"Bukankah hal yang menyenangkan?" Derai tawa tak membangkitkan emosi dalam diri Mayuzumi, mengetahui bagaimana khas orang-orang dalam keluarga dan mereka yang sederajat; tawa hanyalah basa-basi semata untuk menutupi kecanggungan yang akan segera terbentuk.

Dan anehnya, seorang saja yang tertawa dapat mengundang yang lain untuk berbuat hal yang serupa.

Kedua mata keabuan itu menatap bosan ke arah figur yang duduk berhadapan dengannya. Ah, setidaknya ia tak ikut tertawa, tidak sebodoh yang lain untuk terkena manipulasi seorang dari keluarga bangsawan.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kalian mulai tinggal bersama?" Hal ini membuat Mayuzumi terkecoh, dan ia tak pernah berpikir rencana bodoh ini akan sedemikian jauhnya.

Tapi ketika ia menatap ke depan, sepasang mata dwiwarna tersebut masih memiliki kontrol. Merasa ada seseorang yang menatapnya, Akashi mengarahkan pandang balik.


Insomnia

Disclaimer: Kuroko no Basuke belongs to Tadatoshi Fujimaki

Setting: Future!AU; 22 y.o Mayuzumi & 20 y.o Akashi


Mayuzumi bahkan lupa apa yang menjadi mimpinya semalam. Tak pernah terpikirkan bahwa gadis yang dijodohkan untuk menjadi istrinya di masa depan adalah mantan adik kelasnya semasa dirinya di sekolah menengah akhir, di Rakuzan.

Akashi tak terlihat menentang dengan keputusan kedua orang tua mereka yang seenaknya, tidak meminta persetujuan dan hanya menerima begitu saja.

Mungkin, Mayuzumi berani menebak-nebak dalam hati. Akashi sudah terbiasa dengan segala jenis hal menyebalkan seperti ini.

Melihat bagaimana gadis itu begitu kaku dan sukar semasa keduanya masih bersekolah, mungkin didikan dari keluarga itu yang membangunnya menjadi sosok penerus yang tahan banting.

Mayuzumi sendiri mengakui kalau terkadang ia merasa bosan dengan segala suruhan yang diujarkan orang tuanya, tapi tetap saja ia tak pernah menemukan dirinya semenurut Akashi, melebihi kehebatan Akashi dalam memimpin sebuah perusahaan di kemudian hari.

Usulan dari kedua belah pihak untuk tinggal di bawah satu atap menggunakan alasan untuk pembiasaan diri guna keharmonisan di kehidupan mereka selanjutnya setelah menikah diterima oleh keduanya, tanpa protes meskipun Mayuzumi hampir kehilangan kontrol diri.

Dan tatapan mata Akashi yang ringkas membekap mulutnya dalam hitungan detik tanpa pemikiran dua kali untuk mengunci bibir.

Hari-hari pertama mereka tinggal bersama masih sama kakunya dengan pertemuan-pertemuan yang memuat eksistensi keduanya dalam latihan-latihan, rapat-rapat dan segala kegiatan keluar kota untuk latihan tim yang lebih membebani.

Topik pembicaraan mereka sebatas apa yang dilakukan di kampus, sudah makan atau belum, pertanyaan apakah salah satu dari mereka akan tidur terlambat, dan apabila yang satu belum pulang maka yang lainnya tak akan susah-susah menelopon menanyakan kabar.

Apanya yang harmonis, tinggal bersama Akashi sama sekali tidak membuahkan hasil dalam memupuk keharmonisan di antara keduanya.

Akashi lebih suka menyibuki diri dengan sekelompok pekerjaan yang harus diselesaikan secepat mungkin sedangkan Mayuzumi memilih untuk tinggal di kampus hingga pemberitahuan bahwa gedung tersebut akan tutup terdengar.

Keduanya tak punya waktu untuk menyeduh teh dan mengudap minuman yang menguarkan aroma harum dan menyejukkan bersama-sama, sekedar menonton televisi atau pergi berlibur barang ke mall sekalipun atau mungkin mengadakan sesi perbincangan hangat di waktu luang mereka.

Malam itu sesuatu yang tak biasa memasuki indera penglihatan Mayuzumi, minimnya cahaya bukanlah alasan baginya untuk menyatakan bahwa tak ada sesuatu yang tak bisa diamati. Suara itu menggema dari kamar tidur mereka, yang memuat tempat tidur sedemikian besarnya.

Potongan kata-kata dapat didengarnya tanpa maksud menguping, tapi ketika ia membuka pintu, sosok gadis itu tak menengok atau menyambutnya dengan ucapan selamat datang. Dirinya yang berada dalam gaun tidur menatap ke arah yang berlawanan, duduk di ujung tempat tidur dimana dirinya biasa menempati tanpa melewati batas berupa guling besar yang mereka taruh tepat di tengah-tengah ranjang.

"Sudah kuselesaikan, besok tinggal kita tangani bersama." Suara itu terdengar agak keras, meskipun intonasi masih tak tertancapkan pada seperangkat kata-kata, dingin adalah kata yang cukup baik untuk menjelaskan semuanya.

Argumentasi masih berjalan keluar dari bibir Akashi, dan Mayuzumi berpikir manusia macam apa yang tahan berdebat dengan gadis itu via panggilan telepon.

Sementara dirinya menyibuki untuk menyiapkan satu stel baju bersih yang akan dipakainya setelah mandi, untuk tidur nanti, kata-kata yang dilontarkan Akashi merupakan sesuatu yang masih mungkin untuk ditangkap pendengarannya.

Telepon dimatikan, dan Akashi menghela napas terlalu keras, mungkin tak merasakan kehadiran pemuda yang dicap sebagai phantom semasa mereka bersekolah.

Tepukan di kepala membawa Akashi sadar bahwa ia tak sendiri dalam bilik kamar tersebut, mengarahkan matanya ke atas, di sanalah ia menemukan siluet dalam gelap, figur seseorang yang mengharuskannya mendongak ketika mereka berbicara.

Mayuzumi menggerakkan tangannya sedikit, mungkin itulah kali pertamanya merasakan bagaimana rambut kemerahan menyelip dan pergi di antara jari-jari tangannya sendiri.

Sebelum Akashi dapat melempar protes, Mayuzumi berbicara, tak berintonasi dan datar seperti biasa.

"Jangan terlalu membebani dirimu sendiri."

Yah, tapi keduanya tahu pesan pendek tersebut tak memiliki arti tersembunyi di baliknya.

Ketika Mayuzumi merasakan titik-titik air yang menetes dari ujung-ujung rambutnya tak kian berhenti meskipun dirinya sudah mengeringkan helaian-helaian tersebut dengan handuk dan hair dryer, ia menyerah dan memutuskan untuk menghabiskan waktu di kamar saja.

Dan ketika ia membuka pintu, posisi Akashi sudah berubah, tak lagi duduk melainkan berbaring dan menghadap sisi yang berlawanan dengan pintu masuk, sisi yang berlawanan dengan kemana Mayuzumi menghadap ketika keduanya memutuskan untuk tidur. Berpunggung-punggungan dengan guling sebagai batas di antara mereka memang keputusan yang terbaik.

Titik-titik air tidak dapat kering secepat itu dan jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat. Sudah berganti hari dan Mayuzumi takjub melihat Akashi secepat itu masuk ke balik selimut. Biasanya ia akan bekerja hingga pukul satu sampai dua pagi.

Menyelip masuk ke dalam selimut dengan membuat pergerakan seminim mungkin, Mayuzumi tak ingin membuat figur yang berbaring di sebelahnya terbangun.

Kesunyian melanda karena Mayuzumi sendiri tak ingin membuka topik di antara mereka berdua, bahkan tidak mengetahui apakah Akashi sudah tertidur atau belum. Detik jam hanyalah satu-satunya sumber bunyi yang mengisi kekosongan malam itu. Saat Mayuzumi melirik ke arah jam yang duduk di atas meja, jarum pendeknya sudah menunjukkan pukul satu.

Dan ia belum bisa tidur.

Pergerakan singkat terasa dari sisi sebelah sana, membuat Mayuzumi mendelik, berpikir kalau Akashi bisa juga menimbulkan gerak-gerak ketika ia tertidur.

Ada sesuatu yang ganjil.

"Hei, kau belum tidur?" Nada yang digunakan rendah, suara pelan. Mayuzumi mencoba untuk menjaga ketenangan.

Seling waktu beberapa detik tanpa jawaban, dan Mayuzumi mengumpat dalam hati kenapa ia begitu bodoh. Hingga akhirnya, "Belum."

Sebelum ia dapat meluruskan topik, Akashi angkat suara, "Kenapa kau belum tidur?" Dalam hati Mayuzumi menggerutu, seharusnya ia yang menanyakan hal yang serupa, mengingat Akashi masuk ke dalam selimut lebih cepat darinya.

"Terlalu banyak minum kopi." Dua hingga tiga cangkir penuh minuman berkafein menemaninya dalam mengerjakan proyek yang sedang berada dalam proses pembuatan.

Bahkan sebelum ia dapat melempar pertanyaan yang tertunda, Akashi lagi-lagi membuka mulut, "Kausuka kopi?"

Cara Akashi membuka pembicaraan dan meneruskannya aneh, itulah menurut Mayuzumi. Mungkin ia tak biasa berbincang-bincang seperti ini?

Meskipun mereka berdua berasal dari sekolah yang sama, tim yang sama dan menghabiskan waktu setahun bersama, tapi lihatlah betapa minimnya pengetahuan mereka akan satu sama lain.

"Supaya tidak mengantuk," Mayuzumi mencetus, nadanya terdengar mencemooh. "Aku minum dua hingga tiga cangkir tadi."

"Bodoh." Dan ia berakhir mengernyitkan kening ketika mendengar kata umpatan halus itu keluar dari bibir seorang Akashi. Sebelum gadis itu dapat menginterogasi lebih jauh, si rambut kelabu melempar pertanyaan yang benar-benar ditahannya sejak tadi.

"Kau sendiri kenapa belum tidur?"

"Insomnia," Akashi menjawab, seringkas itu.

Mayuzumi menghela napas, memangnya sejak kapan Akashi menderita insomnia, kesulitan tidur seperti itu? Bukankah tidur adalah satu-satunya hal yang tak dapat mereka beli, melihat keadaan dan situasi yang memerangkap mereka, dan keduanya selalu menggunakan waktu untuk tidur mereka dengan amat baik?

Bergerak sedikit, Mayuzumi melemparkan sebuah usulan akan sesuatu yang tak pernah mereka diskusikan sebelumnya. Bukan tentang pekerjaan, bukan tentang perusahaan, juga bukan tentang kuliah.

"Tentang kopi," dehaman kecil, "Kausuka yang seperti apa?"

Butuh waktu beberapa detik untuk Akashi memberikan jawaban yang sepantasnya, "Dua sendok gula dengan satu pot kecil susu." Jawaban tersebut sama sekali tak berada dalam ekspektasi Mayuzumi, pikirnya Akashi memilih kopi yang menggunakan tiga sendok gula dan sedikit atau beberapa tetes susu.

"Rasa susunya tidak mencolok?"

"Tidak," Akashi menukas pelan, "Kaubisa mencoba kalau kauingin. Memangnya kausuka yang seperti apa?"

"Kopi hitam, beberapa sendok gula." Mayuzumi berpikir sebelum menambahkan, "Tanpa susu." Kesukaan mereka begitu berbeda, Mayuzumi ragu apakah percakapan ini akan membuat atmosfir di antara keduanya makin harmonis atau malah sebaliknya.

Akashi mendengungkan sahutan berupa gumaman pelan, sebelum membuka topik yang Mayuzumi anggap lebih personal dibandingkan apa yang dibawanya naik tadi. "Sejak SMA, aku lihat kaugemar sekali membaca novel ringan."

"Memangnya novel seperti apa yang kaubaca?"

Mayuzumi terdiam, bingung bagaimana cara menanggapi pertanyaan itu. Tidak ingin membuat Akashi merasa segan dengan kegemarannya sendiri, maka ia memutuskan untuk menjawabnya secara tak langsung.

"Roman?" Bukan, jangan itu. "Kehidupan manusia?" Tambah lagi, lagi. "Human observation? Novel-novel ringan yang menarik perhatianku aku baca."

"Menarik?" Pertanyaan itu lagi-lagi mengejutkannya, tak berpikir bahwa Akashi yang kaku dan keras selama mereka di Rakuzan akan menanyakan hal-hal seperti ini.

"Menarik." Mayuzumi menambahkan, "Baca saja kalau kau penasaran." Ia mendengar Akashi mendengus mencemooh, seolah menolak tegas usulan yang diberikan tanpa berpikir dua kali.

"Sudah sejak lama aku kembali pada realita." Jadi Akashi mengatakan kalau dirinya selama ini berada dalam dunia ilusi dimana semuanya terasa baik-baik saja?

Kali ini Mayuzumi yang mendengus. "Bodoh."

"Jangan mengikutiku."

"Memang kaupikir cerita-cerita di novel-novel itu tiada?"

"Mana ada," Akashi menganggap remeh pertanyaan itu, lebih lagi menganggap pemuda yang berbaring di belakangnya bodoh. "Memangnya kaupikir realita selembut itu?"

"Melihat dari kantung matamu sih, tidak." Dan Mayuzumi dapat merasakan aura tak mengenakkan yang berasal dari gadis bermarga Akashi itu. "Jangan marah, aku cuma bercanda."

"Aku tidak marah, cuma senang mendengar kalau kau masih tahu daratan," Ucapan itu tak lain dari sarkasme semata, dan Mayuzumi tak gagal dalam menemukan kunci-kunci sarkastik dalam tiap deretan katanya.

Hening untuk beberapa saat, Mayuzumi akhirnya angkat bicara lagi. "Ada satu novel ringan yang tidak terlalu jauh dari realita ini, bisa kaubilang ia lebih realistik dibanding yang lain," Akashi diam, menunggu kelanjutannya, atau lebih tepatnya apa yang hendak disampaikan oleh Mayuzumi. "Aku bisa menemanimu ke toko buku untuk membelinya jika kaumau."

"Memangnya besok kau tak kuliah?"

"...Besok hari Minggu, 'kan?" Akashi merutuk dalam hati bagaimana bodohnya ia ketika sekrup yang menyusun otaknya melambat karena istirahat yang amat dibutuhkan. Mayuzumi menarik napas, hanya sebagai penutup untuk tawanya yang sebentar lagi akan keluar.

"Tidur sana."

"Tapi besok aku ada rapat dengan pemegang-pemegang saham di—"

"Aku tunggu besok. Sana tidur."

"Bodoh."

Mayuzumi menghela napas, membalikkan tubuh untuk mendapati punggung gadis itu. "Hei, Akashi—"

Tapi berhenti ketika apa yang dilihatnya adalah tampang depan gadis berambut merah tersebut, kedua mata tertutup, kelopak mata menyembunyikan bola mata heterokromatik merah dan gradiasi merah dan oranye.

Sekali lagi, Mayuzumi menghela napas. Berbincang dengan Akashi ternyata semelelahkan ini.

Tapi bukankah ini kali pertamanya melihat Akashi yang tengah tertidur, dan seumur-umur mereka tinggal bersama, baru kali ini gadis itu menghadap ke arahnya?

Tangan Mayuzumi naik, mendaratkan elusan kecil di rambut yang telah menjadi sebuah adiksi baginya, turun ke pipi hanya untuk merasakan temperatur sedang yang menghangatkan.

Ah, ia juga butuh tidur.

Pukul lima pagi.

Akashi membuka mata, mengerjap perlahan. Hal pertama yang akan dilihatnya adalah tembok putih—

—bukan, wajah Mayuzumi Chihiro yang terlalu dekat.

Mendecakkan lidah, Akashi menggunakan tangannya untuk sedikit mendorong kepala pemuda itu menjauh dari posisinya semula.

"Terlalu dekat, Chihiro."

.

.

End


a/n: Ini fic Mayu x fem!Aka yang saya bilang, dan pas saya nulis, kok rasanya seneng banget /w/ di fic ini ceritanya baik keluarga Akashi maupun Mayuzumi, keduanya bangsawan. Dan setting... ya, di atas sudah ada, kan.

Thank you for reading! Feedbacks ditunggu. :)

[07.03.15]