Green-Colored Trap

Disclaimer: Naruto is not mine; it's Masashi Kishimoto's.

Rating: Sebenernya kontennya M, tapi nggak ada unsur kekerasan / seksualnya jadi, daripada disalah mengertikan T aja deh..

Warnings: Homophobic, Gay, OOC, Typo

Author Note: Maaf, udah lama nggak nulis nih.. Pas saya baca ulang fic saya yang dulu-dulu, rasanya jelek banget.. Mungkin the Legend of Dragons nggak bakal saya lanjutin, ato kapan-kapan saya tulis ulang… Tapi 1 Sentences blah blah blah bakal saya lanjutin, don't worry, hahaha! Btw selama saya kuliah, banyak unsur sastra yang saya pelajarin, salah satunya symbolism sama foreshadowing. Agaknya di fic ini nggak bakal saya dalemin ke symbolism ato foreshadowing, fokusnya ke plot sama karakterisasi aja deh. Standar… Sial memang, tapi cepet. Kalo saya bikin yang serius bisa-bisa 1 bulan baru jadi :/

Sebelumnya, saya ingin minta maaf kalau banyak judul manga, anime, lagu dan game di sini. Bukannya iklan, tapi biasanya kalau mengobrol orang bakal ngobrolin hal-hal sekitar itu ke orang yang baru dikenal/tidak terlalu dekat. Ya kan? Entahlah…

Thanks buat XVLove yang udah beta~

Okay, daripada kebanyakan ngomong, mari kita mulai ceritanya! Let the story begin!

"Are you ready? I respect the hero!"

The Oral Cigarettes – Kyouran Hey Kids

Sasuke POV

Di dalam kehidupan ini, politik bisa dimasukan ke dalam semua aspek, termasuk ke dalam aspek pertemanan…

Di kelas kami ada berbagai macam mahasiswa, dari pemudi yang pemalu sampai pemuda yang sering bolos dan hutang sana-sini. Aku? Aku adalah pemuda yang pendiam di kelas, tapi aku selalu mendapat A di semua mata kuliahku. Tidak ada yang sempurna, aku tipe orang yang egois dan sombong, tapi mahasiswa yang lain juga punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kami sudah dewasa dan kami menerima satu sama lain sebagaimana seharusnya seorang manusia bersikap.

Seperti yang aku bilang, tidak ada yang sempurna. Diantara kami, manusia yang tidak sempurna dan berdosa, ada seseorang yang sama tidak sempurnanya dan sama berdosanya dengan kami. Namun kami memandangnya seakan-akan kami lebih baik darinya. Aku? Peduli setan, selama bukan aku yang menderita aku tidak akan bersikap sok pahlawan.

Namanya Naruto. Dia blasteran Amerika. Ayahnya dari Amerika dan kembali ke Amerika, meninggalkan ibunya dalam keadaan hamil. Dia tipe orang yang ekspresif, dia senang melucu yang bersosialisasi, beda denganku. Sayang agaknya dia termasuk mahasiswa yang tidak kompeten dalam jurusan kami. Dia susah mengerti, susah hafal, susah praktek. Susah segalanya. Memang hidup jadi dirinya sendiri juga susah sepertinya.

Dia normal? Yah, kau bisa bilang begitu. Hanya ada satu hal yang membuat dia 'tidak normal'.

Dia gay.

Atau mungkin biseks? Entahlah, aku tidak peduli. Yang aku tahu aku lumayan jijik dengannya. Lagipula, siapa sih yang tidak terganggu oleh fakta kalau ada teman cowokmu yang… Main dengan cowok lagi? Menjijikan. Kotor. Gila. Senormal apapun hidupnya, hal itu tidak akan menghapus kebengkokan dari mentalnya. Begitulah pikirku.

Masalahnya, aku hanya mendengar rumor saja. Pikirkan saja, Mana ada orang waras yang mengaku-aku "Hoy, aku gay lho!" di depan umum. Kau pikir dia mau bunuh diri apa? Aku dengar dari kakak tingkatku kalau dia masuk hotel dengan seorang om-om. Apa dia melakukannya demi uang? Tidak ada yang tahu pasti, itulah jeleknya gosip. Namun sejelek apapun gosip itu, kami tetap menganggapnya serius. Naruto dijauhi oleh kami, teman-teman sekelasnya, dan semua orang yang mendengar rumor itu.

Tapi aku? Aku penasaran. Aku ingin mengetahui kenyataan, aku penasaran, aku haus akan kebenaran. Aku tidak pernah peduli padanya, aku hanya ingin memuaskan hasratku untuk mengetahui segala sesuatu.

You only live to serve yourself

Come crawling back when you need help

ONE OK ROCK – The Way Back

Kelas kami ini bagai ekosistem. Organisme hidup dan organisme tidak hidup tinggal bersama, berinteraksi menjadi satu kesatuan. Kami, para mahasiswa, biasanya datang 15 menit sebelum kelas mulai. Yah, setengah dari kami saja sih. Kami mengobrol, bercanda, main HP sambil bergosip. Kami duduk diantara teman-teman yang menurut kami pas. Kami adalah sebuah kesatuan yang membuat kami kelompok yang unik. Ekosistem kami berjalan dengan baik, kecuali satu hal. Naruto pelan-pelan tidak menjadi bagian dari kami lagi seolah-olah mulai menjadi semut di Antartika, Kaktus di tengah laut, es diantara lava.

Hari-hari ini, Naruto mulai didiamkan seluruh kelas. Percayalah, jika kau sudah mendengar rumor buruk tentang seseorang, kau pasti akan mulai canggung bila kau harus berbicara dengannya. Semuanya antara percaya dan tidak percaya, takut salah bicara, ada penolakan. Kami masih bingung, Naruto tidak pernah berubah sikap pada kami. Dia masih bersikap akrab dan melucu tiada henti, tapi kami bisa melihat rasa kecewa yang tercermin dari tingkahnya.

Pertanyaan tak terucapkan seakan melayang di atas kepalanya; "Kenapa semua orang menjauhiku? Apa yang sudah aku lakukan? Bagaimana cara memperbaikinya?" Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi sepertinya muncul kalimat baru di atas kepalanya, melayang-layang dan menusuk baik akal sehatnya dan rasa bersalah kami; "Semua orang menjijikan, kenapa mereka bersikap seperti ini? Aku benci semua orang…"

Aku tahu kami bersikap kekanak-kanakan. Tapi, semua orang bilang ini adalah reaksi yang wajar bila ada seorang abnormal yang muncul diantara kami. Lalu, salah kami apa? Kalau ternyata ada seorang pembunuh yang duduk diantara kami, apakah kami akan dengan tenangnya mengundang pembunuh itu makan siang? Naruto memang bukan pembunuh, tapi kami tidak tahu banyak tentang gay. Bisa jadi gay itu menular? Bisa jadi Naruto akan memaksakan ideologinya kepada kami? Ada yang bilang kaum homoseksual itu bagai penyakit menular. Mereka akan memaksa kaum hetero untuk masuk ke dalam dunia mereka. Kenapa? Aku juga tidak tahu, bukan aku yang membuar rumor itu.

Jadi, kami menjauhinya. Namun terkadang aku penasaran akan apa yang dia pikirkan? Apa benar dia gay? Semua murid sama tidak tahunya denganku, aku ingin lebih tahu dari mereka. Aku ingin lebih dari semua orang, menjadi yang terbaik. Aku ingin tahu tentang apa yang teman-temanku tidak ketahui. Jadi, aku mulai duduk di dekat Naruto.

Saat aku duduk di sebelahnya Naruto kelihatannya sedikit sungkan duduk di sebelahku. Dia seperti membatasi apa yang ingin dia katakan dan semua gerak-geriknya sedikit kaku. Tentu saja, dia kan tidak dekat denganku. Aku belum pernah mengobrol dengannya sekalipun. Biasanya kami hanya berbicara kalau ada perlunya saja; kalau dipasangkan menjadi kelompok atau kalau memang harus saling berbicara.

Tuk! Pensil Naruto jatuh. Kadang aku bertanya-tanya dalam hati kenapa orang masih membawa-bawa pensil kalau mereka sudah dibiasakan menulis dengan pulpen? Ah, pemikiran seperti ini bisa jadi bahan pembicaraan…

Saat Naruto mengambil pensilnya, aku langsung bertanya padanya, "Kenapa orang masih membawa pensil kalau mereka sudah biasa menulis dengan pulpen?"

"Hah?" Naruto langsung memandang aneh padaku. Okay, memang apa yang aku tanyakan sedikit absurd. Tapi, apa lagi yang harus aku tanyakan? Pertanyaan yang ada di pikiranku hanya berkisar antara 'Kau lebih suka laki-laki atau perempuan?' dan 'Kenapa kau bisa jadi gay?' Dan semuanya mengarah ke pertanyaan, 'Apa kau tidak jijik pada kelakuanmu ini?'

Saat ini aku merasa penasaran pada Naruto sekaligus jijik dan takut padanya. Mungkin, dia bersikap kaku seperti ini juga karena aku sendiri bersikap kaku terhadapnya. Masalahnya, aku bukan tipe orang yang friendly dan easy going seperti Naruto. Harusnya dia yang mencairkan suasana, bukan aku! Setiap orang punya perannya masing-masing dan semua orang harus menjadi dirinya sendiri dalam semua jenis keadaan. Dan, teoriku terbukti benar oleh jawaban Naruto.

"Yah, aku suka menggambar jadi aku selalu membawa pensil dan penghapus, kalau-kalau aku ingin menggambar." Dia tersenyum sedikit canggung, tapi kemudian gerak-geriknya lebih natural daripada tadi.

Di hidup ini, kadang kita harus menjadi orang lain untuk bertahan hidup. Orang-orang melembutkan pernyataan ini dengan 'kita harus menjaga omongan dan sikap kita agar tidak menyakiti orang lain. Munafik. Kita harus menjaga omongan dan sikap kita agar orang lain bisa percaya pada kita dan kita bisa memanfaatkan hubungan baik yang dibangun dalam kemunafikan itu. Dan, inilah contohnya.

"Oh ya? Biasa kau menggambar apa?" kataku dengan senyum kecil. Sejujurnya aku sama sekali tidak peduli pada kenyataan dia suka menggambar. Aku bertanya seperti itu agar perbincangan ini tidak berakhir dengan kalimat, "Oh. Begitu." Tidak, aku akan berpura-pura bersemangat dan tertarik pada gambarnya dan apapun yang hendak Naruto sogohkan padaku. Orang mungkin akan bilang aku munafik. Persetan, mereka juga sering melakukan hal ini. Kalau kita tidak berpura-pura seperti ini, mana mungkin kita bisa bertahan hidup?

Orang benci kemunafikan, tapi marah jika seseorang bersikap jujur dan menyakiti orang lain. Brengsek.

"Aku tidak terlalu pintar menggambar, jadi biasanya aku menggambar manga yang chibi saja." Jawab Naruto sambil mengeluarkan sebuah buku tulis. Dia membuka salah satu halamannya dan memperlihatkan padaku gambar chibi version seorang laki-laki berambut hitam dengan mata merah, dia mengenakan setelan hitam dan bergaya sambil menuang teh.

Aku masih mempertahankan senyumku sambil berkata padanya, "Bagus kok. Ini kau karang sendiri?" Dalam hati aku memproses gambar ini dan menyimpulkan:

Aku tidak suka anime, kartun dan manga. Aku lebih suka drama dengan orang asli, Jadi otomatis aku tidak begitu tertarik dengan gambarnya.

Dia menggambar laki-laki. Aku harus tahu kenapa dia menggambar laki-laki. Apa dia lebih suka menggambar laki-laki disbanding perempuan? Dan dia menggambarnya dengan gaya yang biasanya dipakai cewek; mata besar bersinar, wajah imut, chibi. Tentu saja, aku yakin ada laki-lai yang menggambar dengan gaya ini, banyak malah. Tapi tentu saja ada yang membedakan.

Naruto langsung menutup bukunya dan tersenyum lebar, "Thanks. Aku contoh ini dari manga 'Black Butler'. Kau tahu kan?"

Aku. Tidak. Suka. Manga. Bagaimana bisa aku tahu kalau menonton saja sudah tidak suka? "Tidak, aku tidak tahu."

Senyum Naruto sedikit memudar, "Kuroshitsuji?"

"Tidak."

"Oh…"

Naruto mengalihkan pandangannya dariku dan memandang ke gambarnya. Sial, agaknya pembicaraan ini akan berakhir… Apa lagi yang harus aku katakan? Oh Ya!

"Kenapa kau menggambar karakter ini? Kau punya gambar karakter yang lain?" Bagus. Pertanyaan ini bisa menjurus ke karakter kesukaan Naruto. Biasanya kalau laki-laki akan lebih suka karakter cewek dibaning laki-laki kan? Aku sendiri lebih suka karater cewek.

Naruto langsung memandang lagi ke arahku dengan mata berbinar-binar. Ia membuka bukunya kembali dan memberikannya padaku, "Ini karakter kesukaanku. Namanya Sebastian. Selain Sebastian aku juga menggambar karakter yang lain, tapi paling sering aku menggambar dia."

Aku membuka halaman demi halaman, hanya untuk menemukan 'Sebastian-Sebastian' bergaya dalam bentuk sketsa. Mulai dari dia yang menuang teh, memasak, menyapu, memangkas rumput. Dia ini pembantu apa? Oh, dari setelannya mungkin saja dia butler, atau orang kaya yang punya hobby bersih-bersih. Manga Jepang biasanya suka aneh-aneh…

"Kenapa kau paling suka dia?"aku bertanya sambil terus membuka halaman demi halaman. Kali ini aku berhenti sebentar untuk melihat gambar Sebastian yang melempar pisau dan garpu ke seorang perempuan berambut panjang dan bergigi taring semua. Aneh, kenapa perempuan ini tidak punya dada? Lebih aneh lagi kenapa ada orang yang punya gigi hiu? Ah, memang manga Jepang suka aneh-aneh…

"Karena dia yang paling keren. Dia itu kuat lho, tidak pernah ada yang mengalahkan Sebastian dalam pertarungan. Bahkan tidak pernah ada yang bisa membuat Sebastian kepayahan dalam petarungan! Sudah begitu dia bisa melakukan segalanya, membuat segala yang mustahil jadi tidak mustahil. Selain itu-"

Aku sudah tidak mendengarkan ocehan pemuda yang di sebelahku karena aku memfokuskan diriku ke gambar-gambar yang dia buat. Selain Sebastian ada banyak gambar karakter lain yang tidak aku tahu, kemudian ada banyak gambar kucing. Aku merasa aneh melihat seorang laki-laki yang senang menggambar sesuatu yang lucu-lucu. Sudah begitu jarang ada gambar karakter cewek di bukunya. Apakah?

Sementara Naruto terus berceloteh aku menengok sebentar ke pintu. Dari tadi dosennya belum datang, apa jangan-jangan tidak akan datang? Aku menengok ke jam tanganku. Kalau 5 menit lagi dosen itu tidak datang kami sekelas akan pergi saja.

"Naruto?"

Dia langsung berhenti mengoceh, "Ya?"

"Ada karakter cewek yang kau suka tidak?" Aku bertanya sambil memandang langsung pada matanya. Matanya belo sekali, tidak sipit sepertiku. Euh, enak sekali dia punya darah blasteran… Eh, lupakan. Aku harap dari pertanyaan ini dia akan segera memberikan petunjuk dia ini homo atau bukan. Aku tidak yakin aku tahan mendengar ocehan kekanak-kanakan darinya.

"Hm…" Naruto memandang ke langit-langit, "Ada, tapi bukan dari manga ini. Lebih tepatnya dari game sih. Kau tahu Suikoden III tidak?"

Ah, ternyata ada. "Tidak." Jawabku. Aku sendiri jarang main game. Aku lebih suka nonton dibanding main game.

"Oh…" Naruto kembali mengalihkan pandangannya dariku dan memandang ke bukunya yang penuh gambar yang berada di mejaku. Kenapa dia selalu memandang ke gambarnya sendiri? Tunggu… Sial, pembicaraan ini terancam berakhir lagi. Ayolah, Tanya lagi, Sasuke! Oh ya, "Kenapa kau suka karakter cewek itu?"

Naruto langsung memandang ke arahku lagi, tapi kali ini tidak seantusias tadi. Mungkin dia kecewa aku tidak segila yang dia ingin. Tentu saja, aku tidak tertarik. Mana mungkin aku yang tidak tertarik pada Sebastian dan game bisa bersikap seantusias orang yang benar-benar tertarik? Tapi aku sudah berusaha!

"Aku suka karakter perempuan ini karena dia mandiri dan kuat. Dia kapten dari 6 ksatria terkuat. Namanya Chris Lightfellow. Sebentar, aku punya fotonya tidak ya?" Naruto langsung mengambil HPnya dan membuka kuncinya. Aku memandang sebentar ke teman-teman. Ada yang memandangku aneh, mungkin karena heran aku mau dekat-dekat dengan Naruto. Tiba-tiba sebuah layar HP muncul di hadapanku.

"Ini Chris Lightfellow" sahut Naruto.

Aku mengambil alih HPnya dan mengamati gambar seorang perempuan berambut putih keabu-abuan yang mengenakan armor besi. Tampangnya sedikit galak. Hm, mungkin stereotype karakter cewek di Jepang semuanya so cute, lemah, dan sexy itu salah. Aku lumayan suka tipe cewek yang seperti ini, bergaya biasa saja dan kelihatan sedejarat dengan laki-laki. Ah, ada pertanyaan bagus untuk Naruto, "Apa ini tipe cewekmu?"

"Hah?" Dia mejawab dengan nada kaget.

"Yah, maksudku, apa cewek macam ini yang kau suka?"

"Hm… Aku tidak terlalu pakem dengan tipe sih. Tapi aku suka tipe cewek yang kuat dan mandiri." Jawabnya dengan nada pelan, kemudian dia melanjutkan dengan nada yang biasa lagi, "Tapi aku tidak suka pada yang terlalu mandiri! Kalau dia sampai punya usaha sendiri dan penghasilannya lebih besar dariku, mau dibawa kemana mukaku? Biasanya cewek yang seperti itu akan mengganggap dirinya lebih tinggi dari suaminya dan berhenti melayani suaminya! Bayangkan!"

Aku sedikit kaget kalau dia biang dia suka cewek, tapi, sekali lagi, tidak mungkin kan ada homo yang tiba-tiba mengaku kalau dia homo? Pastilah orang itu akan merahasiakan kenyataan itu sebisa mungkin. Aku masih mencurigai Naruto dan aku tidak mau kalau aku sampai salah.

Entah kenapa aku sudah terlalu nyaman dengan kenyataan kalau Naruto lebih rendah dari kami. Jika ia sampai ketahuan tidak gay, kenyataan akan berubah dan kami harus mengatur ulang pemikiran kami. Mengganti penilaian bukanlah hal yang menyenangkan. Sejijik-jijiknya aku dengan Naruto, aku tidak ingin mengubah dia menjadi tidak gay lagi. Dengan berubahnya dia maka aku akan keluar dari zona nyamanku. Susah dijelaskan, tapi justru karena aku tidak suka pada Naruto, aku ingin ia terus dipandang jelek. Orang akan melakukan hal yang sama kan?

Tiba-tiba teriakan ketua kelas kami yang menggelegar mengagetkan kami, "HOI! SUDAH 30 MENIT! DOSEN KITA TIDAK DATANG-DATANG, AYO YANG MAU KELUAR, KELUAR!"

Kadang ada saja yang diam di kelas entah karena tidak ada kerjaan lain atau jika kelas berikutnya di ruangan yang sama, kami tidak keluar. Tapi karena hari ini hanya mata kuliah ini yang kami harus hadiri, kami bisa langsung pulang. Aku langsung mengambil tasku dan menggangguk sedikit pada Naruto, "Aku duluan ya."

"Okay, bye." Dia melambaikan tangannya sedikit sambil tersenyum lemah.

Aku hanya menoleh sedikit ke arahnya dan langsung menuju pintu keluar, berjalan di lorong kampus yang entah kenapa lampunya sedikit redup. Tiba-tiba sebuah tangan langsung hinggap di pundakku. Aku sedikit kaget, tapi aku tahu siapa pemilik tangan ini.

"Choji, jangan tiba-tiba menyentuh pundakku di lorong yang redup seperti ini." Kataku.

Choji langsung mengambil tangannya dan berjalan di sampingku. Di sebelahnya ada Sai dan di sebelahku muncul pula Ino dan Karin. Dari gerak-gerik mereka aku sudah menduga apa yang hendak mereka tanyakan padaku. Dan, aku selalu benar.

"Kenapa kau tadi mau dekat-dekat dengan Naruto?" Tanya Choji.

"Iya! Ih, Naruto kan gay, kamu mau dia sampai suka padamu?" tambah Karin.

Pertamanya aku bingun harus menjawab apa, aku takut teman-temanku akan salah mengerti. Lagipula, kalau kita sudah percaya satu rumor, tidak akan ada bukti yata yang dilemparkan ke wajah kai yang akan membuat kami berhenti percaya rumor itu. Tiba-tiba Shikamaru muncul entah darimana dan menggeplak kepala Karin, "Au!" jerit Karin. Aku tidak tahu kenapa, tapi setiap kali Karin menjerit pasti suaanya sedikit erotis. Mungkin dia memang dilahirkan menjadi penggoda…

"Hoi, Karin. Otakmu dimana? Kau pikir orang semudah itu jatuh cinta? Lagipula, walaupun Naruto gay, bukan berarti dia akan jath cinta ke semua yang tidak pakai rok! Orang juga pasti pilih-pilih kalau jatuh cinta, kau sendiri juga tidak asal pilih cowok untuk dijadikan target kan? Oh, aku salah Kau pasti pernah menggoda semua cowok." Kata Shikamaru. Shikamaru memang benci sekali dengan Karin, tapi baru kali ini kami melihat dia menyerang langsung Karin.

Karin langsung mendorong Shikamaru, tapi pelan, layaknya seorang cewek mendorong. Kadang aku bingung, apa Karin mempertahankan sikapnya persis seperti penilaian kami seorang cewek harus seperti apa atau dia memang selemah ini? Sakura kalau mendorongku pasti keras. Atau mungkin sakura memang tidak normal…

Suara Karin yang emosi langsung melengking tinggi di tangga kampus yang sama redupnya dengan lorong-lorong. Lampunya tidak ada yang menyala, mungkin sedang mati listrik. "Shikamaru! Kau pikir aku wanita gampangan apa?! Aku tidak pernah menggoda cowok! Mereka yang datang dan mendekatiku!"

"Itu memang merekanya yang datang padamu atau kau yang ke ge-eran?" kata Shikamaru dan langsung setelah itu dia kabur.

"Shikamaru!" jerit Karin. "Ih! Nyebelin banget sih dia! Jangan-jangan dia sebenarnya gay juga dan sebal mendengar omonganku tentang gay! Iya! Pasti Shikamaru juga gay!"

"Hush! Kita tidak punya buktinya! Tapi memang iya sih, Shikamaru tadi mencurigakan…" kata Ino.

"Apa kau pikir Shikamaru terpengaruh Naruto? Tuh kan benar! Kalau muncul satu gay, maka yang lain akan ditarik masuk olehnya!" kata Choji.

Sai dari tadi hanya diam saja, memang itu karakternya. Pendiam, tapi dia berperang sebagai pengamat diantara kami. Dan, percaya atau tidak, pengamatannya biasanya benar. Aku langsung menanyakan pendapatnya,

"Sai, menurutmu bagaimana?"

"Bagaimana apa?" jawab Sai.

"Bagaimana Shikamaru tadi? Kenapa dia tiba-tiba menyerang seperti itu?" tanyaku tidak sabaran.

"Iya! Lagi pula, Shikamaru tipe yang kalem, dia tidak mudah emosi." Tambah Ino.

Sai diam sebentar lalu menjawab, "Shikamaru berperan sebagai humanist di kelas kita. Mungkin dia kesal karena kita menghakimi Naruto. Apa lagi Karin yang selama ini paling banyak berkomentar ("Hey!" sahut Karin). Lagi pula, kalau Shikamaru benar-benar gay, dia akan berteman baik dengan Naruto setelah rumor tentang Naruto mulai. Kaum homo biasanya akan lebih nyaman dengan oran-orang yang sama seperti mereka. Sdangkan Shikamaru malah ikut menjauhi Naruto."

"Kau benar juga, tapi bisa jadi Shikamaru berteman dengan Naruto di luar kehidupan kampus!" jawab Karin bersemangat. Benar kan? Kalau kita benci dengan seseorang, maka kita akan memaksakan seseorang tetap jelek di mata kita walau sebenarnya tidak jelek.

"Hahaha! Bisa jadi-bisa jadi!" sahut Choji.

Ini dia saat yang tepat untuk mencari alasan agar aku tidak dituduh gay juga, "Karena itu. Aku mendekati Naruto karena aku ingin tahu dia benar-benar gay atau tidak."

"Kenapa?" Tanya Karin, suaranya sedikit tinggi, mungkin dia salah mengerti dan kaget.

Dengan seringai licik aku menjelaskan, "Kalau aku sudah tahu dia gay, aku akan mempermalukan dia."

To be continued~

Okay, akhirnya selesai juga. Chapter 1. Sebelumnya saya minta maaf karena saya ngebashing banyak hal. Ngebashing cewek, ngebashing gay, ngebashing society. Ah, society emang pantes dibashing… Btw jgan terlalu percaya smua hal yang di ucapin sama karakter di sini okay? Saya masukin karakter-karakter paling narrow-minded dan paling percaya stereotype yang pernah saya buat. Maaf ya, buat penggemar Sasu-chan. Saya nggak maksud ngancurin dia, tapi saya capek ngebaca karakter yang baik banget n pangeran banget. Juga penggunaan kata 'cewek' dan 'perempuan' di sini saya mainin.

Sejujurnya saya kesel juga ngebaca ulang fic ini. Temen-temen sekelas saya semuanya nggak ada yang se childish ini. Agaknya ini sih karakteristik anak SMP-SMA (Tuh kan sekarang saya ngebashing SMP-SMA… Maaf ya…) kami semua dewasa n saling menerima. Nggak ada yang homophobe (atau mungkin ada tapi karena mayoritas humanist, yang homophobe sembunyi. Memang society kayak begitu, nurut sama mayoritas atau yang punya kekuatan. Tapi saya dengar dari kakak tingkat saya yang jurusannya lain kalau dia kena rasisme dimana saya sama sekali nggak kena. Why? Terus ada cerita yang di kampus lain jauh lebih parah rasisme dan diskriminasinya. Saya percaya kalau orang-orang se childish ini ada, tapi sulit membuktikan karena di jurusan kami nggak ada yang suka menghakimi. Jadi, rasanya nggak realistis aja… Maaf ya…

Oh ya, saya punya tantangan buat readers. Ada yang bisa nebak saya perempuan atau laki-laki? Hehe…

Okay, maaf kalau ada kesalahan penulisan dll. Boleh tolong kasih tau saya respon kalian tentang fic ini? Smoga fic ini bisa membuat perubahan, maaf atas kata-kata saya yang sarkas. See ya, God bless.