"Hari ini biar aku, Sima erye yang tampan nan memesona ini, yang traktir kalian berdua makan siang, bagaimana?" ucap Sima Zhao pada kedua sahabatnya, Xiahou Ba dan Wen Yang, sembari merangkul pundak keduanya. Tidak seperti di hari-hari biasa, pemuda yang terkenal akan semangat (dan tingkat narsisme yang tinggi) ini jauh lebih bersemangat dan ceria.

"Dalam rangka apa kau tumben-tumbenan mentraktir kita? Biasanya juga kau yang minta ditraktir..." cecar Wen Yang, menatap heran si putra ke-2 keluarga Sima tetangganya ini.

"Karena aku berhasil mendapatkan siswi paling populer di akademi kita tercinta, Wang Yuanji!" seru Sima Zhao, mengangkat tangan kanannya ke udara. "Memang si tampan ini cocok sekali dengan si primadona akademi..."

Mendadak, sebuah keinginan kuat untuk meninju wajah menyebalkan milik siswa kelas 2-C itu muncul dalam jiwa Wen Yang. Sungguh. Tingkat narsismenya parah. Tetapi, itu berarti Sima Zhao mengikuti perkembangan zaman abad ke-21 ini.

"WAAHHH! Selamat ya, Zhao gege!" Xiahou Ba ber-highfive ria dengan pemuda yang baru lolos dari status jomblo. "Hei, Wen gege! Nampaknya, kita harus cepat menyusul Zhao gege nih!" ia menyikut lengan Wen Yang, menatap penuh makna pada si siswa tertinggi Akademi Han di sampingnya.

"Ah..." Wen Yang memalingkan wajah, berpura-pura menyibukkan diri mengamati pemandangan langit biru cerah di atas sana. "Kau tahu aku belum memiliki pikiran semacam ini..." ia menggaruk kepalanya.

"Hei! Cepat-cepatlah kau bawa pulang seorang pacar dan buat fuqin-mu bangga!" canda Sima Zhao, menepuk punggung Wen Yang, terkekeh.

"Ya... nanti saja. Aku baru ingin mencari jodoh setelah aku bisa mencari nafkah sendiri."

"Keburu jadi tua, tahu?"

"Ya, tidak selama itu juga! Sini juga mau cepat-cepat bebas dari jomblo juga!"

Kedua sahabatnya tertawa keras, membuat Wen Yang kesal. Baru setelah beberapa menit berlalu, tawa mereda. Terlihat beberapa tetes air mata mengalir turun dari sepasang mata keduanya.

"Ya sudahlah!" Sima Zhao menepuk punggung keduanya. "Ayo! Aku dengar ada kafe baru yang buka tidak jauh dari sini! Katanya, pastry-nya itu yang paling enak di kota ini!"

"Oh! Chocolatier yang dibuka oleh Cao shushu, bukan?" sahut Xiahou Ba. "Tidak heran pastry-nya paling enak! Yun gege sih sosok di balik semua pastry menggoda itu!"

Wen Yang pada dasarnya menyukai dunia pastry tertarik untuk mendengar lebih dan mengetahui sendiri seberapa enakkah kue-kue buatan si patissier itu. Dia sendiri juga ahli dalam bidang ini, tetapi, ia lebih spesialis membuat kue-kue timur dibanding barat. Mungkin, jika ia bisa berkenalan dengan patissier tersebut, Wen Yang bisa meminta beberapa saran dan resep.

"Kopinya juga nikmat! Soalnya, alumni dari akademi kita, si Lu Xun itu yang membuatnya sendiri! Dia 'kan pernah menang kompetisi barista tingkat provinsi dua kali berturut-turut! Aku tidak sabar untuk mencobanya!" Sima Zhao merentangkan kepal tangan kanan ke udara, semakin bersemangat dalam tiap langkahnya. "Oh, iya! Katanya, para waitress di sana juga cantik-cantik!" ia menoleh pada Wen Yang. "Mana tahu kalian akan menemukan jodoh di sana."

Wen Yang mendesah. "Sudah kubilang, aku belum tertarik..."

Maka, berangkatlah tiga sahabat itu menuju kafe baru yang jauhnya hanya lima blok dari akademi tempat mereka mengejar ilmu. Dan Wen Ciqian, jauh dalam lubuk hatinya, harus mengaku bahwa ia berharap bisa menemukan seorang jodoh di kafe tersebut... entah itu pegawainya, atau salah satu pelanggannya.

Interior kafe Chocolatier begitu mewah, dengan lampu gantung antik yang menggantung di atas beberapa set meja kopi, furnitur-furnitur kayu mahogani berkelas, wallpaper berwarna krem kecoklatan dan karpet coklat muda yang melapisi permukaan lantai. Atmosfirnya begitu menentramkan, alunan musik jazz klasik dari alat musik yang dinyanyikan oleh phonograf antik di pojok ruangan, sesekali didampingi suara dentingan gelas-gelas yang tengah dibersihkan. Terlihat beberapa orang telah menghuni kafe ini, didampingi dengan segelas kopi dan ada yang sedang menyantap kue-kue. Beberapa orang waiter serta waitress tengah berdiri di beberapa tempat, menunggu order.

Tiga sekawan Akademi Han menatap kagum interior kafe, termenung sampai seorang pelayan lelaki menghampiri. Pelayan tersebut tingginya sekitar 172 sentimeter, berambut seal brown yang tersisir rapir ke belakang dan sepasang matanya berwarna coklat. Sebuah tag nama menggantung di kantung vest-nya, tertera nama 'Zhu Ran' di sana.

"Selamat siang, gege!" sambut Zhu Ran dengan ramah sebelum membimbing ketiganya ke meja. "Untuk pemesanan, teman saya, Cao Yin yang akan membantu Anda," ucapnya sebelum memanggil si rekan tersebut dan meninggalkan mereka.

Tak lama kemudian, datanglah seorang waitress muda yang bernama Cao Yin. Perempuan itu tidaklah tinggi, paling hanya 165 sentimeter. Rambut panjangnya berwarna coklat tua yang disanggul rapih diriasi dengan sebatang tusuk konde perak berpangkal bunga peony. Seulas senyum ramah terpasang pada wajahnya. Meskipun kalah cantik dan anggun dari waitress lainnya, Wen Yang tidak sadar bahwa ia sedaritadi terus memerhatikan gadis itu dengan seksama, seperti saat ia tengah memerhatikan kesempurnaan kue-kue tart susu buatannya. Setidaknya, si waitress tidak sadar pula bahwa ia tengah diamati sedemikian.

"Selamat datang di Chocolatier," nadanya begitu halus dan sopan saat ia berbicara, memanjakan sepasang kuping Wen Yang padahal, perempuan itu tidak sedang menyanyi. Cao Yin memberikan tiga buku menu pada tamunya, kemudian mengeluarkan sebuah nota kecil dari kantung apronnya. "Untuk promo grand opening, kami mengadakan diskon sebesar 50 persen untuk semua item dan juga free cake untuk setiap pembelian hot coffee."

Sima Zhao dan Xiahou Ba melihat-lihat isi menu. Melihat tamunya nampak kebingungan dalam memilih, Cao Yin kembali berkata, "Maaf. Apakah saya boleh tahu apa yang menjadi favorit Anda? Mungkin, saya dapat merekomendasikan yang terbaik."

Seulas senyum yang tetap dijaganya itu semakin menghanyutkan Wen Yang.

Sima Zhao mendengung. "...Aku menyukai hot coffee yang manis."

"Blended untukku!" Xiahou Ba mengangkat tangannya. "Oh! Jangan lupa coklatnya!"

"Ah... untuk gege yang menyukai hot coffee manis, saya merekomendasikan double-shot latte dengan ekstra caramel sauce. Untuk hot coffee, Anda boleh memilih jenis kopinya."

"Kau punya apa saja?"

Cao Yin dengan lihai menjelaskan setiap kespesialan dari tiap kopi yang disediakan oleh Chocolatier, bak seorang sales yang tengah menjual produknya. Sepanjang penjelasannya, Sima Zhao dan Xiahou Ba mendengar seksama -sementara Wen Yang... ia sama sekali tidak mendengar sedikitpun, terlalu sibuk memerhatikan setiap gerakan dan raut wajah penuh semangat milik si waitress. Ketika sadar, Wen Yang heran; apa yang membuatnya memerhatikan Cao Yin sampai sebegitunya? Cantiknya biasa aja, kemampuan berbicaraanya memang di atas standar tetapi, bukanlah hal tersebut yang membuatnya tertarik. Mungkinkah karena senyuman itu? Atau karena semangatnya? Atau karena suara lembutnya? Wen Yang tidak tahu pasti.

"Ah! Guatemala adalah favoritku! Syukurlah kalian menyediakannya! Baiklah! Aku pilih itu saja!"

Cao Yin segera mencatat sebelum beralih pada Xiahou Ba. "Untuk gege yang menyukai blended, kami sarankan blended mocca."

"Boleh ekstra chocolate sauce?"

Cao Yin kembali mencatat. Ia mengalihkan pandangannya pada Wen Yang, heran melihat tamu yang satu ini bahkan tidak menyentuh buku menunya. Malah sepertinya, termenung. Dan, termenung menatap sesuatu... oh, tunggu... Cao Yin sadar bahwa dirinya-lah yang tengah diperhatikan. Ia merasa tidak nyaman diperhatikan seperti itu tetapi, sebagai seorang waitress, ia tidak boleh memperlihatkannya, setidaknya, secara langsung.

"Umm... gege?"

Sima Zhao segera menepuk bahu Wen Yang, menyadarkannya dari lamunan. Wen Yang celingukan, mendapati bahwa kedua sahabatnya tengah menahan tawa dan Cao Yin yang hanya tersenyum padanya.

"A-ah..." Wen Yang jadi serba salah tingkah. Ia tahu bahwa gadis yang tadi ditatapinya terus-terusan telah menyadari perbuatannya, dan hal itu membuat Wen Yang ingin segera ke toilet dan memendamkan wajahnya ke dalam kloset. Ia berusaha menyembunyikan rona merah muda pada wajahnya dengan menunduk, memerhatikan asal-asal isi buku menu. Suara terkekeh mendapatkan atensinya. Ia memberanikan diri untuk mengintip dari balik buku menu, melihat Cao Yin-lah pelakunya. Bukannya makin membaik, justru malah membuatnya semakin salah tingkah sampai gugup.

"Boleh kubantu rekomendasikan?" tanya Cao Yin.

Wen Yang merasa ia baru saja disambar petir. Pertanyaan dadakan tersebut membuatnya semakin kalut. Ia berusaha sebisanya untuk tetap terlihat cool, namun, dengan kini Cao Yin yang memerhatikannya, bagaimana bisa hatinya tidak menari disko?

"Uh..." sepasang matanya diusahakan tetap mengarah ke buku. Karena semua peristiwa ini, Wen Yang lupa akan tujuan pertamanya ia datang kemari, yakni untuk mencicipi sepotong kue buatan patissier yang ternyata adalah alumni tiga tahun lalu.

"Gege?"

"Eh... Ah..." Wen Yang menelan ludah. Apa yang salah dengan dirinya sampai berhasil membuat malu dirinya di hadapan kedua sahabatnya dan... apa sebutan yang cocok untuk perempuan itu?

Sima Zhao semakin tidak kuasa menahan tawa.

"Ngg... Ice... vanilla latte saja... dan... satu macaroons..."

"Baiklah. Untuk gege yang memesan double-shot latte, Anda ingin cake apa?"

"Yang terbaik!"

"Hmm... baiklah!" Cao Yin memasukkan pen ke dalam kantung, lalu membungkuk. "Harap ditunggu sekitar lima sampai tujuh menit untuk minumannya."

Saat ia pergi, barulah Wen Yang merasa sedikit lebih tenang. Detak jantungnya berangsur melambat, rona merah mulai memudar. Dan saat itu pula, Sima Zhao melepas tawanya dalam level suara yang untungnya, tidak mengganggu tamu lainnya. Ia menepuk-nepuk punggung Wen Yang, menghapus air mata dengan sapu tangan biru muda miliknya.

"Astaga! Ciqian! Itu lucu sekali! Zhongquan! Kau lihat tadi 'kan? Betapa merahnya wajah Ciqian!"

Xiahou Ba hanya mengangguk sedangkan Sima Zhao terus tertawa.

"Hentikan itu, Zhao..."

"Ahahaha! Perutku sakit! Astaga!"

Oh, betapa inginnya Wen Yang menggali lubang dan memendamkan wajahnya di dalam sana saja detik ini juga.

Sejalan dengan kisah Wen Yang, Cao Yin yang sudah meletakkan nota pesanan berbalik menghadap sektornya, mendapati Wen Yang sedang menjadi bahan bully kedua kawannya. Di satu sisi, ia kasihan. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa untuk tidak terkekeh melihat pemandangan di hadapannya. Seorang pemuda menepuk bahunya, membuat Cao Yin menoleh ke belakang.

"Zhao gege," sapanya pada sosok patissier kebanggaan Chocolatier, Zhao Zilong alias Zhao Yun.

"Yo," balas Zhao Yun. "Jadi, bagaimana rasanya diperhatikan oleh seseorang, hmm?"

Wajah Cao Yin langsung merah. "Apa-apaan kau ini!" bisiknya.

Zhao Yun terkekeh. "Ya... sedaritadi kuperhatikan, pemuda yang itu terus memperhatikanmu. Jangan bilang kau tidak menyadarinya."

"...Awalnya, begitu."

Jawaban tersebut memancing keinginan Zhao Yun untuk tertawa.

"Te-tetapi, aku tidaklah sepolos itu! Setidaknya, aku menyadarinya saat aku... melihat ke arahnya..."

"Hahaha!" Zhao Yun menepuk pelan bahu kiri rekan kerjanya. "Syukurlah. Kukira, Cao Yin, adik kelasku ini, tetaplah sepolos dahulu! Mungkin karena kau belakangan ini kebanyakan menonton drama-drama korea yang kurekomendasikan padamu?"

Cao Yin segera menyambar sebatang lolipop yang terpajang di counter dan menyumpal mulut si patissier yang malah mengeluarkannya dari mulut, membuka kertas pembungkusnya dan menikmati sebatang lolipop rasa stroberi tersebut. Cao Yin menggeleng-geleng pelan, beralih mengamati si tamu bertubuh tinggi dan ia menyadari sesuatu dari pemuda tersebut.

"Eh... aku baru sadar kalau wajahnya..." ia menatap Zhao Yun, melanjutkan, "mirip denganmu."

Zhao Yun hanya tersenyum mendengarnya."Mungkin saudara jauhku? Hahaha!"

"Bisa jadi..."

"Ting~"

Suara lonceng itu mengalihkan atensi mereka. Keduanya menoleh, mendapati Lu Xun yang telah selesai menyiapkan minuman dan sepiring macaroons. Cao Yin segera mengantarkan pesanan pada ketiga tamunya, meletakkan satu per satu item di atas meja. Ia bisa merasakan tangannya bergemetar pelan ketika mengangkat minuman Wen Yang. Ia lega karena gelas tersebut mendarat dengan selamat di hadapan tamunya. Dan, ia masih memiliki satu piring macaroons yang harus diletakkan di hadapan Wen Yang. Napasnya berhenti ketika piring tersebut semakin mendekati permukaan meja.

Ia membelalak mendapati tangan kanan Wen Yang menggenggam sisi lain piring tersebut, membuatnya sadar bahwa ia hampir menjatuhkan macaroons karena kemiringan piring yang sudah takluk oleh gravitasi.

"Ma-maafkan saya!"

"Ti-... tidak apa-apa," Wen Yang tersenyum padanya.

Suasana menjadi canggung di antara keduanya, dengan Cao Yin dan Wen Yang yang sama-sama 'dag-dig-dug' dan merona merah muda. Sesudah mengantarkan macaroons dengan selamat, Cao Yin segera pergi menuju counter dengan langkah cepat, membuat Wen Yang heran sekaligus merasa bersalah. Mungkin, karena perbuataannya tadi, ia membuat Cao Yin merasa tidak nyaman sehingga ingin cepat-cepat kembali ke counter.

Sima Zhao kembali menertawakan Wen Yang, begitupula dengan Zhao Yun yang lagi-lagi terkekeh, disertai dengan mengucapkan, "Selamat, ya, adik kelasku!"

Sekali lagi, mulutnya disumpal dengan sebatang lolipop yang lebih lonjong dan besar rasa spearmint.

"Nih! Biar napas gege wangi!"

Lu Xun tertawa melihat tingkah dua rekannya itu. Ia berjalan mendekati mereka, menutup hidungnya dengan saputangan saat dekat dengan Zhao Yun. "Kau benar, xiaojie. Napas Zhao gege itu bauuu... sekali."

Tidak diketahui oleh Cao Yin bahwa Wen Yang terus memerhatikannya. Sesekali ia berhenti untuk menyantap macaroon atau untuk menikmati ice vanilla latte-nya, berusaha sebaik mungkin untuk mengalihkan dunianya dari sang waitress bertubuh mungil yang sedang bercanda dengan beberapa orang pekerja lainnya. Wen Yang menyadari bahwa Cao Yin paling dekat dengan seorang pemuda yang harus diakuinya, wajahnya mirip sekali dengannya.

...Andai kata ketertarikanku pada waitress itu berbunga menjadi rasa... cinta... apakah orang itu akan menjadi rival cintaku?

Ia terniang akan kata-katanya dalam perjalanan menuju Chocolatier tadi. Mengenai 'mencari jodoh setelah berhasil mencari nafkah'. Bahasa lainnya adalah, baru mencari jodoh setelah berhasil menyakinkan diri bahwa ia sanggup membahagiakan orang tersebut; orang yang telah berhasil mencuri hatinya, dan ia yang akan menerima cinta dari seorang Wen Yang.

Seandainya perasaan itu berubah dari status 'tertarik' menjadi 'suka' kemudian berakhir 'cinta'... apakah aku sanggup membahagiakannya?

Pada akhirnya, terpintas sesuatu dalam pikirannya. Wen Yang menunduk, memakukan pandangannya pada gelas yang hampir kosong.

Mungkin memang egois tetapi...

Ia mengangkat kepalanya, menatap Cao Yin sesaat sebelum memejamkan sepasang matanya.

Saat bersamaku, aku ingin... ia melupakan yang lainnya... dan hanya ada diriku seorang dalam batin dan jiwanya.

Apakah... perasaan ini sanggup berubah ke tingkat itu?


Kaien-Aerknard presents

A Dynasty Warriors Fanfiction

[Brewing a Cup of Sweet, Hot Coffee]

"Kopi-pun bisa disamakan dengan 'Cinta'. Maksudku... Rasa pahit dari kopi itu melambangkan masa-masa pahit di antara kita, rasa manis dari gula dan susu melambangkan momen manisnya, harum serta kehangatannya bagai kasih sayang yang menghangatkan jiwa, raga dan batin... Dan cangkir ini, melambangkan kita berdua yang mengumpulkan semuanya menjadi satu..."


Author's note: Jumpa lagi dengan saya, Kaien-Aerknard!

Fanfiction kali ini sebenarnya mau jadi oneshot, tapi karena terlalu panjang dan saya rasa bisa dijadikan multichapter, maka saya bagilah. Entah jadi tiga chapter atau berapa chapter, kita lihat saja nanti www!

Kalau fict ini sendiri sebenarnya belum tamat, tapi saya usahakan bisa tamat hahaha!

Baiklah! Thanks for reading and reviewing!