Ini kisah tentang bagaimana seorang gadis yang jatuh cinta terhadap seorang pemuda. Terlalu picisan, ya? Pemuda yang gadis itu temui di stasiun kereta api.
Benar, akulah gadis tersebut; Yamanaka Ino.
Konyol, bukan? Tapi entah mengapa dalam pikiranku hal ini menjadi begitu terasa kompleks, melebihi soal-soal termodinamika yang kerap kujumpai di bangku kuliah.
Ya, kurasa aku menyukainya atau bahkan jatuh cinta padanya. Aku berani mengaku kalau dia memang menawan, memikatku pada pandangan pertama.
Aku suka hitam matanya, meskipun belum sempat menatapnya dalam.
Aku suka eboni rambutnya, meskipun belum sempat membelainya lembut.
Aku suka pucat kulitnya, meskipun belum sempat menyentuhnya hangat.
Aku suka semua tentang dirinya.
Begitulah aku, seorang wanita yang terlalu mudah jatuh cinta.
Hidupku bagai bunga rampai yang tak akan selesai bila digoreskan hanya dalam se-bab buku. Tapi, aku dengan senang hati menceritakan bagaimana aku bisa mengenal pemuda itu dan akhirnya... jatuh cinta.
Disclaimer
Naruto © Masashi Kishimoto
My first multichapter and my first SaIno
Warning
Alternate Universe, maybe OoC, dan semua kekeliruan lainnya.
DLDR!
Roman Picisan
© Arionyxle
Chapter 1
Pemuda itu Bernama Sai
Sore yang berona jingga, cerah sekali lembayung kala ini. Barisan cakrawala membentang sepanjang mayapada, melukis nuansa surga yang membaur keindahan sealam raya.
Meskipun begitu, bagiku senja ini amat-sangat-sekali tidak indah. Bayangkan saja, siapa yang mau betah berlama-lama berdiri di dalam kereta api yang penuh sesak seperti ini? Kalau saja nyawaku sebanyak kucing, mungkin aku sudah memilih melompat saja dari tempat ini. Sayangnya Tuhan hanya memberikanku satu nyawa... ya, rupa-rupanya aku memang harus lebih bersabar di tempat memuakkan ini.
PLUKK!
Sempurna, sekarang buku yang sedari tadi kugenggam terjatuh di bawahku. Dengan membuang napas pelan, aku pun mengambil buku tersebut.
"Oh... maaf," seru seorang ibu yang dengan suksesnya menyenggolku dan lantas menjatuhkan bukuku barusan tadi. Ia hendak memilih menuju barisan lebih depan dari tempatnya berdiri semula. Sebenarnya, ingin sekali saat itu aku menjambak rambutnya, menonjok mukanya serta memelintir tangannya... tapi, ya, itu sepertinya terlalu berlebihan. Tidak mungkin kujadikan gerbong kereta ini sebagai arena tinju.
Sabar, Ino. Aku pun hanya tersenyum—paksa—padanya. Dan tolong, jangan menggaris bawahi atau bahkan mencetak tebal kata 'paksa' tersebut.
Kata orang-orang bijak—mungkin ayahku termasuk—'di balik rasa terhimpit pasti ada kelapangan di sana' dan 'di balik sebuah cobaan pasti tersimpan hikmah di dalamnya'. Siapapun yang menciptakan pepatah-pepatah tersebut, saat ini aku ingin memeluk mereka, mencium telapak tangan mereka ataupun kalau bisa bersujud-sujud di hadapan mereka... lagi-lagi aku terlalu berlebihan. Setidaknya, aku ingin mengucapkan rasa terima kasihku pada mereka karena pepatah-pepatah mereka itu bukan hanya pemanis buku-buku bahasa saja.
Tuhan, siapa pemuda di depanku itu?
Andaisaja aku ini lilin, mungkin sudah meleleh terbakar oleh api ketampanannya. Ya, pemuda itu sangat kharismatik... menebarkan pesona-pesona Adonis, Sang Dewa penakluk Aphrodite.
Aku dengan begitu jelas menatapnya dari sini—dia tengah duduk membaca koran sore.
Lalu... mengapa dengan memandangnya saja bisa membuat pipiku memanas seperti ini? Aku tak sanggup membayangkan... apabila jemariku digenggam olehnya, rambutku ini dibelai olehnya dan bibirku ini dikecup olehnya... oh, hentikan! Sudah berapa kali aku berfantasi liar seperti itu.
Adakah yang mengenal pemuda itu? Aku mohon, beritahu namanya.
"Welcome to Shibuya Station. Today is Thursday, September 1, 2011 on 5.40 pm. Thank you."
Cih! Suara itu benar-benar menggangguku. Selama kurang lebih se-jam aku berdiri di dalam kereta terkutuk ini, apa aku hanya diberi waktu lima menit untuk mengagumi pemuda itu?
Tuhan, mengapa Kau berikan hikmah ini begitu singkat dan terkesan setengah-setengah kepadaku? Apa karena aku jarang memuji-Mu di gereja? Atau karena aku jarang membuka Kidung Jemaat-ku?
Terus saja Kau menyisihkanku.
GREKK!
"Aduuuh! Aaaw! Aw!" rintihku kala merasakan padatnya alas kaki seseorang menyentuh kasar telapak atas kaki kananku. Tuhan sepertinya memang menganaktirikanku. "Hei! Tidakkah bisa kau melihat ada seorang gadis di sini? Apa kau pikir aku sedang pergi ke pasar, lalu meninggalkan kakiku di sini!" rutukku kesal tingkat dewa pada seseorang yang—dengan tidak tahu dirinya—berlalu begitu saja tanpa berkata 'maaf' atau setidaknya menunjukkan raut muka bersalahnya.
Huh! Aku kutuk orang itu jari kaki dan tangannya jadi dua puluh(?) sampai ke cucu-cucunya bahkan ke cicit-cicitnya sekalipun! Tuhan pasti mendengar doa orang yang teraniaya. Ya, kalaupun Tuhan tidak mendengar doaku, setidaknya orang-orang di sini—tidak mungkin tidak—mendengarnya.
Puas mengeluarkan sumpah-serapah pada orang yang sebetulnya aku sendiri tidak tahu siapa yang menginjak kakiku tadi, kupalingkan lekas iris aquamarine-ku pada pemuda yang telah mengukung utuh hatiku dalam jeruji pesonanya.
Pupilku terbelalak dan sekujur tubuhku nyaris kaku di tempat. Dia sudah tidak ada, pemuda tersebut sudah tak duduk lagi di bangku itu. Sial! Pantas saja aroma kerupawanannya sudah tak tercium lagi oleh hidungku. Dengan langkah sesigap mungkin, aku pun menyelip paksa di antara orang-orang yang juga berusaha untuk keluar dari kereta pengap ini, meskipun kutahu kalau tidak karena pemuda itu... aku tidak mau bersusah payah berdesak-desakan seperti ini. Terlebih sampai harus terselip-selip di ketiak bapak-bapak yang mengoar bau tak terkata itu.
Paru-paruku hampir melupakan kinerjanya saat berada di dalam kereta itu. Segerapun kuhirup oksigen dalam-dalam sekiranya aku telah terbebas dari mahadaya sesak tempat mengerikan tersebut. Napasku sedikit tersengal, tidak biasanya kendaraan yang terdiri dari banyak gerbong itu sepenuh tadi... ya, sekalipun memang di kelas ekonomi.
Kuatur asupan dan buangan napasku agar lebih terirama, kumulai mencari seseorang yang memang menjadi tujuan utamaku sedari tadi itu. Kuputar bulatan biru mataku mengitari seluruh sudut Stasiun Shibuya, aku tak cukup yakin bisa menemukannya di dalam keramaian serta kerumunan orang seperti ini. Aku juga sangat tak yakin bisa bertemu dengannya di kesempatan lain.
Kali ini, izinkan aku mengutuk seorang bijak yang berpetuah, 'jangan sia-siakan kesempatan karena kesempatan tidak datang untuk kedua kalinya'.
Sore itu aku pun pulang dengan tiada gairahnya. Tampaknya gagak pun berterbangan menertawakanku.
xxx
.
.
.
xxx
Tak ada yang lebih menyenangkan selain bermain bersama gerakan-gerakan kecil yang diciptakan arakan awan. Di siang hari yang cerah namun tak begitu terik, di bawah bentang langit yang berpayung teduh warna biru. Apalagi sambil merebahkan diri di kursi taman sembari membaca novel yang baru saja kemarin dibeli dengan potongan harganya. Relaksasi diri yang sempurna.
Pantas saja Shikamaru hobi sekali tidur-tiduran seperti ini. Kalau begini... siapapun juga dengan senang hati melakukannya. Termasuk aku.
Haaah... kubuang napasku pelan merasakan kantuk yang sudah dengan sukses menggelayuti kedua kelopak mataku, bahkan aku pun sudah tak fokus lagi dengan novel yang tengah kubaca ini. Badanku mendadak lemas, cicitan burung di pancuran air taman seperti meninabobokanku. Perlahan novel itu kurasakan menangkup sempurna menutupi seluruh wajahku.
"INOOO!"
Oh, hentikan! Suara melengking itu berhasil memekakkan telingaku. Dengan keterpaksaan yang amat sangat, aku pun mau-tak-mau membuka mataku lantas menyingkirkan novel itu dari wajahku.
Kulihat seorang gadis seusiaku tengah berlari terburu sembari menjinjing sekeranjang buah ke arahku. Hei! Aku sedang tidak terserang avitaminosis. Gadis berambut serupa kembang gula itu sahabatku, Haruno Sakura.
Huuuh... huuuh... huuuh!
Dia terlihat payah, peluh bercucuran membanjiri kening serta pelipisnya. Harum parfum beraroma musim semi yang biasa tercium darinya terusir oleh mahadahsyat bau keringatnya. Salah sendiri, siapa suruh berlari maraton seperti itu.
Sejenak terdengar gadis itu menelan ludahnya di telingaku. "I-Ino, a-ano itu... a—"
"Minum dulu... ini!" mendengar suaranya yang tercekat-cekat begitu, aku jadi tak tega untuk tidak memberikannya air minum. Setidaknya setelah beberapa saat, gadis itu terlihat lebih rileks. "Kau ini! Kalau mau bicara, kumpulkan dulu nyawamu!"
"Ini serius, Pigno!" ucapnya terdengar bagai hardikan di telingaku. Sudah sering Sakura memanggilku dengan nama itu, aku pun tak ingin kalah memanggilnya dengan 'Jidat Bandara'. Tapi sepertinya, gadis itu benar-benar tengah serius saat ini. "Lihat! Pemuda itu tampan, ya? Tadi sewaktu aku belanja buah-buahan ini, dia menolongku memilihkannya."
Pemuda? Gadis ini! Untuk apa dia berkata begitu? Padahal seharusnya dia tidak perlu mengatakan hal itu di hadapanku, terlebih dia sudah mengalahkanku telak untuk mendapatkan Sasuke—pemuda incaran kami sedari Senior High School.
Kuturuti saja arahan jari telunjuk Sakura yang menurutnya terarah pada pemuda yang disebutnya tampan tadi itu. Rupa-rupanya ia tengah menunjuk seorang pemuda yang baru saja keluar dari mini market dengan beberapa kantung belanjaan di genggaman tangannya.
E-eh?
Tuhan... bukankah itu pemuda yang kutemui di stasiun itu? Tidak mungkin. Tapi sepertinya memang dia orangnya. Tidak salah lagi. Aku percaya Kau menghadiahinya untukku, Tuhan.
"Sakura, Sasuke sudah menunggumu di Kedai Akari... kau disuruhnya cepat ke sana!" ucapku mencari-cari alasan agar sahabatku ini tidak mengganggu rencana yang baru saja tiba-tiba muncul di otakku.
"Ta-tapi Sas—"
"Sudah, sana! Kau tidak inginkan melihat tanduk Sasuke keluar!" sesekali berbohong itu tidak apa, kan? Aku hanya tidak ingin kehilangan jejak pemuda itu lagi. "Aku pergi, ya?"
Buru-buru kutinggalkan gadis itu yang sepertinya percaya saja dengan akal busukku tersebut. Sudahlah.
Aku mengendap-endap tepat di belakang pemuda itu, aku sengaja sedikit memperjauh jarakku dengannya... antisipasi saja alih-alih dia merasa curiga ada yang mengikuti. Aku seperti penguntit amatir kalau begini. Sudah genap seminggu aku tidak melihatnya, jadi barang sebentarpun aku tak boleh kehilangan jejak punggungnya. Bagaimanapun ini adalah sebuah peluang yang Tuhan berikan sekali lagi padaku.
Berulang kali pemuda itu menoleh ke belakang, saat itu juga kucari posisi yang sekiranya tidak membuat ia curiga kalau aku tengah mengikutinya. Dengan aku berpura-pura sedang menelepon-lah, membaca majalah yang tiba-tiba kuambil di kios pinggir jalan-lah atau apapun yang sekiranya bisa menyembunyikan identitasku sebagai penguntit.
Perlu dicatat! Menjadi seorang penguntit—terlebih amatir sepertiku—bukanlah suatu hal yang mudah ternyata, lebih menyusahkan dari sekadar menjadi agen FBI kupikir.
Oh, sial! Dia melihatku!
Kehilangan sedetik saja, bisa mati aku! Hampir saja aku tertangkap basah oleh mata hitamnya tengah mengendap mengikuti langkahnya dari belakang. Untung saja dengan gesitnya aku langsung menyembunyikan diriku di balik tiang pinggir jalan yang cukup besar. Tapi entah, pemuda itu melihatku atau tidak. Semoga saja tidak.
Setidaknya untuk sekarang aku masih aman. Aku bisa memaku kembali jantungku pada tempat yang semestinya setelah terjatuh beberapa saat tadi. Aku lega kalau pemuda itu tidak menyadari keberadaanku.
Kuintip ia di balik tiang besi ini, pemuda itu tampak menghilang memasuki sebuah bangunan kecil yang aku sendiri baru kali ini melihatnya. Tak ada label tempat atau papan nama apapun yang bisa menjelaskan mengenai identitas tempat asing itu.
Tak berapa lama, kembali kulihat ia keluar dari bangunan tersebut... ya, kali ini dengan tangan hampa tanpa kantung belanjaan lagi.
Otakku seketika berkontraksi dengan sebuah ide yang menurutku cukup cemerlang. Benar, aku bisa menggali informasi tentang pemuda itu dari tempat tersebut. Sekadar nama... aku pasti bisa memperolehnya. Segerapun dan tanpa ragu apapun kumasuki bangunan berkonsep artistik nan unik tersebut—di puncak atapnya terdapat replika pensil yang menancap.
Tanpa terpikir apapun olehku sebelumnya, ternyata di dalam bangunan ini tersimpan banyak sekali hasta karya yang luar biasa. Entah siapa seniman yang bertanggungjawab atas semua ini. Mulai dari berbagai lukisan yang terpampang apik di dinding bangunan, patung-patung kayu dan gerabah keramik yang dengan tertatanya bertengger di setiap sudut ruangan. Bagiku inilah sebuah wisma seni yang sebenar-benarnya, lebih dari sekadar museum ataupun galeri seni pada umumnya. Percayalah, aku tak berani berkedip sedikitpun saat melihat perkakas indah buatan manusia ini.
"Permisi..."
Tch! Aku paling benci diganggu. Suara itu tanpa dipersilahkan menyapa gendang telingaku, membuatku terkesiap dari hipnotis singkat akan kekagumanku terhadap tempat ini.
Kutolehkan arah pandangku menemui orang itu, seorang gadis muda. "Kau... pemilik tempat ini?" tanyaku setelah menangkap sosok gadis itu. Seorang gadis yang cukup cantik dengan rambut gelap sepunggungnya serta senyuman ramah yang dimilikinya. Tapi, apa pertanyaanku tadi itu kurang sopan?
"Bukan, semua anak-anak jalanan adalah pemilik tempat ini."
Apa itu jawaban? Apa yang gadis itu ucapkan sama sekali tidak menjelaskan apa-apa, sepertinya dia suka sekali basa-basi. Baiklah, kuanggap saja itu jawaban.
Kucoba mengalihkan topik pembicaraan mengarah pada tujuan utama tentang keberadaanku di tempat ini. "Kau bisa jelaskan ini tempat apa?"
Tanpa aba-aba apapun, tiba-tiba saja gadis itu menyeret lenganku untuk dibawanya... entah ke mana. Biarlah, kuturuti saja apa maunya.
"Ini rumah singgah untuk anak-anak jalanan, setidaknya mereka bisa belajar tentang berbagai macam seni di tempat ini," gadis itu mencoba menjawab pertanyaanku di sela perjalanan kami. "Kau pasti juga melihat lukisan serta kerajinan lain di ruang depan tadi...," hentinya sejenak sekadar menarik napas, "tepat, itu karya-karya mereka dan aku salah satunya. Aku Kurama Yakumo, salam kenal."
Penjelasannya tersebut cukup membuatku paham sekarang mengenai integritas sesungguhnya dari tempat ini. Mengagumkan. Siapa dermawan yang mau berbaik hati membangun tempat semenakjubkan ini? Hatiku tercelos, sedikit rasa haru menelusup dalam sanubari ini. 'Terima kasih, Tuhan.'
"Lihat itu!"
Gadis bernama Yakumo tersebut mengarahkan jari telunjuknya pada suatu ruangan yang... mungkin bisa kehabisan kata-kata bila dijelaskan. Kali ini, bukan hanya rasa haru yang kurasakan, melainkan lebih dari itu—suatu perasaan yang membuat relungku bergetar—ada hal yang membuat aku merasa malu tentang sumbangsi apa dan sebenarnya untuk apa aku berada di dunia ini.
Sejauh ini, iris biru langitku menangkap belasan... atau mungkin puluhan anak yang tengah menuangkan kreasi mereka dalam berbagai wadah apresiasi seni. Kulit mereka tampak gelap—mungkin karena terlampau sering terpanggang matahari—dengan senyum cerah yang juga tak luput tergambar dari wajah anak-anak itu. Sebagian besar dari mereka tengah berjibaku bersama kuas serta kanvas lukisan, beberapa dari mereka pula memilih untuk memahat patung, sementara minoritas bergelut dalam seni gerabah.
Kuhela sedikit napas sembari berjalan-jalan kecil di tengah kerumunan anak-anak tersebut. Aku senang melihat mereka menghabiskan waktu dengan tidak hanya berpanas-panas di jalanan.
"Se-sejak kapan me-mereka...," aku masih terlalu gugup untuk membentuk sebuah kalimat.
"Sejak seseorang yang dengan baik hatinya membangun tempat ini," setidaknya Yakumo lebih pintar daripada aku untuk menangkap kata-kataku yang terbata itu. "Kak Sai... dialah dermawan tersebut."
"E-eh, Sai? Apa dia itu pemuda yang beberapa waktu lalu keluar dari tempat ini?" aku dengan seenak dengkul berlaku sok tahu seperti itu. Tapi, siapa yang bisa menduga kalau hal tersebut benar.
Kulihat gadis itu mengangguk pasti—tanda membenarkan ke-soktahuan-ku tersebut. "Dia juga donatur tetap rumah singgah ini... dia tidak mau menerima bantuan dari pemerintah."
Sai, nama pemuda itu. Entah mengapa hatiku senang sekali, tak pernah kurasakan perasaan sebahagia ini. Sekarang, aku teramat yakin bahwa aku jatuh cinta pada orang yang tepat.
Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Ino?
To be continued...
Author's Note: sebuah fic ringan dari saya dengan SaIno pertamaaaa~ yang pernah saya buat. Rencananya mau saya buat two shots. Gimme a feedback?
_Arionyxle
