My Girl

Desclaimer :

Character, Masashi Kishimoto

Story, Sukijan (gue)

Based from : fanart sasusaku di google—sekarang ane jadiin sampul fanfic—, soundtrack live action 'ao haru ride' dan manga 'my robot' karangan megumi hazuki.

.

Enjoy

.

.

Haruno Sakura. Namanya, kurasa. Dia pacarku, sepertinya.

Aku lupa sejak kapan, yang jelas orang-orang mengatakannya begitu. Aku tidak menyukainya, dia yang menyukaiku. Hampir setiap hari dia mengatakannya.

Sepertinya hubungan kami berawal sejak 5 bulan yang lalu. Saat itu adalah hari Valentine. Dia menyatakan perasaannya padaku sambil memberiku cokelat. Sayangnya aku tidak suka manis, jadi... aku menolaknya.

Bukan, maksudku bukan cokelatnya, tapi dia.

Dia manis, cantik. tapi bukan tipeku. Dadanya rata. Dan dia sangat berisik, seperti gadis-gadis tolol penggemarku lainnya. Mungkin dibandingkan mereka, dia jauh lebih berisik.

Dia juga kasar. Aku sering melihatnya menghajar Zaku—anak kelas sebelah yang selalu mengganggunya—tapi dia begitu manis dan sok baik saat berhadapan denganku. Dasar muka dua.

Yang paling menyolok darinya adalah, rambut pinknya yang unik, dan, kuakui sifatnya yang pantang menyerah itu membuatku kagum. Setelah menembakku 7 kali, akhirnya aku mengalah. Aku risih dikejar-kejar terus olehnya.

Tapi sekarang, rasanya aku menyesal menerima pernyataan cintanya. Keadaan bertambah buruk, dia selalu membututiku kemana-mana. Meminta putus dengannya juga percuma, buang-buang waktu saja. Jadi, lebih baik kuabaikan saja dia.

"Sasuke-kun!"

Aku menoleh. Seorang gadis berambut merah jambu berlari kecil menghampiriku.

Nah, yah, itu dia. Setiap pulang sekolah dia selalu menungguku, berharap diantarkan pulang atau apalah. Tapi, terima kasih banyak pada itachi, aku didaftarkan ke klub sepak bola sekolah. Jadi aku tidak perlu repot-repot mengantarkannya pulang karena latihan yang kudapat setiap pualng sekolah.

Tapi Ya Tuhan, dia itu keras kepala sekali. Dia malah menungguku di kursi penonton sambil membawakan handuk dan air minum. Huh, rasanya seperti punya pembantu saja.

"Sasuke-kun, tadi kau hebat sekali!" serunya sambil tersenyum. Aku bahkan tak usah bolak-balik ke tempatnya untuk minum, setiap istirahat dia pasti langsung menghampiriku.

"Hn..." aku memutar bola mata, sedang tidak mood meladeninya. Setelah menghabiskan sebotol air yang dibawanya, aku langsung meninggalkannya dan kembali kelapangan.

Kadang aku tak habis pikir, sebenarnya apa yang dipikirkannya? Maksudku, aku selalu berusaha mengusirnya, tapi dia, seolah-olah tidak tersakiti oleh ucapan kasarku atau saat aku mengabaikannya. Dia benar-benar gila. Sepertinya dia cinta mati padaku.

Awalnya kukira dia menyukaiku karena hartaku, atau mungkin penampilan fisikku, karena rata-rata gadis-gadis di sekolahku seperti itu.

Tapi, setelah kuperhatikan lagi, dia tidak pernah meminta apa pun dariku. Kami tidak pernah berkencan, aku juga tidak pernah membelikannya apa-apa. Yah, kalian tahu sendiri kan, orang pacaran itu seperti apa. Bunga, coklat, surat cinta dan segala tetek bengeknya.

Jadi, dia hanya menyukai penampilan fisikku? Mungkin saja.

"Sasuke-kun ayo pulang bareng!" aku hampir saja terjungkal ke belakang ketika hendak keluar dari ruang ganti dan mendapati Sakura berdiri didepanku. Jarak kami hanya 5 senti.

"Pulang sendiri sana, aku mau les." aku mendorong jidat lebarnya dengan dua jari lalu melengos pergi.

"Eehhh? Sasuke-kun kau sudah janji kemarin!" aku bisa merasakan jari-jari mungilnya mencengkram ujung jaketku, berusaha menarikku mundur, tapi aku tidak menggubrisnya dan terus berjalan.

"Sasuke-kun!"

Aku berputar dan lengannya terjatuh lemas diantara kami.

"Aku tidak pernah janji, kau saja yang terlalu percaya diri."

"Tapi kemarin kau bilang hn—"

"Hn?" aku mengangkat satu alisku. "Itu bukan jawaban sakura. Kalau kau mengganggapnya sebagai 'iya', berarti itu keputusanmu sendiri."

Bibir sakura menipis. "Aku pikir kita bisa pulang bareng..." ia menunduk pelan. Tangannya kini meremas-remas rok seragamnya.

"Lihat? kau ini egois. Berhenti mementingkan diri sendiri." atau kalau kurang mengerti, maksudku adalah 'berhenti menggangguku'. Yah, walaupun tidak mengucapkannya, aku yakin dia peka.

Sakura mendesah. "Maaf... tapi—"

Sebelum mendengar rengekan lain yang bisa membuatku sakit kepala, aku berputar menjauhinya dan melengkapi momen pacar kejam dengan tidak menghiraukan panggilannya.

.

.

.

"AKHH! Sial! Sial!"

Aku menendang tiang gawang sekeras mungkin.

Kesal. Tak ada satu pun tendanganku yang berhasil masuk ke dalam gawang lawan. Kami kalah telak 4-0. apa-apaan ini?!

Masih menendang gawang, perlahan aku melirik ke arah kursi penonton.

Kosong.

Tumben sekali dia tak datang.

"Wow, kerja bagus Uchiha." Sebuah suara terdengar dari belakangku. "Kurasa kemampuanmu itu perlu diapresiasi."

Aku menoleh, sainganku—Hyuga Neji—menyeringai, puas melihat kekalahanku yang sungguh memalukan.

"Ada apa Uchiha? Apa karena pemandu sorakmu yang manis itu tidak disini, mendadak kau patah semangat?"

Aku mendengus. "Lucu sekali."

Baru saja ketika aku hendak mengambil tas dan pulang, Neji kembali mengoceh, membuat langkahku terhenti.

"Sasuke-kun ternyata tak terlalu hebat, ya?" ia berjalan menghampiriku, satu tangan di pinggangnya. "Apa aku perlu mengajarimu dasar-dasar bermain bola? Cara menendang yang benar, mungkin?"

Aku menahan diri mati-matian agar tetap tenang, bahkan saat kedua tanganku mengencang memegang tali ranselku.

Neji membungkuk lebih dekat lagi, "Daripada berpacaran, lebih baik kau berlatih sana, dasar payah."

Dalam hati aku bersumpah akan mematahkan hidungnya kalau saja Naruto tidak menahan lenganku.

"Jangan dengarkan dia, teme. " kata Naruto lalu merangkulku keluar lapangan tapi aku langsung menepisnya dan berjalan melewatinya.

"Hoi teme! Tunggu aku!"

Hari semakin larut, aku berjalan semakin cepat, hampir berlari. Lelah, aku ingin segera pulang dan beristirahat. Kulirik pundak kiriku, tangan Naruto dobe mendarat disana.

"Hosh..hosh.. ada apa sih, denganmu? Tumben sekali kau buru-buru pulang." ucapnya terengah-engah. "Kau marah sama yang tadi? Biasanya kau tidak gampang emosi saat Neji— "

"Tch, berisik!" membayangkan kembali wajah si Hyuga sialan itu membuat emosiku kembali memuncak. Sesuatu yang seperti ini harus didinginkan dengan minuman bersoda. Ah, tepat sekali, ada vending machine di depan.

"Jangan-jangan, ini karena jimat keberuntunganmu tak ada, makannya kau jadi kalah."

Aku mengernyit. "Apa ku?"

"Sakura-chan." Naruto menyandarkan punggungnya di bangku sebelah mesin. Dibawah sinar lampu jalan, aku bisa melihatnya dengan jelas. Seragamnya kotor dan keringat mengucur deras di pelipisnya. ternyata anak ini kumal sekali.

"Sayang sekali dia tidak masuk hari ini." ia merogoh uang receh dari sakunya, lalu menyerahkannya padaku dan sebagai gantinya dia mengambil kaleng sodaku. Dasar. "Padahal aku senang sekali melihatnya mendukung kita di kursi penonton. Senyumannya itu loh."

"Seharusnya kalian pacaran." gerutuku kembali memasukkan uang receh ke dalam mesin. kulihat Naruto terkekeh dan bergumam sesuatu tentang "cemburu" dan "cupu". Kalau dipikir-pikir, ucapanku benar juga, dia dan sakura sama-sama berisiknya. Manis betul kalau mereka jadian.

Sesaat aku mendengar Naruto menggebrak bangku. "Oohh! Aku tahu! Kau pasti tidak fokus main karena buru-buru ingin bertemu Sakura-chan, iya kan?"

"Tidak. Untuk apa aku bertemu dengannya? Buang-buang waktu saja." aku memasang ekspresi datar lalu meneguk soda disebelahnya.

"Kupikir karena gosip itu kau jadi aneh,"

"Gosip? Yang mana? Aku punya banyak gosip." sebagai cowok paling keren di sekolah, gosip adalah makananku sehari-hari. Tiada hari tanpa gosip. Dan aku tidak habis pikir, kenapa mereka hobi sekali menggosipkan aku. Bukannya sombong, tapi itulah kenyataannya. Mereka bahkan tidak sadar ketika aku berada didepan mereka.

Naruto terdiam beberapa saat sebelum menepuk pundak kananku pelan.

"Bung, kau benar-benar tidak tahu?"

Aku menoleh, masih dengan wajah stoic andalanku. "Tahu apa? Apa dia berselingkuh dibelakangku? Aku tidak keberatan."

Kupikir Naruto akan meninju bahuku, atau, mungkin menceramahiku, karena ia selalu begitu saat aku berkata tidak enak tentang Sakura, tetapi ia malah menatapku dengan pandangan tak percaya.

"Sasuke—" ia mencengkram pundakku, suaranya agak serak. "—Sakura-chan...sakit kanker..."

Seketika itu juga soda menyembur dari hidungku. Sial. Aku tidak tahu bahwa makna sebenarnya dari kata "bertemu dengannya" adalah "menjenguknya".

"Ap— sejak kap— dimana?!"

"Rumah sakit konoha, lantai 3, kamar nomor 6." seperti bisa membaca pikiranku, Naruto langsung memberitahu tempat sakura dirawat. dan tanpa sadar, aku langsung berlari kesana.

Sial! Kenapa dia tidak pernah mengatakan apa-apa?

Maksudku, yeah, aku mungkin tidak peduli padanya dan 'agak-kejam' karena selalu mengabaikannya, tapi hey! Aku juga punya rasa perikemanusiaan kepada orang sakit! Apalagi pada gadis yang selalu membawakan minum dan handuk—yang hampir mirip seperti pembantu, oke sebutan itu memang kasar, biasalah, Uchiha. Tapi setidaknya aku jujur.

"SAKURA!" sesampainya di rumah sakit, aku langsung mendobrak pintu kamar Sakura, membuatnya yang sedang berbaring di kasur memekik kaget.

"Sasuke-kun?! Ya Ampun, sasuke-kun disini?" tanyanya sambil mengelus dada. Oh tidak, apa aku membuatnya terkena serangan jantung?

Kulihat sebuah selang infus menancap di tangannya, dan beberapa selang lagi, yang aku tidak tahu untuk apa, ditangan satunya. Rambut pinknya berantakan, sepertinya ia bangun tidur dan wajahnya sedikit pucat.

"Jadi, kau sedang sakit," kataku. Itu bukan pertanyaan.

"Aku baik-baik saja kok." ia tersenyum lebar.

Aku medekat dan duduk di samping kasurnya. Walaupun masih ada jarak diantara kami, aku bisa merasakan suhu tubuhnya yang sangat panas. "Apa... apa kau akan di operasi?"

"Operasi?"

Aku menatapnya heran. Apa dia tidak sadar dengan penyakit yang sedang menggerogotinya? Atau mungkin dia masih tidak menerima kenyataan yang begitu pahit, sehingga dia pura-pura tidak peduli, mungkin.

"Operasi untuk apa Sasuke-kun?"

Aku mendesah pelan, mencoba berbicara dengan sesabar mungkin."Naruto bilang... kau sakit, kanker."

Sama seperti saat Naruto memberitahukan hal itu padaku, suaraku menjadi sedikit serak. Aku benar-benar tidak tega mengucapkannya, dan kupikir sakura akan terguncang atau meledakkan tangisan huru-hara, tetapi— yang terjadi malah sebaliknya,

Tawa Sakura meledak. Aku bahkan belum pernah melihatnya tertawa, dan sekarang ia tertawa begitu kerasnya sampai-sampai meneteskan air mata. Aku heran.

"Apa yang lucu? mengapa kau..."

Aku terdiam, menyadari sesuatu.

Brengsek.

Dobe sialan itu menipuku rupanya.

"Hahaha Ya Ampun.. Sasuke-kun, aku cuman demam berdarah." kata Sakura yang sudah pulih dari tertawanya.

"Hn." dalam sekejap, rasa prihatin dan belas kasihan dalam diriku hilang. Emosiku kembali memuncak. Kini wajah hyuga, naruto, dan sakura berputar-putar di kepalaku.

"Sudah ya." aku bangkit dari kasur dengan dongkol. Sialan, semua orang hari ini menyebalkan.

"Ehhh! sasuke-kun tunggu!" dia mengulurkan tangannya dan menangkap pergelangan tanganku. Bulu kudukku meremang, temperaturnya naik.

Perlahan, rasa iba kembali muncul, tapi aku berusaha menghilangkannya dengan menatapnya jengkel.

"Apa lagi sih?" dan dia malah tersenyum.

"Nng... terima kasih karena...nnngg.. sudah datang..." terlihat semburat merah di pipinya, dan aku mengira demamnya kambuh.

"Yayaya." aku memutar bola mata, lalu keluar kamar dengan sedikit membanting pintunya. Entah karena sudah gila, atau karena ketularan penyakit sakura, perasaan aneh menggelitik dadaku— tanpa sadar, aku tersenyum.

.

.

.

Setelah seminggu di rumah sakit, Sakura akhirnya kembali bersekolah dan dia menjadi lebih berisik dari sebelumnya. Mungkin efek kesehatannya yang meningkat drastis.

"Sasuke-kun! aku kangeeennnnn!" dia memeluk lenganku ketika kami berjalan di koridor. Kalau sudah begini, gadis-gadis lain pasti akan menghujani kami—maksudku—dia— dengan tatapan intimidasi. Aku sendiri juga heran, kenapa sekarang aku merasa biasa saja dipegang olehnya, padahal dulu aku selalu marah-marah ketika ada gadis di sekolah yang menyentuhku. Mungkin karena aku sudah biasa ditempeli olehnya.

Amit-amit.

Untung saja kami tidak sebangku. Aku bisa mengalami gangguan pendengaran jika terus menerus mendengar ocehan dan rengekannya.

"Sasuke-kun ayo ke promnight bareeenng!"

Tch, lagi-lagi itu. Akhir-akhir ini dia hobi sekali membicarakan tentang prompnight party, acara yang diadakan sekolah untuk merayakan kemenangan tim sepak bola kami di kejuaraan kemarin. Dan tentu saja, aku sebagai kapten, harus datang untuk pemberian hadiah.

"Sasuke-kun dengar aku tidak?"

"Nggak."

"Ayo bareennggg!" sekarang dia menggoyang-goyangkan lenganku, seperti aku ini adalah ayunan atau apa. spontan aku menepis tangannya.

"Sudah berapa kali kukatakan, aku akan pergi dengan tim ku."

"Terus... aku pergi dengan siapa?"

Aku mengerang dalam hati. "Pergi sendiri sana! kau pikir aku peduli? Dasar, memangnya cowok di sekolah ini cuman aku apa."

Setelah mengatakan itu aku merasa jahat. Menyuruh pacar ke acara pormnight sendirian? Sepertinya Naruto akan memukulku jika ia mengetahuinya.

Dan benar saja. Saat malam prom, ia menceramahiku panjang kali lebar.

"Dasar teme, aku tak mengerti kenapa kau begitu bodoh!" gerutunya sambil membenarkan dasi oranye yang ia kenakan.

"Hn, ngaca." tidak menghiraukan balasan Naruto dobe, aku meneguk limun sambil memerhatikan aula sekolah yang penuh sesak. Banyak sekali pemandangan yang menyakitkan mata. Salah satunya adalah gaun yang dikenakan Tsunade-sensei—kepala sekolahku. Ya ampun, banyak sekali permata yang menghiasinya. Lalu di ujung kanan aula, terlihat perkumpulan cewek hardcore, mereka memakai gaun gothic serba hitam, dan bersebrangan dengan mereka, ada pula murid-murid klub astronomi. Aku terkesan dengan keberhasilan mereka dalam menjadikan tata surya sebagai kostum prom. Itu benar-benar unik.

Dan ngomong-ngomong soal unik, kemana si kepala pink itu? Kenapa aku belum melihatnya sejak tadi? Padahal dia yang paling semangat tentang acara malam ini. Apa mungkin dia ngambek karena aku meninggalkannya? Oh yeah, semoga saja. Setelah itu mungkin dia akan menjauhiku dan mencaci makiku, lalu mendeklarasikan putus dengan dramatis di depan loker.

Hell yeah, aku sangat menantikannya.

"Kenapa kau senyum-senyum begitu?" tanya Naruto sambil mengernyitkan dahi.

"Tidak apa-apa." aku masih tersenyum seperti orang gila ketika beranjak untuk mengambil limun lagi. Beberapa anggota tim ku, yang awalnya bergerombol bersama, kini satu-persatu hilang ke lantai dansa.

Kulihat Naruto sedang berdansa dengan Hinata, cewek yang baru saja menembaknya kemarin. Lalu disebelahnya, Sai dengan cewek seksi tukang gosip bernama Ino, aku ingat namanya karena dulu dia pernah menembakku di tengah lapangan dan aku menolaknya mentah-mentah. Aku juga melihat si Hyuga sialan itu berdansa dengan cewek keturunan china, entah siapa namanya, aku tak tahu, dan anggota lain yang sudah berpencar kemana-mana.

Kalau kalian mengira aku kesepian atau cemburu, maaf-maaf saja, tapi sudah ribuan ajakan dansa yang ku tolak sejak datang ke sekolah. Bukannya aku sombong.

Aku menyusuri tepian perabot, mencari meja limun. Ketika sedang menonton orang-orang berdansa, tanpa sengaja aku melihat ke pintu aula.

Napasku terhenti ketika melihat sesosok berambut pink yang sedang berdiri di sana. Itu sakura, aku yakin sekali. Tak ada lagi orang berambut pink selain dia di sekolah, dan dia... sangat-sangat cantik.

Dia memang cantik, tapi malam ini berbeda. Dia terlihat menawan.

Rambut panjangnya di sampingkan ke bahu kanan dan tampak berkilauan diterpa cahaya. Gaunnya, aku tak bisa mengalihkan mataku dari gaunnya. Itu terlihat sangat pas di tubuhnya. Gaun satin berwarna ombre, dengan urutan putih, biru muda lalu biru dongker. Atasannya bermodel korset tanpa tali, dan di bagian bawah gaunnya dihiasi dengan corak kupu-kupu yang berkerlap-kerlip. Dandanannya juga tidak menor, dia hanya mengenakan bando senada dengan pita yang menjuntai dilehernya.

Aku terpesona.

—dan tanpa sadar menumpahkan air limun ke tuksedoku.

Aku hendak menghampirinya, tapi langkahku terhenti ketika ide jahil muncul di benakku. Aku memutuskan untuk bersandar di salah satu kursi dekat meja dan mengamatinya dari jauh. Jarak kami dari ujung ke ujung.

"Mari kita lihat, seberapa tahan kau berada di sana." aku menyeringai kejam. Kulihat dia mondar-mandir celingukan. Sepertinya dia mencariku.

Beberapa orang menawarinya berdansa, namun ia menolak, dan tetap berdiri di sana hingga setengah jam berlalu. Aku bisa melihat matanya yang mulai lelah. Ia akhirnya menyerah dan memilih untuk duduk di salah satu kursi di dekatnya.

"Sudah ngantuk, eh?"

Entah kenapa aku menikmati ini. Memerhatikannya dari kejauhan dan membiarkannya berputar-putar mencariku. Aku bahkan baru sadar kalau gaunnya serasi dengan dasiku yang juga berwarna biru dongker.

Kemudian, ia tiba-tiba berdiri, dan keluar dari aula. Aku memutuskan untuk membuntutinya diam-diam. Sepertinya ia sudah bosan disana. Terima kasih pada pot bunga besar yang telah menutupiku selama satu jam penuh.

"Hmm..."

Kukira Sakura sudah mau pulang, tapi ternyata ia masih mencariku di luar. Ia berjalan-jalan di taman sekolah sementara aku bersembunyi di belakang pohon.

Jangan bayangkan ini seperti adegan di film-film bollywood, karena aku tak berniat untuk memunculkan diriku atau memberinya semacam kejutan. Aku hanya ingin melihatnya, itu saja. Mumpung dia sedang cantik.

Aku terus memerhatikan sakura yang kini tengah berdiri di salah satu batu taman. Dia terus-menerus mendesah dan bergumam tidak jelas.

Sekarang dia berputar-putar, dan aku rasa dia berputar terlalu kencang, sehingga jatuh terperosok ke kubangan lumpur dekat batu.

Astaga.

Kalian tak tahu betapa susahnya menahan untuk tidak tertawa. Mataku mulai berair dan bibirku berkedut-kedut. Sekilas aku melihat wajahnya yang seperti mau nangis, tapi sebelum itu terjadi, aku sudah berlari ke pohon lain yang lebih jauh dan tertawa terpingkal-pingkal seperti orang gila.

.

.

.

Aku heran. Sudah seminggu ini sakura tidak mencariku. Malah, sepertinya dia cenderung menghindar. Entahlah.

Biasanya saat berpapasan di kantin atau dimana saja, dia langsung bergelayut di lenganku. Kemarin aku melewatinya di depan loker, tapi dia tidak terlihat tertarik denganku. Mungkin hasil rencanaku untuk membuatnya marah benar-benar di luar dugaan dan berjalan terlalu baik. Tapi anehnya, kenapa sekarang aku malah merasa kesepian.

Tidak, tidak, ini tidak mungkin.

Aku memutuskan untuk pergi ke toilet, tetapi saat aku melewati tangga, aku tak sengaja mendengar suara seorang gadis berkata, "Cewek bernama sakura itu memang menyebalkan."

Aku berhenti dibalik tembok dekat tangga dan mendengar gadis lain menjawab, "Ya, dia sangat centil dan selalu sok manis di depan Sasuke."

Wow, aku sependapat dengan gadis itu. Kupikir selama ini hanya aku saja yang berpikir begitu. Ternyata mereka juga merasa.

"Menurutku dia tidak cocok dengan Sasuke. Rambutnya norak dan jidatnya seperti bandara! Sasuke nggak level dengan cewek jelek seperti dia!"

"Hahaha! aku tahu, benar, kan? Dia sangat murahan dan blablabla.. "

Lama-lama aku merasa panas mendengarkan mereka. Aku merasa marah dan jengkel, seperti, seseorang baru saja menjelek-jelekkan sesuatu yang berharga bagiku.

Aku memang merasa sih, kalau Sakura menyebalkan, dan jidatnya, dan yah, rambutnya aneh, tapi aku tidak pernah berkata dia jelek dan murahan. Bagiku, Sakura selalu terlihat alami. Dia tidak pernah memakai lipstick atau riasan lain yang menor seperti gadis-gadis lain.

Aku menyukainya apa adanya.

Maksudku, bukan menyukai yang 'itu'! tapi menyukai yang lain. Ah, sudahlah.

Saat hendak kembali ke kelas, aku kembali berpapasan dengannya, dan... dia... sungguh mengejutkan, dia terlihat kusut sekali. Rambut pink yang biasanya selalu tampak rapi dengan pita merah yang manis, kini terlihat awut-awutan. Seragamnya kotor, dan terlihat compang-camping. Tunggu dulu, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia terlihat seperti orang habis ngamen begini?

"Hey," aku menarik tangannya. "Ada apa?" ini aneh, belum pernah aku berbicara padanya dengan nada selembut ini. Apa mungkin aku mulai menyukainya?

Sakura terdiam lama. Masih belum mau melihatku. Aku menariknya lagi, mempersempit jarak di antara kami.

"Sakura?"

"Tidak apa-apa Sasuke-kun..." kali ini ia menoleh. Aku terkejut ketika melihat wajahnya yang kotor dan terluka. Bahkan bibirnya berdarah sedikit.

"Apa yang terjadi?" tanyaku masih menatapnya dengan tatapan tak percaya. Ada apa ini? Kenapa Sakura terlihat babak belur begini? Bukankah dia jago bela diri?

"Nngg...tadi...tadi aku terjatuh."

Oh, jatuh.

"Biar ku antar pulang."

"Eh?" Sakura tampak terkejut dan menatapku tak percaya. Sebenarnya aku juga, sama-sama terkejut dengan ucapanku sendiri, tapi, yah... sudah terlanjur ngomong. Anggap saja aku sedang baik.

"B-baiklah.." ia lalu menggandeng tanganku dan meremasnya pelan. Aku bisa melihat wajahnya yang merah. Jujur saja, aku juga agak deg-degan.

"Kita ambil tas dulu, setelah itu tunggu aku di parkiran." Sakura mengangguk pelan.

Tak kusangka, hari ini adalah hari pertamaku mengantar Sakura pulang.

Bersambung...


Hai, maafkan author yang bandel ini. Iya iya gue tau gue salah, maaf gak update yang lain dulu.

Mmm...juga sepertinya gue bakal hiatus 2 minggu. Setelah itu gue akan update all story, all chapter.

Segitu saja, maafkan *pundung