sekalipun dilarang untuk mengikuti pelajaran formal kecuali ia anggota kerajaan.

"Siapa namamu? Kau ingin keluar dari sini kan?" Wonwoo berbisik pada teman yang tadi menangis meraung-raung. Si gadis yang tubuhnya lebih besar dari Wonwoo menoleh.

"Jeon Seo. Margaku Jeon. Bagaimana caranya keluar?" Wonwoo mendesis mengisyaratkan Seo untuk diam.

"Aku hanya bisa membawamu keluar itupun jika kau bisa membantu. Aku tidak bisa jamin untuk yang lainnya." Wonwoo menatap sekeliling, gadis-gadis lain masih sibuk dengan isak tangisnya memanggil nama kedua orang tuanya.

"Yang penting aku bisa keluar. Apa yang harus aku lakukan?" Seo menatap Wonwoo memohon. Ia hanya ingin keluar apapun caranya.

Kemudian Wonwoo membisikkan ide pembebasannya kepada Seo. Seo mengangguk patuh.

.

"Penjaga! Salah satu gadis sekarat. Dia terkena cacar dan ini bisa menular ke gadis lain." Wonwoo kecil menjerit. Pura-pura menjauh dari tubuh Seo yang menggigil dan berbintik-bintik merah di wajah dan tangan. Wonwoo menggenggam erat sebuah perona pipi yang tadinya akan ia berikan pada Jihoon sebagai hadiah.

Semua gadis yang ada diruangan itu beringsut kepojok ruangan demi tidak mendekat pada Seo.

Seantero negeri tau apa itu penyakit cacar. Sebuah penyakit menular dan mematikan.

Seorang penjaga membuka pintu. Mencoba mendekat kearah Seo yang gemetaran. Bergelung seperti kucing yang kedinginan.

"Jangan disentuh. Itu juga bisa menularimu." Wonwoo berteriak ketika tangan sang prajurit ingin menyentuh Seo.

"Yang lainnya keluar! Jangan sampai menyentuh gadis ini. Kalian itu gadis suci yang akan jadi tumbal kerajaan. Jadi jangan sampai kalian jatuh sakit."

Wonwoo berdecih mendengar pernyataan si prajurit. Gadis suci? Tumbal kerajaan?

"A-aku sudah tersentuh olehnya.. Bagaimana ini, Tuan? Aku tidak ingin mati." Wonwoo merengek. Merangkak mendekati si prajurit namun kemudian sebuah tendangan membuat Wonwoo meringis.

"Pergi kehutan sana. Mati saja kalian di hutan." Wonwoo menahan sakit di tulang keringnya ketika salah satu prajurit menendang kakinya dengan kuat.

"Aku tidak mau mati, Tuan. Bawa aku bersama kalian." Wonwoo masih merengek.

"Pergi atau kubunuh kalian sekarang juga." Wonwoo gemetar. Tidak. Berhenti merengek. Wonwoo harus segera pergi.

Ia memapah tubuh gemetar Seo susah payah untuk kemudian dibawa keluar dari tempat penyekapan tersebut.

"Pergi kalian kehutan. Mati disana supaya bangkai kalian dimakan serigala." Wonwoo dan Seo tersungkur saat sebuah ujung tumpul kayu mendorong tubuh lemah Jeon Seo.

Jeon Seo dan Wonwoo meringis kemudian berusaha bangun dan berjalan tertatih menuju hutan.

Wonwoo dan Jeon Seo menghela nafas lega ketika ia sampai ditengah hutan. Tidak ada prajurit yang mengejarnya. Mereka bebas.

Jeon Seo memeluk Wonwoo dengan erat. Ide Wonwoo yang menyuruhnya pura-pura sakit cacar membawa mereka bebas.

Wonwoo bercerita bahwa sebenarnya mereka bukan akan dijadikan tumbal melainkan akan dijadikan budak dan pelacur.

Jeon Seo memeluk Wonwoo kembali seraya berterima kasih.

Kemudian mereka berjalan menyusuri hutan yang cukup lebat itu.

"Won, aku lelah sekali. Sepertinya kita tersesat." Seo memucat. Ketakutan dan kelelahan berjalan seharian membuat Jeon Seo terduduk di rerumputan tinggi.

Matahari sudah bergerak kearah barat. Itu tandanya mereka sudah berjalan hampir setengah hari. Wonwoo duduk disamping Jeon Seo.

"Kita istirahat lagi ya. Tapi tidak bisa lama karena hari akan segera petang." Wonwoo memijat kakinya yang terasa seperti membawa ribuan kilo beban. Luka memar tertoreh di bagian tulang keringnya.

Wonwoo terdiam. Ia merutuki dirinya sendiri yang sudah keras kepala tidak mendengarkan perintah sang ibu.

Jika saja ia tinggal di dalam kamar bersama sang adik, tidak akan ia berakhir seperti ini ditengah hutan.

.

Hari sudah hampir gelap ketika Wonwoo dan Jeon Seo berjalan di jalanan yang mulai menanjak dan berbatu. Mereka saling berpegangan dan membantu.

"Hati-hati Seo. Pijakan kakimu di ranting itu." Wonwoo sudah ada dibagian atas ketika ia melihat Seo sudah lemah memanjat.

"Tidak bisa, Won. Tanganku gemetaran." Jeon Seo menoleh kearah samping. Sebuah jurang menantinya jika ia tidak segera naik ke bagian atas.

"Bertahanlah, Seo. Raih tanganku. Aku akan membantumu. Kita sudah dekat dengan kota. Ini sudah di lembah perbatasan." Wonwoo menyemangati teman seperjuangannya. Mereka harus segera keluar dari tempat ini. Dan kembali ke keluarga masing-masing.

Jeon Seo melepas satu tangannya dari pegangan untuk meraih tangan Wonwoo. Wonwoo memegangnya dengan erat meski hanya satu tangan. Tangan satunya ia gunakan untuk berpegangan di akar pohon besar. Mengerahkan tenaganya untuk membantu Jeon Seo naik.

"SEO! Bertahanlah. Tetap berpegangan. Aku akan menarikmu." Seo terpeleset ketika akan memijak satu ranting. Membuatnya bergelantungan dengan satu tangan berpegangan kearah Wonwoo.

"Aku tidak kuat lagi, Wonwoo. Lepaskan saja aku. Biar aku jatuh kejurang." Wonwoo menangis ketika melihat wajah temannya meringis kesakitan.

Wonwoo bertahan sekuat tenaga menopang tubuh Jeon Seo agar tidak jatuh.

"Jangan dilepas, Seo. Aku akan menarikmu. Bertahanlah. Kumohon." Wonwoo menarik nafas dalam kemudian menarik sekuat tenaga tubuh Jeon Seo.

"Terima kasih sudah membebaskanku. Aku bisa mati dengan tenang disini. Kalau kau berhasil keluar, tolong datang kerumah keluargaku, katakan bahwa aku sudah pergi dengan tenang." Jeon Seo tersenyum dan dengan perlahan mengendurkan pegangannya pada Wonwoo. Sungguh ia masih ingin bertahan. Tapi ia sudah terlalu lelah.

Jeon Seo hanya gadis tigabelas tahun yang senang bernyanyi. Sangat periang dan banyak bicara.

Wonwoo meraung menatap tubuh temannya itu bergulingan di tebing jurang.

Ia sendirian. Airmatanya deras membasahi wajah pucatnya. Tangannya perih karena terlalu erat menggenggam akar pohon. Tapi yang lebih perih adalah hatinya.

Ia membawa Jeon Seo pada maut.

.

.

.

Wonwoo berhasil keluar dari hutan keesokan paginya. Ia berjalan tertatih dengan pakaian yang sangat berantakan. Baju suteranya robek dibeberapa bagian. Debu dan kotoran menempeli tubuhnya. Wajah dan rambutnya acak tak karuan.

Tubuhnya terdapat beberapa goresan luka yang darahnya mengering.

"Kasian sekali adik Perdana Menteri Choi. Kedua putrinya menghilang dan istrinya bunuh diri. Sehingga dia menjadi gila." Wonwoo mendekat kearah kerumunan ditengah pasar. Membaca papan pengumuman yang menyebutkan nama ayahnya. Diturunkan jabatannya karena gila ditinggal dua putri dan istrinya.

Wonwoo ingin menjerit. Kalau saja ia tidak keras kepala dan keluar dari rumah waktu itu, ia tidak akan mendapati ayahnya gila dan ibunya yang mati bunuh diri. Lalu Jungkook? Kemana adiknya itu?

.

"Maafkan aku, Tuan. Aku tidak sengaja menabrakmu." Wonwoo terkejut ketika mendapati tangannya sudah menodai pakaian mewah seorang pria tinggi menawan.

Sepertinya dia salah satu putra bangsawan setempat.

"Hey, Nona. Kau terluka. Paman tolong bantu nona muda ini." Pria itu menahan tubuh Wonwoo ketika ia hampir tersungkur dihadapannya.

"Tapi, Yang mu- maksudku Tuan. Dia terlihat seperti budak." Seorang pria yang sedari tadi berjalan dibelakang si pria muda berkata sedikit ragu.

"Dia hanya seorang gadis yang terluka, Paman. Bantu dia. Ini perintah." Wonwoo tidak sadarkan diri ketika telinganya mendengar seseorang berteriak menyebut nama Yang Mulia. Mungkin hanya perasaan Wonwoo saja.

.

"Kau sudah bangun, nona?" Wonwoo terkejut kemudian bergegas duduk dari tidurnya. Kepalanya masih agak pusing.

Matanya menatap sekeliling kemudian ia tambah terkejut mendapati ia berada di ruangan serba mewah. Dengan pakaian yang sudah bersih. Wonwoo menyilangkan kedua tangan di dadanya.

"Apa yang sudah kau lakukan padaku?" Wonwoo hampir histeris kalau saja suaranya tidak tertahan di tenggorokan. Suaranya hampir habis karena terus berteriak dan menangis.

"Tenang, Nona. Aku tidak menyentuhmu sama sekali. Yang mengganti bajumu pelayan wanitaku. Kau tadi pingsan didepanku jadi aku menolongmu." Wonwoo tertegun. Pria muda tampan ini tidak berbohong. Wonwoo bisa melihat ketulusan seseorang dari tatapan matanya. Dan pria ini tulus.

"Terima kasih. Dan maafkan aku."

"Siapa namamu? Dan kenapa kau bisa sampai terluka begitu?" Pria itu duduk beberapa meter di depan Wonwoo. Mereka saling bertatapan.

Mata Wonwoo mendarat di sebuah buku yang sedang dipegang si pria muda.

Tidak. Wonwoo tidak bisa kembali sebagai bagian keluarga Choi lagi. Jika semua orang tau bahwa Wonwoo adalah putri dari pejabat yang sekarang gila, ia bisa di usir bahkan dijadikan budak di daerah terpencil. Wonwoo tidak mau itu.

"Namaku Jeon Wonwoo. Umurku duabelas tahun. Aku tinggal bersama seorang paman. Dan pamanku seorang penjual buku. Tapi ia telah difitnah meniru tulisan tangan orang lain demi keuntungan penjualan buku. Dan aku dikejar untuk di jadikan penjamin perkara." Wonwoo harus berbohong. Ia harus bertahan hidup. Ia bertekad untuk bisa menemui ayahnya lagi.

Ia juga harus memberi tahu semua orang tentang mitos palsu yang mengorbankan gadis-gadis belia itu.

Ia juga harus tau kemana adiknya pergi. Dan juga amanat Jeon Seo untuk menemui orang tuanya.

Wonwoo meminjam marga Jeon Seo untuk bertahan hidup.

"Tuan, bantu aku bertahan hidup. Aku harus membebaskan pamanku dari tuduhan fitnah keji itu, Tuan. Bantu aku." Wonwoo menangis. Memohon pada si pemuda yang sekiranya punya kekuasaan untuk bisa membantunya.

"Sebenarnya aku punya satu cara supaya kau bisa bertahan hidup dan lepas dari kejaran orang jahat." Wonwoo menatap penuh harap.

"Beritahu aku, Tuan. Aku rela menjadi pelayanmu asal kau biarkan aku hidup dan bisa membebaskan pamanku, Tuan..." Wonwoo pernah mendengar sebuah cerita tentang penulis penerjemah yang dituduh memalsukan tulisan untuk keuntungan pribadi. Wonwoo hanya menggunakan kasus itu untuk membuat pria muda ini yakin.

"Namaku Kim Mingyu. Dan kita seumuran. Minggu depan ada seleksi masuk untuk jadi dayang istana junior. Tapi kau harus berpengetahuan luas dan memahami pendidikan etika dasar. Apa kau bisa, Nona Jeon?" Wonwoo mengangguk cepat. Ini kesempatan yang sangat bagus.

"Akan aku lakukan Mingyu. Aku bisa belajar dalam satu minggu. Terima kasih." Wonwoo mendekati Mingyu. Menggenggam tangannya erat dengan tatapan sendu dan senyum berbinar.

Dimana lagi bisa menemukan seorang pria tampan berhati mulia seperti ini. Dia tidak akan melupakan kebaikan Kim Mingyu.

Wonwoo akan memasuki istana segera. Dan mencari informasi tentang keluarganya dari sana. Istana adalah tempat bersembunyi paling aman juga sekaligus paling berbahaya.

.

.

.

A Late Story

.

.

.

Ada yang nonton drama Dong Yi? Noona terinspirasi dari situ. Cuma terinspirasi karena jika kalian sudah baca ini akan berbeda dari drama itu.

Dan Ya. Saya bawa Genderswitch lagi. Belom dapat feel untuk ngetik yang yaoi meskipun konsepnya sudah ada.

Saeguk ini ga bakal panjang kok. Hanya beberapa Chap. Dan meskipun ini ber-setting jaman kerajaan, noona tetap dengan gaya penulisan yang santai. Tidak mau readers jadi bingung karena bahasanya yang terlalu berat.

Terima kasih sudah membaca. Salam sayang~

Kim Noona

Sat, 12 Nov 2016