•⭐01⭐いちごチョコ⭐•

- 01 Ichigo Choco -

By: Ietsuna G. Ventisette

G27

Cast: Giotto (Ieyasu Sawada);Tsunayoshi Sawada

Rated: M

Genre: Drama, Romance

Katekyo Hitman Reborn!

©Akira Amano


[!]

OOC

[G27] ER

Yaoi

Lime

•••


Senandung merdu dari seorang remaja terdengar dari sebuah ruangan. Tepatnya dari dapur di kediaman Sawada. Remaja itu adalah Sawada Tsunayoshi, 18 tahun. Ia tengah mempersiapkan sesuatu untuk menyambut kedatangan sang kekasih.

Sang kekasih itu ialah Giotto. Seorang remaja berkebangsaan Italia. Yang menetap karena tuntutan pekerjaan orangtuanya di Jepang. Mau tak mau ia pun turut serta dan memulai kehidupan baru di negeri asing.

Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Mereka dipertemukan dan kemudian saling mengenal satu sama lain. Hingga persahabatan mereka berubah menjadi lebih intim. Dan mereka mengikatnya dalam sebuah tali hubungan.

Senyuman manis terus menghiasi wajah Tsuna yang kian berseri-seri. Tak jarang ia terkikik pelan membayangkan sebuah imajinasi jenaka tentang Giotto. Ia melirik jam dinding yang ada di dapur. Ia mengeluarkan ponsel dan memeriksa pesan yang masuk.

Bingo! Ada e-mail dari Giotto yang mengatakan bahwa ia sedang berada dalam perjalanan. Tsuna membalas e-mail dari sang kekasih dan mulai merapikan meja makan. Ia menatanya sedemikian rupa. Ia tak mengharap sebuah pujian dari Giotto. Melainkan ia hanya ingin menyenangkan hati sang kekasih yang tercinta.

"Selesai!" ia menatap hasil pekerjaannya dan tersenyum puas.

Tsuna berlari kecil menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Ia berganti pakaian dan merapikan diri. Tak mungkin ia tampil acak-acakan di depan kekasihnya sendiri. Apalagi hari ini adalah kali pertama Giotto datang ke rumahnya.

Ia merasa suasana hatinya bercampur aduk. Ada rasa senang juga gugup yang menjadi satu. Juga perasaan lainnya yang membuat ia cemas bukan main. Tetapi Tsuna meyakinkan diri bahwa hari ini akan berjalan dengan baik.

Setelah merasa yakin dan sempurna, Tsuna berlari kembali menuruni tangga seraya menyisir rambutnya dengan jari. Tepat saat menginjakkan kakinya di lantai, bel rumah berbunyi. Tsuna segera berjalan ke arah pintu dan membukanya.

Jantung Tsuna berdebar saat sosok itu berada tepat di hadapannya. Giotto tampil kasual. Sangat berbeda saat ia tampil dengan seragam sekolah. Sangat memesona. Tsuna merasa sangat beruntung.

Giotto menyunggingkan senyuman kecil. "Lama menunggu?" tanyanya seraya mengacak surai cokelat Tsuna yang lembut.

Semburat merah muncul di wajah Tsuna. "E-eh!? Ti... tidak," sahutnya gugup. Tsuna sedikit memberi jalan pada Giotto. Sosok jangkung yang seusia dengannya itu kini berdiri tepat di sampingnya.

Manis sekali Tsuna hari ini. Giotto sampai harus menahan diri agar tidak membuat kekasihnya itu menangis ketakutan. Ia malah sibuk menatap kekasihnya yang mungil nan imut itu.

Merasa Giotto terus memerhatikannya, Tsuna salah tingkah. "A-apa?" Tsuna merasa tak nyaman. Ia menjauh sedikit.

Sadar Giotto telah membuat kekasihnya tak nyaman, ia pun memujinya. "Kau manis sekali," kata Giotto sambil tersenyum.

Sontak pujian itu membuat wajah Tsuna memerah seketika. "Giotto..." Ia menyikut pelan pinggang sang kekasih malu-malu.

Uh, sangat menggemaskan! Giotto ingin sekali mencubitnya sayang. Ia mengulum senyum dan sedikit membungkuk. "Aku serius," katanya berbisik seraya mengecup pipi Tsuna yang merah. Ia menariknya, "Ayo bawa aku masuk, Tsunayoshi."

Tsuna terkejut. "Giotto!" protes Tsuna. Kenapa dia senang sekali membuatnya seperti ini? Ia tahu. Giotto itu memang sedikit jahil.

Giotto terkikik pelan. "Kau lucu Tsunayoshi."

Tuh kan... Tsuna segera menuntun Giotto menuju ruang tengah. Ia menggenggam tangan Giotto erat. "Tasnya simpan saja di sini."

Giotto mengedarkan pandangan dan mengangguk pelan. "Kau tidak membawaku ke kamarmu?" tanya Giotto sedikit aneh. Ia menyimpan tasnya di atas kotatsu.

Apa?! Pertanyaan itu membuat Tsuna terkejut. "U-untuk apa?" tanyanya heran. Jika dia temannya, Tsuna akan membawanya ke sana. Namun kali ini berbeda.

Dahi Giotto berkerut samar. Ia merasa lebih heran. "Menyimpan tas," sahutnya asal.

"Di sini juga bisa," timpal Tsuna. Ia bingung jika harus membawa Giotto ke kamarnya. Lebih tepatnya ia merasa belum siap.

"Tapi aku ingin melihat kamarmu, Tsunayoshi," kata Giotto merajuk. "Atau jangan-jangan..." Ia menatap curiga.

Tsuna bergidik ngeri dengan tatapan sang kekasih. "Ja-jangan... jangan apa...?" tanyanya waswas. Jangan-jangan Giotto curiga ia menyembunyikan sesuatu. Seperti barang berbahaya. Majalah porno misalnya. Yang akan selalu tersimpan rapi dan tersembunyi bagi kebanyakan remaja seusianya.

Kenapa Tsuna seperti ketakutan? Padahal Giotto tak bermaksud seperti itu. "Seperti kapal pecah, ya?" kata Giotto tiba-tiba dengan polosnya.

Tsuna hampir terjungkal mendengarnya. "Tidak!" kata Tsuna tegas. Ia pikir Giotto akan menanyakan sesuatu yang lain. Belum apa-apa Giotto sudah membuatnya takut dan kesal.

Kenapa Tsuna malah marah? Ah! Mungkinkah... Giotto bisa menebak apa yang sedang kekasihnya itu pikirkan. "Lalu?" tanya Giotto masih penasaran.

Orang ini... Tsuna menahan diri. Bagaimanapun juga ia harus bisa mengerti dengan budaya mereka yang cukup berbeda. "Nanti ke kamarku setelah kau mencoba kue buatanku," kata Tsuna mengganti topik pembicaraan.

"Kue?" Air muka Giotto berubah. "Wah, kejutan, ya?" tanyanya antusias. Ia memang belum pernah mencoba kue buatan sang kekasih. Kecuali bento yang selalu ia buat untuknya.

Tsuna mengangguk, "Begitulah." Ia tersenyum. "Semoga kau menyukainya." Ia berharap demikian karena tak ingin mengecewakan Giotto.

Giotto tersenyum lebar. "Kalau begitu aku ingin segera mencicipinya." Kue buatan pertama kekasihnya yang manis. Pasti rasanya enak pikir Giotto.

Wajah Tsuna memanas. "Baiklah, ayo ke sini," katanya sambil berjalan mendahului Giotto ke dapur. Ia tak mampu melihat langsung ke arah matanya. Senyuman itu membuat jantungnya berdebar hebat.

Giotto menatap heran. Ada apa dengan Tsunayoshi? Ia mengikutinya dari belakang. Namun kemudian ia mengulum senyum tipis. Ia melihat telinga Tsuna memerah. Bisa ia pastikan semerah apa wajah kekasihnya yang manis itu sekarang. Ia menahan tawa.

Saat ini, di rumah itu hanya ada Tsuna dan Giotto. Nana, ibu Tsuna sedang pergi berbelanja dan akan kembali nanti sore. Sementara sang kepala keluarga, Iemitsu, tengah sibuk dengan pekerjaannya di luar negeri.

"Duduklah," kata Tsuna. Ia bingung dengan Giotto. Sepertinya sang kekasih sedang menyembunyikan sesuatu. "Ada apa, Giotto?" tanyanya penasaran.

Giotto menggeleng pelan, "Bukan apa-apa." Ia segera menarik kursi dan duduk manis.

Tsuna mengambil piring kecil dan pisau. Kemudian memotong kue buatannya. Ia sedikit gerogi karena Giotto terus memerhatikan. Sepotong kue tersaji. Ia memberikannya pada Giotto. "Cobalah," katanya sedikit gugup. Berharap sang kekasih menyukainya.

Jika Giotto berada di sini lebih awal, maka ia akan melihat betapa mengerikannya dapur itu. Kotor dan berantakan.

Kaa-san! Bagaimana ini?! Hiii! Mengingatnya, membuat Tsuna ingin tertawa sendiri. Rasa gugup yang terlalu besar membuatnya seperti ini. Semua karena Giotto.

Giotto memerhatikan kue itu. Sebuah mini cake berbentuk bulat yang didominasi oleh krim berwarna putih dan tambahan aksen krim berwarna biru. Sederhana namun mengesankan. "Tentu." Ia tak langsung mencicipinya. Ia malah menarik Tsuna agar duduk di sampingnya. "Duduk," katanya bernada perintah.

"Eh? I... iya." Tsuna segera duduk di samping Giotto. Ia menoleh ketika Giotto menggenggam tangannya erat. Wajahnya kembali merona. "A, apa?"

"Duduklah di sampingku," kata Giotto. Ia tersenyum lembut.

Jatung Tsuna berdetak keras. Wajahnya memanas. Ia mengeratkan genggaman tangannya tanpa ragu. Ia sedikit menunduk. Tak berani menatap wajah kekasihnya saat ini.

Giotto menyuapkan kue itu ke mulutnya. Raut wajahnya tak memperlihatkan sesuatu yang aneh.

Tsuna memberanikan diri untuk melihat wajah Giotto. Ia tengah berharap-harap cemas. Semoga ia tak gagal dan mengecewakannya.

Kemudian wajah Giotto berubah cerah. "Aku suka ini," pujinya.

"Be-benarkah?" mata Tsuna berbinar. Ia sangat senang Giotto menyukai kue buatannya. "Kalau begitu habiskan."

Giotto mengerjap. "Aku sendirian?" tanyanya heran. "Kau juga harus, Tsunayoshi," katanya setengah memaksa.

Tsuna menatap wajah tenang kekasihnya dan menggeleng pelan. "Tapi aku membuatnya hanya untukmu." Aku ingin melihat wajahmu saat menikmati kue itu dalam hati Tsuna menambahkan.

"Dan aku ingin kau juga menikmatinya," kata Giotto memaksa.

"Tapi..." Tsuna merasa tak enak hati pada Giotto.

"Tidak ada tapi-tapian, Tsunayoshi," kata Giotto memperingatkan. Ia menatap lurus mata Tsuna.

Saat Giotto menatapnya seperti itu, ia tak bisa menolak. Tsuna mengangguk, "Umh, baiklah..." ia terpaksa menurut dan pasrah.

Giotto tersenyum penuh kemenangan. "Aku suapi, ya?"

"Eh?" Tsuna menggeleng cepat. "Aku bisa sendiri," katanya menolak dengan halus.

Giotto tidak mau menyerah. Ia membujuk Tsuna agar menurutinya. "Hanya kali ini saja, Tsunayoshi. Lagipula di rumahmu sedang tidak ada ibumu, kan? Jadi tidak ada yang akan melihat."

Itu benar. Lagipula tidak ada salahnya pikir Tsuna. "Baiklah... Tapi sekali saja, ya?"

Giotto menang lagi. "Iya." Ia mulai mengambil potongan kecil untuk Tsuna. Ia mulai gemas saat melihat mulut Tsuna yang terbuka kecil.

Tsuna tampak malu-malu saat Giotto menyuapinya. Sedang Giotto sendiri sangat senang bisa makan bersama dengan kekasihnya. Hanya berdua seperti ini.

"Kau suka?" tanya Giotto seraya mendekatkan wajah.

Tsuna sedikit menghindar. "U-um," ia mengangguk pelan.

Melihat Tsuna yang menghindar, membuat Giotto ingin sedikit menjahilinya. "Mau mencobanya dari mulutku langsung?"

"Eh?" mata Tsuna mengerjap. "Mulut?" Itu artinya dari mulut ke mulut!? Wajahnya memerah seketika. "Gio... Giotto..." ia memukul pelan lengan Giotto.

"Kenapa?" tanya Giotto.

Tsuna diam. Ia menatap Giotto. Mencoba mencari tahu apa dia sungguh-sungguh atau hanya... "Ti, tidak apa-apa," ia menggeleng keras.

Seringaian kecil muncul. Tanpa ragu Giotto mengecup Tsuna tepat di bibir. "Kalau begitu biarkan aku mencicipinya sebentar," bisiknya pelan.

Dia serius!? Tsuna gelagapan. Bagaimana ini...? Ia bingung sekali. Kalau ia menolak maka... Tapi ia juga... "Umh..." Ia mengangguk kecil tanda persetujuan.

Niat untuk menjahili Tsuna luntur. Kini berganti menjadi godaan yang tak bisa ia hindari. Salahkan si manis ini. Dia yang membuat Giotto menjadi seperti ini. Perlahan ia mendekat. Leher sang kekasih adalah incarannya. Ia mengecupnya dengan pelan. Kemudian ia mengisap kecil leher jenjang Tsuna.

"Ungh." Lenguhan kecil meluncur dari bibir mungil Tsuna. Ia merespon. Tangannya mengalung sempurna di leher Giotto.

Dengan giginya, Giotto memberikan sebuah gigitan kecil. Sebuah gigitan yang akan membekas cukup lama di leher Tsuna.

"Ahh..." Tsuna merasakan sengatan itu. Sensasinya membuatnya bangkit dan bergairah.

Giotto pun merasakan hal yang sama. Gairah mulai menguasainya. Ia menuntun tangan Tsuna agar memegang sesuatu yang timbul di bawah perutnya. "Tsunayoshi..."

"Anh... Giotto..." Tsuna merasakannya. Milik Giotto yang mengeras. Ia menggenggamnya dan sedikit meremasnya.

"Aku menyukaimu..." bisik Giotto. Ia menggigit pelan daun telinga Tsuna dan tangannya mulai meremas milik sang kekasih yang juga ikut mengeras.

Tsuna mati-matian menahan lenguhannya. "Unh..." Ia memejamkan matanya erat. Menikmati permainan tangan Giotto yang memanjakannya di bawah sana. Sesuatu mulai mendesaknya. Hingga ia keluar.

"Basah," bisik Giotto pada telinga Tsuna.

Tsuna menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Giotto. Ternyata ia yang keluar pertama. Terhitung sangat cepat. Baru kemudian sang kekasih. Tsuna merasa sedikit kecewa. Inginnya ia keluar bersamaan.

Raut kecewa di wajah Tsuna tentu ditangkap baik oleh Giotto. "Mau kubersihkan?" Giotto menawarkan diri.

Tsuna mengangguk. "Tapi tidak di sini," katanya pelan.

"Aku mengerti." Ia mengelus surai cokelat Tsuna yang terasa lembut di tangannya.

Mereka berdiri. Tsuna menuntun Giotto ke kamar mandi. Tak lupa ia mengunci pintu. Hanya untuk antisipasi kemungkinan terburuk. Di dalam sana, Tsuna berdiri menghadap Giotto. Tanpa ragu ia melepas celananya di hadapan sang kekasih. "Di sini," katanya berbisik.

Giotto mengulum senyumnya. Ia berjongkok dan kedua tangannya memegangi pinggul Tsuna kokoh. Dan sekali gerakan, ia melahap milik sang kekasih. Ia mengulumnya.

"Unh." Tsuna melenguh. Ia tak bisa menjaga tubuhnya agar tetap tegap. Ia menutup rapat bibirnya. Ia bersandar pada dinding kamar mandi. Seluruh tubuhnya memanas. Meminta lebih.

Giotto tahu apa yang Tsuna inginkan saat ini. Dengan lihai ia memainkan kejantanan Tsuna dengan mulutnya. Ia akan memberikan servis tambahan. Sepertinya bukan hanya "Membersihkan". Tetapi juga... Inginnya.

Tsuna tak bisa menahannnya lagi. Ia menjambak rambut Giotto. "Aahh..." Ia memaju-mundurkan miliknya di dalam mulut Giotto.

Giotto agak terkejut. Tapi ia tak keberatan. Justru ia senang. Malah ia ingin menyentuhnya lebih jauh lagi. Tsuna telah membuatnya bangkit hari ini.

Napas Tsuna memburu. Ia pun semakin cepat melakukannya. Hingga ia keluar untuk yang kedua kalinya. Ia merasa lega dan mulai mengatur napasnya. Ternyata bermain sendiri cukup melelahkan.

Tanpa ragu Giotto menelan cairan kenikmatan Tsuna. Ia berdiri dan mencumbunya singkat. "Mau mencobanya?"

Tsuna menatap ragu. Ia takut tak bisa memuaskan Giotto. Ia masih bingung dan takut salah.

Giotto membelai lembut wajah Tsuna. Ia tahu apa yang sedang kekasihnya pikirkan.

"A-aku tidak bisa..." kata Tsuna ragu.

Giotto tersenyum. Ia takkan berhenti membujuk kekasihnya. "Kau belum mencobanya, Tsunayoshi."

"Tapi..." Tsuna tampak berpikir. "Se-sebentar saja, ya?"

Giotto berdiri. "Kalau begitu lakukan." Ia segera mengeluarkan kejantanannya yang sudah membesar. "Ayo, Tsunayoshi."

Kini Tsuna yang berjongkok. Tsuna menatap kejantanan Giotto dengan wajah bersemu. Kejantanan Giotto yang perkasa ia lahap dan mulai melakukan yang seperti Giotto lakukan padanya. Matanya terpejam. Tsuna bergerak luwes.

Giotto mendesis pelan. "Uh, iya, seperti itu Tsunayoshi..." Giotto menyukainya. Terasa nikmat. Ia mengelus kepala kekasihnya pelan.

Tsuna tengah berusaha. Ia tak terlalu percaya diri melakukannya. Tsuna melirik Giotto dan menemukan kekasihnya tampak tengah menikmatinya.

Giotto tersenyum. Sepertinya ini adalah waktunya. "Cukup Tsunayoshi." Ia menariknya dan seketika cairan itu menyembur dan membasahi wajah Tsuna.

"Giotto..." Tsuna menatap Giotto dengan tatapan sayu dengan bibir sedikit terbuka. Sungguh sangat menggoda.

"Tsunayoshi..." Giotto yang tergoda kembali mengunci bibir mungil itu dengan bibir basahnya. Ia lumat bibir mungil kekasihnya. "Aku menyukaimu..." katanya di tengah permainan.

"Giotto..." Tsuna memberikan kecupan di bibir Giotto. "Aku juga menyukaimu, Giotto..." katanya pelan.

"Tsunayoshi..." Ia rengkuh tubuh mungil kekasihnya. Ia cumbu kembali kekasihnya.

Tsuna terangsang lagi. "Uh, ahh..." Sepertinya ini akan berlangsung lama. Tapi tak mengapa. Ia tak keberatan.

"Kau menyukainya, Tsunayoshi?" kata Giotto seraya menggenggam tangan Tsuna erat.

Tsuna mengangguk. "Aku suka," akunya pelan. Ia meremas tangan Giotto. "Hari ini aku senang," katanya sambil menatap langsung mata sang kekasih.

Ia membalas tatapan itu. "Aku juga," katanya dengan berbisik. Giotto tersenyum bahagia. Ia yakin, dalam mata mereka terpantul wajah mereka masing-masing. "Ayo kita lanjutkan makannya."

"Iya." Tak henti-hentinya Tsuna menatap penuh kekaguman pada kekasihnya ini. Ia beruntung. Sangat beruntung.

Bagi Giotto, Tsuna sangatlah baik. Ia tak ingin memaksanya jika memang tak ingin. "Ada apa?" Ia tahu Tsuna terus memerhatikannya.

Ia tampak ragu. Tetapi, "Ingin kubuatkan yang lain, Giotto?" ia menawarkan hal lain sebagai rasa ungkapan terima kasih untuk Giotto.

Giotto terlihat sedang berpikir. "Sepertinya... Tidak," katanya sambil menggeleng.

"Eh? Kenapa?" tanya Tsuna sedikit kecewa.

Melihat raut kecewa itu membuat Giotto tak tega. Ia pun membungkuk dan membisikkan, "Aku hanya ingin dirimu."

Wajah Tsuna bersemu kembali. Kini merah wajahnya menyaingi sebuah tomat segar. Jika ia tak kuat, mungkin ia akan jatuh pingsan sekarang juga. "Giotto..."

•••

•Fin•


Thanks for reading minna-san! Cerita ini kubuat untuk memperingati hari G27.

G27 Forever! Yeay!~

[!] Bagian kedua : 27あめのうた」

Ciao!

[Ietsuna G. Ventisette]