Marriage Proposition

Disclaimer of masashi kishimoto

Don't Like Don't Read

NaruHina

.

.

.

Bagian .1

Hinata memandang ombak yang membentur dinding tebing di bawah, lalu tertawa sedih. Tiga langkah dan satu pijakan pada pagar besi pembatas maka dia akan mengakhiri semuanya. Hinata melangkah dan menaiki pagar pembatas yang meruncing di atas, beberapa saat sweaternya menyangkut di ujung pagar dan sobek.

Sial! Itu sweater favoritenya, Hinata ingin menangis sekarang. Betapa sial hidupnya mungkin tidak bisa di hitung dengan jari. Dia adalah anak sulung, tapi tak pernah di hargai. Dia adalah pekerja keras, mengambil lembur setiap hari dan tak pernah menerima cuti, tapi jabatannya tak pernah lebih dari asisten manager pemasaran. Dia adalah seorang wanita setia yang tak akan berani untuk berselingkuh ketika cintanya terpaut pada seorang lelaki, tapi dia telah di khianati.

Hinata memandang lagi ombak di bawahnya, dia menggertakkan gigi saat angin dini hari menerpa wajahnya. Satu lompatan dan berakhir sudah.

Tapi ini tidak akan mudah, saat dia menjulurkan kakinya ke depan dia menemukan tangannya menggengam pagar kuat-kuat. Saat dia melepas tangannya, kakinya gemetar dan dia terduduk lemas, menempel di pagar. Hinata mendengus, meremehkan dirinya sendiri. Lama Hinata hanya memandang lautan yang gelap, hingga suara asing tertangkap indra pendengarannya.

"Hai."

Suara yang begitu dekat itu membuatnya tersentak. Saat dia terlonjak, sebuah benda keras membentur kepalanya dengan keras. Kepalanya pusing, tapi ya tuhan! Itu bukan masalahnya sekarang. Jatuh dari tebing dan mati adalah satu hal yang dia rencanakan untuk kematiannya, tapi tidak dengan di serang perampok.

"Aarrgghh" perampok itu berteriak. Bukan hanya Si perampok, Hinata juga telah memejamkan matanya, memegang pagar lebih erat dan menjerit dengan keras.

Panik membuatnya bodoh.

"Hey, berhenti berteriak! Arrghh hidungku berdarah." Perampok itu mengerang.

Hinata tidak ingin mati di bunuh, karena itu dia diam. Dengan takut dia melangkah menyamping, menghindari kematian yang memalukan. Dia akan menemukan kematian yang lebih sopan nanti. Betapa sialnya Hinata hingga matipun sangat susah.

Saat menghitung langkah ketiga, dia membuka mata dan terpesona dengan seorang manusia yang menakjubkan—seorang pria bersurai kuning dengan sepasang mata biru yang bersinar.

"Sebenarnya apa yang kau lakukan, eh?" tuntut Si perampok.

Hinata melebarkan mata, kengerian muncul di wajahnya saat dia mengingat jika lelaki ini mungkin saja perampok, atau lebih parahnya seorang pembunuh berdarah dingin yang mesum.

Mesum? Dari mana pemikiran itu berasal?

"A-a-a-a-a-apa y-yang k-kau i-inginkan?"

Maksud Hinata untuk menantang kini telah hancur berantakan.

Perampok itu menaikkan sebelah alisnya "Aku yang bertanya padamu duluan."

Hinata mengerutkan dahinya, apa lelaki ini sedang mengujinya? Mungkin dia bukan perampok, tapi pemuda mesum yang akan mencari keuntungan darinya jika dia tahu apa yang akan di lakukannya tadi. Tidak! dia tidak akan bicara apapun pada lelaki ini.

"Hey, kau tuli ya?"

Hinata tetap diam dan Si perampok mulai geram.

"Hey jawab aku atau kau mau berada di pinggir tebing hingga pagi?"

Hinata mengerutkan alisnya. Apa maksudnya?

Si perampok mengerti kegelisahan Hinata dan menyeringai.

"Kau kira aku akan melepasmu setelah kau membuat hidungku berdarah, hm?"

"A-apa?"

"Bicara juga kau!" Sembur Si perampok, lalu mengernyit "Apa kau malaikat?"

HAH?

Jika Hinata malaikat, maka dia akan memilih menjadi malaikat maut. Dan daftar nomor satu yang akan menghadap kami-sama adalah pria kuning di hadapannya ini. Hinata fikir, jika pria ini gila atau dia mempunyai gangguan di otaknya tentang imajinasi yang berlebihan.

Si perampok kini menurunkan pandangannya dan merasa kecewa "Kakimu menapak, memakai boot coklat tua. Sial, kau membuatku kecewa."

Hinata memegang pagar besi dengan erat, hatinya khawatir "A-apa kau seorang perampok?"

Si perampok membuat garis didahinya, "Perampok?"

Hinata tahu jika dia telah salah menilai pria di hadapannya "A-apa kau lelaki mesum?"

Si pria melebarkan matanya, dia tidak pernah mendapatkan sebutan sebagai lelaki mesum selama dia hidup, dan sekarang dia mendapatkan sebutan itu dari gadis yang baru dia temui.

Sangat tidak bisa di percaya!

"Aku menyebutmu malaikat dan kau mengira aku lelaki mesum? Kau sangat keterlaluan nona."

Hinata menunduk, merasa bersalah "M-maaf."

Si pria melangkah maju, mengangkat sebelah alisnya saat melihat gadis itu masih menunduk.

"Kenapa kau di sini? Apa kau memilik gejala Sleepwalking?"

Hinata mendongak dan menemukan Si pria telah berada di hadapannya, hanya terpisah pagar besi yang dingin. Hinata mengerjap, matanya terlalu lama terpaku pada pria yang hidungnya memerah karena benturan kepalanya.

"Mmhm." Gumam Hinata.

"Memakai sepatu boot dan sweater rajut, kau tidur dengan pakaian seperti itu?"

"Uhum, ini sagat nyaman, coba saja kalau tak percaya." Hinata melirik jalan setapak yang berada di belakang Si pria. Dia ingin pergi.

Si pria tidak bisa menahan tawanya "Ok, tapi nanti, setelah aku tahu namamu."

Hinata memautkan alisnya, tapi tetap menjawab "Hinata."

"Aku Naruto." tersenyum saat angin laut berdesir lebih keras.

"Uhm...mm aku akan pergi sekarang." Hinata menaiki pagar pembatas dan mulai berjalan menjauhi Naruto.

"Bisa kau bantu aku?" tanya Naruto setengah berteriak.

"Maaf tapi aku harus pergi." Jawab Hinata.

Naruto menghampiri Hinata dengan sedikit berlari, mereka berjalan cepat di jalan beraspal setelah keluar dari tebing.

"Aku tersesat." Ucap Naruto tiba-tiba.

Hah?

Hinata yakin jika Naruto sedang bercanda atau telinganya yang salah paham, jadi dia bertanya untuk memastikan "A-apa?"

"Aku tersesat." Ulang Naruto dengan menggaruk bagian belakang lehernya.

Hinata mengerutkan alis hitamnya. Apa dia bercanda? Pikir Hinata.

"Kau boleh tak percaya, tapi aku memang tersesat." Ucap Naruto meyakinkan Hinata.

Hinata melirik Naruto, Gila! Kemungkinan apa yang membuat Naruto menjadi orang yang menghancurkan rencana bunuh dirinya? Di dunia yang luas ini, dia memilih tempat ini untuk tersesat.

"Turis?!" itu bukan pertanyaan tapi Naruto tetap menjawab.

"Yup! Aku turis lokal, dari tokyo, kau? Ah kau orang wakayama ya?"

"Kau bisa memakai GPS, kan?" Hinata mengalihkan topik dengan cepat. Masih terus berjalan.

Naruto mengangkat tangannya, memamerkan tubuh yang terjalin otot dengan mekanisme yang membuat tubuh rampingnya nampak kekar, terbalut dengan jaket olahraga dan celana trining "Aku tidak membawa apa-apa, ku tinggal di hotel."

"Kau joging dan tidak membawa apa-apa?"

"Tidak, aku memakai sepedah." Dia menggendikkan kepalanya kebelakang, melirik pada sepeda gunung berwarna orange yang tergeletak di dinding bangunan marcusuar.

Hinata menghela nafas, melirik Naruto dan menebak jika dia adalah pria berumur pertengahan dua puluh, yang lebih tua darinya dan tidak bisa menghafal rute jalan. Saat melihat rambut pirangnya berayun karena angin laut, Hinata menduga jika Naruto adalah turis tampan yang tersesat.

"Jadi.. kau sungguh bukan pencuri atau pria mesum?" tanya Hinata.

Naruto menautkan alisnya "Kalau aku pencuri, aku tak akan menargetkanmu."

Hinata berusaha untuk tidak marah "Jadi, kau pria mesum?"

Naruto menyeringai, lalu tertawa saat Hinata mengambil beberapa langkah cepat untuk menjauh "Hey, aku tidak semesum yang kau pikir." Ucapnya, menyepadankan lagi langkahnya dengan Hinata.

Hinata mendengus "Di mana hotelmu?"

"Aku tak ingat alamatnya, tapi aku tau namanya," Naruto berfikir "Tunggu..apa ya namanya?"

Hinata melongo. Dia hampir tidak pernah satu kalipun bertemu dengan lelaki seperti Naruto sebelumnya, bagaimana bisa dia bersepeda di jalan asing tanpa membawa apapun untuk komunikasi atau penunjuk arah? Dan dia tidak bisa mengingat hotelnya sendiri karena kapasitas otaknya begitu rendah. Apa-apaan ini!

"Ehm..kacang, namanya seperti kacang" kata Naruto, lalu kembali mengingat.

Hinata hampir tertawa karena istilah Naruto "Kurumi maksudmu?"

"Ah ya! itu." Katanya dengan nada keras.

Hanya ada satu hotel bernama Kurumi di daerah ini dan jaraknya sangat jauh untuk di tempuh dengan mobil, apalagi dengan semua yang telah Hinata lakukan hari ini membuatnya enggan untuk pergi jauh dari apartementnya.

"Aku akan menunjukkanmu arah ke jalan besar, dari sana kau hanya tinggal mengikuti penunjuk arah atau melihat peta di halte bus." Kata Hinata, memilih penyelesaian yang mudah.

Naruto menggeleng, tidak setuju dengan usul Hinata yang baginya terlalu rumit "Tapi itu akan merepotkan, aku tidak bisa membaca peta, dan arah jalan malah membuatku bingung" keluhnya "Ahh sial, hidungku juga sakit sekali." Katanya dengan melirik Hinata.

Saat Hinata tak menjawab, Naruto bicara lagi "Ini bisa menghabiskan waktu berapa hari ya untuk sembuh? padahal aku akan pulang dua hari lagi."

Hinata berhenti dan memandang Naruto sebal "Ok, aku minta maaf karena membuatmu berdarah, tapi itu juga bukan sepenuhnya salahku. Kau mengagetkanku dan itu refleks dariku yang kau dapat."

"Itu sama saja kan? Intinya kau melukai hidungku dan tak mau bertanggung jawab," Naruto mengingat sesuatu dan melanjutkan "Kenapa kau terkejut dengan kedatanganku?"

Baiklah! Ini tak bagus untuk Hinata, bisa di bilang topik pembicaraan ini buruk untuknya.

"Aku tidak bisa mengantarmu sekarang, kalau kau mau menunggu hingga matahari terbit akan ku antar. Tapi kalau kau tak mau—" Hinata menggendikkan bahu dan tidak meneruskan ucapannya.

"Apa? kau menyuruhku menunggu selama lima jam di sini?"

Hinata menghela nafas "Kau bisa mengikutiku dari belakang dengan sepedahmu itu."

Naruto menggeleng, "Aku ikut denganmu, sepedahku biar di sini akan menyuruh orang mengambilnya nanti saat aku sampai hotel. Kau naik mobil kan?" tebak Naruto.

Hinata mulai berjalan.

"Aku bisa menjadi pengemudi untukmu." Katanya saat Hinata tak menjawab.

Ketika mereka sampai di tempat parkir, hanya ada satu mobil yang berada di sana. porsce tahun 60-an berwarna silver yang telah berkarat dan tinggal menunggu kapan rangka mobil itu akan jatuh satu persatu di jalanan yang berkerikil. Naruto berharap Hinata mengatakan jika mobilnya telah di derek atau hilang. Tapi saat Hinata menghampiri mobil itu, Naruto hanya bisa berdoa jika dia tidak akan membuat mobil Hinata hancur karena gaya mengemudinya.

"Kau jelas tak perlu kunci untuk mobilmu ini." kata Naruto.

"Kalau kau berkata jahat tentang mobilku, kau boleh menunggu di sini lima jam ke depan." Hinata membuka pintu penumpang setelah menyerahkan kunci mobilnya pada Naruto, yang dia ambil di lubang kunci dan sengaja dia tinggalkan jika Hinata berhasil bunuh diri. Membanting pintunya dengan keras dan membuat Naruto meringis.

Ketika Lelaki itu masuk ke kursi pengemudi, dia tertegun. Mobil itu terlihat jelek di luar, tapi interior di dalamnya jelas sangat terawat dengan baik. Tak ada remah-remah dari keripik atau satu debupun di sela-sela mobil, bukan seperti mobil Naruto yang bisa memberi makan satu desa kecil dengan sisa makan siangnya. Setidaknya gadis ini bisa merawat mobilnya yang akan laku di museum. Naruto memasukkan kunci dan mesin mulai meraung.

"Arah mana?" tanya Naruto.

"Kanan."

Kesunyian dari sepuluh menit yang lalu membuat Naruto tidak nyaman. Dia sudah mencoba untuk mengajak Hinata bicara dengan menanyakan jalan selanjutnya dan gadis itu hanya menjawab dengan kanan, kiri atau lurus, lalu tak ada pembicaraan apa-apa lagi. Sial!

"Ehm.. boleh aku menyalakan radiomu?" tanya Naruto.

"Radio itu pajangan." Jawab Hinata.

Naruto mengangkat alisnya "Apa?"

"Aku benci keramaian, karena itu radioku juga hanyalah pajangan."

Naruto telah melongo, apa gadis ini bercanda?

"Kau bercanda kan?" tanya Naruto.

Hinata terkikik karena reaksi Naruto, tidak merasa tersinggung sama sekali. Hinata tak pernah melihat orang bereaksi seperti lelaki ini hanya karena radio pajangan berada di mobilnya "Tidak, aku bersungguh-sungguh." Hinata menekan sesuatu di radio mobilnya untuk membuktikan jika radio itu memang tidak berfungsi "Lihat,kan!"

"Siapa orang yang bisa hidup tanpa musik?" Naruto betanya seolah semua orang memang seperti itu.

"Yeah, jelas salah satunya diriku."

"Itu suatu pertanda."

"Pertanda?"

"Kau memang seorang malaikat."

Hinata mendengus tapi tak bisa menahan tawanya "Aku berfikir sebelumnya! Jika aku malaikat, maka aku akan menjadi malaikat maut dan mencabut nyawamu terlebih dahulu."

Naruto mengangkat alisnya, cara gadis ini bicara padanya terlalu tak biasa. Dan Naruto menyukainya "Pemikiran yang sangat jahat, eh."

Hinata tersenyum tapi Naruto melihat jika Hinata sedang melamunkan sesuatu di kepalanya. Berfikir jika dia telah membuat Hinata bicara, Naruto memulai dengan mendapatkan informasi.

"Jadi, apa yang kau lakukan di sana?" tanya Naruto.

"Kau bisa berbelok di sini, seratus meter lagi kita sampai."

Hinata memalingkan wajahnya ke arah jalan dan membuat Naruto semakin penasaran. Naruto mengemudikan mobil Hinata memasuki area apartement, melihat lapangan parkir yang tak jauh di sebelahnya dan menghentikan mobil itu di dekat pintu masuk.

Saat Hinata turun dan naik melewati tangga penghubung, Naruto mengikuti di belakangnya. Apartement itu cukup bagus dan cocok untuk orang yang menyukai kedamaian seperti Hinata, bangunan apartementnya masih terkesan baru dan jauh dari kota. Ketika mereka sampai di pintu nomor 28, Hinata membuka pintu itu setelah memasukkan kunci yang dia ambil di bawah karpet, tempat yang sangat buruk untuk menyimpan kunci rumah pikir Naruto.

"Kau mau minum apa?" tawar Hinata, Naruto membuka jaket lottonya menyampirkannya di sebelah sweater Hinata. Menyisakan kaos polos yang melekat di tubuhnya, lalu mengikuti Hinata masuk ke ruang tengah.

"Kau punya apa?"

"Teh, kopi, coklat panas."

"Kau tak mempunyai jack daniels, bir atau sejenisnya?" Hinata mengernyit "Baiklah kopi saja." jawab Naruto akhirnya.

Hinata melangkah ke dapur dan Naruto mengamati ruang tengah Hinata. ruangan itu tidak besar, hanya di isi dengan satu sofa coklat yang telah tua dan turntable klasik di sudut ruangan. Naruto melihat apa yang Hinata punya untuk di putar di sana dan di terkejut saat melihat edisi terbatas Blue Monday ada di kumpulan piringan hitam di dalam kardus.

"Suka dengan apa yang kau lihat?"

Naruto hampir terkejut saat Hinata datang dengan dua cangkir berisi teh dan kopi, meletakkan di meja dan menghampirinya.

"Kau bilang tidak suka keramaian?" tanya Naruto dengan menunjuk turntable milik Hinata.

"Itu lebih baik dari televisi." Jawab Hinata sekenanya.

"Aku menghabiskan dua tahun untuk mencari salah satu piringan hitam yang kau punya di dalam kardus ini, berniat untuk menjualnya padaku?" tanya Naruto menuju ke intinya.

"Tidak."

Sekali lagi Naruto meringis karena penolakan Hinata, tapi dia tetap melanjutkan eksplorasinya terhadap kardus lusuh berisi barang berharga milik Hinata. Naruto menemukan satu album favoritenya ada di sana dan tersenyum.

"Boleh aku memutarnya?" Naruto mengangkat album Purple Rain dari kardus.

Hinata mengangguk dengan tersenyum.

"Itu album ke dua kesukaanku." Jawab Hinata.

"Oh siapa yang menyangka." Komentar Naruto lalu meletakkan piringan itu ke turntable dan musik mulai mengalun.

To be continued...