PRISONER OF LOVE
by yuzumi29
Bleach © Kubo Tite

Prison One: Mistake

|•.•|

Entahlah, mungkin pemilik bola mata golden itu akan pergi jauh. Bagaimana bisa dia menyerahkan bunga mawar seindah itu, secantik itu, dan benar-benar … berkesan untuk dikenang. Memang, bagi para remaja bunga lili mungkinlah yang paling manis, namun berbeda bila itu adalah skripsi untuk anak kecil.

"Mawar itu yang paling indah," katanya di sebuah trotoar kecil di mana di sebelahnya mobil saling menyusul satu sama lain dan menggeram menderu.

Memang itu pengakuan yang benar. Ketika memberikannya pada saudara kembarnya, bola matanya berkilat. Benar, matanya emas, tapi kerlip cahaya itu lebih terang. Bukan sebuah cahaya kebanggaan karena telah memberikan mawar itu, tetapi semacam kasih sayang atau sebangsanya.

"Terima kasih."

Perempuan yang menangkupkan telapak tangannya pada batang menjulang dan tak berduri itulah saudara kembarnya. Mirip, hanya saja matanya berbeda warna. Iris mereka tidak salah, memang warnanya sedemikian rupa kontras dan bertolak belakang. Bibir perempuan itu membuat lengkung tipis, kembarannya ikut melakukannya.

"Untuk ulang tahunmu."

Bodoh, itu terlalu sederhana walau itu adalah setangkai bunga plastik yang bisa perempuan itu simpan di sudut mejanya untuk beberapa waktu yang lama—tidak seperti hadiah yang selanjutnya laki-laki itu beli.

"Masih ada satu hadiah lagi, tapi belum kubeli."

"Aku juga belum membeli hadiah ulang tahun untukmu." Tentu saja, ulang tahun mereka bersamaan.

Di lokasi laki-laki itu membeli handband untuk ulang tahun adik kembarnya, dia memilih handband berwarna kuning berornamen bunga. Menurutnya itu yang paling pas untuk adiknya, adik kembarnya.

"Baik, apa hadiah untukku?" tanya anak laki-laki itu nyaring dan nampak antusias di depan etalase toko tersebut. Perempuan di depannya mendengus. "Oke, oke, Soifon, kita tunjukkan bersama. Hm?" Pertanyaan itu disambut anggukkan dari perempuan itu. "San, ni, ICHI!" serunya.

Di telapak tangan Shaolin Fon menunjukkan handband yang satu model dengan yang Ggio Vega. Berbeda gambarnya—yang kini adalah milik Soifon, berhias gambar bunga dan milik Ggio bergambar kupu-kupu. Setidaknya ada satu celah yang berbeda.

"Baiklah. Sepertinya ada sinkronasi di otak kita," komentar Soifon rumit sambil meneruskan berjalan ke arah zebra cross.

"Sink—apa itu?"

"Sinkronasi. Kau tidak tahu apa itu sinkro—"

"SOIFON, AWAS!"

|•.•|

Dinginnya udara yang semakin menajam bukanlah alasan Soifon berlari kecil menuju sebuah kursi panjang yang berdiri di tengah taman bunga sakura yang sedang maraknya berguguran. Entah, gadis remaja itu ingin melihat kembali apa yang terjadi di taman itu.

Tentu itu benar: sebelumnya Soifon telah bercengkrama di taman itu beberapa kali hanya untuk melihat daun mengkerut yang berlekas menghampiri daratan. Ini pemandangan yang unik, tak mau ia lewatkan peristiwa seperi ini.

Matahari bahkan belum muncul, menjadi salah satu faktor pendukung tubuhnya bergetar. Kursi panjang yang menjadi sasaran rebahannya telah tertangkap retina matanya. Hijaunya warna cat kursi itu menyemburat dalam gelap.

Frekuensi laju langkah Soifon bertambah tinggi, walau sebenarnya ia tahu tak akan ada yang merebut kursinya di pagi buta sepertinya.

"Ah," bisiknya ketika mendapatkan posisi yang nyaman untuk duduk. Pohon sakura yang paling dekat dengannya adalah pohon sakura di mana ia pernah ber-hanami di bawah naungannya. Bersama ayahnya, Byakuya, dan ibunya, Yoruichi. Ibu dari ayahnya, Lisa, pun ikut bersama mereka.

Dan satu orang lain yang sebelas tahun ini tak ia temui, kakak kembarnya. Februari yang akan datang menandakan dua belas tahun ia tak bertemu dengan kakak kembarnya itu. Tenang, tenang, tak lama lagi pasti ia datang menemuimu, Soifon.

Atau haruskah ia sendiri yang mencarinya ke sekeliling dunia? Suami Lisa, Aizen, tak pernah memberitahunya tentang keberadaannya dan kakak kembarnya pada Soifon, walau Soifon memaksa sekali pun—dan itu tak mungkin ia laksanakan.

Soifon mengusap lengan atasnya dengan kasar. Sudah tahu hawa saat ini dingin, tetapi ia tetap menjadikan guguran sakura sebagai tontonannya. Belum meminta izin pergi keluar rumah dan belum pulang hingga matahari telah menjajahi, bukanlah hal yang baik.

Kehangatan matahari mulai terasa melekat di kulitnya, matahari telah ikut campur dalam guguran sakura yang ia amati.

Soifon menarik diri dari kursi hijau itu. "Lil'?" tebaknya ketika melihat siluet tubuh kecil di tengah kelebatan kabut pagi hari. "Sedang apa kau—?"

"Ke rumahku, sebentar saja," jawab gadis mungil yang wajahnya semakin jelas terlihat ketika kabut mulai pergi meninggalkan wilayah tersebut.

|•.•|

Ggio mengangkat sebelah alis matanya, kemudian menipiskan celah bola matanya melihat. "Kau.. Tesla, ya?" Ketika Tesla yang dimaksud menjawab: "wah, bagaimana kau tahu?" Ggio menjawab lantang, "TENTU saja, aku TAHU! Kau menghiasi cover halaman majalahku di edisi yang paling kubenci!"

Starrk mendesah melihat Ggio yang tengah duduk di salah satu dari sekian kursi dalam kafe ternama di Meksiko itu. Lalu bola mata Starrk bergulir mengamati kerutan di dahi Tesla yang juga berdiri di sebelahnya. "Jangan iri, Nak. Aku menghampiri mejamu karena mau menawarimu pekerjaan."

"CS? Cleaning Service? Maaf, aku sudah menerima tawaran menjadi CS di studio lain." Ggio menjulurkan lidahnya sambil mengaduk cokelat dinginnya. Wajahnya yang terlihat jahil dari atas sama sekali berbeda bila dilihat jelas dari bawah. Terlihat kebimbangan.

Tesla nyaris tertawa keras bila bibirnya tak dibekap oleh Starrk. "Jauh lebih baik dari itu," ungkap Starrk penuh teka-teki. Tesla masih menahan tawanya sambil berusaha menggigit telapak tangan besar Starrk.

"Ketua CS? Itu juga gelar yang aku dapat di studio FLM," desis Ggio terus mengaduk cokelatnya. Dari sudut mata Ggio, dapat terlihat Tesla mengepal telapak tangannya dan meninju ke udara. Punya saingan di FLM, mungkin.

Tesla membuat sikunya menyikut Starrk lalu berujar separuh berbisik, "lupa sekarang jam berapa? Aku malas bercanda dengan bocah agensi LCM—eh, FLM ini." Tesla mengerucutkan bentuk datar bibirnya. Melihat Ggio tajam lalu kembali pada Starrk.

"Singkatnya aku ingin kau menerima pekerjaan modelling di agensiku." Starrk berbicara perlahan, namun tanggapannya hinggap cepat.

"Hah? Kau gila atau apa? Benarkah? Kapan aku bisa—berhenti menjalankan pekerjaan menjadi CS yang menyebalkan itu dan—mulai mengerjakan pekerjaan yang sepertinya mengasyikkan ini?" Hanya tiga pertanyaan namun cukup membuat Starrk pusing dan Tesla mengekeh sambil membisik: "norak."

"Tesla, Tesla, hentikan. Apa kau cemburu, dia lebih keren daripada—" Starrk berhenti berbicara setelah Tesla memelototinya. "—Ulquiorra Schiffer?" lanjut Starrk hati-hati menyebut nama saingan Tesla itu Tesla mengangguk mentap kemudian menjembabkan diri di kursi seberang meja Ggio.

Diraihnya mug Ggio lalu menyeruput cokelat dingin Ggio dan berkata lantang setelah membersihkan sisi bibirnya, "kita kalahkan Schiffer bersama!" sementara Ggio tak menjawab dan membelalakkan matanya pada mug yang semula berisi cokelat dan kini kosong melompong.

Starrk hanya bisa mematung menunggu kalimat yang selanjutnya Ggio luncurkan. Semacam "aku terima" dan bukan seperti kalimat—

"Aku tolak!"

Mengangalah bibir Starrk, dan Tesla mengerutkan dahinya dalam-dalam. "Kau—!" Tesla mendesis. "Ayolah, brother, tadi Starrk bilang 'aku ingin kau menerima' dan bukan menawarkan. HOI, ini perintah, Tuan!" tekan Tesla dan memaku Ggio di sandaran kursinya, berikutnya melepasnya lagi.

"Pikirkan ini, Tesla Lindocruz! Aku akan terjebak bersamamu setiap saat dan kamu akan"—Ggio merebut kembali mug-nya—"merebut minuman cokelatku setiap saat!" Ggio mendengus dan menjungkir balik mug tersebut hingga beberapa tetes berwarna cokelat muda bertetesan dari dalamnya. "Aww, kasihannya aku," tambahnya menyindir Tesla.

Tesla melirik Starrk sesaat lalu mengedik bahunya sehingga sendi pelurunya bekerja. Starrk menatap Tesla dengan tatapan 'sudahlah, tak ada gunanya memaksa'.

"Baiklah, baiklah, terserah saja. Ini kartu nama"—Tesla merogoh saku dada Starrk lalu mengacungkan selembar kartu nama—"Starrk. Hubungi dia bila kamu berubah.., ehm, hoaam, aku mengantuk. Ayo kita pergi, Starrk." Tesla bangkit lalu bergeags berjalan keluar.

Ggio mengerling menatap benda persegi panjang dan berwarna putih di hadapannya. Kepalanya terangkat menatap punggung Tesla dan Starrk yang semakin menjauh secara bergantian dengan kartu nama itu. "Tu-tunggu!"

Tesla tersenyum simpul. "Hmm, lihat siapa yang berubah pikiran sesuai yang aku harapkan?" Dengan elegan Tesla berbalik dan memasang senyum yang biasa ia pamerkan di lembaran kertas dan iklan di televisi. "Jadi?"

"Aku terima!"

Starrk terbelalak terkejut akan yang baru saja disaksikannya. "Kurasa kau lebih cocok jadi ketua agensi, Tesla." Yang diajak berkomunikasi menimbang kepalanya.

"Dengan senang hati."

"Itu bercanda, bodoh." Starrk melirik Ggio lalu berujar, "studioku sebenarnya di Jepang, di Meksiko aku hanya mencari model yang pantas. Kau mau menerima, walau kau harus pindah ke Jepang sekali pun?"

Tesla lupa bagian 'ke Jepang' ini dan segera mengatakan, "hei, itu handband yang bagus," agar Ggio terpancing untuk tetap ikut.

|•.•|

Soifon membetulkan lagi posisi duduknya di sofa ruang tamu keluarga Lilynette yang kelewat dari batas, lembutnya. "Ish … Jadi, apa, Lilynette?" tanya Soifon langsung ke permasalahan. Lilynette membuka celah bola matanya lebih besar.

Lilynette kemudian berkata, "tak mau berbasa-basi dulu, Soifon? Seperti di mana kakakmu, atau tentang teman SMS-mu, Ulquiorra Schiffer itu, atau …" Lilynette menggantung kalimatnya dan menunggu jawaban Soifon.

Bibir Soifon berkedut. Sudah jelas ia ingin langsung ke pokok permasalahan yang akan Lilynette bahas kali ini. "Langsung saja, 'Ily," desah Soifon kalut masih karena sofa ruang tamu itu. Rupanya kancing belakang celananya tersangkut di beberapa benangnya.

"Err, maaf Soifon, ini bukan hanya berita"—Lilynette menyentuhkan dan memainkan kedua telunjuknya—"tapi juga permintaan." Dan Lilynette mulai sadar akan masalah yang sedang Soifon alami. "Perlu bantuan?" dan selesailah masalah kecil Soifon. "Biar kuambilkan minum."

"Hei, aku tak akan lama berada di sini. Tenanglah. Apa?" tanya Soifon datar seraya mengelus jari telunjuk yang memerah karena membebaskan kancing celananya. Soifon menatap Lilynette lekat-lekat. "Aku akan membantumu sebisaku," ucapnya sembari tersenyum tipis.

Lilynette memberikan kerlingan sesaat untuk dapurnya kemudian membalas tatapan Soifon. "Oke." Lilynette yang duduk di kursi tak bersandaran menjatuhkan bagian atas tubuhnya ke belakangnya hingga separuh berguling. "Kakakku akan kembali. Haah." Lilynette setengah menguap.

Soifon ingin mengerutkan dahinya, karena heran, namun tak ia lakukan. "Seharusnya kau senang, Lil'. Kakakku—oke, kakak kembar—tidak kembali dalam jangka waktu sekian juta tahun," ungkap Soifon agak membuka diri pada Lilynette, teman sejak kecilnya itu.

"Hiperbola," komentar Lilynette sambil kembali berdiri membenarkan posisi berduduknya. "Soifon, aku tidak senang satu kamar dengan kakakku—tidak sepertimu yang manja," Lilynette menambahkan ledekan.

"Teruslah bermimpi."

"Dengar baik-baik, aku tak mau mengulangnya lagi: izinkan aku tinggal di rumahmu. Beberapa bulan saja," jelas Lilynette dengan cepat, karena ingin cepat berhenti meminta.

Soifon mendekatkan pandangannya pada Lilynette dan bertanggap, "izinkan kau—apa?"

Lilynette beranjak berdiri di atas tumpuan kakinya lalu berkacak pinggang. "Aku sudah bilang: aku tak mau mengulangnya lagi."

"Tentu saja kau boleh tinggal di rumahku." Soifon menyilangkan kedua punggung kakinya. Lalu bunga di dalam vas bunga ruang tamu keluarga Lilynette menyita perhatiannya. Oh hanya bunga mawar. Faktanya, bunga tersebut memanglah cantik. Dan memang membuat Soifon mengenang ulang tahunnya sebelas tahun silam.

Lilynette segera terloncat dan ingin segera mengeluarkan emosi kesenangan yang membuncah di dalamnya. Namun ekstasi itu tertahan ketika ia melihat Soifon yang bisa dibilang sedang melamun. Lilynette membeku. "Ah, bunga itu. Maaf. Padahal aku tahu."

Soifon melirik Lilynette perlahan. "Tentang bunga berwarna merah itu? Bukan masalah," desah Soifon sambil mengusap handband bergaris kuningnya.

"Lilynette, kau tahu ini apa?" Soifon menunjuk handband-nya.

"Handband, Soifon," jawab Lilynette dengan senyum penuh makna. Tentu ia tahu lebih dari sekedar kata handband. "Dan itu keren," tambah Lilynette.

|•.•|

Ggio duduk di ruang tamu bersama Aizen—jiisan Ggio yang memutuskan untuk membawa Ggio ke Meksiko—di kursi yang berbeda. Barisan gigi Ggio semakin ia tekan. Alis mata Ggio semakin bertaut setiap beberapa selang waktu.

"Kesempatan ini hanya datang satu kali," tekannya dengan suara pelan namun berat. Mendukung kalimat lain yang sebelumnya membanjiri gendang telinga Aizen.

"Hanya beberapa saat saja, Aizen-jiisan," pintanya. "Atau lebih lama," tambahnya agak membuat lengkungan di bibirnya.

Aizen mengeluh. "Ggio, pendidikan di Meksiko itu lebih baik, bukan begitu? Kamu bisa menjadi penerus perusahaanku dengan pendidikan yang tersedi—"

"Aku"—Ggio menggebrak meja transparan dalam ruang tamu itu—"INGIN mengambil jalan menuju pekerjaan yang aku raih dengan usahaku sendiri." Lalu ia meremas taplak mejanya agak kasar. Vas bunga di atas taplaknya bisa saja terjatuh bila amarah Ggio membuncah lebih dari ini.

Apa mau jiisan itu, sih? Sejak Ggio masih kecil selalu saja mengurus perusahaannya. Memang Aizen memberikan ia kesempatan bersekolah di sekolah ternama Meksiko, ia tak pernah mendapat kasih sayang lebih dari itu.

"Ggio …" Aizen berkata lembut agak dibuat-buat. "Aku ingin kamu sukses di masa—" perkataan Aizen dipotong lagi.

"Apa susahnya, Aizen-jiisan? Hm?" ucap Ggio sambil merenggangkan kepalannya terhadap taplak meja itu. Bola matanya mulai memancarkan kesarkastikan. Kemudian dia berdiri menjauhi ruangan besar itu dan menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Telapak tangannya agak bergetar ketika menyentuh kenop pintu karena mengingat betapa jiisan-nya itu selalu memutuskan ke mana selanjut ia harus menyentuhkan langkah kakinya. Kemudian ia memutar kenopnya dan perlahan memasuki kamarnya lalu menutup kembali pintunya seperti sediakala.

Ponselnya bergetar beberapa detik setelah Ggio menjembabkan diri ke dalam ranjangnya. Ponselnya berada di sebelahnya. Begitu melihat layarnya, ia membatin refleks tanpa perintah, Avirama.

Kau benar-benar mau ke Jepang, Ggio? Hanya berkunjung atau pindah untuk seterusnya? Bila untuk seterusnya, fangirl-mu akan kuambil.

Ggio agak tersenyum tipis di bagian akhirnya. Lalu ia kembali terdiam dan menatap bunga mawar di sisi lampu di atas meja lampunya. "Aizen," rutuknya tak sopan. "Oh, di mana pula keluargaku—yang asli?" Dua kata terakhir ia ucapkan getir. Ia tak tahu keluarganya yang sebenarnya.

"Mereka pasti akan mengizinkanku," keluhnya seraya membenamkan dahi ke dalam bantal lembutnya.

Tanpa melihat layar ponselnya ia mengetikkan; Tentu saja, Avirama, aku akan memaksa jiisan itu. Atau kabur.

"Ggio." Suara serak namun tinggi milik Aizen terdengar dari bawah dan Ggio sama sekali tak berniat untuk menggubrisnya sampai permintannya dikabulkan. Ggio bisa pergi keluar bila hanya untuk makan—menjebloskan diri keluar rumah melalui bingkai jendela kamarnya.

Sekitar lima detik Ggio tetap mengutak-atik ponselnya, Aizen berseru lagi, "Ggio. Cepat turun."

Bola mata Ggio terekspos semakin sempit dan langsung beranjak berdiri—walau sempat terhuyung-huyung—menuju pintu kamarnya lalu membukanya kasar sekali. Bila pintu kamarnya adalah makhluk hidup mungkin sudah menjerit karena Ggio membantingnya juga.

Hei, mana mungkin ia memberitahumu tentang keluargamu.

Sudah sebatas itu yang perlu kau tahu—menurut Aizen.

"Ada apa lagi, Aizen-jiisan?" bola matanya berputar malas. Aizen melempar beberapa lembar kertas ke atas meja kaca di ruang keluarga itu. Ggio melirik beberapa kertas itu—ah! Laporan tentang sekolahnya.

"Kamu tidak akan pernah sukses, hanya menjadi seorang model," nadanya menggeram marah, Ggio menjejalkan tangannya ke saku, menyembunyikan kepalan tangannya.

"Lalu, apa? Jiisan sudah puas mengatur hidupku, belum?" Ggio mendongakkan kepalanya, seolah menantang satu-satunya keluarga yang ia kenal itu.

"Ggio— "

"Jiisan bukan ayahku atau pun ibuku, jiisan hanya kakekku, jiisan tidak berhak mengatur hidupku, jiisa— "

PLAK! Perkataan Ggio langsung terhenti, tangannya bergerak menyentuh pipinya yang berdenyut sakit akibat tamparan yang baru saja diberikan oleh Aizen. Ia angkat kepalanya dan menatap tajam Aizen.

Aizen sendiri langsung berbalik dan membelakangi Ggio. Pemuda beriris emas itu menggertakan giginya dan kemudian berbalik untuk berjalan menuju kamarnya.

BLAM!

Sebuah bantingan keras, menjadikan pertanda betapa kesalnya ia akan sikap kakeknya. Tanpa perlu berpikir dua kali, ia mengambil tas ranselnya, ia jejalkan dengan paksa berpuluh stel pakaian ke dalamnya. Dan dengan segera ia buka lebar kaca jendelanya.

Dan detik berikutnya, dia keluar tanpa kata dari sangkar yang bagaikan jutaan tahun memenjarai dirinya dan keinginannya. Tanpa kata.

|•.•|

Tesla terbelalak—"Hah? Kamu kabur dari rumah?"—sementara Starrk hanya melirik lelah dari kursi kemudi. "Tapi kita sudah DI Jepang! Starrk! Memangnya kau mau bertanggung jawab?" tanya Tesla ribut. Starrk hanya menggeleng malas. Ayolah, itu bukan masalah Starrk.

Ggio tersenyum lima jari. "Aku tinggal di mana?" tanyanya tak menghiraukan pertanyaan yang Tesla cankam untuknya.

"Di rumah kenalanku—rumah sahabat adikku. Rumah mereka kelewat besar tetapi penghuninya hanya tiga orang. Tidak masalah, bukan?" jelas Starrk diruntuni pertanyaan. Dari kaca spion mobil sebelah kanan, terlihat Ggio menganggukkan kepalanya. "Nah, yang itu."

Tesla lebih dulu melonjak dan menanyakan pertanyaan standar yaitu, "mana?" dan dilanjutkan dengan, "aku tinggal di mana?"

Starrk mengetuk kuku jari telunjuknya terhadap setir mobilnya. "Apartemen. Sewa saja." Starrk kemudian menghindar dari tinju Tesla.

Tak butuh lama bagi mereka untuk segera sampai di depan rumah tetangga Starrk itu. Starrk meminta Ggio tinggal di sana karena Ggio masih pemula dan pastilah lebih membutuhkan banyak bantuannya.

Starrk meninggalkan Ggio dan Tesla di depan rumah tersebut. Tesla hanya ingin mengantar sesaat, sementara Starrk ingin segera menyapa adiknya walau hanya kata "hei" saja. Adiknya bernama Lilynette. Ya, Lilynette. Sahabatnya? Tentu saja gadis itu.

Ggio melihat papan nama keluarga itu, Kuchiki. Kepalanya sedikit merasakan pusing menusuk—memangnya itu papan kutukan? Tak mau menghabiskan waktu, ia segera berjalan dan mengetuk pintu mahoni rumah itu.

Tesla berjalan di belakangnya sambil memperhatikan jari-jari Ggio yang menekan-nekan dahinya ketika Ggio menggunakan sebelah tangannya untuk menekan bel rumah tersebut. Sahutan lantang ibu rumah tangga itu terdengar.

Cklek. Sosok berambut ungu dengan warna mata yang tak jauh berbeda dari Ggio menyambut kedatangannya. "Sela—" perkataan wanita itu terhenti saat retina matanya menangkap iris keemasan milik Ggio.

Dan selanjutnya wanita itu tidak mendorong sepatah kata pun untuk keluar dari bibirnya selama selang waktu lima detik—itu cukup lama. Ggio hanya terpaku karena tak tahu harus berbicara apa.

Tesla mengambil satu langkah di depannya. "Err—"

Wanita tersebut mengerjapkan kelopak matanya. "Oh, selamat datang. Teman Starrk, yah?" tanya wanita itu antusias. "Aku Yoruichi. Selamat datang anak muda," sambutnya sembari tersenyum ramah. Bagaikan beberapa detik terakhir tak ada belalakan di matanya. "Masuk?" tawarnya masih dengan senyum.

Ggio mengangguk dalam dan Tesla hanya membalas senyum Yoruichi kemudian menjejakkan kakinya searah dengan Ggio. Yoruichi memasuki rumahnya sendiri diikuti dua orang tamunya.

Panik, benar-benar ia panik. Seharusnya, Aizen sudah membawa Ggio jauh dari rumahnya. Tetapi apa yang harus Yoruichi katakan untuk menyingkirkannya dari rumah ini? Mengatakan yang sebenarnya sama dengan bohong.

Untuk mengantisipasi shock karena lupa ingatanmu, kami mengirimmu ke Meksiko bersama Aizen-san, maka dari itu tak seharusnya kau ada di sini.

Lihat, apa bedanya? Ini membingungkan. Mana mungkin Yoruichi akan mengatakan bahwa Ggio adalah anaknya? Anaknya dari semua anak lain. Mana mungkin otak Ggio menerimanya tanpa berontak.

Gadis di tengah lorong yang sedang mengetuk kamar ayahnya memberikan kerlingan pada tamu yang melewatinya. Hanya sekilas lalu kembali pada pintu yang diketuknya. Detik berikutnya ia terkejut—lalu melihat kembali dengan lekat-lekat tamu yang sedang berjalan di lorong yang sama dengannya itu.

Bibirnya menganga. Tidak salah lagi. Itu memang Ggio—laki-laki yang memberikan handband di pergelangan tangannya. Soifon melihat pergelangan tangan Ggio, keyakinannya bertambah ketika menemukan handband berwarna kuning di sana.

Sepasang kaki kecilnya mengambil langkah besar untuk menyusul pemuda berkepang di hadapannya. Tangan kurusnya terjulur menaik untuk menyentuh bahu Ggio. "G-Ggio?" tanyanya dengan bibir bergetar. Laki-laki yang ia maksud memutar tubuhnya 180°. Melihat Soifon dengan teliti.

Sakit. Sakit. Sakit sekali kepalanya, karena ia merasa pernah bertemu gadis itu. Tak hanya bertemu, rasanya bagai gadis itu amatlah berharga untuknya—dan persetan dengan semua itu. Namun di mana? Jarak Jepang dan Meksiko sangat jauh. "Kita pernah bertemu—di mana?"

Bola mata Soifon nyaris termuntahkan karena mendengar tanggapan Ggio. Tega sekali ia mengatakan itu pada saudara kembarnya sendiri. Ggio tak bercanda, bahkan orang bodoh pun tahu ia tak bercanda. Sama sekali tidak bercanda.

"Kau ... lupa? Aku ... aku— " Soifon tak dapat melanjutkan kalimatnya, karena Yoruichi, ibunya, telah berdiri menutupi tubuh mungil Soifon dari jangkauan retina Ggio.

"Dia anakku, Soifon." Yoruichi mengembangkan senyumnya enggan, dan menarik Soifon ke depan hingga mereka berdiri sejajar. Alis Ggio samar-samar berkerut, dan Soifon masih menatapnya dengan penuh keterkejutan.

"Nah, Soifon Sayang, kembalilah ke kamarmu," Soifon melirik ibunya dengan penuh pertanyaan. "Anak muda—siapa namamu?—akan aku tunjukan di mana kamarmu." Yoruichi kembali berjalan di depan Ggio dan Tesla, sebelum akhirnya dia menatap Soifon dengan tatapan yang sulit di mengerti.

Kepala Soifon menggeleng pelan, dan langsung berbalik menuju ke arah kamarnya—mengurungkan niatnya bertanya tentang sepatah materi yang tak ia mengerti—namun baru saja beberapa langkah, ia merasakan pergelangan tangannya ditahan oleh seseorang—sudah jelas siapa dia.

"Kita pernah bertemu?"

Ingin rasanya Soifon berteriak. Aku ini adikmu, adik kembarmu, tidak bisakah kau mengenaliku, Ggio? Tapi tidak, karena tadi ibunya memutus tali kalimatnya, pastilah ada sesuatu.

Soifon menundukkan kepalanya, "Lupakan saja." Dan dia pun menarik tangannya, menjauh dari genggaman tangan Ggio yang hangat dan tidak pernah berubah dari dulu. Genggaman yang menahannya serta melindunginya dengan sangat protektif, menjauhkannya dari bahaya yang dapat menganggunya.

Tapi, sekarang pemuda itu lupa, dia tak mengingat apa-apa lagi tentang Soifon, dan seluruh kenangan mereka. Soifon melangkah menuju kamarnya dan membanting pintu itu dengan kencang.

Ggio masih menatap tangannya, bahkan dia merasa pernah menyentuh kulit lembut itu. Tesla menarik Ggio untuk segera kembali mengikuti Yoruichi. "Jaga perilakumu, bodoh," desis Tesla kesal—ia pribadi, tahu ini adalah kata-kata yang aneh bila ia yang mengeluarkan.

|•.•|

"Gomen, Lilynette. Itu adalah permintaan maafku yang terakhir." Soifon menggenggam ponselnya erat-erat di dalam kamarnya. Ocehan, komentar, dan cecaran Lilynette bergema di telinga Soifon. "Dia kakakku—bahkan ibuku tak tahu bagaimana cara mengusir pengkhianat itu."

"Hah? Pengkhianat?" sahut Lilynette dari seberang sana. Kenyataannya memang rumah mereka berseberangan taman rumah mereka. Rumah mereka bersebelahan.

Soifon mengingat kembali jawaban Ggio ketika matahari masih di atas atap rumahnya: "Kita pernah bertemu—di mana?" Memangnya di mana lagi, Ggio?

"Dia tidak ingat aku. Kata kaasan dia shock karena kejadian itu sehingga … yah—intinya kau harus tinggal di sana kecuali kau mau satu kamar dengan kakak kembarku. Mau, 'Ily?" Soifon menawarkan dengan nada datar seolah itu bukanlah masalah sama sekali.

"Eww?" Soifon tersenyum kecil mendengar jawaban Lilynette. "Tch, Soifon. Trims, tadi sudah berniat menerimaku." Kemudian Lilynette memutus sambungan teleponnya setelah Soifon bergumam mengiyakan.

'—kau harus tinggal di sana.' Lilynette mendesah di atas kursi yang sepasang dengan meja belajarnya, lalu mengecap bibirnya. Lilynette memainkan kaki kursinya dan melihat ke sebelahnya: rumah Soifon. Lebih tepatnya lagi jendela kamar kakak kembar Soifon.

Bahkan berseberangan kamar dengan pencuri kamar itu saja sudah cukup membuatnya kesal, bahkan satu kamar. Laki-laki itu mengambil jatah tempat tidurnya di rumah Soifon—kurang ajar sekali; walau ia tak tahu Lilynette telah meminta kamarnya terlebih dahulu.

Terlihat siluet laki-laki itu memasuki kamarnya dalam kegelapan, berjalan kesana kemari. Lilynette memberinya tatapan penuh kekesalan. Di sisi lain Lilynette prihatin padanya, laki-laki itu tak ingat tentang siapa Soifon sedikit pun. Bagaimana jika dia adalah Soifon? Pasti mengerikan.

Lilynette tahu betul seberapa dekatnya Soifon dan Ggio sampai mereka berumur lima tahun. Dan ketika waktunya menyentuh salju di tahun keenam, Soifon tak lagi menghabiskan waktu bersama Ggio karena tak tahu di mana keberadaannya. Nyaris menangis, membayangkannya.

"Hei, tetangga!" seruan dari sisi di mana tadi Lilynette menoleh tak membuatnya menoleh kembali. Untuk apa ia sahut sapaan Ggio yang telah merebut jatah kamar tidurnya? "Hei!" Lilynette meninggalkan meja belajarnya dan bergegas keluar dari kamarnya. Abaikan, abaikan.

Duk, jendela kaca kamar Lilynette diketuk oleh sebuah benda padat—dan Lilynette terlalu malas untuk melihat apa benda konyol itu. Abaikan; semakin Lilynette percepat langkah kakinya menuju daun pintu. Duk. Lagi.

Dalam waktu lima sekon, Lilynette sengaja memakukan kakinya di keramik lantai, berikutnya gadis itu memutar kembali arah langkah kakinya dan membuka jendela kamarnya. "Kamu mau membuat kaca jendela kamarku pecah?" bentak Lilynette ganas.

"Hai," sapa laki-laki itu, dan Ggio menyunggingkan seulas senyum manis—agaknya merupakan pelampiasan minim akan hal yang ia pusingkan siang tadi. Lilynette mengatupkan matanya beberapa kali, dengan rasa kesal yang perlahan menipis. Ada apa ini?

'Dia, Ggio?'

Satu lembar daun musim gugur terjatuh.

|•.•|

'I'll be back and back and back. And after that, I'll be back again.'

.tsuzuku.

|•.•|

Mistake Prison's Note: Kolaborasi yuminozomi dan koizumi nanaho; sudah tentu lebih keren daripada karya perorangan kami, benar? Kami menyukainya dan bila kamu waras, pasti suka juga! *dilempar* Mohon dukungannya, semuanya!

Oh ya, untuk saat ini, Yumi hanya mengerjakan fanfic collab ini dan Zumi mengerjakan beberapa tugas fanfic-nya juga fanfic ini—sekedar info.