Sweet Yet Voiceless
Genre: Supernatural, Fantasy
Pair: Kurosaki Ichigo and Kuchiki Rukia
Disclaimer: Tite Kubo
.
Ichigo
.
Aku tinggal di sebuah rumah kecil—tepatnya rumah yang kusewa—di Kota New York. Awalnya aku tinggal bersama kedua orangtuaku di New Jersey, tetapi ibuku ingin aku menghabiskan waktu kuliahku di NYU—Universitas New York. Itulah alasan kenapa aku ada di sini sekarang. Bukan karena aku tidak menyukai NYC yang luas ini, beribu-ribu orang tinggal di satu kompleks dengan jalan yang luas dan bersih, tetapi aku merasa jauh dari rumah. Teman yang kumiliki pun sangat sedikit, apalagi aku baru tinggal di sini selama lima bulan. Aku malah ditemani oleh banyaknya tugas-tugas kuliah dan makalah yang harus diselesaikan tepat waktunya.
NYU adalah pilihanku yang paling atas. Mereka mempunyai proyektor keren yang tidak bisa kau temui di sekolahku yang dulu di New Jersey. Mungkin karena terlalu terbiasa dengan alat-alat modern itu, setiap membuat makalah dan skripsi-skripsi harus diketik dengan komputer. Mereka tidak meminta tulisan tangan. Dan ini, hal yang paling bisa membuat otakku meledak dalam waktu satu jam. Laptopku sudah berkali-kali diservis karena sering digunakan lebih dari dua puluh empat jam. Aku belum punya uang yang cukup untuk membeli komputer yang kuat dinyalakan tiga hari sekalipun. Kalau dulu aku akan menahan diriku dengan kopi agar tidak mengantuk jika sedang berkutat di depan laptop.
Tetapi karena itu, insomnia menjadi sahabat baikku di rumah.
Awalnya aku bisa tidur nyenyak di rumahku yang lama, atau yang baru sekarang ini. Tetapi, semenjak dipecut terus menerus dengan tugas kuliah, aku jadi tidak bisa memejamkan mata lebih dari dua jam saja. Aku sudah mencoba segala cara yang biasanya dikatakan orang-orang tua agar bisa tidur nyenyak. Mulai dari minum susu hangat, menghitung angka satu sampai seratus atau menyebutkan alfabet A sampai Z, marathon mengelilingi rumah—dan yeah, hasilnya aku jadi semakin segar. Tapi, itu tidak membantu sama sekali. Aku biasa tidur jam sepuluh, dan tiba-tiba jam dua belas lewat beberapa menit aku membuka mata dengan lebar. Setelah itu... diam tidak melakukan apa-apa.
Insomnia ini begitu mengganggu. Di saat semua orang terlelap tidur di bawah selimut mereka, aku membuka mata lebar dan memperhatikan laptopku—berpikir-pikir untuk mengerjakan tugas atau tidak. Tapi, di saat semua orang beraktivitas di bawah terik matahari, mengebut gila-gilaan, mataku malah mengantuk dan pikiranku melayang-layang entah kemana.
Dan ini juga yang menyebabkanku selalu ditegur oleh profesor.
Teman-temanku bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk menghilangkan insomnia. Aku mencari-cari tentang Si Penjaga Malam ini di internet, dan itu bahkan bukan penyakit. Insomnia datang disebabkan karena—salah satunya adalah bekerja hingga larut malam. Dan ya, itu aku. Tapi anehnya teman-teman kuliahku satupun tidak ada yang terkena insomnia, mereka sehat seperti sedia kala. Bukan berarti aku mengharapkan teman-temanku untuk merasakannya, aku hanya iri. Mereka bisa tidur tenang tanpa bantuan siapapun, sementara aku terus bergantung kepada obat tidur.
Apa tidak ada yang lebih menyiksa lagi daripada insomnia?
Mati lampu juga sering terjadi di rumah. Saat aku sedang mandi, lampu tiba-tiba mati tanpa peringatan, setelahnya aku hanya bisa mengepal tangan erat-erat untuk tidak melampiaskan emosiku ke dinding. Agar tidak terlalu frustasi, awalnya aku berpikir untuk memelihara hewan peliharaan seperti anjing, kucing, kelinci atau semacamnya. Tapi, aku baru menyadari kalau aku tidak hebat dalam memelihara hewan peliharaan. Lagi pula aku lebih sering menghabiskan waktuku di luar rumah untuk mencari-cari sumber informasi daripada di dalam.
Keigo, temanku dari kota yang sama dan pindah ke sini karena alasan yang sama pula, sering mengajakku untuk bermain basket bersamanya. Entah apa yang ada di otaknya yang kecil itu, ia bahkan tidak berpikir untuk menyelesaikan makalah yang bertumpuk-tumpuk. Walaupun begitu, aku juga rindu dengan bola basket. Semasa SMA, saat pulang sekolah, aku akan menghabisi waktuku bermain bola basket di lapangan sampai sore. Guru-guru bahkan sampai menegur kami, dan tidak bisa kulupakan kejadian lucu jika kami sedang berdebat dengan mereka. Tapi, sekarang aku sudah tidak punya waktu banyak untuk mengurusi hal-hal seperti itu.
Hidupku bahkan lebih mengerikan daripada di penjara.
(*)(*)(*)
Pulang dari kuliah, hari sudah terlalu larut untuk berjalan-jalan di taman terdekat. Hari ini kelihatannya tugas tidak menambah lagi, aku hanya tinggal menyelesaikan sisanya. Tapi, lampu-lampu di trotoar mati dan begitu pula dengan semua rumah. Jendela mereka tertutup dan terkadang ada sorotan lampu dari senter yang mereka bawa. Aku menghela napas sambil memperhatikan langkahku baik-baik. Hari ini mati lampu lagi dan aku terpaksa makan makanan kaleng. Sebulan mungkin bisa tiga kali mati lampu.
Setelah sampai, aku menaruh tasku di kamar, dan berjalan ke dapur untuk mencari makanan seadanya. Aku mengambil roti yang sudah dingin dan berjalan ke kamar lagi untuk mengambil senter. Tapi, di tengah kegelapan ini, aku merasa ada seseorang yang sedang memperhatikanku di sudut-sudut tembok. Aku menolehkan kepala dengan cepat dan untungnya tidak ada siapa-siapa. Mungkin otakku terlalu memikirkan hal-hal yang aneh saja akhir-akhir ini.
Sambil menutup pintu kamar dan menggigit rotiku, aku mencari-cari senter di laci lemariku. Alisku semakin berkerut karena benda yang kucari tidak ditemukan daritadi. Aku membuka laci kedua dan jariku tiba-tiba tergores benda yang tajam.
"Auw," aku meringis sambil memperhatikan dalam-dalam darah yang mulai menyembul keluar dari permukaan kulitku. Aku menekannya ke dalam mulut untuk menghentikan pendarahannya. "Sial, siapa yang menaruh pisau di sini?"
Aku tidak pernah ingat kapan terakhir kali aku menaruh pisau tajam di dalam laci, kecuali jika aku tidur sambil berjalan, mengambil pisau dari dapur, dan menaruhnya di dalam sana untuk serangan kejutan. Aku mengacak-acak rambutku. Serangan kejutan apa? Darimana kata-kata konyol itu keluar? Dengan hati-hati aku mengambil pisau itu keluar dan saat aku menutup laci, suara gelas pecah terdengar dari dapur. Aku juga tidak pernah tahu sejak kapan suara laci yang tertutup mempunyai suara beling pecah yang menyakitkan telinga. Suara barusan, seperti ada seseorang yang menyenggol gelas dengan tidak sengaja.
Firasatku benar, ada seseorang di rumah ini.
Aku dengan perlahan menaruh pisau itu di meja belajar, berjalan mendekati pintu dan saat itu juga aku mendengar suara langkah kaki yang dalam seperti sedang mengetuk pintu kayu dengan kepalamu. Tanganku yang awalnya ingin memegang kenop untuk membukanya aku urungkan kembali. Langkah kaki pelan itu berhenti tepat di depan kamarku. Aku menelan ludah dengan keringat yang mengucur deras. Aku mendekatkan telingaku untuk mendengar apakah benar di sana ada orang lain. Otakku tiba-tiba memunculkan gambar mengerikan seorang teroris yang membunuh habis semua orang di rumah yang ia masuki.
Aku berjalan mundur dari pintuku, mengambil ponsel dan skate board-ku yang terselip di antara lemari dan meja belajar. Jika itu benar-benar teroris yang datang, maka ia salah alamat. Aku tidak mempunyai apa-apa untuk diberikan, ini bahkan bukan rumahku. Pintu kamar terbuka dengan mendadak, membuat suara—brak!—yang keras membentur tembok. Teroris itu benar-benar berdiri di sana, mengenakan jubah hitam dan berkerudung, menyembunyikan wajahnya di antara kegelapan. Aku tidak sanggup berkata apa-apa, yang kupikirkan sekarang hanyalah lari dan meminta pertolongan.
Aku langsung berlari menabrak bahunya, ternyata ia tidak mengeluarkan senjata-senjata tajam seperti yang biasanya teroris bawa. Aku langsung berseluncur di atas papan skate itu sambil menekan nomor 911 di ponsel. Aku terlalu ketakutan sampai membentak-bentak. Aku terus mendorong skate board ini agar bisa lebih cepat sampai ke tempat yang aman.
"Ya, tentu saja sekarang! Wavy Street 11. Skate board bodoh ini tidak mempunyai kecepatan seperti mobil yang biasa kalian bawa!"
Aku tidak tahu kenapa kata-kata yang terakhir itu keluar. Itu bahkan bukan sesuatu yang penting. Karena di rumah aku tidak mempunyai apa-apa selain papan luncur ini, ponsel, dan laptop. Kalaupun ingin melarikan diri dengan cepat, aku bisa saja mencuri sepeda milik tetanggaku. Tapi, tidak ada waktu untuk itu. Aku terus menolehkan kepala untuk melihat apakah ia ada di belakang sana. Terus dikejar-kejar dengan rasa takut dan kegelisahan itu benar-benar bukan kombinasi yang bagus, setidaknya berikanlah satu-satu. Aku hanya anak remaja yang ingin hidup normal tanpa harus dikejar-kejar oleh teroris.
Aku menemukan tempat yang aman, sebuah gudang mobil yang sudah tidak dipakai. Aku menginjak ujung skate board-ku dan berlari masuk ke dalam gudang. Aku menarik oksigen banyak-banyak dan mengelap keringat yang terus bercucuran. Selama beberapa detik ada sesuatu yang membuatku tidak tenang. Lengan kiriku berdenyut-denyut dan semakin lama semakin sakit. Saat kutengok, warna merah pekat mewarnai lenganku. Empat garis cakar yang tidak lebar, tapi membuat darahnya terus menetes. Aku memperhatikan ke bawah, tetesan-tetesan darah berbentuk lingkaran itu berbaris seperti barisan semut, seolah memberi tanda kalau aku ada di sini. Gawat, teroris itu bisa mengetahui keberadaanku dari barisan darah tersebut.
Aku merobek ujung bajuku dan melilitnya di lengan. Hari ini begitu banyak darah yang mengalir. Aku tiba-tiba sadar akan sesuatu. Teroris yang biasanya kuketahui adalah manusia yang menggunakan topeng untuk menutupi identitasnya, dan membunuh orang lain dengan pisau atau senjata api. Tapi, teroris yang berada di rumahku barusan melukai lenganku dengan cakar yang kecil seperti cakar kucing, atau ada kemungkinan ia melatih dirinya sendiri untuk mencakar daripada menggunakan senjata tajam. Aku berbalik untuk melihat apakah gudang ini mempunyai celah untuk aku kabur lebih jauh lagi. Tapi, aku mendengar suara pijakan kaki yang sama di belakang.
Teroris mengerikan itu ada di sana. Berdiri dengan jubah yang tidak berantakan sedikitpun.
"Ma-maaf, mungkin kau salah orang," ucapku dengan gugup. Aku mengepalkan tanganku dengan erat, bersiap-siap untuk memukul jika ia datang mendekat. "Kau bisa mencuri barang lebih banyak di sebelah rumahku. Mereka orang yang kaya."
Digertak seperti itu tidak membuatnya bergeming. Ia malah berjalan maju dengan perlahan seperti robot. Sementara aku berjalan mundur dengan takut. Pasir-pasir di bawah kakiku saling bergemeresak dan akhirnya berhenti menabrak dinding gudang yang terbuat dari seng. Keringatku semakin mengucur dengan deras, dan darahku berkumpul di lengan kiri sampai menembus lilitan bajuku. Ia membuka kerudung jubahnya dan memperlihatkan kedua bola mata yang bersinar. Warna merah pekat itu memaku gerakanku di tempat.
Ia perempuan, dengan mata yang dingin, juga rambut yang berwarna hitam legam hingga ke bahunya. Perempuan itu membuka mulutnya dan memperlihatkan gigi taring yang tajam, dan yang lebih mengerikan, sebagian lidahnya terpotong.
"Raargh!"
"Aaagh!" aku ikut berteriak sambil menutupi wajahku dengan skate board, karena hanya itu satu-satunya pertahananku sekarang ini. Dapat kurasakan tangan dinginnya mencengkeram pergelangan tangan kiriku. Lalu, sayup-sayup aku mendengar suara dari jauh.
"Hentikan, Rukia!"
Perempuan kecil ini membeku saat itu juga. Ia tidak lagi memegang pergelanganku, tetapi sudah berdiri jauh dengan orang yang barusan berteriak itu.
"Si-siapa kalian?" tanyaku setelah mengumpulkan keberanian seadanya. Lengan kiriku gemetaran dengan hebat, dan kubuka mataku perlahan. Dua orang berjubah hitam yang sama berdiri beberapa meter di depanku. Salah satunya adalah perempuan yang dipanggil Rukia itu.
"Maaf membuatmu mengalami ketakutan yang cukup berat. Namaku Renji Abarai, dan ini Rukia Kuchiki. Kami berdua adalah vampir dari Soul Society."
(*)(*)(*)
Aku membuka mulutku dengan kaget. Vampir? Soul Society? Mimpi apa aku ini? Aku sedang tidak tidur, kan? Tolong jawab aku, hei, Insomnia. Pantas saja menit-menit terakhir yang mampu membuatku hampir terbunuh ini, banyak darah selalu ikut campur. Kalau tidak ada orang berambut merah itu, aku pasti sudah mati kehabisan darah oleh yang satunya.
"Vampir? Apa-apaan kalian? Ini dunia nyata, bukan Wonderland."
"Jangan melucu, Ichigo. Kalau tidak ada vampir, untuk apa kami berdiri di sini?"
Ia bahkan mengetahui namaku.
"Stalker gila yang menyebut dirinya vampir pasti terlalu banyak minum darah kemarin."
Vampir perempuan itu mendesis seperti ular yang akan mengeluarkan bisanya dari taring itu. Aku terkejut sambil berjalan mundur, dan tidak sengaja menabrak kaleng besar yang berisi paku dan baut di dalamnya. Isinya tumpah semua ke depan kakiku.
"Rukia ini vampir yang agak agresif jika kau berani mengejek kami. Jadi, jangan sekali-sekali mulutmu itu berkata yang lancang. Lalu, jangan terlalu dekat dengannya jika kau terluka, ia sangat mudah bereaksi jika mencium bau darah."
Aku teringat saat jariku tergores pisau. Apa mungkin karena darahku vampir perempuan itu menjadi liar, menyenggol gelas sampai pecah, karena tidak bisa menahan nafsu meminum darah manusia?
"Maafkan aku. Jadi darimana kalian semua mengetahui namaku? Dan untuk apa menakut-nakutiku seperti itu? Aku hampir mati terbunuh, kau tahu."
Ia tertawa dengan renyah, seolah aku manusia yang hampir mati dikejar vampir ini bagaikan aksi sirkus baginya. "Kami tahu dari Kisuke Urahara. Kami tahu semua tentangmu darinya."
"Urahara?" Aku mengenal nama itu. Ia laki-laki paruh baya yang membuka toko permen di sekitar sini. Aku sering membeli permen karet darinya. "Apa hubunganku dengan Urahara? Kenapa ia bisa mengetahui semua tentangku?"
"Karena ia juga vampir sama seperti kami. Ia memasukkan Hougyoku ke dalam tubuhmu, untuk menyegelmu agar tidak berubah menjadi vampir. Itu keinginan orangtuamu."
Tangan kananku sontak langsung memegang perutku. Selama aku makan tidak pernah ada benda-bernama-ho-ini di perutku. "Apa maksudmu keinginan orangtuaku? Mereka ingin benda-bernama-ho-ini merusak saluran pencernaan anaknya sendiri? Jangan percaya dengan Urahara itu, ia bapak-bapak mesum yang terlalu banyak kafein."
"Itu kenyataan, bodoh. Lagi pula itu bukan ditanamkan di dalam perutmu, tapi di jantungmu."
Dunia terasa berhenti berputar bagiku. Bagaimana ada benda aneh yang bahkan tidak kuketahui bentuknya bersarang di jantungku selama ini? Kalau begitu, seharusnya aku sudah tidak bisa hidup dan bernapas lagi.
"Benda itu adalah segel yang berbentuk seperti kristal." Seolah bisa membaca pertanyaanku, Renji menjawabnya. "Jika digunakan di dalam tubuh, maka akan menyegel seseorang untuk menjadi vampir. Tapi, jika disalahgunakan di luar tubuh, maka akan mengubah seorang vampir menjadi lebih kuat."
"Menyegel seseorang untuk menjadi vampir? Jadi, jika kalian menggunakan itu kepada orang lain di luar tubuh mereka, maka mereka akan berubah menjadi vampir?" tanyaku dengan ragu sambil menggaruk leherku. Jujur, ini semua seperti hapalan rumus-rumus matematika. Sesuatu seperti manusia-vampir, lalu vampir-yang paling kuat.
"Tentu saja tidak. Ini akan bereaksi saja kepada manusia yang mempunyai darah keturunan vampir. Kalaupun Urahara menanam itu di jantung manusia biasa, ia akan mati."
"Berarti aku... mempunyai darah vampir itu?"
"Positif."
Aku diam seribu bahasa setelah mendengar kenyataannya. Iya, kenyataannya adalah, selama aku hidup tujuh belas tahun dan pindah rumah sebanyak tiga kali, aku bertemu dengan dua orang vampir gila dan aku sendiri mempunyai darah keturunan yang sama dengan mereka. Hanya saja benda-bernama-ho-ini yang membuatku tetap normal seperti manusia biasa.
"Lalu, apa selanjutnya? Kalian ingin menarik keluar benda ini?" Aku menunjuk tepat di jantungku berdetak. Aku tidak merasakan ada yang mengganjal di sana.
"Itu keputusanmu. Kalau kau ingin menjadi vampir, maka itu yang akan kami lakukan. Tapi, kalau kau ingin tetap menjaganya, kami terpaksa mendampingimu terus."
"Apa? Mendampingi apa maksudmu?"
"Sesuai yang kukatakan barusan, jika Hougyoku digunakan di luar tubuh, maka akan membuat seorang vampir lebih kuat daripada apapun. Karena itulah kami harus menjaganya baik-baik sebelum ada yang menyalahgunakannya. Kami sebenarnya berharap lebih baik segel itu tetap berada di dalam tubuhmu, karena jika sudah dikeluarkan, akan banyak vampir yang datang untuk menggunakannya dengan cara yang salah. Karena kebanyakan dari mereka menginginkan kekuatan yang lebih," jelas Renji.
"Kalau begitu, kenapa tidak menitipkannya kepada Urahara? Aku yakin orang tua itu lebih handal dalam menjaga barang."
"Kedua orangtuamu yang memaksanya agar menanamkan Hougyoku itu kepada anak mereka, agar ia tidak berubah menjadi vampir. Kau seharusnya berterima kasih kepada orangtuamu karena sampai sekarang kau tidak perlu meminum darah pahit itu."
Baiklah, semua pertanyaanku sudah lunas dijawab. Aku tidak tahu harus bertanya apa lagi, ini bukan di Wonderland tapi ini benar-benar terjadi di hidupku, dunia nyata.
"Renji, ada apa dengan perempuan itu? Ia tidak berbicara sama sekali."
"Kupikir kau sudah melihatnya tadi saat ia membuka mulut," balas Renji sambil memegang pundak Rukia. "Ia satu-satunya vampir perempuan yang tidak bisa berbicara karena lidahnya dipotong."
"Di-dipotong?" tanyaku dengan kaget. Aku memang melihat dua pertiga dari lidahnya sudah tidak ada, kupikir mataku yang salah lihat karena semuanya gelap. Tapi, dari cara Renji berbicara dipotong kelihatannya memang bukan karena kesengajaan. "Tapi, bagaimana bisa?"
"Bolehkah aku?" tanya Renji dengan nada yang menyerupai seperti, beri aku semenit. Mereka berdua diam, tapi raut wajah Renji seakan meminta izin, lalu beberapa detik kemudian mengangguk. Aku berpikir, apakah Renji sedang berbicara dalam hatinya? Semacam memohon pada dewanya agar vampir perempuan itu tidak membunuhnya karena menceritakan kenapa lidahnya bisa dipotong dengan sengaja.
"Zaman dulu ada pemberontakan besar-besaran di Soul Society. Pemimpin mereka bernama Sousuke Aizen, ia juga vampir yang sederajat dengan kami, dan ia yang menginginkan Hougyoku itu. Mereka membunuh semua vampir di Soul Society tanpa pandang bulu. Begitu juga dengan kedua orangtua Rukia dan orangtuaku. Ibu Rukia diperkosa lalu meninggalkannya sampai mati, ayahnya dibakar hidup-hidup. Dan Rukia juga yang waktu itu masih kecil, mereka memotong lidahnya hingga sampai sekarang tidak bisa berbicara lagi. Sementara aku dipecut berkali-kali seperti kuda dan lukanya tidak bisa hilang."
"Kejam sekali," gumamku dengan mata membelalak mendengar pemberontakan itu. Terdengar seperti orang-orang barbarian yang menyiksa lawannya di luar dugaan. Rukia hanya menutup matanya dengan tenang. "Apakah cara berpikir mereka sesadis itu?"
"Lebih sadis daripada yang kaubayangkan. Ya, ceritanya cukup sampai di sini saja."
Renji mengatakan semua itu dengan tenang, seolah orangtuanya mati dengan cara yang mengenaskan itu tidak lebih mengerikan daripada menonton film horor. Aku menelan ludah dengan susah payah. Bagiku pembunuhan sadis itu lebih mengerikan daripada mengetahui aku adalah seorang vampir sama seperti mereka. "Oh, Renji, lalu bagaimana kau berkomunikasi dengan vampir perempuan itu?"
"Tentu saja dengan telepati. Kami saling berbicara dalam hati dan dengan begitu aku tahu apa yang sedang Rukia pikirkan." Renji lalu diam sejenak. "Oh, Rukia baru mengatakan kalau ia lebih senang dipanggil Rukia daripada vampir perempuan, dan ia meminta maaf padamu karena sudah mencakar lengan kirimu."
"Aku camkan itu baik-baik," tukasku pelan sambil memegang lengan kiriku yang masih berdenyut-denyut. Gerakannya ternyata begitu kasat mata saat aku menabrak bahunya tadi, dan ia menggunakan tangan kanannya untuk mencakarku. Tapi, aku sama sekali tidak merasa ia menyentuhku, hanya ketika sampai di sini aku baru merasakan sakitnya.
"Oh, satu lagi," ucap Renji sambil mengangkat jari telunjuknya ke atas. Ia mengerutkan alisnya dalam-dalam, sementara Rukia memejamkan matanya dengan tenang, seolah-olah sedang tertidur.
"Ia tertarik dengan darahmu, Ichigo."
(*)(*)(*)
Aku akhirnya pulang bersama Rukia di belakangku. Karena Renji barusan mengatakan kalau Rukia tertarik dengan darahku, maka ia memutuskan lebih baik vampir perempuan ini yang mendampingiku sampai Soul Society, atau siapalah, bisa menangkap Aizen dan pemberontak yang lainnya.
Atau sampai aku mau mengeluarkan Hougyoku ini.
Dengan berpikir berkali-kali, aku akhirnya memutuskan untuk membiarkan Hougyoku ini tetap berada di dalam tubuhku. Aku belum mau berubah menjadi vampir mengerikan yang pasti harus meminum darah pahit setiap harinya. Aku masih menginginkan hidup normal. Hei, tapi pikir baik-baik. Renji tidak ada di sini, lalu siapa yang akan menerjemahkan kosa kata dari Rukia jika ia lapar atau apa, aku bahkan tidak bisa menggunakan telepati. Dan satu-satunya yang mengerikan jika serumah dengan vampir yang mengatakan bahwa darahmu membuatnya tertarik, maka kau termasuk ke dalam rantai makanannya. Saat tiba di pekarangan rumah, aku mendapati rumahku dipenuhi oleh polisi berbaju serba hitam. Ah, aku baru ingat kalau tadi aku menelepon mereka karena kukira di rumah ada teroris.
Rukia langsung mengeluarkan peringatannya. Ia lagi-lagi mendesis seperti ular yang mencoba untuk melindungi majikannya. Ya, itu aku.
"Rukia, bisa kau diam?" tanyaku dengan gugup saat polisi-polisi itu mengetahui keberadaanku, aku menyembunyikan tubuh mungilnya di belakang punggung, sementara polisi-polisi itu sudah memberi peringatan untuk mengangkat tanganku ke udara.
"Maaf, aku tadi yang menelepon 911. Kupikir di rumah sedang ada teroris yang mengejarku, ternyata itu adalah adikku sendiri yang sedang bermain kejar-tangkap dengan jubah Darth Vader, hahaha," aku tertawa dengan datar, mencoba mencairkan suasana sementara seluruh senter menyorot ke arahku. Sinarnya membuat mataku sakit karena daritadi aku berada di tempat yang gelap.
"Kau yakin rumah ini baik-baik saja?"
"Ahaha, yeah tentu saja!" Nadaku semakin meninggi. "Apa yang membuat kalian berpikir wajah ini meragukan? Maaf sekali lagi, aku terlalu buru-buru jika melakukan sesuatu dan aku terlalu paranoid."
Polisi-polisi itu diam, lalu salah seorang dari mereka mengangguk kepada kawan-kawannya. Mereka mengatakan, "Jaga dirimu." Lalu pergi melesat dengan mobil mereka masing-masing. Aku menghela napas lega dan mendapati rumah orang lain yang kusewa ini masih dalam keadaan normal. Dan berita baiknya, lampu sudah menyala.
Saat masuk ke dalam rumah, mata Rukia terus melotot, seakan-akan kedua bola matanya itu bisa keluar dari tempatnya. Apakah vampir punya kebiasaan buruk seperti, tidak berkedip selama dua puluh empat jam, diam seperti patung atau bergerak tiba-tiba dan menancapkan taringnya. Aku harap tidak seperti itu. Masalahnya aku tidak mempunyai boneka untuk ia bermain dan digigit-gigit. Hei, sadar Ichigo, dia vampir bukan bayi.
"Rukia, kau ingin minum sesuatu, mungkin? Atau makanan ringan?" tanyaku menawarkan sambil berjalan ke dapur untuk mencari makanan. Kata-kata Renji terngiang-ngiang di kepalaku saat aku hampir menginjak pecahan gelas yang berserakan di bawah, aku cepat-cepat melompat untuk menghindarinya sebelum kakiku terluka dan Rukia menghisap darahku sampai habis. Aku menghela napas dengan panjang dan keras, memunguti pecahan-pecahan itu, menimang-nimangnya lalu membuangnya keluar jendela. Ayo pikir baik-baik. Apa makanan pokok vampir selain darah? Aku tidak mempunyai darah beku di lemari es. Argh! Kenapa bukan Renji saja yang berada di sini?
Aku mendengar Rukia tiba-tiba mengubrak-abrik sesuatu di kamarku. Apa yang sedang ia cari di sana sampai suaranya gaduh sekali? Kemudian aku langsung berlari menyusulnya dan mendapati vampir perempuan itu menulis-nulis di buku kecil yang baru ia temui di laciku. Menyebalkan sekali mengetahui bagaimana ia membuat kamarku berantakan dalam waktu satu menit.
"Rukia," aku menghela napas dengan pasrah, seolah-olah aku ini adalah babysitter-nya. "Apa yang kaulakukan? Kalau membutuhkan sesuatu kau tinggal—" aku cepat-cepat menutup mulutku, mengatakan berbicara padaku akan terdengar tabu baginya. Ia mendongakkan kepalanya yang kaku seperti patung itu, matanya masih melotot. Apakah vampir tidak mempunyai emosi? "Tidak jadi, maaf lupakan saja. Apa yang sedang kau tulis di sana?"
Aku sambil membereskan kembali baju-bajuku yang berserakan karenanya, melirik bagaimana tulisan tangan seorang vampir. Ternyata lebih bagus bahkan dari teman-teman perempuanku di universitas. Aku duduk di sampingnya untuk membaca tulisan itu lebih jelas. Ia melototiku dengan kepala yang berputar pelan, aku menelan ludah, berusaha sekeras mungkin untuk tidak terlihat takut.
Saat membaca tulisan itu, jantungku serasa lepas. Firasatku benar.
Aku lapar, kau mempunyai darah hewan untuk kuminum?
To Be Continued
Halo semuanya! Ehem, untuk NYU yang ada proyektor dan New Jersey yang gak ada, atau makalah yang kudu diketik komputer, itu cuma karangan saia aja kok. Gak tau bener apa nggak, itu cuma untuk memperkuat suasana aja XD *alesan*
Ngomong2, di sini udah banyak ya yg buat vampir fic =.=a, dan saia jadi ikut2an ngeramein. Maaf sekali kalau idenya pasaran, tapi sebisa mungkin saia buat agak berbeda. Kebanyakan yg jadi vampir pemeran utamanya kan Ichigo, sekarang saia ubah menjadi Rukia *jeng2* tapi akhir2nya nanti sama juga kok XD *gelepak!* Di sini kepribadian Rukia seperti, ehm, monster berdarah dingin. Dan maaf sekali lagi, saia membuat princess kecil kita ini gak bisa ngomong T.T, kan saia udah bilang akan membuat 'sedikit' perbedaan XD *kebanyakan bacot ah*
Yak, karena udah kebanyakan vampir fic, ini lebih baik dilanjut apa dihapus? Semua komentar Shizu terima, kok :D. Lalu untuk Owwie Owl, aduh maafkan daku harus membuatmu menunggak ficnya sampe saia publish yg satu ini T.T. Saia akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengecewakanmu dan Readers—kalo fic ini minta dilanjut.
Yosh, please Review and saiyonara~! :D
