Another Farmer, Another Story
A Harvest Moon (Back to Nature) Fanfiction
Disclaimer : Harvest Moon merupakan kepemilikan pemiliknya – yang dimana pemiliknya bukan saya.
Chapter 1 : The Newcomer
…Angin.
…Pasir.
…Matahari.
…Laut.
…Kenapa aku bisa sampai disini coba…
"Ya! Terima kasih telah menggunakan jasa perkapalan Kapalku! Selamat bersenang-senang di Mineral Town!" sahut seorang staff kapal.
"Tunggu!" seruku lebay seraya menghampiri orang itu, "Ehhh, nganu, kok aku kesini ya? Memang aku ada urusan apa disini?"
Orang itu menatapku layaknya aku orang setres.
"Ya mana aku tahu..? Kamu yang beli tiket kesini sendiri kok," jawabnya dengan nada yang agak kasar. Karena orang itu nyolot, aku pun meminta maaf dan pergi meninggalkannya.
Sepertinya aku ingat memiliki urusan penting disini… Tapi entah kenapa aku tidak bisa mengingatnya…
Aku melihat sekelilingku dan memutuskan untuk pergi berkeliling mencari tujuan hidup. Anehnya, dalam perjalananku tidak terlihat siapapun.
A-Apa mungkin… ini kota hantu?!
Aku menyingkirkan pikiran negatif itu karena kulihat bangunan dan jalanannya terawat dengan baik, jadi tidak mungkin kalau tidak ada orang yang hidup disini.
Lalu aku harus apa disini? Aku harus kemana? Apakah mungkin aku menulis sebuah catatan untuk meningatkanku-
Kereta pertanyaanku terhenti ketika aku merasakan keberadaan secarik kertas di saku jaket kiriku. Aku mengeluarkannya dan mulai membacanya.
Bingo! Ini dia kertas sontekanku!
Salam untuk diriku sendiri,
Ketika kamu- ketika aku membaca ini, ingatanku telah kuhapus sebagian demi kebaikanku sendiri. Aku pergi ke Mineral Town dari sebuah kota besar yang namanya tidak penting, dan tujuanku adalah mengambil alih lahan pertanian yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang baru-baru ini meninggal. Pemilik itu tidak lain adalah kakekku (Jangan banyak tanya, pokoknya untuk sekarang anggaplah hal ini fakta). Ah, yang jelas, sekarang aku bernama Jack. Tidak perlu menanyakan nama belakangku karena semua orang di Mineral Town tidak memiliki nama belakang. Eh, ya… Kira-kira begitu. Kalau aku pergi ke lahan yang tadi kusebutkan, kemungkinan besar aku akan bertemu dengan Mayor Thomas dan ia akan menjelaskan segalanya dengan lebih jelas untukku. Pokoknya, aku harus bisa membina hidup yang baik di Mineral Town. Oke, selamat menjadi petani!
Salam,
Aku
"...Hah..? Petani?" gumamku, "Aku siapa sih? Orang sinting ya? Tinggal di kota besar enak-enak, malah kabur ke desa gak jelas kayak gini buat jadi petani…"
Aku masih bingung menerima kenyataan. Mana mungkin aku sebego ini? Kenapa ingatanku dihapus segala? Jangan-jangan aku punya kelainan mental?!
Hmm… Ingatan terakhirku…
…
Tanggal 13 Maret? Sepertinya aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi setelah hari dimana aku pergi ke Grand Opening restoran temanku itu…
Segera kuraih telepon genggam yang ada di saku celanaku, dan kulihat tanggalnya.
Hah?! Bagaimana bisa hari ini tanggal 20 Maret?! Jaraknya terlalu jauh!
!
Ketika aku menyadari sesuatu, aku segera mengecek isi tasku. Ah… Ternyata dugaanku benar.
Di tanganku ada sebuah botol kosong berlabelkan 'Fazeme' – sebuah ramuan ciptaan Prof. Frederick yang mampu menghapus ingatan seseorang mulai dari seminggu sebelum ramuan ini diminum. Prof. Frederick Zeferus adalah teman ayahku sejak SMA. Semenjak orang tuaku meninggal, ialah yang menjadi waliku. Karena kakekku sudah meninggal sejak lama, satu-satunya sosok yang bisa kupanggil kakek sekarang adalah Frederick… yah, walaupun umurnya masih 50 tahunan.
JADI MAKSUDNYA MENGAMBIL ALIH LAHAN KAKEKKU YANG BARU-BARU INI MENINGGAL APA?!
Terlebih lagi, namaku sekarang Jack?! Nama lahirku adalah Luke Osborne, jadi kenapa tiba-tiba namaku turun kelas?! Uh, kenapa harus ada acara hapus ingatan segala sih?
…
Tapi… Aku tidak mungkin segoblok itu. Pasti ada alasan tertentu kenapa ingatanku harus dihapus, dan kenapa aku bisa turun pangkat jadi Jack si petani…
Aku menghela nafas panjang untuk menenangkan pikiranku. Setelah itu, aku kembali menenteng tasku dan berjalan mencari lahan yang dimaksud itu.
…
Sesaat kemudian…
Oh, ternyata cuma butuh pindah scene 5 kali dari pantai…
Aku terdiam membisu menyaksikan lahan itu.
Rumput liar dimana-mana… Batu dan kayu juga berceceran… Yang benar saja…
"HOIII!"
Refleks aku melompat kaget mendengar suara teriakan itu. Cepat-cepat aku memastikan tempat jantungku yang tadi terasa jatuh kebawah.
Aku memutar leherku untuk melihat orang yang hampir membunuhku dengan teriakannya itu.
Seorang bapak-bapak pendek berkumis tebal menghampiriku. Satu-satunya hal yang membuat tingginya terlihat normal adalah Top Hat merahnya.
"Kamu ngapain disini, hah?!" sahutnya sambil mendongak menatap mataku. Aku hampir tertawa melihat ekspresi garangnya yang tidak didukung oleh tingginya.
"Aku Jack..?" demikian jawabku. Mungkin dengan mengatakan hal itu ia bisa mengerti.
"Peduliku apa dengan namamu? Tujuanmu apa kesini? Mau digentayangin pemiliknya yang baru saja meninggal?!" ancamnya. Aduh, padahal pendek tapi masih sok ngancam… Mau ngetawain tapi nanti didepak…
"Ehhh… Aku disini untuk mengambil alih lahan ini..?" balasku, "Aku cucu dari pemilik lahan ini."
Sekejap raut wajah orang itu berubah.
"Ooooohh! Kenapa tidak bilang demikian dari awal? Baik, baik. Selamat datang di Mineral Town! Kakekmu adalah seorang petani yang luar biasa, jadi aku mengharapkan hasil yang bagus pula darimu!" sahutnya.
Apa-apaan sih orang ini… Awalnya udah kayak ringmaster sirkus gak modal, sekarang nuntut-nuntut kerja kerasku? Dia gila ya?
"…Hmm, mungkin lebih baik bila aku berbicara dengan Mayor Thomas. Apakah anda tahu lokasinya?" tanyaku.
"Haha, kamu sedang berbicara dengannya sekarang ini."
…
ORANG DENGAN NAMA YANG LEBIH HIGH CLASS DARI JACK TERNYATA GILA?! Tidak… WALIKOTA MINERAL TOWN TERNYATA GILA?!
"O-Oh… Hahaha… Seharusnya aku sudah mengetahuinya…" balasku canggung.
"Baiklah. Apa kamu pernah bertani sebelumnya?" tanyanya.
"Seingatku belum pernah," jawabku ragu karena aku tidak tahu apa-apa tentang Jack.
"Hmm, oke. Kakekmu mewariskan peralatan cocok tanamnya untukmu, jadi sekarang coba ambil cangkul dan penyiram dari kotak peralatan di dalam rumah barumu itu," perintahnya.
Tunggu, rumah baru?
Aku menatap rumah di belakangku, lalu mataku pun berbinar. Aku selalu menginginkan rumah untuk diriku sendiri. Selama ini aku tinggal bersama dengan Frederick, jadi aku tidak pernah merasakan nikmatnya hidup sendiri.
Segera aku berlari menuju pintu rumah itu. Aku sangat tidak sabar melihat isinya sampai…
Ckrek, ckrek.
…Aku lupa bahwa aku tidak memiliki kuncinya. Sepertinya aku bisa mendengar Mayor Thomas mentertawaiku…
"Maaf, maaf! Aku baru saja mau memberikan kuncinya kepadamu, tapi ternyata kamu sudah melesat duluan," katanya sambil menahan tawa.
Segera aku berlari kembali untuk mengambil kuncinya dari Mayor Thomas. Aku bisa merasakan wajahku memerah oleh perilakuku yang sangat terkesan kekanakan tadi. Tapi ini rumah yang kita bicarakan! Rumah baru!
Sepertinya aku gagal menyembunyikan rasa bahagia di wajahku karena Mayor Thomas terlihat sangat… damai? Ia memasang sebuah ekspresi yang biasa dipakai seorang ayah ketika melihat anaknya heboh sendiri ketika dibelikan mainan baru. Setelah aku menerima kunci itu, aku langsung berlari kembali untuk membuka pintu rumah baruku. Aku bahkan sudah tidak mempedulikan harga diriku lagi – aku terlalu kegirangan untuk memikirkan itu.
Setelah aku membuka kunci pintunya, aku langsung memegang gagang pintu tersebut dengan penuh gairah (?) dan membukanya.
"Surga…" gumamku. Walaupun tidak besar, rumah itu tertata dengan cukup rapi. Kesannya klasik dan simple; benar-benar seleraku. Setelah meneliti setiap bagian rumah itu, pandanganku tertuju pada sebuah kotak peralatan yang terlihat layaknya kotak harta karun. Aku pun mengambil sebuah cangkul dan penyiram dari kotak itu.
Oh, ternyata keduanya tidak berat sama sekali.
Aku bergegas keluar untuk melanjutkan tutorial dari Mayor Thomas. Sebaiknya aku cepat agar aku bisa menikmati rumah baruku nanti.
"Baguslah. Aku kira kamu akan melupakan peralatannya karena terlalu fokus pada rumah barumu itu, haha~" tawanya. Ugh, mengesalkan.
"Mana mungkin aku akan melupakan hal sepenting itu, Pak? Haha~" balasku dengan tawa yang dipaksakan.
"Baik, sekarang coba kamu—" sang Mayor menghentikan kata-katanya ketika ia menyadari betapa berantakannya lahan itu sampai-sampai tidak ada tempat untuk dicangkul.
"—Kembali lalu ambil palu dan sabit."
"Hah?"
Tentu saja pernyataan Mayor itu membuatku bingung. Sudah capek-capek ngambil cangkul sama siraman, eh disuruh balik lagi buat ngambil dua peralatan lain. Sepertinya Mayor Thomas memang agak gila.
"Aku lupa kalau lahanmu sangat berantakan, jadi aku harus memintamu membereskan beberapa tempat dulu sebelum kita bisa mulai belajar mencangkul," jelas Mayor Thomas.
"...Lalu hanya karena itu aku harus bolak balik masuk rumah?" tanyaku malas.
"Maaf, tapi ya begitulah keadaan—" sebelum Mayor Thomas menyelesaikan dialognya, aku mengambil sebuah rumput liar (Weed) dan melemparkannya keluar lahan. Tepat setelah menyentuh tanah, Weed itu menghilang (bercampur dengan rerumputan yang lain) dan satu halangan tereliminasi. Setelah itu, kuambil sebuah batu penghalang di tangan kiri dan sebuah ranting pohon di tangan kanan, lalu melemparnya keluar lahan sampai keduanya hancur berkeping-keping. Dua lagi halangan yang tereliminasi. Langkah-langkah itu kuulangi hingga sekitar 3 kolom lahan bersih, dan Mayor tidak dapat berkata-kata.
Haha! Bagaimana, Mayor? Aku hebat 'kan?!
Geh! Pikiranku barusan terdengar seperti pikiran seorang bocah SD...
Aku memasang wajah kelam ketika aku menyadari jalan pikiranku.
"Ehrm, oke, harus kuakui kalau cara itu bisa digunakan juga… Baiklah, sekarang coba kamu mulai mencangkul di lahan ini dengan area 3x3," kata Mayor.
"Hn," balasku tidak bersemangat. Aku mulai mengayunkan cangkulku dan membentuk kotak 3x3.
"Kerja bagus, sekarang… Tunggu sampai jam 10 pagi, lalu belilah beberapa bibit di Supermarket…"
…
"Ini tutorial macam apa…" balasku kesal.
"Haha, maafkan aku. Bagaimana kalau sekarang aku memberikan tur keliling kota untukmu?" tanya sang walikota.
Aku tidak menjawab, melainkan aku balik bertanya, "Apakah ada peta kota ini?"
"Tentu saja, ini," jawab Mayor Thomas seraya menyerahkan suatu gulungan kertas kepadaku.
Setelah aku mengkonfirmasi bahwa gulungan itu memang benar peta Mineral Town, aku berkata, "Kalau begitu, sepertinya aku sudah tidak memerlukan tur lagi. Terima kasih atas tawarannya."
"Tapi bukankah lebih baik bila ada penjelasan langsung tentang masing-masing tempat di kota ini? Di peta itu tidak ada keterangan macam-macam lho," balas Mayor Thomas. Aku menghela nafas.
"Mayor, bukannya aku bertingkah tidak sopan, tapi karena aku telah menempuh perjalanan jauh dari kota besar kesini, aku lelah dan mengantuk," balasku, "Jadi tolonglah, izinkan aku istirahat sekarang."
Walikota pendek berkumis itu pun terdiam dan mulai memerah ketika ia menyadari ketidaksensitifannya.
"Aku mengerti… Maaf aku tidak menyadari hal itu sebelumnya. Baik, kalau begitu aku pamit dulu. Kalau kamu menginginkan sebuah tur, pergi saja ke rumahku, oke?" balas Mayor Thomas.
Aku menganggukan kepalaku tanpa suara, dan ia pun berjalan pergi.
FREEDOOOOOOOOOM!
Aku menyembunyikan senyumanku dari sang Mayor yang belum keluar dari scene. Akhirnya aku memiliki waktu untuk diriku sendiri. Segera aku masuk ke dalam rumah baruku dan-
Tok, tok.
…Siapa?
Aku menggeram sesaat, lalu membuka pintu yang tertutup di belakangku.
"Halo! Namaku Zack! Selamat datang di Mineral Town!"
Preman adalah kata pertama yang muncul di benakku ketika aku melihat wujudnya. Dengan handuk penuh keringat digantung di leher, tanktop abu-abu, gaya rambut tidak jelas… Otomatis aku membalas sapaannya dengan membersut.
"Apa maumu?" tanyaku dengan nada cari masalah.
"Hei. Aku pikir itu bukanlah cara yang tepat untuk menyapa seseorang yang sudah jauh-jauh datang untuk membantumu," balasnya dengan muka tidak senang.
"Membantu apa?" tanyaku ketus, orang itu sepertinya mulai kesulitan menyembunyikan amarahnya.
"Hah?! Kamu mau jadi petani 'kan?! Kamu sudah mengerti tentang dasar-dasar pekerjaanmu itu?!" tanyanya dengan suara yang dinaikkan.
"Mayor Thomas baru saja mengajariku, jadi tentu saja aku sudah mengerti. Apakah kamu buta sehingga tidak melihatnya keluar dari lahanku tadi?" tanyaku sarkas. Ia mendengus keras dengan tatapan tajam ke mataku. Pada waktu itu kelakuannya bisa dibandingkan dengan seekor gorilla.
"Aaaaah? Begitu ya? Benar-benar kabar baik – dengan begini aku tidak perlu mengurusi petani angkuh sepertimu! Hah! Aku pergi," balasnya seraya membalikkan badannya. Pintu langsung kututup tanpa berlama-lama lagi.
Waktunya bersenang-senang!
Pandanganku sudah lama tertuju pada televisi model lama di rumah baruku itu. Aneh, aku tidak bisa melihat remote TVnya.
Baiklah, waktunya mencari…
…
…
…
Kira-kira 30 menit sudah berlalu, tapi remote itu masih misterius keberadaannya. Aku mulai kehilangan kesabaranku dan mulai memeriksa televisi itu dengan lebih teliti.
Oh, ternyata tombol powernya disini…
Aku menekan tombol tersebut dan layar televisi itu pun menyala.
"Besok cuaca akan cerah. Untuk hari ini, lihat saja keluar jendela."
Ganti.
"Beberapa acara untuk musim ini adalah…"
Ganti.
"Oke, kembali lagi dengan acara khusus petani…"
Ganti.
"Produk hari ini adalah pisau! Kamu akan memerlukan ini untuk hal-hal…"
Ganti.
"Besok cuaca akan cerah. Untuk hari ini, lihat saja keluar jendela."
…
KOK NGULANG?!
Jangan-jangan di TV ini cuma ada 4 acara?!
Ganti. Ganti. Ganti. Ganti.
INI BENERAN?!
"Hahhhh… bagaimana orang-orang disini bisa berbahagia dengan hanya 4 saluran TV…?" gumamku sambil mematikan TV tersebut. Aku memalingkan kepalaku kepada ranjang yang terlihat sangat empuk dan mengundang.
"Mmh, sepertinya ini waktunya tidur," gumamku lagi. Aku bangkit dan berjalan menuju ranjang baruku. Dengan santai, aku menempatkan diriku sendiri dalam posisi tidur.
Sesuai dugaan, ranjangnya benar-benar nyaman…
…
Dan aku pun tertidur.
