Setting : Bogor (Indonesia) tahun 2005
Disclaimer : Kadaj adalah karakter buatan Square Enix untuk CG movie Final Fantasy VII Advent Children. Aku hanya meminjamnya untuk kepuasan pribadi saja.
Genre : Romance (bisa dibilang begitu)
Warnings : - OOC, rada lebay
- Fanfic narsis, author ada dalam cerita
- terdapat beberapa bahasa mandarin, "Ba ba" dibaca "Pa pa", "Ma ma" dibaca "Ma ma". Sedangkan "Ge" (kakak laki-laki) dibaca "Ke" seperti saat kita mengucapkan kata "tante".
Prologue : Kami sekeluarga, minus kakak laki-lakiku yang sedang kuliah di Taiwan, pindah dari Jepang ke Indonesia karena suatu hal.. Walaupun agak sulit, perlahan aku mulai bisa beradaptasi. Namun hari-hari yang damai itu musanah begitu sebuah kecelakaan menimpa kami. Dan Kou Ge, kakak laki-lakiku, seakan menghilang dan tak peduli padaku.
Dead man's lawn
Aku bisa terbang! Benar-benar terbang! Tubuhku terasa ringan, terasa bebas seperti burung yang baru saja lepas dari sangkar. Tapi...bukankah beberapa detik yang lalu aku masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit? Apakah ini mimpi? Ya, pasti mimpi.
Kulihat padang rumput dengan hamparan bunga zephirantes berwarna putih di bawah sana. Cantik sekali.
"WAAA....!!!" spontan aku menjerit saat tubuhku tiba-tiba meluncur dengan cepat.
BRUGG !! Tubuhku jatuh bedebam di atas tanah miring yang ditumbuhi rumput tebal, lalu berguling-guling ke bawah sampai akhirnya terhenti di atas hamparan bunga yang tadi kulihat saat terbang.
"Aduduh..." aku meringis kesakitan. Sambil duduk kubersihkan badanku dari rumput dan daun-daun yang tersangkut.
Eh? Unn... benarkah ini mimpi? Rasa sakit akibat jatuh tadi benar-benar nyata. Kuhirup udara dalam-dalam sampai paru-paruku penuh dengan udara sejuk. Aku juga bisa mencium bau rumput yang segar. Aku jadi semakin yakin kalau ini semua bukan mimpi. Tapi... tidak mungkin aku bisa terbang, kan? Hal seperti itu hanya terjadi di mimpi. Urgh, tapi tidak mungkin orang yang sedang bermimpi bisa sadar kalau dirinya sedang berada di dunia mimpi. Tidak. Tidak mungkin! Argh... aku jadi bingung!
"Daijoubu ka?" sebuah suara terdengar dari atas kepalaku, membuatku menoleh. Dan tepat saat itu mataku menangkap sebentuk wajah cantik bermata hijau tepat di depan hidungku.
"GYAAA..!!"
Spontan aku langsung melompat, menjauh darinya. Dadaku berdegup kencang. Aku bahkan bisa mendengar detaknya yang tidak beraturan.
"Hahahaha...." orang itu malah tertawa, keras sekali dan tanpa rasa bersalah sedikitpun! Kontan mataku melotot galak.
Cowok itu malah mendekatiku, mencondongkan tubuhnya ke arahku, kemudian... Ukh, segera kugeser pantatku ke arah belakang sebelum kejadian tadi terulang lagi. Dia malah tersenyum lebar. Tiba-tiba tangan kanannya terjulur ke atas kepalaku. Tentu saja aku langsung menghindar.
"Jangan bergerak!" perintahnya. Kurasakan dia menarik-narik sesuatu dari rambutku. Ternyata hanya beberapa helai daun. Pasti tadi tersangkut waktu aku jatuh menggelinding tadi.
"Kawaii na," gumamnya sambil menghamburkan daun-daun di tangannya. Dengan santainya dia duduk di sampingku. Kugeser posisi dudukku, sedikit menjauh darinya. Diam-diam aku meliriknya beberapa kali. Dia... cowok cantik dengan rambut keperakan sebatas leher dan poni menutupi matanya. Tubuhnya tinggi tegap, dibalut kemeja putih. Sepertinya bukan orang Jepang asli.
"Hei, daijoubu?" tanyanya tanpa menoleh padaku.
"Eh? Hai. Arigatou."
Sepi. Tidak ada satupun dari kami yang berbicara.
"Anata dare?" tanya kami berbarengan. Lalu kami saling diam lagi. Lama. Ah, kira-kira apa yang sedang dia pikirkan, ya?
"Kadaj." Akhirnya dia buka suara. Sayangnya aku yang sedang bengong tidak mengerti maksud ucapannya, dan akhirnya hanya kujawab, "Hah?"
"Kadaj desu. O namae wa?"
"Eh, Kadaoga Aki desu."
"Aki-chan. Nama yang bagus."
Aku meliriknya sebentar. Orang ini agak tidak sopan, menyebut namaku dan ditambah dengan chan, padahal kami baru saja saling kenal. Tapi sudahlah, bukan maslah besar kan? Lagipula dia sendiri menyebut nama depannya. Kadaj, nama yang aneh. Aku tambah yakin kalau dia bukan orang Jepang asli. Mungkin keturunan.
"Ah, arigatou." Diam-diam aku tersenyum sendiri. Jarang sekali ada orang yang memuji namaku.
" Sepertinya orang tuamu sangat menyukai musim gugur. Apa kau juga menyukai musim gugur, hmp?"
"Eh? Ngg.. tidak juga. Aku suka semua musim. Masing-masing punya keindahan tersendiri." Kulihat cowok itu mengangguk-angguk pelan.
"Sayang sekali di sini tidak ada keindahan seperti itu."
Hoh, begitu rupanya. Sayang sekali kalau begitu. Ngomong-ngomong soal tempat ini, sebenarnya aku ada di mana?
"Ini tempat apa?" tanyaku.
"Apa ya? The Dead Man's Lawn, mungkin."
"NANI?! Maksudnya ini tempat untuk orang yang sudah mati?"
"Ya~ semacam itu lah."
Kutengok kanan, kiri, depan dan belakangku. Hanya ada hamparan rumput dan bunga yang luas sejauh mata memandang.
"Kadaju-san..."
"Jangan pakai '-san'!"
"Ya, baiklah. Umm... apa kau..."
"Sudah mati?" Dia memotong kalimatku, kemudian tersenyum. "Sepertinya begitu," lanjutnya.
Tubuhku langsung lemas. Otakku sepertinya beku. Kosong. Kutarik kedua lututku lalu kupeluk erat-erat. Ah, di sini sepi. Begitu sepi seperti di pemakaman. Dead man's Lawn, padang rumput milik orang mati. Apakah aku juga sudah mati?
"Kadaj..."
"Hm?"
"Boleh tidak aku tinggal di sini, bersamamu?"
"Tidak!"
"Kenapa?"
"Kau kan belum mati."
"Bagaimana kau tahu?"
"Entah. Hanya tahu saja."
Kuhela napas pelan. "Hidup atau mati bagiku sama saja!" ujarku datar.
"Hontou ni? Kedengarannya putus asa sekali. Apa yang membuatmu bosan hidup, hm?" Tanyanya sambil menatap lurus ke depan, ke arah hamparan bunga-bunga.
"Aku...takut," gumamku lirih. "Aku takut menjalani hidup ini seorang diri."
Kadaj malah tertawa. "Coba lihat tempat ini! Tidak ada apapun selain pepohonan dan angin. Bahkan serangga pun tidak ingin hidup di sini. Kalau Kau mati, kau tentu akan sendirian. Orang-orang yang Kau sayangi...semuanya tidak ada. Hanya akan ada dirimu dan rasa sepi."
Tiba-tiba mataku terasa panas. Aku terdiam, lama. Dia juga diam. Matanya masih tertuju ke suatu tempat di depan sana. Sesekali angin sejuk datang menyapu wajahku.
"Rasanya menyakitkan mengingat apa yang telah terjadi. Rasanya sangat menyakitkan saat menyadari bahwa aku sekarang sendirian. Orang yang kutahu masih hidup, yang kupikir akan menjadi sandaranku, bahkan tidak peduli padaku." Ujarku akhirnya, dengan suara serak dan tenggorokan tercekat. Bulir air mata meleleh di pipiku saat mengingat Kou Ge, kakakku satu-satunya sampai saat ini tidak ada tanda-tanda akan menjengukku. Cepat-cepat aku menyekanya dengan punggung tangan.
"Tapi bukan berarti Kau bisa menyerah pada kematian begitu saja." Kadaj tersenyum pahit. "Pulanglah! Masih banyak orang yang menunggumu," lanjutnya. Mata hijaunya yang indah menatapku dengan lembut. Tapi aku tidak bisa kembali, setidaknya sampai aku bertemu ba ba dan ma ma.
"Kalau kau memang sudah mati, seharusnya ba ba dan ma ma juga ada di sini, kan? Mereka pasti ada di sini, di suatu tempat. Aku..aku akan mencarinya!" Buru-buru aku bangkit, kemudian berlari tanpa arah yang jelas.
"Ba! Ma!" kukeluarkan semua sisa tenagaku untuk berteriak memanggil mereka. "Ba ba..ma ma..!! Kalian di mana?"
Kudengar suara langkah kaki di belakangku. Aku tahu itu Kadaj.
"Ba...!! Ma..!!" kuhentikan langkahku sebentar, kemudian berteriak lagi sambil berharap mereka benar-benar berada di tempat ini. Kamisama, tolonglah.
"Tidak ada orang lain di sini selain kita."
"Tidak mungkin! Ba ba dan ma ma pasti di sini. Kalau...kalau saja itu benar, aku bisa bersama mereka selamanya."
Di depanku ada tanah yang cukup tinggi, seperti bukit kecil. Di puncaknya terdapat sebatang pohon sakura yang besar dan rindang. Kuseret kakiku, berlari menaiki gundukan tanah yang landai itu, kemudian berhenti tepat di bawah pohon dengan napas terputus-putus. Kupikir mungkin saja aku bisa melihat tempat ini secara keseluruhan. Mungkin aku bisa melihat mereka dari sini. Benar kan?
Kusapu semua sudut padang rumput itu dengan mataku, jengkal demi jengkal. Kuamati setiap benda-benda yang menyerupai manusia di kejauhan, meskipun ternyata aku selalu tertipu mataku sendiri. Tidak! Aku tidak mau menelan kekecewaan untuk kesekian kalinya. Aku tidak mau!
Lututku lemas. Aku berjongkok di antara alang-alang dengan bunga-bunganya yang seperti kapas. Ba...ma...kalian dimana?
"Sudah kubilang di sini tidak ada orang lain selain kita. Maksudku, selain diriku. Kau seharusnya tidak ada di sini."
"Uso, ne?"
"Aki-chan.."
"Mereka tidak mungkin meninggalkan aku begitu saja, kan?" bentakku kesal. Oh iya, pohon! Kalau aku memanjat pohon, pandanganku akan lebih luas, bukan? Segera aku bangkit, memandangi pohon itu sebentar kemudian memegangi batangnya yang keras.
"Kau mau apa?" tanyanya kaget.
Kunaikkan kakiku ke bagian yang menyembul di batang pohon, mungkin sisa dahan patah. Kuangkat tubuhku dengan susah payah, dan berhasil. Letak dahan itu tidak terlalu tinggi sehingga aku tidak terlalu kesulitan menaikinya. Pijakanku cukup kuat untuk menahan beban tubuhku. Aku diam sebentar sambil bersiap-siap memanjat lagi.
"Hentikan! Turun dari situ!"
"Tidak!" bentakku menolak.
"Kubilang turun!" Kadaj menarik pinggangku, membuatku kehilangan keseimbangan dan peganganku terlepas. Beruntung, Kadaj menyanggaku hingga kami berdua tidak sampai jatuh berguling-guling.
"Bodoh!" ujarnya pelan.
"Aku tidak peduli!" geramku, sambil berbalik ke arah pohon itu lagi. Tiba-tiba Kadaj mendekapku dari belakang, mengunci tubuhku hingga tidak bisa bergerak.
"Sudah cukup, hentikan!" bisiknya di telingaku.
"A..aku.." suaraku terdengar bergetar.
"Sudah saatnya berhenti membohongi diri sendiri. Hadapilah kenyataan bahwa mereka sudah mati, sedangkan kau masih hidup."
Pandanganku tertutup air mata yang akan segera tumpah. Buru-buru kuseka sudut mataku.
"Menangislah. Menangis saja sampai kau puas!" ujarnya seraya melepaskan tangannya yang sejak tadi melingkar di leherku. Matanya menerawang, entah memikirkan apa.
"Banyak orang yang justru ingin hidup lebih lama," gumamnya. Aku menangis sejadinya sampai tenggorokanku sakit, seolah tidak akan pernah berhenti. Kurasakan bahuku berguncang-guncang.
"Banyak orang yang impiannya terhenti karena kematian lebih dulu menjemputnya. Bersyukurlah bahwa Kau masih memiliki nyawa," ujarnya sambil menoleh padaku dan tersenyum. "Aku tahu sebenarnya kau belum siap untuk mati. Karena itu, pulanglah! Sudah waktunya kau bangun dari tidur panjangmu. Bertahanlah, lalu lakukan apa yang ingin Kau lakukan!"
Kubuka kedua mataku. Ah, ternyata aku masih terbaring di tempat tidur. Aku masih berada di rumah sakit, dan masih bernapas.
.● ●.
November 2005
Sudah empat bulan sejak kejadian naas itu, tapi Kou Ge belum pernah sekali pun menjengukku. Menelepon pun tidak pernah! Apa dia benar-benar sudah tidak peduli padaku? Kuhela napas, kesal.
Sudah sore, aku baru saja selesai bekerja. Restoran Jepang yang berada di Jalan Padjajaran itu ternyata bersedia menerimaku bekerja di sana. Untuk menghemat, setiap hari aku berjalan kaki dari tempat kerja ke terminal bus. Dari situ aku bisa naik angkutan umum sampai ke rumah. Tidak apa, aku sangat menikmati suasana sepanjang jalan raya itu. Ramai memang, tapi pohon-pohon besar di sepanjang jalan membuat udara menjadi sejuk. Apalagi di seberang trotoar tempatku berjalan sekarang terdapat hutan buatan yang sangat besar, namanya Bogor Botanical Garden. Aku sempat berwisata ke sana beberapa kali, bersama teman kerjaku.
Aku suka sekali memandangi dahan yang bercabang-cabang dengan indahnya, entah bagaimana itu selalu mengingatkankaku pada sebuah mimpi aneh saat di rumah sakit dulu. Mimpi tentang seorang pemuda yang menyemangatiku untuk terus hidup. Seorang pemuda berambut perak dan memiliki mata hijau yang sangat indah. Dengan bodohnya aku melupakan nama orang itu. Hm, seandainya aku bisa pulang ke Jepang, apakah aku bisa bertemu dengannya? Ah, bodoh! Dia kan sudah mati.
Tiba-tiba ponselku berdering. Oh, ada pesan masuk. Setelah membaca pesan itu, aku segera berlari ke terminal bus seperti sedang dikejar setan. Masa bodoh dengan tatapan aneh orang-orang. Aku benar-benar ingin sampai di rumah secepatnya!
.● ●.
Kou Ge mengirimiku tiket pesawat. Dalam suratnya dia hanya menyuruhku kembali ke Jepang minggu ini juga. Tidak ada penjelasan kenapa dia menghilang selama ini. Tidak ada permintaan maaf atas ketidakberadaannya selama aku di rumah sakit, sampai aku sembuh sekarang.
Aku benar-benar membencinya! Tapi...aku juga merindukannya. Sangat, sangat merindukannya. Karena itulah aku tidak perlu berpikir panjang untuk memenuhi permintaannya.
__________OWARI__________
Jonggol, 06 Oktober 2008
Kadaoga Aki
Author's note:
Huaaaaahhhh...akhirnya selesai juga setelah seharian ngekhayal n ngebayangin tiap adegannya, trus ngetik, trus bete, trus maen spider solitaire, trus mikir lagi, ngbayangin lagi, ngetik lagi, mentok lagi, maen spider solitaire lagi, teruuusss kaya gitu sampe stres!
Fakta : Saya asli orang Bogor, belum pernah sekalipun pergi ke Jepang apalagi klo sampe PINDAH DARI JEPANG. Itu ga mungkin banget!
