"Kuroko Tetsuya, 22 tahun, psikolog yang merangkap menjadi komposer."
Alexandra Garcia melihat baik-baik tiga lembar kertas yang diberikan kepadanya. Dahinya berkedut, agak tidak yakin dengan tiga hal yang baru saja ia katakan tadi. "Kuroko, apa kamu yakin akan menerima pekerjaan ini? Aku tahu aku memang sedang kesulitan karena hal itu, tapi kau tidak perlu sampa—"
"Aku tidak keberatan, Alex-san. Anggap saja itu untuk menghilangkan waktu jenuhku setelah lulus beberapa hari yang lalu."
"...Hahaha..." Wanita berambut pirang itu tertawa hambar. Ia melempar CV yang baru saja sampai ke rumahnya. sekaleng minuman bersoda itu ia teguk untuk menghilangkan rasa kering di tenggorokannya. Mantan anak didiknya waktu SMA bahkan tidak pernah berubah secuilpun. "Tapi, Kuroko, apa kamu benar-benar sudah yakin? Aku takut kalau mentalmu terganggu setelah bekerja nanti."
"...Alex-san, aku bukan anak kelas satu SD yang akan merengek karena hal sepele. Ayolah."
"Hee~" Alex tersenyum—aneh. Ia menempelkan jari telunjuk ke dagunya. Jelas sekali, dia malu. "Baiklaaah. Aku akan mengurusnya. Kalau tidak ada gangguan, mngkin 2 minggu lagi kau bisa mulai bekerja. Jadi—"
"Mohon bantuannya, Alex-sensei."
.
.
.
The Kindergarten Which Kuroko Teaches © gyurachi
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Warning: standard applied
.
#1: Kuroko Tetsuya, the New Teacher
.
.
.
"Senseeeei, Kise mau main sama Kouzou-senseei!"
Rengekan dari anak kecil berambut pirang itu membuat Alex harus menghela napas beberapa kali. Padahal sudah jelas kalau guru mereka sudah berhenti bekerja untuk beristiharat di kampung halamannya. 'Pak Tua Ubanan sialan itu kenapa harus keluar di saat anak semanja ini baru masuk, sih—' Alex kembali menghela napas.
"Senseeei, Kouzou-sensei di manaaaa—uwaaa!"
Manik amber-nya melebar, tubuh tinggi Alex tiba tiba berada di bawahnya. Perempuan itu mengangkatnyanya, tinggi sekali. Bahkan kakinya bisa saja menendang wajah si guru jika ia merasa tidak terima diperlakukan seperti anak kecil oleh Alex.
Tunggu, Kise Ryouta memang anak kecil kan?
"Kise-kun, dengarkan sensei, oke. Kouzou-sensei sekarang sudah tidak di sini lagi; dia sudah kembali ke kampung halamannya." Alex menatap lekat-lekat iris terang Kise, seakan memberikan komando kepada Kise untuk tidak membuat keributan di ruang guru pada saat istirahat sedang berlangsung. "Kouzou-sensei harus mendapat istirahat yang cukup. Kise-kun sendiri tahu kan kalau Kouzou-sensei sudah tua? Orang tua butuh istirahat lebih, sayang. Kalau mereka terus bekerja, nanti mereka sakit. Kouzou-sensei juga akan sakit kalau terus-terusan main sama Kise. Kise tidak mau kalau Kouzou-sensei sakit, kan?" Alex bertanya di akhir nasihatnya, dengan senyum manis yang membuat Kise terdiam barang sejenak. "Jadi, bagaimana? Jangan sedih terus kalau Kouzou-sensei tidak ada, ya? Nanti sensei ikut sedih, lho."
Kise masih diam. Tapi setelahnya, bibir mungilnya terbuka. "Tapi, Alex-sensei. Kalau Kise kangen sama Kouzou-sensei bagaimana?"
Dalam hatinya, Alex tertawa penuh kemenangan. Satu dari banyak anak yang mengajukan protes kepada dirinya perihal kepergian Kouzou Shirogane sudah bisa ia taklukkan. Lumayan mudah ternyata, asal si anak tidak membawa-bawa barang berbahaya seperti gunting—ah, sudahlah. "Nanti bilang sama sensei kalau Kise-kun rindu sama Kouzou-sensei. Sensei akan bantu Kise-kun supaya bisa menelpon. Mau?"
Bocah 4 tahun itu matanya berbinar. Tampaknya antusias dengan penawaran yang Alex berikan. "Aku mau, sensei!"
Wanita berumur 30 tahunan itu mengangguk mantap. "Baguslah. Nah, sekarang—" Alex bangkit dari kursinya. Menurukan Kise, dan mengacak-acak rambutnya. "Ayo kita main sama teman-teman Kise-kun sambil menunggu gu—HYAAAAAAA!"
Horror. Benar-benar horror.
Tepat setelah Alex menatap lurus ke depan, tiba-tiba saja ada sosok laki-laki dengan kulit pucat yang menatapnya seperti akan menagih sesuatu dari dirinya. Kulit yang pucat sekali, dengan rambut biru muda, kaus v-neck putih polos dengan cardigan abu-abu, celana jeans hitam panjang, flat shoes biru keabu-abuan, messenger laptop bag warna cokelat gelap yang tidak asing—
"—a ... hah?"
Kelopak matanya berkedip beberapa kali. Ia menatap sosok yang tiba-tiba saja berada di belakang Kise dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan. Kise sendiri hanya diam dengan wajah yang terkejut—untungnya, tidak se-over Alex—saat melihat seorang manusia berjenis kelamin laki-laki berdiri dengan wajah super datar sekalipun dianggap hantu oleh dua orang sekaligus. Tanpa bersuara, pula.
"Maafkan aku. Apa aku mengangetkan kalian?"
.
.
.
"Tadi itu benar-benar—"
Wanita berambut pirang itu menghela napas panjang. Ia berjalan di belakang pemuda yang hawa keberadaannya bisa menyamai hantu. "Kuroko, kau kan psikolog, tapi kenapa kau tidak bisa mengambil keputusan yang tepat untuk tidak mengagetkanku, sih..."
Pemuda yang dipanggil Kuroko itu melihat langit-langit lorong yang diisi oleh gambar-gambar yang menarik perhatian. "Aku tidak ingin merusak momentum Alex-san yang sedang menangkan muridnya yang manja."
"..." Alex hanya diam seribu bahasa. Wajahnya kesal. Tapi dia memang benar. "—Tapi, Kuroko," Wanita keturunan Amerika itu berhenti di depan pintu kelas, ia berbalik dan menatap Kuroko dengan ekspresi serius. "Kelas yang akan kau ajari ini ... semua guru menyebutnya sebagai 'Kelas Kutukan'. Aku sudah pernah cerita, kan?"
Tiba-tiba suasana jadi tegang.
Dan Kuroko masih dengan wajah super datarnya yang menjengkelkan.
"Justru karena Alex-sensei sendiri yang mengatakan 'kelas itu jadi kelas terkutuk karena anak-anaknya yang berperilaku tidak wajar' itulah yang membuatku tertarik."
Alex menghela napas, tidak ada gunanya untuk menghancurkan semangat seorang Kuroko Tetsuya jika ia sudah bersungguh-sungguh. Bahkan dirinya sekalipun. Maklum, kedua orangtuanya sudah meninggal sejak ia masih duduk di bangku SD kelas 3. Itu membuatnya jadi punya sifat yang sulit ditebak.
"Oke, jadi kau sudah sepakat untuk tidak lari ke pelukanku setelah masuk ke kelas ini, kan?" Alex tertawa renyah, ia menepuk pundak Kuroko beberapa kali.
"Aku tidak pernah minta dipeluk."
"Kau pernah menangis di pelukanku waktu pemakaman orangtuamu."
"Itu wajar."
"Aku juga ingat bagaimana bayi Kuroko menangis waktu tamat S2—"
"Maaf, Alex-sensei, aku tidak mau membuat anak-anak itu mengganggu."
"Pffft—" Alex berusaha menahan tawanya. "Baiklah. Baiklah. Tunggu di sini sebentar," titahnya. Kemudian membuka pintu kelas, menyapa anak-anak yang ada di dalam kelas dengan riang.
Sementara Kuroko, laki-laki itu memutuskan untuk menyandarkan tubuhnya di pintu kelas, menunggu suara Alex yang akan memanggilnya. Manik birunya merasa enggan untuk mengintip anak-anak lucu dan manis yang ada di dalam kelas itu. Supaya lebih berkesan, begitulah kata hatinya.
"Kuroko-sensei, masuklah~"
Senyumnya melebar, jantungnya berdetak lebih cepat. Walau sudah sering bertatap muka dengan banyak orang—di beberapa seminar—rasanya ini akan jadi lebih hebat daripada seminar. Ia tidak akan melihat wajah-wajah tua menyeramkan yang tersenyum ke arahnya untuk maksud tertentu, ia akan melihat sekumpulan anak-anak manis yang tersenyum polos apa adanya. Anak-anak yang manis—
'...hah?'
Alex tersenyum manis. Sangat menakutkan, dan horror. Seakan ia inigin mempermanis suasana tidak enak yang baru saja dirasakan Kuroko. "Ayo sapa murid-muridmu, sensei~"
Kuroko menelan salivanya sendiri. Ia tarik lagi ucapannya soal 'anak-anak yang manis', dan 'anak-anak manis yang tersenyum polos apa adanya'. Pemandangan itu tidak akan pernah ia lihat—ia yakin, seratus persen yakin dengan persepsi yang baru saja terlintas di otaknya 3 detik setelah melihat anak-anak itu, anak-anak yang akan menemaninya di kelas itu.
Tapi, Kuroko masih ingat posisinya. Ia harus segera memperkenalkan dirinya di depan murid-murid itu. "...Kuroko Tetsuya. 22 tahun. Mulai hari ini aku akan menjadi guru pembimbing kalian. Jadi—" Tidak sengaja, ia melirik meja bundar yang dikelilingi oleh lima orang anak dengan rambut warna-warni.
Dan satu anak berambut merah, sedang memainkan dua gunting besar yang tidak sesuai dengan tangannya, dan menatapnya dengan tatapan yang menakutkan untuk golongan anak kecil.
"—Jadi, err ... mohon bantuannya."
.
#1: END.
Next week:
#2: Redhead War (Akashi vs Kagami)
.
.
.
a/n: Fanfiksi Kurobasu pertama saya~ Jadi mohon maaf kalo masih ada yang fail T_T /ogiji/ Btw, ini bakal saya jadikan kumpulan oneshot—atau drabble?—yang isinya random abis. Chapter satu ini anggaplah jadi intro buat ke depannya(?).
Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca. :) Berniat meninggalkan jejak?
See you next week!
Syugah smileu, gyurachi—20140809
