Arima Kishou, (32) mempunyai kehidupan seperti orang tua-orang tua di ibu kota pada umumnya. Ia dituntut untuk pintar-pintar mengakali waktu supaya bisa mengantar jemput anak semata wayangnya ke Kindergarten tepat waktu sementara setumpuk pekerjaan dan serangkaian meeting di kantor sudah senang hati menyambutnya setiap hari selama setahun. Begitu juga dengan Haise yang baru berusia lima tahun. Setiap senin sampai jumat, bocah laki-laki ini terpaksa mengikuti jadwal Papanya; bangun pagi-pagi dan tidur malam lebih awal, serta sarapan di Kindergarten yang menunya tidak pernah dia sukai. Akhir pekan adalah momen yang paling dinanti-nanti oleh keduanya; bagi Arima artinya tidur pulas sampai siang hari dan memblokir dirinya dari pekerjaannya dan bagi Haise artinya menonton tv sampai larut malam dan makan apapun yang ia suka, plus bermanja-manja dengan orang tua satu-satunya yang sangat ia cintai. Pada cerita kali ini, mari lupakan ruang lingkup Tokyo Ghoul sejenak dan melihat keseharian Arima Kishou sebagai Hot Daddy yang didambakan seluruh istri manapun di dunia.

Hot Daddy

Pairs: Arima Kishou x Haise Sasaki atau lebih tepatnya DaddyArima x BabyHaise

Rated: K

Chapter 1: Pasta Gigi

Arima terbangun saat merasakan bahu kirinya diguncang oleh sebuah tangan yang mungil. Ia membuka mata sambil berusaha keras untuk tetap terlelap. Terlalu muak baginya untuk bangun pagi tiap hari dan bergegas, ia menginginkan dua hari di akhir pekan ini untuk tidak terbangun sampai siang hari seperti yang sering dilakukannya saat muda dulu. Namun hal itu hampir mustahil terjadi bila seorang anak hadir di antaramu, pada saat ini bahkan seluruh orang dewasa pun akan berharap untuk tidak punya anak.

Rasa tanggung jawab sebagai seorang ayah tunggal mendesak Arima untuk mengabaikan letihnya, ia lebih takut pada bayang-bayang bahaya yang akan terjadi bila membiarkan Haise bermain sendirian ketika ia terlelap.

"Papa?" Panggil Haise sambil menyilangkan kedua kaki mungilnya di punggung sang Papa, ia mengusap salah satu matanya dengan seluruh tubuh yang masih bergetar.

Arima memutar tubuh sambil mengangkat lengannya. Ia merangkul tubuh ringan Haise hingga bocah itu terbaring ke dekapannya, membuat kedua matanya kembali terbuai akibat kehangatan dan wangi khas anak-anak yang menguar dari pelukannya. Ia sudah terbiasa membangunkan Haise dengan kecupan selamat pagi di wajah anak semata wayangnya. Bibirnya akan memenuhi seluruh wajah Haise sampai ia meronta kegelian dan terbangun dengan ceria.

"Ohayou, Papa." Sahut Haise kecil dengan antusias, bocah berambut hitam putih itu mengintai sosok papanya yang lebih besar darinya itu sambil terkikik tanpa henti.

"Ohayou, Haise." Bisik Arima pada gumpalan rambut Haise yang sehalus kapas, ia mengeratkan pelukannya saat merasakan kepala mungil anak lima tahun itu mengusap-usap baju tidurnya.

"Apa kamu sudah bersemangat untuk hari ini?" Arima bisa merasakan persetujuan dari Haise setelahnya. Kepala mungil Haise menyelinap dari dekapannya, kedua pipinya yang merona terlihat masih sembap.

"Maukah kamu mengizinkan Papa tidur sebentar lagi?" Pintanya pada putra semata wayangnya.

"Haise, baby. Kamu terlalu empuk untuk kulepaskan, beri aku lima menit untuk tidur denganmu seperti ini okay?" Gumam Arima bersikukuh, dekapan seperti ini melemahkan kedua matanya. Ia berusaha membuat Haise kembali tertidur meskipun ia tahu Haise bukan anak yang bisa kembali tidur setelah bangun.

"No, Papa~~" Haise menggeleng sambil memberi perlawanan terhadap pelukannya.

"Tetapi kamu benar-benar seempuk boneka, sayang. Papa benar-benar tidak ingin bangun." Rajuk Papa Arima sambil menggelitik punggung Haise. Tangan besar itu menyulap kikikan bocah itu menjadi tawa yang tidak sanggup ditahan.

"Papa tidak boleh tidur lagi." Ujar Haise saat tawanya reda. "Papa sudah janji mengajakku lari pagi jadi Papa harus bangun."

"Ayo, Papa. Bangun." Seru Haise berusaha melepas dekapan kuat ayahnya yang masih gemas memeluknya.

"Oh, kamu masih ingat rupanya?"

"Yup. Minggu lalu Papa membatalkannya karena kita harus pergi ke Spring Show di Kita (a.n: Singkatan Kindergarten atau TK) jadi Papa menjanjikannya minggu ini kepadaku. Papa-harus-bangun—" Tangan mungilnya mengguncang-guncang bahu Arima.

Haise selalu mempunyai ingatan yang kuat, atau yang Arima rasa seluruh anak kecil di dunia mempunyai ingatan yang kuat tentang petualangan-petualangan menyenangkan yang dijanjikan oleh orang tua mereka, sambil tersenyum dan berusaha menguatkan seluruh panca inderanya, Arima pun akhirnya terbangun dengan sempurna. Namun sebelum ia siap memijakkan kaki, Arima menyerang pipi mungil Haise yang seempuk kapas hingga anak itu menggelinjang.

"Kamu tidak tahu betapa empuknya dirimu, sayang~~" Kalimatnya terputus oleh kecupannya. Ia bisa menangkap tawa Haise yang semakin keras dan bersemangat.

"Stop, Papa.-hihihi-Mulut Papa bau keju-hihihi." Kedua tangannya berusaha menghentikan serangan papanya, meskipun itu tidak berhasil karena berat tubuh papanya yang tiga kali lipat lebih berat.

"Apa kau lupa siapa yang membuat kita menghabiskan sebungkus keju parmesan semalam?" Tuduhnya. "Tanpa gosok gigi? biar aku cium wangi mulutmu." Haise segera mengunci bibir mungilnya dengan kedua tangannya sambil berusaha menahan tawanya.

"Come on, buka mulutmu sayang dan kita bandingkan siapa yang lebih bau, come on-, urgh!" Arima menutup hidungnya dan berusaha untuk terlihat menderita karena bau mulut bocah itu, Haise kembali tertawa sambil memperlihatkan giginya.

"Kamu baru saja membuatku menderita karena bau mulutmu sayang."

"Hihihi—" Bocah itu menggeleng saat Arima mengangkat tubuhnya. Mereka berdua duduk berhadapan.

"Baiklah Kawan kecilku. Kau tahu apa harus kita lakukan hari ini." Diktenya sambil mengusap kepala Haise dengan lembut.

"Bangun dan lari pagi lalu kembali lagi ke rumah untuk mandi dan sarapan, lalu membereskan kekacauan tadi malam, pergi berbelanja, mengunjungi perpustakaan lalu kembali ke rumah, menyiapkan makan malam, menonton sampai larut lalu kembali tidur!" Jawab Haise dengan lantang sambil menghitung kegiatan mereka dengan jari mungilnya.

"Exactly. Tapi sebelum kita melompat ke tahap yang lebih besar itu, kamu tahu apa yang harus pertama kali dilakukan, bukan?"

"Mencuci muka dan gosok gigi?"

"Bravo, that's my boy." Arima mengusap kepala bocah itu lagi sebelum menurunkan tubuhnya dari tempat tidur.

Haise mengekor di belakangnya meski ia berusaha keras untuk melewati tumpukan bed cover yang menyulitkan tubuhnya. Ia berlari menjemput ayahnya yang sudah ada sampai di kloset terlebih dahulu.

"Kamu mau gosok gigi duluan, sayang?"

"Yep!" Haise menarik pijakan kaki dari bawah wastafel dengan hati-hati kemudian berdiri diatasnya dan memutar keran air sampai suhu yang diinginkannya. Arima mengawasi gerak-gerik bocah disebelahnya dan memperingatkan anak laki-laki itu untuk melipat lengan piyamanya.

"Apa kamu dapat suhu yang diinginkan?" Ia bertanya sambil memastikan suhu air dari keran tidak terlalu panas. Arima memutar kepala keran itu dengan perlahan sampai ia yakin suhu air tidak akan membakar tangan anaknya, ia membantu Haise meraih sikat dan pasta giginya dan sisanya ia serahkan seluruhnya pada bocah berambut hitam putih itu.

Haise mengeluarkan pasta giginya sampai sebesar biji jagung dan mulai menggosok gigi depannya. Arima mengawasi Haise dari cermin besar dihadapan mereka. Memperhatikan bagaimana bocah itu berkonsentrasi dan berhati-hati saat menyikat giginya.

Orang tua dimanapun akan merasa aman bila melihat anak kecil mereka bisa menjaga diri mereka sendiri, Arima cukup bersyukur putranya menjadi salah satu dari anak-anak yang tidak memerlukan pengawasan ekstra, ia sudah cukup disibukkan oleh pekerjaannya sementara pekerjaan menjadi orang tua tunggal bukan pekerjaan yang laki-laki biasa bisa lakukan.

Arima meraih gelas disposable dari laci di sebelahnya dan memberikannya pada Haise. Bocah itu membuang residu pasta gigi dari mulutnya kemudian mengisi gelas disposable itu dengan air yang mengalir untuk berkumur.

"Sudah tiga menit, sayang?" Ia bertanya sambil meraih obat kumur untuk Haise di depan cermin.

Haise menggangguk dengan sisa air yang memenuhi dagunya.

"Good." Ia menuangkan sedikit cairan obat kumur itu di gelas Haise, lantas bocah itu meneguknya dengan ragu. Kedua pipi Haise menggembung bergantian saat ia meneguk seluruh obat kumurnya selama beberapa detik, ketika ia tidak mampu lagi bertahan dengan rasa pedas di mulutnya ia memuntahkan seluruh obat kumur itu pada wastafel dan Arima membantu untuk membasuh wajahnya yang terlihat tak nyaman.

"Papa aku tidak pernah suka rasa obat kumur itu, mulutku terasa pedas."

"Apa kamu lebih memilih karies merusak gigimu sampai kamu tidak bisa makan coklat kesukaanmu lagi?"

"Enggak." Haise menggeleng dengan ketakutan membayangkan dirinya tidak bisa makan coklat lagi.

"Tuh kan? Berkumur dengan obat kumur itu bukan apa-apa lagi saat kamu bisa menikmati seluruh coklat-coklatmu, bukan?" Haise menyandarkan dagunya di ujung keramik wastafel yang dingin, ia memperhatikan Arima yang sedang mengisi odol di sikat giginya dengan mata hitamnya yang penasaran.

"Apakah obat kumur itu benar-benar membuat karies menjauhi gigiku?"

"Yeah, sure." Jawab Arima sekenanya kemudian memasukan kepala sikat gigi itu ke mulutnya.

"Tetapi Papa, Shirazu dan Saiko bilang aku tidak harus menggosok gigiku setiap hari, mereka bilang pasta gigi itu justru merusak gigiku dan akan membuat gigiku jadi seperti gigi Miss Akira."

"Yeah?" Tanya Papanya dengan antusias, mulutnya masih di penuhi oleh kepala sikat gigi.

"Yeah, Miss Akira punya gigi ekstra disini-menunjukkan gigi taring kiri sebelah atas- Shirazu dan Saiko bilang pasta gigi yang dipakai Miss Akira membuat giginya tumbuh dua kali lebih banyak, Papa."

"Bukankah itu bagus?"

"Tidak Papa, Papa harusnya melihat gigi Miss Akira, dia punya gigi ekstra yang tumbuh dari pasta gigi!" Jelas bocah berambut hitam putih itu dengan dramatis. Dan penjelasan itu sukses membuat Arima memuntahkan seluruh busa dimulutnya, ia membasuh mulutnya dengan air sebelum melanjutkan penjelasannya.

"Sayang, pasta gigi tidak bisa menumbuhkan gigi ekstra. Itu namanya gingsul dan itu terjadi karena ada gigi baru yang sudah tumbuh sebelum gigi bayimu lepas."

"Jadi pasta gigi yang dipakai Miss Akira tidak menumbuhkan gigi ekstra? Apakah pasta gigiku bisa?"

"No, baby." Arima berkumur sebelum melanjutkan penjelasannya. "Semua pasta gigi tidak bisa menumbuhkan gigi ekstra, gingsul itu terjadi secara alamiah sayang bukan karena pasta gigi."

"Apakah gigiku akan terlihat seperti gigi Miss Akira saat aku dewasa nanti, Papa?"

"Tidak, sayang. Selama aku yang mengawasi gigimu dan kamu merawat gigimu dengan baik, gigimu akan tumbuh sempurna tanpa gigi ekstra."

"Dengar, tugas dua benda ini- ia mengangkat pasta gigi dan obat kumur dari depan cermin- adalah berperang mati-matian untuk melindungi gigimu dari karies yang ingin menjajah gigimu, okay? mereka bukan ramuan yang dibuat untuk menciptakan gigi ekstra, sayang. Katakan padaku apakah Shirazu dan Saiko rajin menggosok gigi?"

"Tentu tidak, karena mereka takut gigi mereka tumbuh dua kali lebih banyak."

"Dan kamu bisa lihat sendiri gigi-gigi mereka. Papa yakin anak Papa adalah murid dengan deretan gigi yang paling bersih di kelas, bukan begitu?" Ungkap Arima setelah mengelap wajahnya dengan handuk bersih. Ia merunduk dan mencuil hidung anaknya. "Kamu bisa jelaskan pada Shirazu dan Saiko kalau pasta gigi bukan penyebab gigi ekstra Miss Akira, setuju?" Bocah berumur lima tahun itu pun menyetujuinya dengan semangat dan mereka pun meninggalkan kloset untuk bergegas.

Arima menggiring Haise ke kamarnya untuk berganti pakaian. Haise melompat sambil berlari seperti kangguru. Bocah itu tidak bisa menahan kegembiraannya karena akhirnya kegiatan yang di impikan bersama papanya terlaksana hari ini, tanpa buang waktu ia segera membuka pintu lemari pakaiannya dan membiarkan ayahnya memilih pakaian untuk dirinya.

Bocah berambut hitam putih itu bisa saja memilih untuk tetap tenang, namun ada hal penting yang mengganggu pemikiran mungilnya sehingga ia kembali berkicau. "Papa lupa pakai kacamata, boleh aku yang mengambilkannya untuk Papa?"

"Oh," Tidak heran penglihatannya begitu buram disini, lagi-lagi Arima lupa mengenakan kacamatanya. "Terima kasih, sayang. Kamu benar-benar sebaik malaikat. Apa kamu tahu dimana aku meletakkannya?"

"Apakah di atas laci di sebelah tempat tidur?"

"Tepat, sayang. Kamu bisa mengambil mereka disana."

Haise menghilang secepat cheetah sebelum Arima menyelesaikan kalimatnya dengan sempurna dan beberapa saat kemudian ia kembali dengan membawa kacamata ditangannya dengan hati-hati. Ia menawarkan kacamata dari kedua tangan mungilnya itu kepada Papanya tercinta.

"Terima kasih, Haise. Sekarang Papa bisa melihat lebih baik." Ujar Papa Arima sambil meletakkan kacamata itu dimatanya. Ia menarik baju mungil dari laci paling atas kemudian menawarkannya pada Haise yang ada dibelakangnya.

Haise menyambut kaos berbahan jersey itu dan tak lupa mengucapkan terima kasih kemudian bergegas mendekati tempat tidur kecilnya dan mulai membuka kancing piyamanya satu persatu. Haise kecil memasukkan kepalanya ke lubang kaos berwarna merah itu dengan tidak sabar sehingga kakinya terantuk dan membuatnya terjerembap ke tempat tidurnya sendiri.

"Ouch!" Pekiknya teredam oleh kaosnya sendiri, Arima berbalik dan memperingatinya supaya lebih pelan dan berhati-hati. Ia bergegas menyambangi Haise dan membantunya mengeluarkan kepala mungilnya.

"Pelan-pelan, nak. Ini bukan hari senin jadi kita tidak perlu buru-buru, kamu punya banyak waktu." Jelas Papa Arima dengan lembut saat ia menarik kaos mungil itu hingga melewati kepala anak laki-lakinya.

"Sorry, Papa." Seru bocah mungil itu sambil tersenyum. Selanjutnya Arima duduk di tepi tempat tidur dan mengawasi Haise sampai ia selesai memakai kaosnya, tangan mungilnya memungut piyamanya yang teronggok di lantai, kemudian masih sambil terduduk berusaha melipat bajunya terlebih dahulu dengan susah payah. Bocah itu berkonsentrasi melipat lengan piyama yang panjang supaya rapi tanpa mempedulikan papanya yang tengah tersenyum mengawasinya. Ia senang melihat bayi mungilnya kini tumbuh menjadi jagoan kecil yang mandiri dan antusias untuk meringankan tugasnya.

"Papa, aku butuh celana sekarang." Sahut Haise yang sudah selesai melipat seluruh piyamanya meski lipatannya tidak sempurna. Matanya yang bundar mengerjap-ngerjap merefleksikan kepolosan pemikiran anak kecil. Ia menunggu dengan sopan hingga Papanya kembali dan membawakannya celana dan kaos kaki untuk dikenakan.

"Terima kasih, Papa." Miss Akira dan Papanya selalu mengajarkan terima kasih kapanpun seseorang melakukan sesuatu untukmu, dan Haise telah sejak lama menanamkan pemikiran tersebut di benaknya. Pemuda kecil itu berdiri dan menarik celana jogger mininya hingga ke batas perut dan terakhir, ia menutup kedua kaki kecilnya dengan kaos kaki bermotif bola.

"Bagus, sayang. Sekarang kamu bisa pakai sepatu dan menungguku di lorong. Jangan membuka pintu sebelum papa disana, mengerti?"

"Baik, papa." Kemudian ia melompat sampai ke lorong. Haise kecil menarik sepatu olahraganya dari rak kemudian memakainya dengan mencoba membedakan mana yang kanan dan kiri terlebih dahulu.

Papa Arima tidak butuh waktu lama untuk salin baju, setelah Haise mengencangkan velcro terakhir disepatunya, Arima muncul dari balik pintu dengan setelan running suit berwarna abu-abu, ia menenteng jaket olahraga dan jam tangan berukuran mini untuk Haise.

Papanya berjongkok demi memakaikan jaket olahraga itu kepada Haise kecil, bocah itu mengulurkan tangan kanannya agar Papa Arima bisa memasangkan jam tangan untuknya.

"Kamu tidak ingin ke kamar mandi, sayang? Atau minum mungkin?" Arima selalu menegaskan kedua hal itu sebelum mereka pergi kemanapun, ia tidak mau bepergian dengan Haise yang rewel minta pipis atau merengek kehausan, selain itu mencari toilet umum higienis di Tokyo merupakan hal yang sulit.

"No, Papa." Haise menggeleng dengan sopan sambil memperhatikan Papa yang sedang menyematkan jam tangannya.

"Apa kamu yakin sayang?"

"Yakin, Papa." Tutur Haise kecil meyakinkan sang Papa kalau ia baik-baik saja. Mata bundarnya menyiratkan kemantapan hati yang membuatnya terlihat menggemaskan di mata ayahnya. Arima membelai kepala anak semata wayangnya itu sebelum ia beranjak dan mulai memakai sepatu olahraganya.

Haise kecil berjongkok di depan Arima sambil berkonsentrasi memperhatikan kedua tangan Papanya yang tengah membuat simpul tali sampai sepatunya menjadi kencang. Ia menjulurkan salah satu kakinya mendekati kaki sang Papa.

"Papa, apakah kakiku akan sebesar kakimu saat aku dewasa nanti?"

"Tentu sayang." Jawab Arima hampir tersedak, bukan kali ini saja anak satu-satunya itu menanyakan pertanyaan yang membuatnya terlihat kikuk. "Tapi aku harap tidak, sayang. Aku harap kakimu tidak sebesar kakiku nanti." Ia memutuskan mengubah jawabannya untuk melihat reaksi putranya selanjutnya.

"Kok gitu? Padahal aku ingin punya kaki sebesar kaki Papa supaya aku bisa menendang preman-preman yang akan menjahati Papa."

"Benarkah?"

"Mm-hhm!" Gumamnya mengangguk dengan mantap. Haise kecil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil melompat, "Aku ingin menjadi setinggi Papa saat dewasa nanti. Bukankah itu menyenangkan, Papa?"

"Kamu bisa jadi apapun, sayang. Tapi sebelum tumbuh setinggi Papa, aku rasa kita perlu sedikit peregangan, bukan begitu? Apa kamu sudah siap?"

"Yup!" Jawab Haise kecil dengan lantang, ia mengekor di belakang Papanya yang tengah membuka pintu. Arima mencoba memastikan lagi pada Haise apakah ia haus atau ingin ke toilet atau tidak kemudian mematikan saluran listrik dari saklarnya dan menutup pintu apartemennya dari luar.

-To Be Continued-

Saya memutuskan untuk menyulap Arima sebagai orang tua tunggal karena saya gak sanggup berduka untuk Arima-san di chapter 83 T_T

Buat penggemar Arima diseluruh dunia, I'm with you and I know exactly how it feels, pal— *sesegukan dipojokan sambil makanin tissue*

Saya mau mohon maaf sama karakter Akira Mado karena kamu saya buat gingsul disini, saya pikir kalau kamu gingsul kamu jadi makin sexy. *langsung dihajar pake Mado's Punch*

Kritik atau saran are very welcome, saya berencana buat bikin 6 atau 7 chapter buat fic kali ini, itu juga kalau saya ga sibuk-sibuk banget ._.v

Buat yang merayakan lebaran, saya ucapkan Eid Mubarak ya, semoga lebaran kali ini berkah dan bisa ketemu lagi sama lebaran-lebaran selanjutnya.

Hasta Manana, see you next chapter 3 3 3