Author: 3811421511
Tittle: Even SKY perforce to bow down
.
Plagiarism prohibited. Happy reading!
.
Di era abad delapan belas, dimana pada abad ini masih menggunakan sistem kerajaan di berbagai negara. Arsitektur tiap bangunan sangatlah khas dengan nuansa gaya barat, segala interior mewah yang terpajang sana sini memperlihatkan eloknya benda-benda tersebut dengan kedetailannya. Wanita dan pria yang berlalu lalang mengenakan pakaian bervariasi. Dari segi bahan, model, dan cara berpakaiannya mencerminkan tiap kasta pemakainya.
Dari yang kelas kerajaan, bangsawan, pedagang, orang biasa, hingga terburuknya kalangan kelas bawah yang berbeda-beda jenisnya.
Siang itu, suasana tengah ramai di sudut kota yang berisikan pedagang-pedagang menjualkan barang dan jasa disana. Di era ini mata uang tukar menukar sudah menggunakan uang keras, logam masih dipergunakan untuk penggunakan nominal kecil. Suara riuh sana-sini terdengar dimana-mana. Entah seseorang yang sedang menawar, atau teriakan mempromosikan barang mereka masing-masing.
Sepasang suami-istri berjalan di tengah ramainya pasar. Wanita itu menggunakan gaun yang bisa dibilang amat sangat mewah, hal itu dapat dilihat dari model pakaiannya. Gaun indah dengan renda serta pita hingga menutupi mata kaki. Belum lagi sang pemakainya adalah wanita cantik berwajah awet muda, kedua matanya sangat mempesona, bibirnya berbentuk sempurna yang dibaluti oleh gincu merah, pinggangnya ramping. Sang suami mengenakan setelan baju berjas dengan sematan berbagai pangkat di pakaian yang ia kenakan. Rahangnya tegas, kedua matanya memincing tajam bak elang, wajahnya tegas dan berwibawa. Sangat cocok dengan pakaiannya yang seperti seorang kolonel jenderal.
Segala aktivitas di pasar itu seketika hening dan senyap, semua mata tertuju kepada suami-istri tersebut. Mereka membisu, tercengang. Pada dasarnya tak akan pernah orang penting seperti mereka datang ke pasar untuk melihat-lihat. Yah, terkecuali kalau mereka adalah bagian dari suatu kerajaan di negara ini. Tapi, mereka bukan. Mereka bukan bagian dari kerajaan ini, kedua orang itu sudah dapat dilihat jelas dari ras wajahnya.
"S-siapa kalian? Kalian mau a-apa?" Tanya salah satu pedagang disana dengan kakinya yang bergetar.
Mata elang dari si kolonel menoleh pada pedagang kecil itu, sedangkan yang di tatap nyalinya langsung menciut, "Hii!"
"Kami disini ingin melihat-lihat." Kolonel itu berjalan kembali, diikuti istrinya di samping. "Negara kecil ini sepertinya cocok untuk anak-anak kita." Lanjutnya lalu melirik wanita disampingnya, "benar, 'kan?"
Wanita itu terkekeh pelan, "mereka pasti sangat sangat senang." Balasnya sambil memikirkan wajah anak-anak mereka nanti kegirangan.
Kolonel itu mengangguk singkat. Setelahnya ia mengangkat tangan kanannya ke atas, ia ayunkan tangannya ke depan dengan sekali hentakan keras, "Serang!"
.
.
.
Kejadiaan itu seakan sangat singkat, negara kecil itu seketika rata bersamaan dengan mayat-mayat berserakan entah dimana. Gencatan senjata telah dimulai beberapa jam lalu, sedangkan aparat penegak di negara itu dibuat kewalahan dengan kekuatan kavaleri dari si Kolonel negeri seberang. Tak ada yang bisa melawan, rakyat-rakyat disana sudah banyak yang terbunuh entah berapa jumlahnya. Hanya demi memperluas daerah kekuasaan, dan daerah ini, akan menjadi daerah hak milik anak-anak Kolonel itu. Yang kuat akan menang, yang kalah akan tertindas. Benar begitu, bukan?
Nasib para rakyat disini hanya ada dua. Mati dibunuh, atau di culik sebagai budak di negeri sana.
Suara ayunan pedang serta diikuti oleh tembakan tiada henti membuat yang bersembunyi ketakutan setengah mati. Rakyat yang masih bisa berlari untuk menyelamatkan diri, langsung dibuat mati hanya dengan sekali tembak. Tak akan ada yang bisa lolos dari kekuasaan keluarga Romanov. Kalau kau ingin hidup, jadilah budak mereka. Bilamana kau ingin mencoba melawan, nyawamu melayang.
Semuanya mencoba untuk berlari, salah satunya si pemuda bersurai hitam legam disana dengan napas yang sudah tak lagi beraturan. Kaki jenjangnya tidak terhenti mencari tempat persembunyian yang aman. Suara tembakan mengejutkan telinga si pemuda, salah satu orang di sebelahnya mengenai amunisi tersebut, orang itu jatuh tepat di sampingnya.
"Noona!" Pekik pria itu. Ia menolehkan kepalanya kepada orang yang ia sebut sebagai kakaknya itu.
"Larilah, Chanyeol! Pergi dari si–" Teriak sang kakak, ia belum sempat menyelesaikan kalimatnya hingga amunisi lain menembak sang kakak tepat di kepala.
Pemuda bernama Chanyeol itu mengepalkan tangannya, kuku-kukunya memutih, ia menggertakan gigi-giginya. Ia tak sanggup melihat ini. Negara nya kandas, orang tua nya mati, lalu di susul oleh kakaknya yang tertembak. Chanyeol memejamkan kedua matanya sekejap, ia ingin segera semua ini selesai dan kembali pada kehidupan yang tenang. Dimana tak ada suara desingan pedang maupun tembakan senapan. Chanyeol kembali berlari meninggalkan jasad kakaknya dibelakang.
Masih banyak yang berlarian. Satu persatu para pelari mulai tumbang, dan jumlah mereka kali ini sudah bisa dihitung dengan jari. Chanyeol bergidik ngeri, sesaat sebuah peluru meleset tepat dari samping kanannya. Ia sengaja berlari tidak berposisi lurus supaya para penampak jitu sulit untuk menembaknya. Sedangkan salah satu temannya yang berlari tak jauh darinnya, terkejut bukan main saat peluru lain meleset. Ia terjatuh sangking kagetnya, menimbulkan temannya itu tersandung dan jatuh ke tanah.
"Jongin!" Teriak Chanyeol. Dia yang sudah beberapa meter di depan temannya itu, segera berlari kembali. Membantu Jongin –nama temannya – berdiri.
Tangan Jongin terulur, menerima bantuan Chanyeol. "Kau tidak apa-apa?!" Chanyeol panik sambil menarik temannya sedikit, mengajaknya lagi untuk berlari.
"T-tidak apa-apa, Hyung." Balas Jongin lalu kembali berlari bersamaan dengan Chanyeol tepat di sebelahnya.
Hari mulai menggelap, suara tembakan juga sudah mulai berkurang. Chanyeol pikir malam hari membuat penglihatan para penembak kurang bagus. Ia menarik lengan Jongin, memasuki sebuah rumah yang setidaknya tidak runtuh seutuhnya. Entahlah kediaman siapa yang ia masuki ini, toh di saat seperti ini nyawa dipertaruhkan. Dan setelah sekian lama berlari tanpa henti, yang masih bertahan saat ini hanya Chanyeol dan Jongin. Mungkin masih ada yang lain. Chanyeol juga tak tahu pasti.
"Kita istirahat disini dulu, lalu kita pergi lagi." Tutur Chanyeol berbisik. Jongin hanya mengangguk singkat.
Keduanya memasuki rumah itu. Beberapa ruangan tampak sangat gelap, kalaupun ada cahaya, hanya pantulan dari bulan yang menyaksikan negara ini akan kalah. Isi rumah itu sudah tak terbentuk lagi. Segala perabotan rusak, benda-benda yang seharusnya di taruh ditempat semestinya menjadi berserakan dimana-mana, tak lupa juga dengan bercak darah kering menghiasi lantai serta dinding di rumah itu. "S-si-siapa kalian?!"
Atensi mereka berdua segera mengarah pada sumber suara. Kurangnya cahaya mereka menangkap sesosok berwarna hitam. Chanyeol dapat melihat orang didepannya saat ini kakinya gemetaran, suaranya pun juga terlampau parau. Tapi hanya satu hal yang pasti. Dari suaranya, Chanyeol tahu bahwa orang itu adalah lelaki seperti dirinya maupun Jongin.
Sosok itu melangkahkan kakinya sedikit. Cahaya bulan yang memasuki dari jendela rumah mulai menerangkan sosok tadi dengan rupa yang jelas. Wajahnya ketakutan, kedua matanya memerah dan bengkak, kedua kakinya gemetaran, sedangkan kedua tangannya bergetar memegang sebuah pisau dapur.
"T-tunggu, kami juga sama sepertimu." Ucap Jongin.
Pria yang mendiami rumah itu tersungkur, badannya ditumpu oleh kedua lututnya, pisau yang ia genggam sudah jatuh. Kedua tangannya menutup wajahnya, menangis kembali, menangis ketakutan. Suara isakannya membuat Chanyeol iba, ia menghampiri orang itu, memeluknya dengan hangat.
"Aku tahu kau merasa ketakutan dan semua yang kau miliki terenggut begitu saja oleh mereka." Suara Chanyeol menenangkan isakan pria itu, tangannya ia usap lembut punggungnya yang bergetar.
Butuh beberapa waktu hingga pria itu tenang. Tangisnya mereda. Chanyeol berusaha untuk tidak menangis, mencoba untuk menguatkan hatinya. Ia ingin menangis sama seperti orang itu, tapi dia tak ingin terlihat lemah dan malah memperburuk suasana. Sama halnya dengan Jongin. Ia sedari tadi menahan air matanya di pelupuknya. Menahan keras supaya tidak ikut menangis.
Semua pria pun, sekuat apapun. Pasti akan menangis bila apa yang mereka punya direnggut paksa.
Mereka tidak tahu pasti ada berapa orang yang masih hidup, atau malah dari negara ini hanya mereka bertiga yang masih bertahan. Tak ada yang tahu. Bahkan mereka pun juga tidak tahu nasib apa yang akan mereka hadapi nanti. Suasana di rumah gelap itu sepi dan senyap, tak ada yang terdengar kecuali deru napas masing-masing serta isakan sesekali yang keluar dari pria lemah itu.
"Siapa namamu?" Tanya Chanyeol pelan, memecah keheningan di antara mereka.
"Se-Sehun.." Jawabnya pelan, hampir terdengar seperti bisikan.
"Umurmu?"
"S-s-se-sembilan belas tahun."
Chanyeol mengangguk, "berarti sama seperti Jongin. Dia juga berumur sembilan belas tahun." Katanya dengan lembut. Jongin hanya menyimpulkan senyuman tipis pada Sehun, pemuda berkulit putih pucat itu masih tetap berwajah datar lalu mengangguk pelan. Seperti memberi hormat.
"Aku Chanyeol, dua puluh satu tahun." Ujar Chanyeol lagi seraya menaruh telapak tangannya di dadanya sendiri. "Dia Jongin." Lanjutnya lagi.
"Hyung..." Gumamnya pelan.
Chanyeol menarik kedua sudut bibirnya, memberikan senyuman tulus. Ia merasa ia paling tertua disini, maka dari itu hatinya menguatkannya, jadilah orang dewasa dan jadi panutan mereka. Jangan sedih, jangan menangis, hal itu kau akan terlihat sangat rapuh. Begitu kata batinnya. Dia mampu melihat seorang Sehun hanya dari parasnya. Dibalik rupanya yang tampan, tinggi yang semampai, namun jiwa nya sangatlah rapuh.
"Aku.. kehilangan orang tuaku. Tentara itu membunuh orang tuaku." Sehun meremas surai hitamnya, kedua matanya kosong melihat pijakan lantai rumahnya. Mengingat masa lalu yang sangat mengerikan baginya.
Chanyeol juga Jongin menatap sendu kearahnya. Selang beberapa jeda, pemuda pucat itu kembali melanjutkan ceritanya, "Ibuku tiba-tiba saja memasukkan ku ke bawah kolong kasur. Menyembunyikanku disana. Memaksaku untuk hidup sedangkan aku melihat Ibuku dicekik dan Ayahku tertembak." Sehun mengigit bibir bawahnya. Menahan pilu yang selama ia pendam.
"Aku... aku tidak tahu lagi harus apa. Aku ingin keluar dari sana supaya aku ditembak juga. Tapi.. tapi.. aku takut.." Sehun makin meremas surainya, seakan-akan ingin melupakan kejadian mengerikan itu.
Jongin menurunkan badannya, duduk menyamakan tinggi kedua pria itu. Ia meraih pergelangan tangan Sehun. Si pucat menatap mata penuh keyakinan disana, "Dengar, kita akan terus bersama-sama. Kita akan bertahan hidup. Kita harus tetap hidup. Kita sama-sama putus asa. Orang yang kita cintai mati, mereka hanya meninggalkan kalimat 'larilah, kalian harus hidup'. Jangan kecewakan mereka."
Sehun membeku. Ia mengolak otaknya. Ibunya memasukkannya ke dalam kolong kasur untuk keselamatan dirinya. Ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan dari ibunya itu. Sehun menurut, ia menganggukan kepalanya pelan. "Aku mengerti." Ucapnya lemas lalu menurunkan sebelah tangannya yang sedari tadi meremas surainya.
Malam itu sangat sepi. Rembulan bersinar terang, membulat sempurna, tak ada suara-suara warga lagi, mereka hanya ditemani oleh suara burung hantu atau jangkrik yang berbunyi di perumahan kosong. Dari seluruh penjuru rumah, hanya rumah inilah yang setidaknya masih dihuni sampai malam ini. Jongin tertidur pulas di pundak kiri Chanyeol, kelelahan berlari yang tak terhitung berapa kilometer ia terjang. Sedangkan Sehun tertidur pulas di paha besar Chanyeol, matanya terpejam, rasa lelah juga menghinggap pada dirinya.
Chanyeol melihat ke kiri, lalu ke bawah. Melihat adik-adiknya –dia menganggap begitu– tertidur dengan wajah mereka yang tenang. Dia sama sekali tidak keberatan. Ia seketika paham, Sehun dan juga Jongin akan merasa aman di dekatnya. Yang tertua harus tetap tegar, menguatkan adik-adik angkatnya itu. Setelahnya, ia menangis dalam diam. Air matanya mengucur deras, ia menahan isakannya. Berusaha untuk tetap diam.
.
.
.
(Another Place)
"Kudengar Papa sudah menguasai negara itu." Ucap seorang lelaki berwajah cantik tanpa mengalihkan pandangannya dari bacaan bukunya.
"Wow, benarkah?! Asyik!" Anak lain yang di sebelahnya kegirangan sambil memutar badannya. Senyumannya melebar, kedua matanya menyipit seiring wajah gembira itu terpatri jelas di rupanya.
"Oh." Yang satu nya lagi hanya menjawab malas. Lelaki bermata bulat itu tidak menaruh perhatian sama sekali. Tangan kanannya memegang buku anatomi tubuh, sedangkan tangan kirinya menulis kalimat-kalimat penting di buku tulisnya yang lain.
Lelaki yang dari tadi kegirangan, memberhentikan aktivitasnya. Ia memonyongkan bibirnya kecil, "Kyungie, kenapa kau begitu? Bukannya kau harusnya senang?"
"Untuk apa? Negara kecil seperti itu pastinya tidak memiliki teknologi penelitian yang menarik." Balasnya masih tak melepaskan sorot matanya dari buku, "negara itu lebih cocok untukmu dan Luhan-hyung. Kalian itu pintar politik, kalian pasti bisa membuat perubahan baru disana."
"Oke, aku tahu!" Ia dalam sekejap mendapat ide bagus, anak gembira itu makin merekahkan senyumannya. "Aku akan membesarkan negara itu, memajukan perekonomian supaya aliran dana nya lancar, lalu akan membelikanmu teknologi penelitian yang baru!" Ucapnya semangat.
Si pemilik mata bulat itu mendelik sesaat, lalu ia menghembuskan napasnya pelan. "Ya, terserah kau saja, Baek."
.
.
.
"Cepat! Cari mereka siapapun yang masih hidup!"
Suara itu memekik di telinganya, suara komando dari seseorang membangunkan Chanyeol dari tidurnya. Keduanya ia mengerjap pelan. Tak ada yang berbeda dari pandangannya, masih sama berantakan dan gelap. Ia melirik sekilas ke arah jam dinding yang masih berdenting memutar jarum jam nya. Sekarang jam dua malam.
"Ayo cepat cari!"
Suara itu terdengar dekat. Chanyeol langsung menyadarkan jiwanya, kedua matanya terbelalak mendengar itu. Ia menggoyang-goyangkan tubuh Jongin dan juga Sehun. "Eumh.. Ada apa, Hyung?" Suara berat Jongin menyapu pendengaran Chanyeol. Dengan sigap ia langsung menutup mulut Jongin dengan tangan kanannya, telunjuk jari kiri ia hadapkan di depan bibir Chanyeol. Mengisyaratkan untuk diam.
Mereka bertiga segera sadar dari tidurnya, nyawa mereka sudah sepenuhnya terkumpul ketika seorang komando lagi-lagi meneriakkan kehadiran pemukim negara kecil itu.
"Hyung..." Sehun bergumam pelan. Chanyeol lagi-lagi hanya mengisyaratkan dia untuk diam.
Suara derap langkah kaki cepat seakan-akan menghantui mereka. Mereka hanya mampu bersembunyi. Mereka tak bisa melawan selain karena tak pernah di didik bela diri, mereka juga jelas karena kurangnya jumlah. Tiga lawan berpuluh-puluh tentara? Yang ada cari mati!
Chanyeol, Jongin, dan Sehun berusaha untuk menutup mulut masing-masing rapat. Takut-takut tiba-tiba saja akan berteriak spontan atau apapun yang menimbulkan suara.
"Kau yakin melihat ada dua orang kesini?"
"Siap! Benar, Pak!"
Tak salah lagi, yang di cari mereka adalah Chanyeol dan Jongin. Jantung mereka berdegup sangat cepat, mereka tahu sebentar lagi mereka akan mati. Tinggal tunggu waktu menanti.
Suara tembakan tiba-tiba saja meluncur dari sebuah senapan entah milik siapa. Menembus ventilasi rumah Sehun. Suara pecahan kaca menggelegar sepenjuru ruangan. Sehun ketakutan, kedua matanya terbelalak, mulutnya ia tutup, berjuang keras supaya tak mengeluarkan suara sekecil apapun.
"Pak, saya rasa ada orang dirumah ini."
Jantung mereka bertiga makin-makin berdetak kencang. Siapa yang tidak panik saat bersembunyi lalu ketahuan oleh orang yang asal menembak begitu saja? Belum lagi nyawa mereka akan dijadikan santapan untuk tentara-tentara itu.
"Kau tahu dari mana?" Tanya si Komandan.
"Suara pecahannya tidak begitu nyaring. Coba cek saja rumah itu."
Komandan berkumis tebal itu tidak yakin, mana ada tarikan kesimpulan hanya lewat suara nyaringan pecahan kaca? Namun ia sebenarnya percaya dengan bawahannya itu. Insting militernya sangat tinggi. "Cepat, geledah rumah itu!"
Chanyeol memojokkan dirinya serta kedua adik angkatnya itu di sudut tembok. Dia akan melindungi adik-adiknya apapun yang terjadi. Walau dengan nyawa sekalipun!
Suara bukaan pintu dengan paksa kembali menusuk telinga ketiganya. Eksistensi mereka terciduk oleh sekumpulan tentara disana. Senapan-senapan mulai memonyongkan ke arah mereka. Chanyeol reflek membentangkan kedua tangannya, dan berteriak, "kumohon jangan sakiti mereka!"
Si Komandan memainkan ujung kumisnya. Ia memberi perintah hanya dengan isyarat menaikkan tangan kirinya, menahan tembakan itu. "Hoo, kau mau apa memangnya?"
"Aku akan melindungi mereka! Jangan sakiti mereka!" Teriaknya lagi dengan degupan kencang di dadanya. Ia tahu, ia akan mati sehabis ini.
"Aku bisa saja membunuhmu lalu menembak teman-temanmu itu."
Chanyeol terdiam, ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Bibir bawahnya ia gigit sangking ketakutan dan kebingungan, pria itu telah berjanji akan menjaga adik-adik angkatnya itu apapun yang terjadi. Memang benar kata komandan tersebut, bisa jadi sebuah peluru menghujam dirinya di susul mereka yang kini ketakutan.
"Tidak! Tidak akan kubiarkan!"Chanyeol kehabisan kata. Hanya kalimat itu yang ia ucapkan, pikirannya bingung sampai-sampai kepalanya tak lagi bisa tuk memutar untuk mencari ucapan-ucapan lain selain itu.
Komandan itu bergeming sesaat, pelatuk itu bisa saja ditarik dalam kurun waktu milidetik. Anak buahnya sedari tadi telah menodongkan mereka senapan. Tentu saja, takut. Sangat. Siapa yang tidak takut untuk mati? Sehun sedari tadi telah berlinang air mata, Jongin hanya bisa memeluknya demi menenangkan anak trauma itu, sedangkan Chanyeol sudah berkeringat dingin, jantungnya berdetak tak karuan mengingat ajalnya sebentar lagi bisa terenggut.
"Hm.. Apa yang akan kau lakukan untuk menjaga adik-adikmu itu, Bocah Tengik?"
Lagi-lagi Chanyeol terdiam. Ia akan mati setelah ini.
"Hei, aku kepikiran sesuatu. Seru kali, ya. Mereka bertiga menjadi budak sex kita?" Komandan itu tertawa, diiringi dengan anggukan setuju dari anak buahnya itu.
"Barangkali bosan dengan wanita, kita bisa memerkosa mereka, bukan? Ada cadangan, gitu." Si pria berkumis tebal itu lagi-lagi melontarkan ucapan menjijikan itu. Chanyeol bersumpah, dia lebih baik mati daripada menjadi boneka sex mereka.
"Kalau dipikir-pikir lagi, itu si bocah cengeng itu cukup cantik juga. Lihatlah kulit putihnya itu." Seorang anak buah bersiul sambil menerawang rupa Sehun. Jongin lantas mengeratkan pelukannya, menutupi raga adik yang berbeda beberapa bulan itu.
Komandan itu terkekeh. "Tangkap mereka."
Pria-pria berbadan kekar itu menangkap mereka bertiga. Berontakan tentu mereka lakukan, namun kekuatan pun sangatlah terpaut jauh. Pada dasarnya orang-orang itu adalah anggota militer, sehingga mereka memiliki badan dan otot yang kuat.
Chanyeol, Sehun, dan Jongin di seret paksa. Mereka menaiki truk militer besar setelah kedua tangan mereka diikat dengan tali sejenis tali tambang. Lalu di susul dengan banyak wanita dari kalangan anak-anak sampai gadis. Di mobil itu, laki-laki yang berisikan dari negara ini hanyalah mereka bertiga.
Sehun gemetaran, Chanyeol menggenggam tangan anak itu. Memberinya kekuatan untuk tetap tegar. Si albino itu seketika berhenti bergetar, dirasa ketenangan menghinggap dirinya. Setidaknya ia masih bersama hyung-hyung angkatnya itu. Dia berjanji kali ini, ketika Jongin dan Chanyeol mati entah di bunuh atau bagaimana. Ia, akan mengikutinya. Sehun tak ingin sendirian.
.
Even SKY perforce to bow down
.
Sekiranya perjalanan telah memakan waktu hingga dua hari. Menyebrangi lautan menggunakan kapal, angin laut yang dinginnya menusuk kulit, makan makanan yang tak layak untuk di makan. Bagi Chanyeol, penderitaannya akan mulai dari sini. Kedua tangannya masih terikat, samping kiri-kanannya terdapat adik-adiknya tertidur di bahunya. Selama bertahun-tahun Chanyeol ingin sekali menjadi dokter, namun kini masa depan cemerlangnya itu sirna. Keluarganya mati terbunuh di depan matanya. Belum lagi ia harus melindungi Jongin-Sehun apapun caranya. Beban apa lagi yang harus ia pikul?
Truk militer itu terhenti di depan sebuah gerbang manor.
Semua penumpang di paksa untuk turun, mereka pun juga disuruh untuk menundukkan wajah mereka demi kesopanan terhadap keluarga bangsawan. Para calon budak itu berbaris rapi membuat dua banjar. Jongin menatap sekeliling, ia merasa laki-laki yang dijadikan pekerja paksa hanyalah dia dan kedua saudara angkatnya itu.
"Kubilang menunduk, bodoh!"
Jongin tersentak kaget, kepalanya di pukul hingga terpaksa menunduk. Aduh, Chanyeol yang melihat itu rasanya ingin mengelus kepala Jongin. Apakah dia baik-baik saja? Pikirnya.
Manor itu bak istana. Untuk mencapai istana itu diperlukan sebuah mobil atau kendaraan dari depan gerbang sampai pintu masuk. Gerbang itu menjulang tinggi, di susul tembok yang sama tingginya. Penjagaan sangat ketat, tanaman-tanaman tergunting rapi, jalanan bersih, dan banyak sekali kelebihannya. Sehun sendiri bahkan melupakan rasa takutnya saat melihat manor sebesar itu, ia berpikir, ada butuh berapa pembantu untuk bekerja disini? Atau inilah sebabnya negaranya di bombardir demi mencari beberapa pembantu?
Sepuluh menit mereka menghabiskan waktu di bawah terik sinar matahari, lalu datanglah sebuah mobil dari dalam gerbang. Memberhentikan kendaraan tersebut di hadapan para calon budak berbaris rapi tersebut. Batang hidung penumpang mobil itu nampak.
Terdapat tiga bangsawan dengan perawakan dengan tinggi rata-rata. Pakaiannya kelihatan sangat mahal mengingat ketiga orang tersebut adalah penghuni manor. Yang keluar pertama adalah lelaki berparas cantik, matanya lentik bagaikan mata rusa, wajahnya kalem tak tersirat aneh-aneh. Yang kedua keluar, lelaki lain yang agak sedikit lebih pendek. Bibirnya melengkung menggemaskan disertai kedua matanya seperti anak anjing. Wajahnya tampak berseri-seri. Anak periang bisa di bilang. Yang terakhir adalah laki-laki lagi dengan raut muka datar. Astaga, melihatnya saja sudah menyeramkan. Tak tahu harus menilai bagaimana. Menyeramkan yang pasti.
"Wah, jadi ini pembantu-pembantu baru kita?" Baekhyun memutar pandangannya dari kanan ke kiri, kelima jarinya dirapatkan menutupi sinar matahari yang menganggu pandangannya. "He? Laki-lakinya hanya tiga? Yang lain kemana?" Lanjutnya sambil menatap si komandan kumis tebal di sebelahnya.
"Siap, Tuan Muda Baekhyun! Maafkan kami, banyak pria-pria yang telah mati. Dan hanya tersisa wanita-wanita dan mereka bertiga, Tuan!" Jawab si komandan mantap. Berbohong tentu saja.
"Oh, okay. Aku paham." Baekhyun mengangguk.
Bagaikan kecepatan cahaya, Baekhyun menendang kepala komandan itu. Pria militer tersebut jatuh tersungkur pingsan. Chanyeol yang melihat itu melebarkan pandangannya, seberapa kuat laki-laki bangsawan itu?! Dia sendiri saja kewalahan. Dan laki-laki mungil itu dengan mudahnya menumbangkan anggota militer itu. Chanyeol tersanjung.
"Kau bohong, Max." Baekhyun memincingkan matanya, menatap membunuh kearah si komandan.
Luhan yang melihat itu hanya terkekeh menahan tawa. Iris cantiknya mengarah kedepan, mengabsen satu-persatu pembantu-pembantu nya. Sudut bibirnya membuat kurva, "selamat datang di kediaman Romanov."
.
.
To be continue
A/N: Hai, readers! Terima kasih udah menyempatkan waktu untuk membaca ff abal-abalku ini huhu. Jadi gini, ini masih baru prolog sebenernya. Tapi panjang juga ya? Setting cerita ini di eropa kuno, era Victorian gitu. Terus, kenapa aku masih pake kata 'hyung' buat yang lebih tua, bikos enakan nyebutnya hyung :') karna kalo manggilnya 'kakak' atau 'brother', atau malah nyebut nama langsung, bagi aku agak aneh :')
Semoga kalian suka. Kalo ff abal-abal ini sepi peminat, mungkin akan aku discontinue. Soalnya, aku ngeri kalo ceritaku aneh dan ga masuk akal :')
Silahkan tinggalkan jejak ya! Maaf kalo typo bertebaran, aku mager baca ulang /heh
