Heyaaaaah, Minna-San…..! :D
Setelah mem-publish sebuah One-Shot bertemakan Canon dengan ending yang membuat Readers kecewa... Kini Cyaaz kembali dengan Fic baru…!
Setelah setahun yang lalu Cyaaz mem-publish Fic pertama Cyaaz yang berjudul "This is Impossible!", sekarang Cyaaz muncul dengan membawa Sequel-nya… :D
Adakah ada di antara Readers yang masih menunggu kedatangan Sequel ini? Kalau ada, silahkan menikmati… Maaf kalau lama, Cyaaz sudah berusaha… Terima kasih karena sudah mau bersabar menunggu dan berkenan membaca Fic super tidak jelas karangan Cyaaz…
Bagi para Reader yang belum membaca "This is Impossible!", Cyaaz sarankan untuk membacanya terlebih dahulu karena Fic ini memang berkaitan langsung dengan Fic tersebut…
Oke, sekian dulu salam pembukaan dari Cyaaz… Langsung saja Readers baca dan menikmati Chapter pertama dari "Still is Impossible!"
Selamat Membaca…
Disclaimer: GS dan GSD Bukan Milik Author…
Still is Impossible!
Chapter 01
Normal POV
Prologue…
"Cagalli-San?"
Suara panggilan lembut dari seorang wanita paruh baya berhasil memecah keheningan di dalam sebuah ruangan. Sejak sekitar 10 menit yang lalu, suasana ruang dapur minimalis berukuran sedang itu hening bagaikan ruangan kosong. Walaupun ada 2 orang wanita di dalam sana, tapi tak satu pun dari mereka bersuara hingga saat ini.
"Cagalli-San?" panggil wanita itu lagi. Ia berusaha menarik perhatian seorang gadis berambut pirang di sampingnya, tapi gagal. Gadis yang ia panggil sama sekali tidak merespon, ia hanya terdiam sambil menatap kosong sepiring kue kering dan 2 cangkir kopi hangat di hadapannya.
Merasa terus diacuhkan, akhirnya Manna menghela nafas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. Setelah itu ia mengambil selangkah lebih dekat ke orang yang ia panggil dan menepuk bahu kanan orang itu perlahan. "Cagalli-San?"
Seketika itu juga, Cagalli tersentak kaget dan menolehkan wajahnya ke kanan. "A-ah... Iya, Manna-San? Ada apa?" tanyanya polos, tapi juga terdengar gugup.
Menyadari lawan bicaranya sedang dilanda gugup yang luar biasa, Manna tersenyum lembut dan mengusap-usap bahu Cagalli dengan jari-jarinya. "Cagalli-San, jangan cemas..." ujarnya lembut. "Semuanya akan baik-baik saja."
Mendengar itu, Cagalli langsung tersenyum perlahan dan kemudian menganggukkan kepalanya. "Iya, terima kasih, Manna-San."
=.-.-.-.-.-. C .-.-.-.-.-. Y .-.-.-.-.-. A .-.-.-.-.-. A .-.-.-.-.-. Z .-.-.-.-.-.=
Seorang pemuda sedang duduk di sebuah sofa. Wajahnya sedikit tertunduk, jari-jarinya ia silangkan di atas kedua lututnya yang ia rapatkan. Ekspresi wajahnya kacau, beberapa tetes keringat sudah bergulir membasahi kening dan pelipisnya. Sudah jelas, pemuda berambut navy blue itu sedang gugup setengah mati.
Mengapa ia gugup seperti itu? Jawabannya ada di hadapan pemuda itu sendiri. Tepat 1 meter di seberangnya sofanya, duduklah seorang pria paruh baya berambut abu-abu kehitaman yang sedang menatapnya serius.
"Ehem," sang pria yang lebih tua berdehem, menarik perhatian pemuda yang duduk di hadapannya. "Jadi, Athrun..." panggilnya.
Athrun tersentak ketika mendengar namanya dipanggil, ia langsung mengangkat wajahnya dan menatap mata lawan bicaranya.
"Ya, Tuan Athha?" respon Athrun. Mati-matian ia berusaha meredam rasa tegang dan gugup yang melanda hatinya. Ia tidak ingin terlihat seperti seorang pengecut, tidak di hadapan ayah Cagalli.
Uzumi Nara Athha, pria yang saat ini duduk tegap di hadapan Athrun tersenyum kecil. "Panggil saja 'Paman'," ujarnya. "Kau teman sekelas Cagalli?"
Athrun balas tersenyum. "Kami hanya sekelas di salah satu mata kuliah," jawabnya. "Karena meski berada di jurusan yang sama, kami mengambil konsentrasi yang berbeda."
Uzumi mengangguk. "Cagalli bilang, kau mengambil konsentrasi Finance?" Athrun mengangguk untuk memberi konfirmasi. "Kau pasti mahasiswa yang sangat cerdas dan tekun. Diperlukan tingkat ketelitian yang tinggi untuk bisa belajar dan bekerja dengan baik di Finance."
Athrun menggelengkan kepalanya perlahan. "Anda berlebihan, Paman. Saya hanyalah mahasiswa biasa," ujarnya. "Saya memilih Finance hanya karena... Saya merasa kemampuan dan minat saya mengarah ke bidang keuangan."
Uzumi kembali mengukir sebuah senyum kecil di wajahnya yang bijak. "Jangan terlalu merendah," ujarnya. "Pencapaian IPK terbaik tingkat fakultas selama 5 semester berturut-turut tidak mungkin diraih tanpa adanya ketekunan yang tinggi," Uzumi mendapati ekspresi wajah Athrun yang terlihat sedikit terkejut. "Cagalli menceritakan banyak hal tentangmu," jelasnya.
Mendengar perkataan Uzumi, Athrun langsung mengangguk dan tersenyum. Ia merasa senang karena Cagalli membicarakan dirinya dengan Uzumi. Itu berarti Cagalli selalu memikirkannya, sama seperti dirinya yang selalu memikirkan gadis itu.
"Lalu, apa rencanamu setelah lulus?" tanyanya. "Bergabung dengan ayahmu di ZAFT?"
Athrun menggelengkan kepalanya perlahan. "Saya akan bekerja di tempat lain," jawabnya. "Sebelum bergabung dengan ayah untuk mengelola ZAFT."
"Hm?" Uzumi mengangkat alisnya. "Kenapa? Kau pasti akan sangat diterima di ZAFT."
Athrun tersenyum kecil dan mengangguk. "Meski begitu, saya ingin mencari pengalaman dan belajar lebih banyak lagi dari dunia luar."
Uzumi mengangguk perlahan. "Kau ingin bekerja di perusahaan lain terlebih dulu, begitu?" Athrun mengangguk untuk merespon.
"Permisi?" suara seorang gadis berhasil menarik perhatian Uzumi dan Athrun. Saat keduanya menoleh ke pintu ruang tamu, berdirilah seorang gadis berambut pirang di sana. "Ayah? Aku bawakan kopi," ujar Cagalli sambil mulai menghampiri meja tamu yang memisahkan Athrun dengan Uzumi.
Dengan sedikit gugup, Cagalli meletakkan secangkir kopi hangat yang ia bawa di hadapan ayahnya dan secangkir kopi lainnya di hadapan Athrun. Ia juga meletakkan sepiring kue kering di tengah dan nampan kosong di kolong meja, sebelum akhirnya mengambil tempat duduk di samping pacarnya.
Tentu saja Athrun menyadari kegugupan yang dirasakan oleh gadis bermata amber itu. Ia terus menatap Cagalli yang sekarang sudah duduk di sebelah kanannya, lalu tersenyum lembut padanya. Senyuman itu seolah berkata, "Jangan khawatir, sejauh ini lancar."
Cagalli yang menyadari arti senyuman itu mengangguk kecil dan balas tersenyum, sementara Uzumi hanya terdiam menyaksikan tingkah laku sepasang anak muda di hadapannya. Hingga beberapa saat kemudian, Uzumi berdehem untuk menarik perhatian mereka.
"Ya sudah," ucap Uzumi, ketika Athrun dan Cagalli sudah menoleh padanya. "Aku sudah dengar banyak hal tentangmu dan hubunganmu dengan Cagalli, jadi tidak perlu bertele-tele lagi," ujar Uzumi sambil menatap Athrun dengan serius. "Apa kau benar-benar serius dengan puteriku, Athrun?"
Deg...
Jantung Athrun langsung berdebar kencang, pertanyaan sederhana yang dilontarkan dengan nada dan suara yang rendah itu berhasil menggetarkan hatinya untuk sesaat. Berbagai macam perasaan tiba-tiba muncul dan memenuhi rerung hati pemuda berambut navy blue itu. Meski badai sempat melanda hati dan pikirannya, hanya ada sebuah kata yang terbersit di benaknya.
"Ya," jawab Athrun padat, singkat dan jelas.
Uzumi hanya terdiam untuk sesaat, mengamati sinar mata emerald yang saat ini sedang bertatapan langsung dengan dirinya. Sepasang mata emerald itu nampak kokoh dan tidak tergoyahkan, namun juga lembut dan menyejukkan di saat yang bersamaan.
"Oh, baiklah kalau begitu," Uzumi memejamkan matanya sejenak, lalu tersenyum kecil. "Kuharap kau akan memperlakukan Cagalli dengan baik dan selalu menjaganya."
Athrun menjawab pertanyaan Uzumi dengan sebuah anggukan singkat, namun tegas dan mantap. Uzumi juga dengan jelas bisa melihat keseriusan Athrun dari sorot matanya, sorot mata penuh ketegasan yang mampu membuat Uzumi merasa bahwa ia dapat mempercayakan puteri tunggalnya pada pemuda tersebut.
Cagalli menatap ayahnya, lalu beralih ke sang pacar. Sebuah senyuman indah telah menghiasi wajah gadis bermata amber itu. Akhirnya ia merasa lega, setelah berjam-jam hatinya terus diliputi rasa cemas dan gelisah.
Ia sangat cemas mengenai bagaimana reaksi dan pendapat ayahnya ketika beliau bertemu, bertatapan dan berbicara langsung dengan Athrun. Mengingat Athrun adalah pria pertama selain Kira yang ia undang ke rumahnya semenjak beberapa tahun terakhir, apalagi Athrun adalah pacar pertamanya. Cagalli benar-benar bingung dan gugup, tapi sekarang perasaan itu sudah tergantikan oleh rasa lega dan senang.
"Kuperingatkan," suara Uzumi berhasil mengagetkan Cagalli yang larut dalam pemikirannya sendiri. "Kau harus kuat, Athrun! Kadang Cagalli bisa jadi lebih liar dan buas dari sekelompok harimau di hutan."
Cagalli tersentak, semburat warna merah langsung menghiasi kedua sisi wajahnya. "A-ayah? Apa-apaan sih?" protesnya.
Uzumi dan Athrun tertawa secara bersamaan. Reaksi dan ekspresi wajah Cagalli yang malu, sekaligus kesal sangatlah menghibur di mata mereka. Dia benar-benar gadis manis yang menggemaskan.
Setelah puas tertawa, Athrun meraih satu tangan Cagalli dan mengusapnya dengan lembut. "Paman tidak perlu khawatir..." ucapnya sambil menatap Uzumi. "Saya pasti bisa melunakkan hati sang harimau dan..." Athrun mengalihkan pandangannya ke arah Cagalli, lalu tersenyum. "Akan kupertaruhkan segala yang kumiliki untuknya."
Seketika itu juga, wajah Cagalli jadi semakin merah layaknya bunga kagaribi. "Athrun! Jangan menggombal sekarang!" serunya sambil melirik sekilas ke ayahnya.
Athrun tertawa kecil sambil mencubit pelan pipi pacarnya karena gemas, sementara Uzumi hanya mengamati mereka dalam diam. Senyuman penuh arti tetap setia mendampingi sosoknya yang kharismatik, hingga suatu hal melintas di pikirannya.
Pria bermarga Athha itu memejamkan kedua matanya, menarik nafas panjang dan membuangnya. Kemudian ia menyandarkan tubuhnya ke sofa, matanya tidak pernah lepas dari sosok Cagalli dan Athrun.
'Athrun Zala...'
'Yah, kurasa tidak ada salahnya memberi dia kesempatan...'
=.-.-.-.-.-. C .-.-.-.-.-. Y .-.-.-.-.-. A .-.-.-.-.-. A .-.-.-.-.-. Z .-.-.-.-.-.=
Cagalli's POV
ORB – 12/01/2013
"Jadi…?" suara lembut Lacus berhasil menarik perhatianku. "Paman Uzumi menyukai Athrun?"
Aku memutar bola mataku. Lacus sudah lebih dari 3 jam berada di kamarku, memintaku menceritakan padanya tentang kedatangan Athrun beberapa hari yang lalu ke sini untuk bertemu dengan ayah. Padahal aku sudah menceritakan kronologi pertemuan itu dengan detil padanya, tapi Lacus terus saja menghujaniku dengan pertanyaan yang tidak ada habisnya.
"Ya, kurasa begitu," jawabku datar sambil membalikkan halaman buku yang sedang kubaca.
"Hmmh… Tidak kusangka," komentar Lacus, membuatku menoleh padanya yang sedang duduk di ujung tempat tidurku. "Aku kira paman Uzumi tidak akan menyerahkanmu padanya semudah itu."
Spontan aku tertawa kecil. Memang benar apa yang dikatakan Lacus, ayahku adalah tipe ayah yang sangat protektif padaku, selalu mengawasiku dan orang-orang di sekitarku. Setiap kali ia memergokiku sedang bersama dengan orang yang tidak ia kenal, ayah selalu mengintrogasi mereka. Ayah selalu ingin memastikan jika aku hanya dikelilingi oleh orang-orang yang baik.
Saat pertama kali Kito datang ke rumah pun, ayah sempat menyambutnya dengan tatapan dingin selama beberapa bulan. Sampai akhirnya ayahku menerima dan menyukai Kito. Karena itulah, aku juga sama sekali tidak menyangka kalau pertemuan Athrun dengan ayahku kemarin bisa berjalan dengan sangat lancar.
"Haha. Kau benar, Lacus," kataku jujur. "Aku bahkan mengira kalau ayah akan mengintimidasi Athrun dengan berbagai cara."
Sekarang Lacus juga ikut tertawa bersamaku. "Seperti dengan menyuruhnya membersihkan gudang?"
'Oh, Haumea…'
Aku langsung melepaskan tawa yang lebih keras, perkataan Lacus barusan sukses mengingatkanku pada masa-masa di mana Kito masih disambut dingin di rumah ini.
"Kito menceritakannya padamu?" tanyaku di sela-sela tawa.
Lacus mengangguk sambil terus tersenyum geli. "Aku tidak percaya kalau paman Uzumi bisa sekejam itu pada Kira."
Lagi, aku hanya bisa tertawa mendengar perkataan Lacus. Ayahku dulu memeang keterlaluan, memberi Kito tugas yang berat dan aneh-aneh. Mulai dari mencarikannya makanan-makanan yang jarang ada, menyuruhnya mencuci mobil dan membersihkan gudang. Ayah bahkan sering menyuruh Kito untuk memperbaiki beberapa perabotan dan barang-barang elektronik di rumah yang rusak.
Tentu saja aku merasa kasihan dan tidak tega pada Kito, rasanya ayahku sedang memanfaatkan dan mengubahnya menjadi pekerja rodi. Tapi anehnya, Kito sama sekali tidak keberatan dengan semua tugas dari ayah. Kito malah berkata kalau ia merasa cukup senang, rasanya ayahku sudah seperti ayah ke-2 baginya.
'Dasaar Kito bodoh!'
Dia memang sangat lembut dan baik hati, selain itu Kito juga tekun dan gigih. Mungkin karena itulah ayahku jadi sangat menyukai Kito, ia adalah laki-laki pertama yang pada akhirnya diterima dengan tangan terbuka oleh ayahku di rumah ini.
"Hahaha. Aduh, ayah memang kejam!" ujarku sambil memegangi perut. Rasanya aku sudah terlalu banyak tertawa, perut dan tenggorokanku sudah mulai sakit.
"Haha. Beliau 'kan hanya ingin memastikan keselamatanmu, Cagalli…" ujar Lacus.
"Tapi tetap saja, itu keterlaluan!" sahutku. "Memangnya kau tidak kasihan pada Kito?"
"Iya sih…" jawab Lacus. "Kalau dulu aku sudah pacaran dengannya, aku pasti sudah melabrakmu dan melarang Kira berteman denganmu."
Dengan itu, tawa kami berdua semakin pecah. Sampai beberapa saat kemudian, pintu kamarku dibuka dari luar oleh seseorang.
"Kalian berdua ini…" kata orang yang membuka pintu kamarku. "Suara kalian bisa terdengar sampai di ruang tamu."
Seketika itu juga aku menahan dan menghentikan tawaku, lalu berdiri dari kursi belajarku dan berkata, "Maaf, Ayah…"
Ayahku menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sekarang sudah jam 10 malam, kalian bisa mengganggu tetangga."
"Iya, maafkan kami, Paman…" sahut Lacus.
Ayahku tersenyum kepada kami. "Ya sudah, sebaiknya kalian tidur sekarang," ujarnya. "Besok kalian berangkat pagi 'kan?"
Aku menganggukkan kepalaku, lalu menjawab, "Iya, besok Kira dan Athrun akan menjemput kami jam 8."
Ayahku mengangguk. "Ya sudah kalau begitu, selamat tidur," ujarnya, lalu ayah menutup pintu kamarku perlahan.
"Selamat tidur, Ayah."
"Selamat malam, Paman."
Setelah ayah pergi, aku berbalik menghadap Lacus yang masih duduk nyaman di atas tempat tidurku. Lalu aku menghampirinya dan mengambil tempat kosong di sampingnya. Aku langsung membaringkan badanku menghadap tembok.
"Benar-benar mau tidur sekarang?" tanya Lacus dari belakang.
"Iya…" jawabku dengan malas. "Kau tahu aku susah bangun pagi 'kan?" aku melirik sedikit untuk menatap Lacus. "Jadi, ada baiknya kalau aku tidur secepatnya."
Aku mendengar Lacus tertawa kecil, lalu menjawab. "Iya, ya…" kurasa ia sedang membaringkan tubuhnya sekarang. "Kalau begitu, selamat tidur…"
"Selamat tidur, Lacus," jawabku sambil merilekskan diri.
Baru beberapa menit aku memejamkan mataku, aku merasakan hand-phone yang kuletakkan di samping bantalku bergetar. Ternyata ada 1 pesan singkat masuk.
From - Si Tukang Gombal
Princess? Sudah tidur?
Aku tersenyum geli setelah membaca pesan dari Athrun. Seperti apa reaksinya kalau sampai dia tahu contact-name yang kuberikan untuknya?
To - Si Tukang Gombal
Belum, kau mengganggu perjalananku ke alam mimpi!
From - Si Tukang Gombal
Hahaha. Maaf…
Aku hanya ingin mengucapkan selamat tidur…
To - Si Tukang Gombal
Haha.
Ya, selamat tidur, Athrun…
From - Si Tukang Gombal
Eh? Begitu saja? :o
To - Si Tukang Gombal
Hmm? Memangnya kau mau apa lagi…? -_-
From - Si Tukang Gombal
Tidak ada ciuman selamat malam untukku? :3
To - Si Tukang Gombal
Mimpi saja kau sana! -_-"
From - Si Tukang Gombal
Dengan senang hati! :D
Aku memang selalu memimpikanmu di setiap tidurku, Princess… (love)
Aku memutar bola mataku, Athrun memang tukang gombal sejati!
To - Si Tukang Gombal
Ya, ya, terserah…
Selamat tidur, Athrun Zala…
From - Si Tukang Gombal
Hahaha.
Selamat tidur, Princess…
Jangan lupa, mimpikan aku! :D
Love you, always…
Aku hanya bisa tersenyum setelah membaca pesan terakhir dari Athrun. Dia benar-benar tukang gombal, tapi semua gombalnya hanya ia tujukan padaku. Aku percaya akan hal itu.
'Oh, Haumea…'
'Terima kasih karena Engkau telah mengirimkan Athrun…'
'Aku akan menjaganya dan berusaha menjadi yang terbaik untuknya…'
=.-.-.-.-.-. C .-.-.-.-.-. Y .-.-.-.-.-. A .-.-.-.-.-. A .-.-.-.-.-. Z .-.-.-.-.-.=
T – B – C
Yosh… Sekian dulu ya, Chapter-nya…
Maaf kalau kurang memuaskan, apalagi pendek… :P
Karena pada mulanya "This is Impossible!" tidak dirancang memiliki Sequel, harap maklum kalau Fic ini jadi semakin aneh dan tidak jelas nantinya…
Gomenn ne, Minna-San… Cyaaz akan berusaha…
Terima kasih sudah membaca, silahkan tinggalkan Review jika berkenan…
Again, Thank you and See ya… :D
PS: Zonny! Jangan tagih Sequel TiI lagi! -_-" Thanks karna sudah membantuku...! #hug :D
