Halo minna-san~

Fic ketiga Rei nih, hehe

Read and enjoy it! ^o ^

Oooo000oooO

Misteri itu apa?

Sesuatu yang belum terpecahkan.

Kalau sudah dipecahkan bukan misteri lagi?

Bukan.

Tapi katanya ada misteri yang memang lebih baik untuk tetap jadi misteri?

Tapi tetap saja misteri itu sudah dipecahkan, hanya belum diberitahukan.

Detective Conan © Aoyama Gosho

Warning:

OOC, AU, geje.

Ket : "aaaaaa"= percakapan biasa.

aaaaaa= pikiran Shinichi.

Now, let's the story begin....

Oooo000oooO

FIRST: MYSTERY...

Suara jam weker Shinichi memecahkan kesunyian dan ketentraman suasana pagi. Shinichi –yang matanya masih terpejam- meraba-raba meja di samping tempat tidurnya, mencari keberadaan jam weker yang telah mengganggu tidurnya. Tangan Shinichi menyentuh berbagai benda. Buku. Lampu. Pensil. Kunci. Ah, ketemu! Tapi bukannya menekan tombol untuk mematikan alarm, Shinichi malah memukulnya dengan keras. Alhasil, sang weker terjatuh dari atas meja dan hancur berkeping-keping. Eh tunggu, itu terlalu berlebihan! Jam wekernya Cuma remuk dan ada beberapa bagian yang lepas, tidak sampai berkeping-keping kok. Yah lupakan saja jam weker itu, kita kembali ke tokoh utamanya, Shinichi. Makhluk itu ternyata masih terlelap. Sungguh keterlaluan…

Tiririririt

Kini giliran HP Shinichi yang bersuara. Tapi tetap saja Shinichi tidak mau membuka matanya. Ia sepenuhnya mengandalkan tangannya dan kesadarannya yang masih seperempat persen untuk menemukan benda itu. Tidak sulit untuk menemukannya, karena Shinichi tidur tepat di atas benda itu. Getaran HP itu sampai terasa di punggung Shinichi.

"Ha-"

"Shincihi kamu masih tidur ya?!" terdengar suara gadis dari seberang sana. Dan ia terdengar jengkel, sampai-sampai ia tidak membiarkan Shinichi menyelesaikan sapaan 'halo'nya.

"Hm? Ran ya? Hoahm~" Shinichi tentu saja mengenali suara itu. Suara temannya sejak kecil, Ran Mouri, yang setiap pagi mengganggunya dengan menelponnya. Sebenarnya itu tidak bisa dibilang mengganggu, karena jika Ran tidak menelpon maka setiap hari Shinichi pasti telat datang ke sekolah.

"Ini sudah hampir jam 9 lho, Shinichi!" Ran terdengar makin jengkel. Ia heran kenapa sang detektif hebat itu selalu susah dibangunkan.

"Memangnya ada apa jam 9?" tanya Shinichi dengan –masih– memejamkan mata.

"Kamu kok jadi pikun sih?! Hari ini kan kamu ada pertemuan buat bahas kasus kemarin!"

Dan detik itu juga kedua mata Shinichi terbuka lebar. Ya, hari ini dia ada pertemuan penting dengan Inspektur Megure, Detektif Kogoro, Heiji dan beberapa polisi lain untuk membahas kasus pembunuhan berantai yang terjadi sejak beberapa minggu yang lalu. Sudah ada empat korban, dan korban terakhir ditemukan kemarin. Dan bisa saja ia jadi korban pembunuhan –atau paling tidak penganiayaan– jika ia sampai telat datang ke pertemuan itu. Detik berikutnya Shinichi melemparkan HP yang dipegangnya –yang untungnya tidak mengalami nasib yang sama dengan wekernya– dan berlari menuju kamar mandi.

Ia membuka pintu kamarnya, tapi yang menyambutnya bukanlah dinding koridor dengan berbagai coretan yang ia tulis saat kecil yang biasa ia lihat setiap membuka pintu kamar. Yang menyambutnya adalah suatu cahaya terang yang menyilaukan mata. Refleks Shinichi menggunakan lengannya untuk menahan silau. Kakinya yang terlanjur melangkah keluar kamar dengan kecepatan penuh tak dapat dihentikan. Sayangnya, lantai yang seharusnya ia injak telah menghilang entah kemana. Dan kini, Shinichi terjatuh menembus cahaya terang itu. Jeritannya membahana di antara cahaya.

BRUK!

"Adududuh...," Shinichi mengaduh kesakitan, "Ternyata jatuh dengan pantat duluan itu tetep aja sakit ya."

Yah, yang namanya jatuh pasti sakit lah...

Shinichi lalu bangkit dan mengelus-elus pantatnya yang masih sakit.

"Aku tadi jatuh dari mana sih? Dari atas ya?"

Pertanyaan retoris. Namanya jatuh juga pasti dari atas, masa dari bawah? Oke, lupakan saja kebodohan Shinichi yang satu itu. Shinichi lalu menengadahkan kepalanya. Mungkin ia berharap akan melihat lantai rumahnya yang bolong di atas sana. Tapi tentu saja tidak ada lantai disana. Yang ada hanya langit biru yang terbentang luas. Dengan sang bulan yang bertengger di atas langit, membuat suasana menjadi cerah. Tunggu dulu, bukannya harusnya matahari ya?

"KOK BULAN?!" seru –teriak lebih tepatnya– Shinichi.

Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Ternyata ia tengah berada di sebuah taman yang cukup ramai. Di ujung sana ada gurita yang menjual okonomiyaki, ada sepasang kelinci yang berdiri –dengan dua kaki– yang terlihat menunggu pesanan mereka. Ada juga alien hijau yang sedang berjalan santai dengan menggunakan headset. Di sisi lain terlihat kuil bangsa Maya yang bertetanggaan dengan piramida Mesir dan Candi Borobudur. Di sisi yang lain lagi terlihat beberapa anak yeti sedang bermain dengan plesiosaurus(1) di danau.

Dan jika ada orang yang kenal Shinichi atau yang setidaknya tahu wajah Shinichi yang melihat keadaannya saat ini, pasti mereka tidak akan mengenalinya. Seorang pria, memakai piyama tidur berwarna biru, rambut acak-acakan, mata melebar dan melotot seakan hampir melompat dari lubang matanya, dan mulut menganga membentuk huruf O yang besar. Image cool yang biasa diperlihatkan sang detektif SMU, Shinichi Kudo, tak tersisa sama sekali di wajahnya.

"Tempat apa ini????" teriak Shinichi.

Tapi tampaknya teriakannya tak terlalu menarik perhatian para mahkluk itu. Mereka hanya menoleh sebentar lalu kembali melanjutkan aktifitasnya masing-masing. Tak ada yang berkerumun. Tak ada yang berbisik-bisik membicarakannya. Yah, tak ada apa-apa. Mereka mengabaikannya.

"Tunggu dulu, apa semua ini mimpi? Tapi tadi pantatku sakit, berarti bukan mimpi. Tapi kan tadi aku jatuh ke bawah, kenapa tiba-tiba bisa ada disini? Kenapa ada alien? Kenapa ada kelinci yang berdiri dengan dua kaki? Kenapa ada yeti? KENAPA AKU ADA DI TEMPAT ANEH INI?!"

Hmm, ini peristiwa langka. Sang detektif hebat Shinichi Kudo yang biasanya selalu tenang terlihat frustasi. Dan bisa dibilang ia terlihat seperti orang bodoh saat ini. Jangan-jangan kapasitas otaknya menurun? Atau otaknya tiba-tiba berpindah ke tempat lain? Oke, itu tidak mungkin. Tapi semua yang ada disana juga tidak mungkin kan? Yah, terserah saja. Lagipula berhubung tidak ada manusia di sekitar sana, jadi ia terlihat sebagai manusia normal walaupun keadaannya tidak normal...

Beberapa saat kemudian, Shinichi telah mendapatkan kembali ketenangannya. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan. Ia kembali mengamati keadaan sekitarnya, berjalan ke beberapa sudut, lalu terdiam. Shinichi mulai memeras otaknya. Satu per satu fakta disusun dalam otaknya, membentuknya menjadi kepingan-kepingan puzzle. Dan ia mulai menyusun puzzle-puzzle itu agar menjadi suatu objek yang jelas dan utuh.

"Kelinci harusnya berjalan dengan empat kaki, tapi bisa saja mereka dilatih untuk berjalan dengan dua kaki. Gurita juga bisa dilatih untuk menjual okonomiyaki. Tapi untuk apa mereka melakukan hal itu? Sebagai bahan pertunjukan? Tapi tidak terlihat ada penonton di sekitar sini, bahkan tidak terlihat satu manusia pun disini. Atau jangan-jangan mereka memakai kostum? Ah, ya. Pasti begitu. Ini pasti suatu taman hiburan baru. Benar, benar. Memang begitu seharusnya..."

"Itu kan 'seharusnya', tapi kenyataan tidak selalu seperti yang 'seharusnya'." ujar sebuah suara.

"Eh?"

Shinichi mengedarkan pandangannya, berusaha mencari sumber suara itu. Tidak ada orang –atau makhluk apapun– di sekitarnya. Tidak ada juga di bawah kakinya. Shinichi melihat ke atas, dan dia menemukan sosok pemilik suara itu.

Seekor burung kecil, bulunya berwarna orange kemerahan, terlihat seperti api yang membara. Bulu ekornya panjang, seperti cendrawasih, hanya saja yang ini warnanya warna api. Ukurannya seperti anak elang, tidak terlalu besar tapi juga tidak bisa disebut kecil. Itulah sosok yang berbicara tadi.

"Burung bisa bicara?" Shinichi kembali keheranan. Seharusnya ia tidak perlu seheran itu menemukan burung yang bisa bicara ditempat yang dipenuhi yeti, alien dan mahkluk aneh lainnya, tapi tetap saja ia kaget.

"Tentu saja! Tidak pernah lihat burung bicara?" jawab burung itu.

Shinichi hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dia tahu bahwa burung bisa bicara dengan bahasanya sendiri, yaitu dengan barkaok-kaok seperti gagak, atau mungkin berkicau. Ia baru tahu bahwa burung bisa bicara bahasa manusia. Atau jangan-jangan dia yang bisa bicara bahasa burung?

"Hei, apa saat ini aku berkicau seperti burung?" tanya Shinichi.

"Hah? Tidak," jawab si Burung, "Sejak kapan burung berkicau?"

"Sejak aku lahir," jawab Shinichi, "dan sepertinya sekarang aku telah jadi gila."

"Terserahlah..." ujar si Burung yang kemudian bertengger di bahu Shinichi.

"Kau itu jenis burung apa?" tanya Shinichi.

Ah, aku benar-benar sudah gila, buktinya aku mengajak burung bicara, batin Shinichi.

"Aku ini keturunan burung phoenix. Namaku Pixi."

Dan lebih gila lagi burung itu menjawab pertanyaanku.

"Ini tempat apa sih?" Shinichi kembali bertanya. Rasa ingin tahunya melebihi jeritan hatinya yang mengatakan ia gila.

Gila juga tidak apa-apa asal aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Toh sekarang aku sudah semi-gila.

"Kau ingin tahu tempat apa ini?" Pixi balik bertanya.

"Ya! Makanya aku tanya!" ujar Shinichi jengkel.

"Kalau kau ingin tahu, ikut aku. Aku akan mengantarmu ke orang yang bisa menjelaskannya."

"Kenapa tidak kau saja yang menjelaskan?"

"Aku tidah tahu semua hal, aku kan masih anak-anak."

"Ooh..."

Lalu Pixi terbang dari bahu Shinichi. "Ikuti aku!" perintahnya.

Shinichi pun menurut. Ia benar-benar penasaran pada tempat itu. Dan ia ingin cepat-cepat pulang, jika tidak....

"Pertemuannya!" pekik Shinichi.

"Ada apa?" tanya Pixi.

"Aku harus segera pulang! Sekarang juga!"

"Ya sudah tinggal pulang saja kan..."

"Aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari sini. Bahkan aku tidak tahu ini dimana!"

"Karena itu kita akan menemui orang yang bisa mengatakannya padamu"

Shinichi menghela napas berat. Tidak ada harapan lagi untuk datang tepat waktu ke pertemuan itu. Jadi lebih baik ia berkonsentrasi menyelidiki tempat itu saja. "Baiklah, ayo antar aku."

Pixi kembali terbang, menunjukkan jalan bagi Shinichi ke tempat orang yang ingin ditemui Shinichi.

"Pixi, kau tahu kenapa ada dinosaurus disini?" tanya Shinichi memulai percakapan.

"Karena mereka tinggal disini." Jawab Pixi singkat.

"Bukankah mereka sudah punah?"

"Mereka ada disini sejak kakeknya nenek dari kakeknya nenekku ada disini."

Kenapa tidak bilang 'mereka ada disini sejak dulu' saja sih?

"Terus kenapa ada yeti? Bukankah mereka itu cuma legenda?"

"Mereka ada disini sama lamanya dengan keberadaan dinosaurus. Kenapa kamu banyak tanya sih?"

"Aku kan cuma penasaran! Makhluk yang ada disini semuanya aneh sih!"

"Justru orang yang banyak bertanya sepertimu yang aneh!"

"Eh?" Shinichi kembali keheranan. Apa ada yang aneh kalau aku bertanya seperti itu? Mereka semua kan memang aneh! Ah, sudahlah. Aku tanya orang yang akan ditunjukkan Pixi itu saja!

Jadi, Shinichi telah kembali memperoleh kontrol dirinya. Tidak ada lagi wajah seperti orang bodoh yang tadi, yah walaupun dia masih tetap memakai piyama dan rambutnya masih acak-acakan. Naluri detektifnya mengatakan bahwa orang yang akan ditemuinya itu pasti bisa memberikan jawaban yang rasional atas dunia yang irrasional ini. Logikanya telah kembali bekerja. Kali ini dengan lebih tenang dan mantap. Dan ia yakin akan dapat menyelesaikan misteri ini dan kembali pulang. Harus!

"Kita sudah sampai," ujar Pixi.

Mereka berhenti di depan sebuah bangunan rumah bergaya Eropa lama.

"Sepertinya aku tahu tempat ini..." ujar Shinichi.

Oooo000oooO

Tsuzuku

.........

Note:

Plesiosaurus adalah salah satu jenis dinosaurus, jenis yang sama dengan dinosaurus yang konon menghuni danau Lochness.

Gomen pendek, nggak nyampe 2000 wordnya.. Tapi kalo nggak dipotong disini jadinya nggak seru XP. Tapi akhirnya Rei buat fic multichap, haha. Fic ini ga bakal jadi terlalu banyak chap kok, paling cuma two-shot. Maksimal three-shot. Yah, tunggu aja ya. Rei update secepat mungkin deh, kalo ga males *dibakar*. Oh ya, idenya Rei dapet waktu baca ulang Kaiki Senban Jugoro © Kawakubo Eiji. Konsepnya hampir sama, tapi alur ceritanya murni ide Rei sendiri kok, tenang aja, hoho. Pixi itu bisa dibilang OC, asal comot nama sama chara yang lewat di otak saia aja, haha.

Lalu, apakah ada typo? Aneh? Geje? Terlalu OOC?

Let me know~

Review if you don't mind ^^

Doumo arigatou buat yang udah baca~

Ja ne!