"Gomen, Sasuke-kun, ayahku benar-benar tidak mau. Aku sudah berusaha, tapi ... et-too..."

Seorang gadis berambut indigo terlihat tengah menunduk dalam-dalam di depan seorang lelaki berambut raven. Raut ketakutan dan cemas dengan sangat jelas terpeta di wajah cantiknya. Sementara itu, sang pemuda raven hanya diam di tempat dengan tatapan datar khas yang selalu ia bawa.

Pemuda bernama Sasuke itu menyeruput kopinya dengan tenang, tanpa mempedulikan tingkah gadis di depannya. Tapi jauh di lubuk hatinya, kegalauan tengah berkuasa karena masalah yang kini ada dihadapannya, yang juga menjadi masalah bagi sang gadis.

"Tak apa, Hinata. Mungkin kita memang tidak punya takdir bersama," ujar Sasuke sambil bangkit dari duduknya dan bersiap-siap untuk segera melangkah dari kafe yang belum lama ia singgahi.

"Sa-Sasuke-kun..."

"Maaf..." pemuda bermata onyx itu menghela napas sejenak, sebelum melanjutkan perkataannya, "... atas semua kesalahan yang pernah membuatmu tidak rela."

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Sasuke langsung melangkahkan kakinya dari meja tempatnya dan Hinata membuat janji beberapa waktu lalu. Meninggalkan gadis bermata amethys yang menatap kepergiannya dalam diam dan air mata berurai.

Tidak, bukannya Sasuke tega meninggalkan Hinata, Ia bahkan sangat mencintai gadis tersebut. Tapi inilah jalan terbaik bagi keduanya. Mereka harus berpisah. Setelah semua harapan yang telah keduanya susun harus menguap ditelan udara tanpa restu.

'Sasuke-kun...'

Butiran air mata ia persembahkan untuk kepergian sang kekasih.

.

-SasuHina-

.

.

Disclaimer :

Naruto © Masashi Kishimoto

Cinta Kita © Me

Summary :

Akankah usaha yang keras akan membuahkan hasil yang happy ending?

Warning :

Typo's, AU, mungkin OOC, serta kesalahan-kesalahan lain dalam penulisan, mohon dimaafkan dan dikoreksi.

"bicara"

'dalam hati'

Selamat membaca…..

.

.

Tok...Tok!

"Hinata, ayo sarapan!"

Pagi-pagi sekali, kamar Hinata telah dipenuhi oleh ketukan-ketukan yang menyuruhnya untuk segera sarapan. Sudah dua hari ini gadis tersebut tidak pernah turun ke ruang makan untuk mengisi perut. Sejak hari di mana ia pisah dengan sasuke, semuanya terasa sangat menyiksa dan membuatnya tidak selera makan. Penampilannya kini pun terlihat sangat suram. Matanya sedikit bengkak dan mempunyai lingkaran hitam di bawahnya.

"Nanti saja, Nii-san. Aku sedang sibuk," sahutan pelan terdengar dari dalam kamar Hinata, yang menandakan kalau sang pemilik kamar masih hidup. Begitulah yang selalu disuarakan oleh gadis tersebut.

Neji, kakak Hinata, pun berlalu dan percaya dengan jawaban adiknya. Mengingat ia juga sedang sibuk dan harus segera ke tempat kerja, tak pelak membuat sang pemuda tidak terlalu memikirkan sang jawaban sang adik yang sudah didengarnya dalam dua hari terakhir ini.

Tidak ada yang memasuki kamar Hinata sejak dua hari yang lalu, karena memang tidak ada yang tahu dengan keadaan Hinata saat itu, kedua orang tuanya pun sedang berada di luar negeri saat ini. Jadi, perbuatan Hinata benar-benar luput dari pengawasan.

Mengingat kejadian dua hari yang lalu, selalu berhasil membuat Hinata menangis hingga tersedu. Tentang dirinya dan Sasuke yang kini tidak lagi punya harapan untuk bersama. Ini semua berawal dari semenjak ayah Hinata, Hyuuga Hiashi, menentang dengan keras keputusan Hinata untuk menikah dengan sasuke yang notabenenya hanyalah seorang satpam yang bekerja di sebuah mall.

Semenjak Hinata mengenal Sasuke beberapa tahun lalu, akibat pertemuan tidak sengaja mereka di sebuah mall tempat Sasuke bekerja. Mereka pun menjadi akrab satu sama lain. Apalagi sejak sebulan yang lalu, Sasuke tiba-tiba mengatakan perasaannya pada Hinata, dan langsung meminta Hinata untuk menjadi istrinya. Perasaan samar yang selama ini dirasakan sang gadis berubah menjadi nyata akan cintanya yang ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.

-Flashback-

Seorang pemuda berambut raven, terlihat duduk di kursi taman dalam keadaan gelisah. Tampak seperti sedang menunggu seseorang. Ya, dia memang sedang menunggu seseorang, atau lebih tepatnya seorang gadis cantik keturunan Hyuuga yang telah berhasil mengisi hatinya.

"Sa-Sasuke-kun..."

Sahutan dari sebuah suara berirama lembut telah berhasil membuat pemuda bermata hitam sekelam malam itu menoleh ke arah datangnya suara. Ekspersi terkejut tampak langsung mengisi sekitar wajahnya. Dan entah kenapa dirinya yang sudah gelisah, kembali merasakan kegelisahan yang lebih.

"Hn, duduklah."

Tapi memang dasarnya air laut, di atasnya sangat tenang, walau dalamnya bergelombang. Maka begitulah yang kini tengah dirasakan oleh sang pemuda. Ia tetap bisa memberikan wajah terbaiknya yang tenang kepada gadis di depannya, walau hatinya kini tengah dilanda kegelisahan bagai gelombang air laut.

Gadis berambut indigo itu pun duduk dengan tenang di samping sang pemuda dengan jarak yang tidak begitu dekat. Dirinya pun kini dilanda oleh kegugupan yang sama seperti pemuda di sebelahnya. Dan entah karena memang jodoh, ia pun telah berhasil menyimpan kegugupannya dengan memperlihatkan wajah tenang yang selalu diperlihatkannya.

"A-ano..."

Keduanya segera berpaling manakala kata yang mereka keluarkan pun sama.

Pemuda raven yang bernama Sasuke itu pun mengepalkan tangannya, tampak sedang berusaha untuk menguasai diri. Bibirnya terkatup rapat demi menepis rasa panas yang mulai menjalar di wajahnya.

"Hinata..." ujar Sasuke dengan suara yang terdengar lumayan berat, karena beban gugup yang tengah melanda.

Hinata hanya menganggukan kepalanya pertanda ia mendengar. Wajahnya sudah sangat memalukan, jadi tidak ada gunanya kalau ia harus mendongak menatap pemuda di sebelahnya. Ini adalah kali pertama baginya dan pemuda tersebut duduk berdua tanpa ditemani oleh teman. Di sekitar taman hanya ada anak-anak yang terlihat asik dengan dunia mereka.

Sasuke menutup matanya dan menarik napasnya sejenak, ia lalu menghembuskan napas dengan perlahan mengurangi kegugupannya. "Aku menyukaimu, dan aku mau melamarmu. Apa kau mau?" ujar Sasuke dalam satu napas.

Amat sangat tidak romantis.

Dan setelah mengucapkan kalimat langka berbau sakral(?) tersebut, pemuda yang sudah terkenal dengan selalu memasang wajah datar itu hanya menundukkan pandangannya ke bawah sambil menggosok-gosok bawah hidungnya dengan telunjuk. Rasa malu sangat menguasai dirinya saat ini.

Sementara itu, Hinata yang baru saja mendengar apa yang dikatakan oleh Sasuke pun terlihat jauh lebih ekstrim dari si pemuda. Lututnya serasa lemas seketika, dadanya bergemuruh, perasaannya serasa meluap-luap, dan berakhir dengan dirinya yang langsung jatuh pingsan.

"HI-HINATA!"

-Flashback end-

"Huh!"

Dengan geram, gadis berambut indigo itu melempar guling yang dipeluknya ke arah pintu kamar. Ia kesal, dan sangat kesal pada ayahnya yang menolak secara mentah-mentah permintaannya kemarin. Bahkan sebelum ia sempat menyebutkan siapa nama orang yang akan melamarnya.

Dengan langkah ogah-ogahan, gadis bertubuh kecil tersebut keluar dari kamar. Mungkin mengurung diri di dalam kamar, membuatnya dilanda kebosanan, lagipula, ia sudah sangat kelaparan. Hinata turun ke ruang makan, dan menemukan beberapa makanan yang masih tersusun di atas meja. Tanpa aba-aba, gadis yang kini tengah mengemban pendidikan di sebuah Universitas Konoha itu langsung duduk di kursi dan melahap makanan di depannya dengan sangat rakus, seperti orang tidak makan beberapa hari, yang pada kenyataannya ia memang belum makan apa-apa dalam dua hari ini.

.

.

Sudah berbungkus-bungkus ramen yang dilahapnya. Ia tidak peduli lagi punya siapa ramen-ramen itu semua, yang penting hasratnya untuk memakan makanan tersebut harus terlaksana. Pemuda berambut raven itu terlihat memakan semangkuk ramen di depannya dengan lahap, kalau tidak mau disebut sebagai rakus.

"Teme, aku baru saja membelikan tomat untukmu, mungkin dengan membuat sop tomat kau ma- ...Sa-Sasuke? A-apa yang..."

Dengan pandangan tidak percaya, pemuda berambut pirang yang baru saja datang langsung cengo di tempat. Tidak percaya dengan apa yang kini sedang berada di depannya. Seorang Uchiha Sasuke yang dikenalnya sangat membenci dan anti ramen, tiba-tiba memakan ramen dalam porsi yang tidak bisa dibilang sedikit. Apalagi saat mengetahui kalau ramen-ramen tersebut adalah miliknya.

"Ramenkuu!" ratap sang pemuda pirang pada bungkus-bungkus ramen yang bertebaran di sekitar ruang makan.

Sementara itu, Sasuke hanya berlaku cuek atas apa yang sudah dilakukannya. Ia tetap meneruskan makan ramen yang baginya kini serasa makanan paling nikmat di dunia.

"Khou khenapha, Bobhe?" tanya pemuda raven itu sambil memaksakan sesendok ramen untuk masuk ke dalam mulutnya.

Naruto, pemuda berambut pirang itu hanya dapat menangis dalam hati. Beginilah kalau seorang Uchiha Sasuke sedang mengalami stres. Ia akan berlaku berlawanan dengan sifat aslinya, atau lebih kerennya disebut dengan OOC alias Out Of Carakter.

Dengan sekali tarikan napas, Naruto beranjak dari segala kedukaannya akan semua ramen persediannya yang hanya tinggal tiga bungkus di dalam kulkas. Melihat Sasuke memakan ramen, rasanya ia jadi tertarik dan ikut-ikutan memasak ramen yang tersisa untuknya. Takut-takut kalau Sasuke tambah lagi, dan dia tidak mendapat jatah. Dan ... jadilah keduanya memakan ramen dengan semangat. Sedikit senyuman berkembang di bibir Naruto, jarang-jarang ia bisa melihat Sasuke yang OOC begini.

.

"Kau rakus, Teme!" ujar Naruto sambil menyapu bagian dapur yang sudah penuh dengan sampah-sampah ramen.

"Jangan mengatakan orang lain, kalau kau juga rakus, Dobe," jawab Sasuke sambil merapikan piring-piring yang berada di atas meja makan.

Mereka berdua memang sudah lama tinggal bersama. Sebelumnya, mereka tinggal bertiga dengan tambahan seorang lagi yang kini sudah pindah karena sudah menikah sebulan yang lalu. Orang itu adalah kakak Sasuke yag bernama Itachi. Ketiganya memang sudah selalu bersama sejak kecil, ditambah dengan kedekatan kedua orang tua. Mereka akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama selama kuliah, karena tempatnya juga sangat jauh dari kedua orang tua. Dan memilih pekerjaan sebagai satpam untuk biaya hidup diperantauan.

"Ramen yang kau makan lebih banyak dariku, Teme!" ujar Naruto kembali sambil menyodok-nyodok sapu di kaki Sasuke sambil tersenyum jahil.

Sasuke berkali-kali menyingkirkan sesuatu yang menyangkut di kakinya tanpa menyadari kalau itu adalah kerja Naruto. Ia tetap mencuci piring dengan tenang. "Kalau dibandingkan dengan ramen yang selama ini sudah kau makan, maka kau lebih rakus dariku," ujar Sasuke sinis.

Naruto hany diam. Karena kenyataannya ia memang tidak tahu mau menjawab apa. "Tapi aku harus berterima kasih pada Hinata-chan!" ujar Naruto tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

Tubuh Sasuke sempat menegang sedetik saat mendengar nama Hinata. Ia sempat terhenti sejenak sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya dalam diam. Seakan-akan tidak tertarik dengan topik yang baru saja dibuka oleh Naruto.

"Apa kau benar-benar sudah melepaskannya?" tanya Naruto yang tampaknya ketularan penyakit wartawan dengan banyak tanya.

Lagi-lagi, Sasuke hanya diam menanggapi pertanyaan Sahabatnya tersebut. Ia benar-benar tidak berselera dengan pembahasan yang berhubungan dengan Hinata. Karena hal tersebut selalu berhasil membuat hatinya kembali berdenyut sakit.

Sakit sekali.

.

.

Hinata menatap buku-buku yang akan dibawanya hari ini ke kampus. Sebenarnya, gadis tersebut sangat malas kemana-mana hari ini, tapi begitu mengingat sudah dua hari ia tidak masuk, maka ia memutuskan untuk pergi belajar hari ini.

Dengan langkah malas-malasan, gadis pemegang peringkat tertinggi di kelasnya itu turun dari kamar dan segera mengambil sepeda miliknya di garasi. Berangkat dengan sepeda sudah menjadi kebiasaan bagi Hinata, walaupun ia adalah anak orang kaya. Ia bahkan tidak malu jika harus bertemu dengan teman-teman yang selalu meledek dirinya sebagai orang miskin. Toh ia menikmatinya.

Di kelas pun Hinata hanya diam dan duduk di kursinya dengan tenang. Teman-temannya pun tidak ada yang keberatan dengan sikap Hinata, karena memang itu adalah kebiasaan sang gadis di dalam kelas.

"Hinata, apa kabarmu? Dua hari kau tidak masuk, apa kau sakit?" tanya seorang gadis yang tampaknya seusia Hinata dengan hebohnya, ia sampai menarik kursinya agar bisa dekat dengan Hinata.

Hinata hanya melirik sekilas dan mengangguk. Ia kembali terdiam setelahnya, membuat gadis yang tadi mendekatinya menggerutu kesal.

"Hinata, kau kenapa?" tanya gadis bermabut pink itu dengan wajah super kesal.

"Sakura-chan, aku cuma sedang sakit hati. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ujar Hinata sambil memaksakan sebuah senyuman yang terlihat gagal total.

Gadis bernama Sakura itu mengerutkan keningnya dengan heran, "Apa maksudmu dengan 'cuma'?" tanyanya dengan menekankan kata cuma.

Lagi-lagi Hinata hanya mengangguk. Membuat Sakura berpikir kalau gadis di depannya ini pasti sudah tidak waras lagi. Sakit hati kok dibilang cuma? Dengan lagak sok detektif, ia meletakkan jari telunjuknya di kening, mencoba memikirkan siapa kiranya orang yang telah berhasil membuat Hinata sakit hati.

"Hinata, siapa orangnya?" tanya Sakura to the poin.

Dengan berat, Hinata menghela napasnya. Sembari menatap sakura yang berada di sampingnya dalam diam. Bingung dengan apa yang akan dikatakannya kini. Tubuhnya memang berada di kelas, tapi tidak dengan hati dan pikirannya. Keduanya sedang berada di tempat yang tidak dapat dijangkau mata.

"Gomenne, Sakura-chan ... aku belum bisa cerita."

.

.

"Siapa kau, dan apa maksudmu datang kemari?"

"Namaku Sasuke, aku bermaksud melamar putri anda."

"Hmm, berani sekali. Apa yang telah kau persiapkan untuk anakku?"

"Aku hanya dapat memberinya sebuah cincin dari hasil jerih payahku, juga segenap cinta tulus yang aku punya. Aku berjanji, akan menjaganya."

"Baiklah, kau akan kuterima sebagai menantuku. Ini Hinata, dia akan menajdi istrimu..."

"Hinata?"

"Sa-Sasuke-kun..."

"Hinata..."

"Sasuke-kun..."

"Hi-"

Byuuurrr!

"Nataaa!"

"Hmm, bagus, sekarang kau sudah mulai bermimpi dengan Hinata!"

Naruto duduk di atas ranjang Sasuke sambil meletakkan ember yang telah dijadikannya sebagai tempat air untuk menyiram Sasuke di samping tubuhnya. Mengabaikan tatapan kesal pemuda raven yang baru saja ia siram. "Jadi, seperti ini yang namanya sudah melepaskan?" tanya pemuda blonde itu mencemooh.

"Ck, Dobe..." desis Sasuke dingin. Giginya bergemeletuk menahan kesal.

Dengan sekali lompatan, Naruto telah berhasil kabur dari jangkauan Sasuke. Tepat saat ia berada di ambang pintu, tubuhnya berhenti dengan sengaja, membiarkan punggung tingginya ditatap oleh si sahabat. Hanya untuk menyampaikan nasehat ajaib miliknya dengan nada serius.

"Kalau kau jantan, lamarlah dia, Teme ... hmm, kecuali kalau kau adalah banci!"

Dua kalimat yang mampu membuat Sasuke merenung terdiam.

.

.

"Hiashi-sama, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda."

Seorang bodyguard berjas hitam tampak sedang membungkuk sembilan puluh derajat kurang dengan hormat pada majikan yang berada di depannya. Menyampaikan sebuah kabar bagi sang majikan tentang kedatangan seseorang ke rumah besar tersebut.

Hiashi mengerutkan dahi mendengar penuturan sang bodyguard. Heran dengan kedatangan seseorang yang tidak pernah membuat janji terlebih dahulu padanya. Orang ini benar-benar lancang. "Usir dia!" perintahnya sadis pada si bodyguard tanpa pikir panjang.

"Segera dilaksanakan, Hiashi-sama," jawab bodyguard patuh sambil menunduk kembali. Ia pun mengundurkan diri dengan sopan.

.

Sang bodyguard kembali keluar rumah sambil membungkukkan tubuhnya kepada seseorang yang berada di depan pintu gerbang. "Mohon maaf yang sebesarnya, Tuan ... Hiashi-sama tidak bisa menerima tamu untuk saat ini."

"Aa-" Sasuke kehabisan kata-kata menghadapi bodyguard di depannya. Pekerjaan sang bodyguard memang tidak jauh berbeda dengan pekerjaannya sebagai satpam. Namun, untuk saat ini hatinya seakan-akan menciut untuk menatap bodyguard di depannya, serasa sangat kecil dan tidak terlihat.

"Kalau kau jantan, lamarlah dia, Teme ... hmm, kecuali kalau kau adalah banci!"

Saat Sasuke akan membungkukkan tubuhnya pamit, entah bagaimana, kata-kata menohok dari Naruto kembali terngiang di kepalanya. Membuat emosinya kembali menguar seperti saat ia akan datang ke kediaman besar Hyuuga tersebut sejam yang lalu. Semangat pemuda bertubuh tinggi itu pun ikut membara demi memperjuangkan haknya atas nama cinta.

"Saya benar-benar punya urusan yang sangat penting dengan Beliau," ujar Sasuke mantap, plus memasang tatapan tajamnya yang belum terkalahkan oleh raja singa. Membuat sang bodyguard sedikit berjenggit karenanya.

Bodyguard sudah berumur itu terlihat akan membantah, namun urung saat tatapan matanya bertemu dengan pandangan elang Sasuke. Dengan buru-buru ia kembali membungkuk meminta maaf. "Maaf," ujarnya berkali-kali.

Sasuke akhirnya menyerah. Ia berbalik pulang dengan wajah kecewa. Habislah sudah harapannya. Bodyguard yang menemuinya tadi pun hanya dapat terdiam menatap punggung Sasuke. Benar-benar sangat dramatis.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama, beberapa detik setelahnya, pemuda yang terkenal memiliki otak sejius sejak pendidikan TK itu kembali membalikkan tubuhnya dan bergegas ke arah bodyguard yang baru saja ia temui. Rambut spike miliknya bergerak melambai saat ia membungkukkan tubuhnya berkali-kali sambil bergumam kata-kata maaf.

"Maaf-maaf-maaf ... kalau begitu saya buat janji hari ini untuk bertemu dengan Hiashi-sama besok. Bisakah?"

.

.

Hinata turun dari kamarnya dalam keadaan kusut dan lesu. Pemandangan tidak menyenangkan itu tidak luput dari pengawasan sang ayah. Lelaki berusia lebih kurang setengah abad itu hanya dapat menghela napas melihat keadaan putrinya. Kembali teringat olehnya memory sebulan yang lalu, saat ia dengan tegas menolak seorang lelaki yang di rekomendasikan oleh Hinata hanya karena pekerjaan si pemuda yang sebagai seorang satpam.

Pemimpin besar dari Hyuuga crop itu bukannya tidak ingin sang putri hidup dengan orang yang dicintainya, atau pun menjadikan sang putri yang sangat ia sayangi itu tersiksa. Namun, yang terpikir oleh ayah tiga anak itu adalah tentang bagaimana kehidupan Hinata nantinya. Sedangkan, gaji seorang satpam tidak meyakinkan baginya untuk bisa menghidupi sang putri.

Sekali lagi, kepala keluarga itu menghela napas.

"Kaa-san, Tou-san, aku pamit dulu..." ujar Hinata pelan. Ia mengulurkan tangannya di dengan sang ayah sambil menunduk kepala, segan. "A-ano..."

Hiashi menerima uluran tangan Hinata yang ingin menyalaminya dan menahan tangan putrinya tersebut beberapa saat tanpa memandang Hinata. "Jangan pasang tampang tidak meyakinkan begitu, Hinata. Sangat tidak cantik," ujarnya datar.

Air mata mengalir dengan sendirinya di mata Hinata. Ia tidak tahan untuk tidak mengeluarkan kristal-kristal bening itu jika sudah berhadapan dengan sang ayah. Betapa penolakan mentah-mentah yang dilakukan sang ayah beberapa waktu lalu membuat dadanya sesak dan menghasilkan butiran bening tak tertahan yang mengalir dengan sendirinya.

"Ya, Tou-san, hiks..." sahut Hinata terisak. Ia menarik tangannya dari sang ayah dengan pelan. "Aku pergi dulu..." Dengan sangat terpaksa, bibir tipis dari gadis cantik itu bergerak melengkung, tanda ia tengah tersenyum pada ayahnya sambil mengusap mata.

Hiashi menatap wajah Hinata dengan alis mengernyit dan mata menyipit. Sang ibu pun cuma bisa menatap Hinata dengan iba, begitu pula dengan Hanabi, adik perempuan Hinata. Hanya sang kakaklah yang terlihat tidak peduli. Pemuda berambut coklat panjang itu tetap meneruskan makannya dengan wajah datar. Namun, ada yang aneh dengan caranya makan, ia terlihat lebih rakus dari biasanya. Ada apa?

Karena tidak tahan dengan keadaan yang semakin mencekam, tanpa membuang waktu, gadis berambut indigo itu segera beranjak dan berlalu dari ruang makan sambil menghapus jejak air mata yang masih mengalir di pipinya setelah menunduk berkali-kali.

Meninggalkan sang ayah yang menatapnya dalam kerisauan dan persaan bersalah.

.

.

Sasuke duduk melamun di kamarnya sambil bertopang dagu. Ia sibuk memikirkan kelakuan nekat yang dilakukannya kemarin hanya karena kata-kata dari Naruto. Dengan sangat percaya diri, ia telah membuat janji dengan seorang direktur terkenal dunia. Janji yang akan membawanya pada permasalahan. Entahlah...

Dan di sinilah dia, seorang Sasuke Uchiha sedang melamun galau dengan beberapa tarikan napas putus asa.

Sebuah tepukan di bahunya, menyadarkan pemuda raven tersebut dari kegalauan. Seorang pemuda yang sudah sangat lama bersahabat dengannya datang memabwa sebuah senyuman penuh simpati dan penuh persahabatan.

"Kau pasti bisa, Teme!" ujar Naruto memberi semangat sambil duduk di samping Sasuke.

Pemuda bermata kelam itu hanya menggeleng lemah, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Hatinya serasa suram sesuram wajahnya. Tidak ada yang bisa membuat pemuda itu semangat. Bahkan tomat-tomat kesayangannya sudah membusuk karena sudah tidak lagi dimakannya. "Dobe, aku mau ramen..." gumam Sasuke perlahan.

Helaan napas kecil membawa pemuda berambut pirang itu untuk bangkit dari duduknya. Ia tahu kalau ramen itu tidak baik bagi kesehatan, apalagi untuk seorang yang tidak terbiasa memakannya. Tapi, daripada sahabat suka dukanya itu tidak mau makan, lebih baik ia memberikan ramen untuk sementara. "Baiklah! Tapi, kau harus lebih semangat, oke!"

"Hn..."

.

.

Bodyguard bertubuh tinggi itu berjalan dengan gaya khasnya di lorong kediaman Hyuuga. Baru saja ia mendengar dari bawahan, kalau seorang pemuda berambut raven telah menunggu di gerbang. Ingatannya jatuh pada pemuda kemarin hari yang telah membuat sebuah janji seenaknya dengan sang majikan. Seorang pemuda bermata onyx dengan tatapan penuh percaya diri.

'Oh, ternyata benar...' batin sang bodyguard sambil membungkuk hormat. "Silakan masuk ... janjinya sudah saya utarakan pada Hiashi-sama, kemarin."

Iris onyx itu membulat kaget seketika. Tidak menyangka kalau kedatangannya akan disambut secara langsung. Namun, dengan cepat Sasuke mengubah kembali wajahnya ke arah stoic. Ia punya harga diri di sini. "Hn, terima kasih."

Dengan langkah tegap, Sasuke berjalan di belakang bodyguard bertubuh tinggi itu. Wajahnya menyiratkan ketegasan dan keyakinan yang sangat tinggi. Tapi, siapa yang tahu kalau hatinya kini tengah kacau balau karena memikirkan kata-kata yang akan diucapkannya jika sudah berada di depan Hiashi, calon mertua.

"Silakan..."

Perkataan sang bodyguard membuat Sasuke tersadar dari pemikirannya. Ia tersentak dan mengerjap berkali-kali menatap pintu besar di depannya. Suaranya tercekat. Kerongkongannya serasa sangat sempit untuk sekedar menelan air ludah. Perlahan, keringat dingin mulai merembes turun memenuhi sekitar wajahnya. Ia benar-benar gugup.

.

Sudah hampir lima menit kedua orang berbeda umur itu saling diam. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Seakan-akan ruangan luas tersebut adalah ajang tempat bertanding siapa yang paling tahan untuk berdiam diri. Hingga lama kelamaan, ruangan dingin karena AC itu telah berubah menjadi panas dan sesak.

"Jadi, siapa kau dan apa keperluanmu?"

Sasuke tersentak saat mendengar suara berat yang berasal dari Hiashi mengudara dengan tegas. Ia sempat tercekat mengingat kata-kata tersebut sangat mirip seperti yang ada di dalam mimpinya tempo hari. 'Ti-tidak mungkin!'

"Namaku Sasuke, aku datang bermaksud untuk melamar putri anda," jawab Sasuke tegas. Matanya ia usahakan untuk menatap lurus dan tajam ke arah Hiashi.

Hiashi tampak berpikir sejenak menilai. Ia lalu beranjak dari duduknya dan mulai mengamati penampilan Sasuke. Sementara itu, Sasuke berusaha menahan dirinya untuk tidak berteriak dan jatuh pingsan karena gugup. Ingat, dia laki-laki! 'Untuk keadaan ini, laki-laki harus pemberani, kuat, dan tegas!' batinnya menyemangati diri sendiri.

"Hmm, lumayan..." komentar Hiashi yang terdengar bagaikan angin sepoi melegakan bagi Sasuke. Namun, komentar selanjutnya, sangat jauh dari perkiraan, "Tapi sepertinya ... kau miskin."

Gedubrak!

Ingin rasanya pemuda raven tersebut, menceburkan dirinya ke dalam tempat pemandian air panas. Itu lebih baik dibanding dengan perkataan miskin yang ia dapatkan. Karena ia memang miskin untuk ukuran Hiashi yang kekayaannya sangat melimpah ruah. Sedang dirinya, untuk sebulan saja terkadang harus mengutang ke tetangga.

"Kenapa kau diam saja?" tanya Hiashi dengan sebuah senyuman mengejek yang bertengger di wajah tuanya.

Sasuke kembali terdiam, tidak tahu apa yang harus ia jawab, sementara hatinya terasa sakit karena berpuluh-puluh sembilu seakan berlomba menusuk jantungnya. Pemikirannya sudah mulai berputar di berbagai macam kata penolakan yang bahkan lebih sadis dari hinaan sebagai orang miskin yang baru saja ia dapat.

"Baiklah ... kalau begitu, kau kutolak sebagai menantuku. Pergilah..."

.

.

To
Be Continue or End?

.

Heu, saya buat fic baru, alias sekuel dari fic 'Orang Gila'. Jadi, ada baiknya fic tersebut ikut dibaca juga, tidak lupa direview, hehe #plak. Maunya saya buat oneshot, tapi kepanjangan, ini aja udah mencapai empat ribu words.

Gimana readers, fic ini bagus nggak? Atau idenya pasaran? Saya berhari-hari memikirkan fic ini, lho...

Baiklah, saya sangat sayang dengan readers semua, karena itu saya persembahkan fic ini pada readers sekalian. Karena itu, readers harus menatap saya penuh kasihan(?) dengan memberikan review sebagai penilaian atas fic ini...

Oke, direview ya ... terutama buat readers yang udah minta sekuel kemarin! #nodong bazooka