Bullying? Chapter 1
Bleach by Tite Kubo
Warning : OOC, Typo, dsb.
.
.
Apa yang kurang dari diri seorang Kurosaki Ichigo? Wajahnya? Dengan adanya banyak fans tentu saja dia tampan. Postur tubuh? Atletis pastinya, mengingat dirinya yang hobi olahraga. Hartanya? Wow … yang itu jangan ditanya. Walaupun memiliki sifat yang super duper unik, tapi bukan hal mustahil bagi Kurosaki Isshin untuk memberikan fasilitas yang lebih dari cukup kepada putra tersayangnya. Gaya berpakaian? Tidak mungkin tidak fashionable jika sudah punya wajah tampan, postur tubuh menunjang, dan materi berlebih. Berdasarkan hal-hal tersebut, tentu saja Ichigo termasuk dalam kategori cowok yang kata Boyband Korea free,sexy, and single kan? Lalu dosa apa yang diperbuatnya sehingga sang ayah tercinta menelantarkan dirinya yang keren itu di tengah-tengah manusia yang jauh dari kata keren.
.
.
.
Berjalan mondar-mandir sambil mengucapkan mantra "aku sedang bermimpi" berulang kali, tak mengubah kenyataan bahwa dirinya, Kurosaki Ichigo berada di antara kumpulan orang-orang dengan model pakaian yang sedang trend di jaman kakek neneknya waktu muda dulu. Apa-apaan itu? Kacamata tebal, celana panjang ala Elvis Presly, rambut afro, kemeja kebesaran, dan rompi yang pasti sudah sangat ketinggalan jaman. Kontras sekali dengan pakaian yang dikenakan cowok berambut orange itu, meski pakaian yang digunakan sekarang tak semodis yang biasa dikenakannya. Dia merasa datang dengan atribut yang salah pada sebuah pesta kostum bertema Retro.
Menjadi obyek pandangan semua orang adalah hal biasa bagi Ichigo, namun pandangan yang didapatnya sekarang benar-benar mengintimidasi dirinya yang biasanya mengintimidasi orang lemah. Dunia sudah terbalik pikirnya. Bagaimana mungkin dia, lelaki yang jago bela diri dan punya pengaruh penting di sekolahnya – yang dulu – dipandang remeh oleh orang-orang yang menurutnya berasal dari tahun tujuh puluhan.
Membiasakan dirinya dengan pandangan sekitar, Ichigo terus maju berjalan menuju suatu tempat yang dimaksud oleh Kepala Sekolah yang barusan ditemuinya 20 menit lalu. Mencari letak ruangan yang akan menjadi sarana istirahatnya nanti selama periode dua tahun mendatang, mengingat sekolah barunya ini mewajibkan semua murid untuk tinggal di asrama. Dengan earphone yang setia memeluk kedua telinganya sejak memasuki gedung asrama, anak pertama Mr. Isshin itu mulai melangkah penuh percaya diri seperti biasa. Meski berpenampilan jadul rupa para gadis-gadis di sini tak buruk. Jadi, tidak ada salahnya kalau dia pamer ketampanan. Dimanapun dirinya berada, Ichigo Kurosaki harus jadi nomer satu.
Masih dengan langkah ala pria bangsawannya, Kurosaki yang diam-diam suka tebar pesona itu membelokkan ayunan kakinya menuju koridor kiri tanpa menyadari ada kaki seseorang yang melintang hendak menghadang langkahnya. Karena pandangannya lurus kedepan dengan dagu terangkat, tentu saja Ichigo tak melihat pemandangan di bawahnya. Dan tak terelakkan lagi, niat pemilik kaki tersebut terlaksana ketika sang pria berambut orange jatuh terjerembab bersamaan dengan tas dan koper yang dibawanya.
Lolongan suara tawa menggema di sepanjang koridor yang merupakan jalan menuju aula berkumpulnya penghuni asrama. Sedangkan obyek yang menjadi bahan tertawaan mulai bangkit dari jatuhnya sambil mendengus kesal. Setelah berdiri dengan benar, tatapan mematikan tak lupa dihadiahkan cowok keren tapi sombong itu pada mahkluk- mahkluk ketinggalan jaman yang masih tertawa, namun bukannya berhenti suara tawa tersebut semakin mengudara kencang.
Dengan tetap mempertahankan pose keren andalannya, Ichigo mengedarkan pandangan ke sekitar tepatnya mencari tersangka utama yang mempermalukan dirinya. Pria itu Berniat mengayunkan kepalan tangannya pada sang pelaku untuk membalas rasa sakit sekaligus malu yang dideritanya. Sayang, untung tak dapat diraih. Begitu menemukan Si pelaku yang saat ini sedang tersenyum mengejek bagian hidungnya yang memerah efek terjatuh tadi, laju tinju Ichigo terpaksa berhenti saat puluhan bom telur dilontarkan padanya dari arah belakang. Tinggal diberi tepung saja Ichigo pasti siap jadi adonan kue, belum lagi siraman air tak jelas warna dan aromanya yang membilas tubuh atletisnya dari isi telur.
Yah, itulah salam perkenalan dari sebagian teman-teman barumu Ichigo. Selamat berjumpa dengan yang lainnya.
.
.
.
Walaupun gengsinya tinggi, pria yang pantang meminta bantuan orang lain itu tidak punya pilihan selain kabur dari lokasi penembakan telur untuk mengadukan sambutan teman-teman jadulnya pada Kepala Sekolah. Tapi sepertinya predikat Lucky Guy yang diberi oleh teman se-genk-nya dulu tak berlaku di sini, buktinya Ibu Kepala Sekolah yang punya senyum mematikan itu tak bersimpati sedikitpun melihat penampilan terburuk seumur hidupnya. Jelas saja, wajah orang teraniaya harusnya memelas bukannya bertampang congkak seperti Ichigo.
Berhubung pihak sekolah tidak menanggapi aduannya, Ichigo bermaksud protes pada pria gila yang sudah menjebloskannya di tempat ini via telepon. Tapi sayang respons ayahanda Isshin tak jauh berbeda dari Kepala Sekolah, malahan dari otak brilian papa tercintanya tercetus sebuah hukuman berupa mengepel tempat kejadian perkara dirinya dianiaya. Setelah memutuskan sepihak sambungan komunikasinya dengan Ichigo, Isshin langsung menghubungi kepala sekolah untuk membantunya merealisasikan idenya itu.
Jadi sekarang ini Ichigo kembali lagi ke tempat dirinya dibully lengkap dengan peralatan bersih-bersih. Inginnya sih kabur dari hukuman ini. Tapi jangankan kabur, keluar secara baik-baik dari asrama ini dia tidak bisa. Lagi-lagi Ichigo harus bernasib sial, padahal disini yang berstatus korban adalah dirinya, lalu kenapa dia juga yang dapat hukuman. Tunggu saja jika seluruh kekayaan Kurosaki sudah diwarisinya, kelangsungan hidup Karakura Academy dipastikan akan punah.
Berbekal alat pel serta seember air, cowok yang belum sempat ganti baju sehabis insiden telur beberapa jam lalu, saat ini sedang menekuni pekerjaan barunya. Bisa dicatat dalam daftar pengalaman Ichigo, bahwa mengepeladalah hal terburuk dan tersulit yang pernah dilakoninya. Bayangkan saja, waktu dua jam tak cukup untuk membersihkan lantai yang hanya sepanjang lima meter ini.
Jika saja ia masih menempuh pendidikan di sekolahnya yang lama, pasti satu-persatu fansgirl-nya mengundurkan diri begitu melihat betapa kacaunya penampilan pria bertindik itu saat ini. Jabrik orange kebanggannya mengeras karena noda telur yang mengering, wajahnya pun hampir tak terkenali. Kalau bukan karena kerutan permanen di dahinya pasti tidak ada yang menyangka kalau manusia bau keringat plus amis telur itu adalah Ichigo Kurosaki.
Kenapa hanya mengelap lantai saja butuh waktu berjam-jam? Itu karena ada beberapa orang yang dengan sengaja melewati lantai yang sudah dibersihkan Ichigo dengan alas kaki berlumpur. Padahal sekarang bukan musim hujan, dimana sepatu mereka bertemu lumpur merepotkan ini? Rupanya makhluk-makhluk kampungan itu masih ingin mengerjainya. 'Dasar sekolah kriminal, para siswanya bertindak anarki malah dibela dan dibiarkan begitu saja,' omelnya dalam hati.
Tak lama kemudian, derap langkah seseorang lagi menghampiri Ichigo. Ini orang ketujuh. Tanpa membalikkan badannya kebelakang guna melihat siapa orang yang menghampirinya, Si Cleaning Service dadakan terus berkonsentrasi pada pekerjaannya. Awas saja jika orang ini juga melakukan hal serupa dengan yang lain, pikirnya. Tapi sepertinya yang datang kali ini tidak sejahat keenam orang lainnya. Sepatu yang dikenakannya bersih, bahkan saat melewati keramik yang masih sedikit basah tak ada jejak tertinggal. Mungkin seseorang itu Ibu Peri yang ditugaskan untuk membantu Ichigo, tidak salah dia berdoa tadi. Doa orang teraniaya pasti terkabul kan.
"Hukumanmu selesai Kurosaki, kau bisa pergi sekarang."
Peri penolong identik dengan wanita cantik keibuan, membawa tongkat kecil, dan bersayap. Jadi sudah jelas kalimat datar barusan bukanlah ucapan dari peri baik hati. Lagipula sepanjang usianya meski jadi anak bandel, Ichigo tahu pasti di cerita dongeng manapun tidak ada tokoh penolong bersosok Bapak Peri. Meski ada, lelaki yang menghentikan hukumannya tersebut tidak masuk kriteria. Lihat saja wajah angkuh dan tatapan tajam matanya itu.
Tapi Ichigo tak peduli, siapapun lelaki itu yang penting sekarang ia terbebas dari hukuman tidak masuk akal yang belum diselesaikannya. Dan yang membuat Ichigo Kurosaki sedikit lega adalah lelaki yang menghampirinya tersebut berpenampilan sedikit normal dibanding kumpulan barbar yang menindasnya. Meski juga berkacamata, pakaian yang dikenakannya sudah tergolong model abad 21.
"Syukurlah, kupikir semua orang di sini tidak normal." dirasa Ichigo hanya gumaman kecil, tapi siapa sangka orang di hadapannya mendengar perkataannya yang masuk kategori ejekan.
"Apa yang kau maksud dengan tidak normal, Berandal?" semua orang yang kenal Ichigo tahu kalau dirinya seorang berandal, makanya ia dipindahkan ayahnya kemari, tapi belum ada satu pun yang memanggilnya dengan sebutan begitu secara langsung dan terang-terangan ditambah dengan nada mengejek pula.
"Heh, tentu saja kelakuan dan gaya berpakaian para manusia purba yang kutemui tadi." mungkin sudah terlalu lelah bermain dengan alat pelnya, Ichigo hanya menganggapi ejekan pria mata empat dengan omongan bernada bosan, lagipula ia berandal yang punya tata karma. Meski mengejek orang itu masih dianggap penyelamatnya, jadi tidak sopan kan kalau menghadiahinya tinjuan.
Obrolan tak berlanjut, Si kacamata berambut biru tua memberikan tas dan koper berisi baju milik Ichigo yang selamat dari hujan telur beserta sebuah kunci. Katanya itu kunci kamar Ichigo. Tanpa curiga, dengan senang hati Ichigo menerima tas dan kunci kamarnya sambil berucap terimakasih. Dia tidak tahu saja kalau lelaki yang menunjukkan arah dimana kamarnya berada sedang tersenyum setan di belakangnya.
.
.
.
Sampailah ia di depan sebuah ruangan bernomer 24. Katanya sekolah ini dapat banyak donasi dari orang kaya, bahkan ayahnya juga banyak menghabiskan uangnya untuk sekolah ini, tapi kenapa tidak ada fasilitas lift-nya, makanya setelah mendaki banyak anak tangga barulah ia dapat melihat pintu kamarnya yang berada di lantai 4. Baru melihat pintu kamarnya saja, punggung Ichigo sudah menjerit meminta untuk diistirahatkan selain itu badannya yang sudah lengket plus bau juga ingin segera dibersihkannya, oleh karena itu dengan tak sabar segera diputarnya si pengaman pintu.
Angan-angan ingin istirahat pupuslah sudah. Gambaran tempat tidur empuk serta suasana kamar yang nyaman terhapus seketika saat pintu terbuka. Ruangan yang barusan dibukanya lebih cocok sebagai tempat untuk menaruh barang bekas daripada tempat untuk tidur. 'Sial, belum puaskah mereka mengerjaiku.' hanya mengumpat dalam hati cowok yang sedang kelelahan ini bermaksud menemui pria berkacamata tadi, siapa tahu dia salah memberikan kunci.
Tapi belum sempat menuju tangga, orang yang dicari sudah menampakkan wujudnya terlebih dahulu. Tanpa basi-basi Ichigo menghampirinya dan menanyakan perihal kamarnya yang lebih pantas disebut gudang. Namun jawaban yang didengarnya langsung mengubah pandangan Ichigo terhadap pria yang diketahui bernama Ishida, kalau orang itu adalah penolongnya, karena dengan teramat santai siswa teladan itu menjawab, "Tidak ada kamar lain lagi di asrama ini, jadi silahkan rapikan sendiri kamar barumu." Ternyata dia sama kejamnya dengan yang lain. Apanya yang dirapikan, seharusnya kata yang diucapkan adalah, "selamat mengubah gudang kumuh ini menjadi kamarmu".
.
.
.
Dering alarm sudah membisingi penjuru ruangan, tapi si pemilik bunyi peringatan tetap tak beranjak dari tempat tidurnya. Masa bodoh dengan hari pertamanya sekolah, tubuhnya benar-benar lelah setelah seharian bekerja layaknya pembantu. Lagipula dia kan anak baru, jadi terlambat beberapa menit –atau beberapa jam– juga tak masalah. Makanya setelah mematikan sumber suara bising, murid baru Karakura Academy itu memulai kembali perjalanan ke alam mimpi. Tetapi belum sempat terlelap lagi, suara gaduh kembali terdengar. Seingatnya hanya dirinya seorang yang menempati kamar ini, lalu kenapa terdengar ribut sekali suara gedoran pintu di luar sana. Merasa terganggu dengan suara itu, Ichigo hanya menutupi telinganya dengan bantal. Dia tidak sadar kalau seseorang sudah menerobos masuk ke kamarnya.
Byurrrrrrr…
Siraman air dingin menerpa wajahnya hingga manusia berkepala orange itu terlonjak dari tempat tidur. Siapa lagi orang gila yang sudah mengerjainya di pagi hari begini, kali ini tidak akan dibiarkan dirinya teraniaya lagi. Siapapun orang yang telah menyiram wajah tampannya dengan air sedingin es ini akan ia beri pelajaran.
"Sudah puas dengan tidurmu, Tuan Kurosaki?" belum sempat menyuarakan protesnya suara sindirian seseorang terdengar.
"Apa yang sudah kau lakukan, Bodoh!" sambil menahan amarahnya Ichigo membalas sindiran orang yang menyiramnya.
"Aww… dasar Wanita gila. Kenapa menendang kakiku?" tak terima dikatai bodoh si penyiram yang masih membawa ember itu menendang kaki Ichigo yang baru saja bangkit dari tempat tidurnya.
"Kau, dasar anak tidak punya sopan santun. Beraninya mengatai gurumu dengan sebutan bodoh dan gila." tak puas menendang Si wanita memarahi Ichigo.
"Apa? Guru? Heh…jangan bercanda, kau saja tidak lebih tinggi dariku. Bagaimana bisa dengan bangganya kau menyebut dirimu guru. Kau pasti salah satu dari orang-orang aneh itu kan?" mengabaikan rasa sakit di kakinya Ichigo berjalan mendekat ke arah Si penendang.
"Memangnya ada aturannya kalau guru harus lebih tinggi daripada muridnya? Dan satu-satunya orang aneh yang ada di sini adalah kau, Kurosaki." Si wanita berucap seraya menengadahkan kepalanya menantang Ichigo yang berdiri menjulang di hadapannya.
Kali ini giliran Ichigo yang tidak terima dibilang aneh. Sedikit merendahkan tubuhnya ia menunjuk-nunjuk dahi perempuan yang mengaku sebagai gurunya itu.
"Hei, dengar ya Nona Kecil. Mungkin kau harus melepas kacamata tebalmu ini agar kau bisa melihat dengan jelas siapa lelaki yang berdiri di depanmu. Mana ada orang aneh se-tampan aku." Masih mengetukkan telunjuknya di dahi lawan bicara Ichigo menyombongkan dirinya.
"Baiklah Tuan Tampan, akan kulepas kacamata tebal ini lalu kupakaikan padamu agar kau bisa melihat dengan jelas siapa wanita yang berdiri di depanmu," balas wanita itu sambil menunjukkan name tag yang terpasang di bajunya. Pandangan Ichigo mengikuti arah telunjuk Si pemilik rambut hitam, di tanda nama yang sedang ditunjuknya tertulis ; Rukia Kuchiki, Pengajar Karakura Academy.
"Ja-jadi kau be-benar…" gagap pertama dalam sejarah hidup ahli waris Kurosaki. Belum sempat selesai perkataannya, guru muda itu menyela dengan nada angkuhnya, "Aku tidak suka pada murid yang tidak hadir saat aku mengajar. Dan kau…" tekannya sambil menunjuk hidung Ichigo, "sudah berlaku tidak sopan padaku. Jadi, segera menghadapku di ruang guru." Sang guru cantik segera pergi dari kamar Ichigo setelah menyelesaikan pidatonya, sedangkan pemilik kamar yang bagian kepala sampai pundaknya basah kuyup, hanya mematung di tempatnya berdiri. 'Satu kesialan lagi akan kualami.' kalimat itulah yang terlintas di kepalanya saat ini.
"Kau ini suka sekali mencari masalah ya?" Mendengar suara seseorang yang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya yang terbuka, membuat Ichigo tersadar dari rasa terkejutnya.
"Kemarin bermasalah dengan para murid, lalu sekarang kau membuat masalah dengan guru." Walaupun sudah bangun dari keterkejutannya Ichigo tak berminat menganggapi perkataan pria berseragam yang menyindirnya. Orang itu selalu saja muncul tiba-tiba, daripada emosinya tak terbendung melihat Si menyebalkan Ishida, lebih baik ia segera membersihkan dirinya lalu pergi menemui wanita pendek itu di ruang guru.
.
.
.
"Aku penasaran segalak apa guru pendek itu sampai Ishida memberiku peringatan." dalam perjalanannya menuju ruang guru Ichigo masih memikirkan kata-kata Ishida sebelum dirinya keluar kamar untuk menghadap sang guru. Kata Ishida dia harus berhati-hati dan menjaga ucapannya kalau tidak ingin Bu guru Kuchiki murka padanya.
"Heh…siapa peduli dengan kemarahannya. Lagipula aku sudah pernah menghadapi guru yang lebih killer dan pastinya lebih tinggi daripada guru pendek sok galak seperti dia." dasar Ichigo, hanya karena ukuran tinggi gurunya tak semampai dia meremehkannya.
"Tapi sepertinya aku pernah melihatnya sebelumnya. Wajahnya sungguh tidak asing, mirip dengan…"
"Arghh…apa yang kupikirkan?" rambut orange-nya jadi berantakan akibat ulah tangannya. "Aku sudah berjanji untuk tidak mengingatnya lagi kan!" Puas mengacak-acak rambutnya, kali ini giliran tembok yang jadi sasaran kekesalannya.
"Hei, tidak sadar ya? Tingkah bodoh yang barusan kau lakukan membuatmu terlambat 2 menit, anak baru." dasar perempuan cerewet tak sabaran, padahal tinggal beberapa langkah lagi ia juga akan sampai di ruang guru. Kalau bukan karena ingatannya yang tiba-tiba berkelebat, Ichigo juga tak akan berhenti melangkah.
"Ya…ya…ya. Aku sudah di hadapanmu sekarang lalu apa yang kau mau?"
"Aku menyuruhmu menghadapku di dalam ruang guru, bukan di sini." seusai berkata guru bernama lengkap Kuchiki Rukia masuk ke dalam ruangannya sambil memberi isyarat pada Ichigo agar mengikutinya.
Sudah 10 menit mereka duduk berhadapan tapi tak ada reaksi yang ditunjukkan Ibu Guru pada muridnya. Sedangkan Si murid sudah berkali-kali menguap entah karena bosan atau karena masih mengantuk.
"Jika ingin memberiku hukuman cepat lakukan saja. Tidak perlu menahanku lama-lama di ruangan ini." tidak betah menahan bosannya akhirnya Ichigo menyuarakan protes, tapi Rukia tak menggubrisnya dan tetap membaca berkas di tangannya.
"Ah... aku tahu. Kau sengaja menahanku agar bisa melihatku lebih lama kan? Tenang saja Bu Guru, aku bisa meluangkan waktuku untukmu." kesal karena tak direspons dengan percaya dirinya Ichigo kembali mengoceh, sedangkan di seberangnya Rukia sedikit mengernyitkan dahinya kesal. Anak ini luar biasa sekali tingkat percaya dirinya, batinnya.
"Oh ya, apakah kau benar-benar seorang guru?" masih belum lelah pria urakan itu menyumbang suara.
"Jujur saja dengan tubuh mungilmu kau tak cocok jadi guru… eh, maksudku kau terlihat seumuran denganku, makanya bagaimana bisa kau jadi guru?" segera Ichigo meralat ucapannya saat Rukia meliriknya tajam.
"Ichigo Kurosaki." akhirnya perempuan manis ini mengucapkan sesuatu juga.
"Ya." masih dengan percaya dirinya Ichigo menyahut panggilan gurunya.
"Kau, yang sudah empat kali tidak naik ke kelas 3, memang seumuran denganku. Jadi tidak heran kan dalam rentang waktu itu aku sudah jadi guru sementara kau tetap jadi murid bodoh." ups…si sombong sok keren mati gaya.
"Meski kita seusia, aku tetaplah gurumu. Terlebih aku ini wali kelasmu, jadi untuk terakhir kalinya kuingatkan. Bersikap sopanlah padaku!" belum ada satu kata pun terucap dari bibir Ichigo, wali kelasnya terburu mengeluarkan somasi, "ingat jangan harap bisa keluar dari ruangan ini kalau tumpukan soal-soal disana belum kau kerjakan!" dan murid nakal itu ditinggal sendirian dalam ruang guru dengan setumpuk soal-soal pelajaran tanpa bisa berkutik.
.
.
.
Gara-gara lelaki muda yang baru jadi murid asuhannya, Rukia tak berkonsentrasi mengajar. Untung saja 30 orang murid di kelas ini tidak protes saat ia melamun di mejanya. Soalnya selain galak baru kali ini Miss Chappy tidak bersemangat mengajar. Memang benar kata orang kalau dunia itu sempit, dia saja tidak menyangka akan bertemu lagi dengan laki-laki itu di tempat kecil seperti kota Karakura ini.
Dua minggu yang lalu, Ibu Unohana selaku kepala sekolah memanggil guru manis yang baru beberapa bulan lalu bekerja di sekolah ini ke ruangannya. Rukia yang awalnya bekerja di sini sebagai guru magang heran saat Kepala Sekolah memberinya kepercayaan untuk menjadi pengajar tetap sekaligus menjadi seorang wali kelas.
Meskipun cita-citanya bukan menjadi guru, gadis manis yang hobi panjat tebing ini tetap senang atas kenaikan jabatannya. Setidaknya dia bisa membuktikan pada keluarga besarnya bahwa ia mampu menjalani profesi turunan keluarga Kuchiki meski usianya baru 22 tahun. Tapi sayang kesenangannya memudar saat Retsu Unohana menyerahkan sebuah berkas berisi data seorang murid pindahan yang akan masuk kelasnya nanti. Begitu terkejutnya ia saat melihat potret anak pindahan tersebut. Masih terekam jelas di ingatannya seorang pria tinggi dengan rambut mencoloknya.
Seketika Rukia menolak tawaran untuk menjadi guru tetap dan lebih memilih untuk tetap jadi guru magang saja. Tetapi, wanita yang menjabat sebagai Kepala Sekolah bertahun-tahun itu tidak mengenal kata penolakan. Makanya usaha Rukia agar ia tetap pada pekerjaan awalnya tak berbuah memuaskan.
Mungkin ini salah satu rintangan untuk menempuh sukses, lagipula apa kata keluarganya nanti kalau ia menolak tawaran langka ini hanya karena bocah berandalan. Kuchiki harus pantang menyerah, apapun yang terjadi dia pasti bisa menghadapinya. Setelah berpikir cukup lama sampailah ia pada suatu pemikiran, yaitu dengan sedikit perubahan yang dilakukan pada rambut sebahunya menjadi sebatas leher serta memakai kacamata, dia yakin kalau calon anak didiknya itu tak akan mengenali wajahnya. Dalam hati ia hanya bisa berharap agar siswa pindahan yang akan datang seminggu lagi itu sudah lupa padanya.
.
.
.
Sejak ditinggal sendirian dalam ruangan Ibu Kuchiki 5 menit yang lalu, Ichigo berinisiatif menghabiskan waktunya dengan tur keliling ruangan guna menepis kebosanannya. Walau sudah diberi perintah untuk mengerjakan beberapa lembar kertas berisi soal-soal pelajaran, ia tetap tak menghentikan langkahnya yang mulai bergerak maju mundur melihat-lihat dinding bercat putih yang dihiasi beberapa pigura lukisan dan foto. Setelah puas mengamati pajangan dinding itu, ia beralih melihat-lihat deretan buku dalam lemari yang terletak di belakang meja kerja guru. Tapi sayang tidak ada sesuatu yang menarik dari banyaknya susunan buku-buku tersebut, rasa bosan pun dengan cepat menguasai dirinya.
Beberapa kali ia terlihat menguap, bukan hanya karena bosan tetapi juga karena kantuk. Kelelahan akibat bekerja terlalu keras kemarin sungguh menguras tenaganya, ditambah lagi hal-hal merepotkan yang mengganggu tidurnya membuat mata Ichigo sudah mengantuk meski waktu baru menunjukkan pukul 10 pagi. Saat ini sedang jam belajar sehingga suasana sekolah sepi. Waktu yang cukup bagus jika ia kembali mengarungi lautan mimpi, pikirnya. Godaan untuk tidur pun tak dapat dilawan saat ia melihat sofa ungu panjang yang ada sebuah boneka kelinci besar di atasnya. Yah, daripada mengerjakan soal-soal mudah itu lebih baik tidur saja kan, siapa peduli kalau guru mungil itu marah karena ia tidak mengerjakan perintahnya. Lagipula salah guru itu juga yang mengunci ruangan, jadinya Ichigo tidak bisa kabur dan tidur di kamarnya sendiri.
Walaupun berbaring dengan kaki terlipat karena panjangnya sofa tak sepanjang ukuran badannya, pria jangkung itu tetap menikmati tidurnya yang berbantalkan kelinci tiruan berbusa. Padahal selama ini ia selalu anti pada sesuatu yang kebanyakan disukai para perempuan itu, dan makhluk bertelinga panjang yang saat ini sedang jadi alas kepalanya merupakan boneka pertama yang pernah dipeluknya. Berbaring dengan posisi miring tangan besarnya semakin mengeratkan pelukannya pada sang boneka, aroma yang menguar dari bulu-bulu putih Si Kelinci sekilas mirip dengan harum tubuh pemiliknya, mungkin saja ibu guru Rukia sering memeluk boneka ini.
Kata mama Masaki – waktu beliau masih hidup – anak pertamanya itu pasti cepat tertidur jika mencium aroma lembut wewangian, makanya tidak salah jika saat ini wajah tampan Ichigo terlihat sangat damai menikmati tidur lelapnya akibat indra penciumannya menangkap bau harum dari benda yang jadi bantalnya.
.
.
.
Dua jam berlalu saatnya pergantian pelajaran, setelah membereskan peralatan mengajarnya Rukia pun segera pergi meninggalkan kelas untuk menuju keruangannya. Wajah ayunya hari ini tampak tak seceria hari-hari kemarin, ayunan langkahnya juga terlihat tak bertenaga. Biasanya berjalan dari kelas menuju ruang guru hanya membutuhkan waktu 10 menit, tapi saat ini sudah melangkah hampir 20 menit ia belum juga sampai. Untungnya tidak ada jadwal mengajar lagi setelah membimbing para siswa kelas sebelas tadi.
Akhirnya 25 menit total waktu yang dihabiskan untuk sampai ke ruangannya, masih menimbang-nimbang antara memutar kunci atau tidak Rukia menyandarkan dahinya ke daun pintu. Mengumpulkan kekuatannya agar ia mampu menghadapi orang yang kalau bisa tidak akan pernah ditemuinya lagi. Rupanya kehadiran sosok Kurosaki bernama Ichigo benar-benar mencemari semangatnya.
Saat mulai memasuki kantor kerjanya Rukia sudah kembali menjadi seorang guru yang anggun namun tegas, tapi usahanya untuk jadi wanita tangguh sia-sia saja saat dilihatnya murid nakal yang dikunci dalam ruangannya tertidur pulas di atas sofa tamu. Lebih terkejutnya lagi saat ia menemukan kelinci kesayangannya sedang dirangkul erat oleh murid lelaki itu. Gelap mata, Rukia segera saja mendatangi tempat Ichigo berbaring dan langsung menarik kelinci putih itu dari beban kepala dan tangan si pria yang masih larut dalam tidurnya.
Merasa ada sesuatu yang menarik-narik bantalnya bukannya terbangun Ichigo malah melawan tarikan tersebut. Adegan tarik menarik pun terjadi.
Apapun akan dilakukan Rukia untuk melindungi benda kesayangannya, makanya pertandingan tarik boneka dapat dimenangkannya dengan akibat Ichigo yang terguling ke bawah. Kepala orange itu beradu dengan kerasnya lantai saat si empunya kepala jatuh dari sofa, seketika membuat Ichigo kembali dari dunia mimpi. Memperbaiki posisinya menjadi duduk, ia mengelus dahinya yang barusan terbentur ubin lantai.
Di hadapannya berdiri menjulang seorang guru yang memeluk benda berbulu putih yang sempat jadi bantalnya. Inginnya sih protes karena tidurnya lagi-lagi diganggu oleh orang yang sama, namun niatnya urung dilakukan saat melihat wajah cantik ibu guru sudah berubah jadi menyeramkan. Lagipula tenaganya sedang tidak fit, kepalanya pusing karena terbangun tiba-tiba dan juga sakit karena terbentur barusan.
"Aku meninggalkanmu di sini untuk mengerjakan soal-soal, Kurosaki. Tapi kau malah meniduri Chappy-ku!" sembari menyembunyikan Chappy di balik punggung, Rukia mulai menghakimi Ichigo.
"Sebagai seorang guru kau perlu memperbaiki bahasamu, Kuchiki-sensei." dasar murid bebal, dimarahi malah berbalik menasehati.
"Apa! Beraninya Kau–"
Sebelum amarah gurunya terlontar, Ichigo terburu menyela. "Meniduri Chappy-mu kau bilang?" menghela napas bosan sejenak kemudian ia melanjutkan, "kau berkata seolah-olah aku baru saja bertindak kriminal. Kalau yang ku ajak tidur tadi seorang gadis baru pantas kau berkata seperti itu, sedangkan ini hanya sebuah boneka." sadar kalau ia bertingkah kekanakan karena khawatir berlebih pada boneka tercinta seperti khawatir pada anak gadisnya, Rukia segera beranjak dari hadapan Ichigo yang masih duduk di lantai menuju meja kerjanya.
"Waktu mengajarku sudah selesai. Segera ke kelasmu untuk pelajaran selanjutnya. Dan kemari lagi saat sekolah usai!" perintah Rukia yang hanya sekedar alibi untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah malu.
Daripada mendengar omelan lanjutan dari gurunya, Ichigo pun segera keluar dari ruangan itu tanpa berkata apapun, tapi di bibirnya terhias seringai seiring dengan ejekan yang diucapkannya dalam hati, 'Heh…ternyata bukan hanya badannya saja yang seperti anak kecil, sifatnya juga.'
.
.
.
Kalau tahu bakal mengalami kejadian seperti ini harusnya ia menuruti bisikian setan di sebelah kirinya saja tadi untuk membolos penuh di hari pertamanya masuk sekolah ini. Tapi entah kenapa untuk pertama kalinya ia merasa kasihan pada malaikat di sebelah kanannya yang selalu membujuk dirinya agar jadi anak baik namun selalu diabaikannya. Oleh karena itu niat Ichigo yang mulanya tidak ingin mengikuti pelajaran berubah sebaliknya.
Saat sampai di kelas barunya sudah ada lelaki tua yang sedang mencatat sesuatu di papan tulis. Setelah mengucapkan salam perkenalan ala kadarnya sesuai petuah dari guru ubanan itu, Ichigo bergegas menempati kursi di urutan terbelakang – satu-satunya tempat yang tersisa – . Suasana kelas ini begitu hening, hanya terdengar langkah kakinya yang belum sampai di tempat duduk dan suara goresan di papan tulis pertanda kalau guru kembali melanjutkan pekerjaannya. Biasanya para sisiwi yang sering dijumpainya selalu sibuk mencari-cari perhatiannya, namun murid-murid perempuan di kelas ini sedikitpun tak ada yang melirik kearahnya.
Tak ambil pusing dengan kondisi kelas perdananya setelah tiba di tempat duduk, Ichigo mencoba menyimak apa yang sedang dijelaskan si pemberi ilmu di depan kelas.
Hanya 2 menit waktu yang diluangkan Ichigo untuk mendengar penjelasan dari guru itu, tapi ia sudah merasa menyesal karena mengorbankan waktunya untuk hal tak berguna –menurutnya– ini . Yah, mengingat dirinya yang sudah berkali-kali tinggal kelas, tentu materi pelajaran yang saat ini sedang di bahas sudah sering kali didengarnya, bahkan kalau mau dia bisa saja menggantikan tugas pak guru yang sudah waktunya pensiun itu. Merasa tidak ada hal penting yang akan dilakukan di kelas ini, Ichigo berniat keluar saja, tetapi segera diurungkan niatnya itu saat dibayangannya terlintas wajah seram sang wali kelas. Bukan karena takut, Ichigo hanya malas saja banyak berurusan dengan perempuan pendek itu. Pada akhirnya, ia lebih memilih mendengarkan benda kecil pemutar musik yang ada di saku celananya daripada menerobos keluar kelas.
Guru-guru di Karakura Academy terkenal akan kedisiplinannya, termasuk laki-laki paruh baya yang saat ini mengajar di kelas 11.2 – kelas tempat Ichigo berada –. Ia sudah memberikan toleransi saat Ichigo terlambat masuk kelas, namun untuk saat ini tak ada lagi kemurahan hatinya bagi murid baru yang seenaknya saja mendengarkan musik saat ia tengah mengajar. Lemparan spidol sebagai tanda teguran kena telak di dahi Ichigo. Semua mata langsung tertuju padanya, bisik-bisik teman sekelas mulai ramai. Ichigo hanya memandang bosan pada mereka. kesal karena merasa ditantang, tanpa repot memberi peringatan kedua Pak tua berambut jarang itu memerintahkan ketua kelas untuk menyeret Ichigo kehadapannya..
.
.
.
Belum juga genap sebulan jadi wali kelas, Rukia sudah mendapatkan kartu kuning. Nilai jelek pertama dalam buku rapor karirnya menjadi seorang guru. Apa kata keluarganya nanti kalau tahu reputasi buruknya ini.
Saat sedang serius memeriksa hasil essai para murid, telepon di pojok kanan meja kerjanya berdering, menyampaikan perintah agar ia segera menemui kepala sekolah diruangannya. Dengan terpaksa Rukia menunda pekerjaannya untuk menjumpai bibinya yang menjabat sebagai kepala sekolah itu.
Pandangan mencemooh menjadi sambutan selamat datang begitu ia membuka pintu. Sesampainya di dalam ruang Kepala Sekolah, Rukia melihat guru pengajar Matematika yang masih memandang sinis kearahnya sedang duduk di hadapan Retsu Unohana. Ternyata tujuan ia dipanggil kemari untuk mendapat teguran dan peringatan dari Kepala Sekolah yang menerima laporan dari seorang guru lanjut usia yang merasa tidak dihargai karena kelakuan kurang ajar dari salah satu anak asuhannya. Yah, siapa lagi kalau bukan Ichigo Kurosaki. Lelaki itu jago sekali membuat pusing kepalanya. Awas saja jika bertemu nanti.
Tapi sayang kekesalan nona Kuchiki tak kunjung teruraikan, karena si biang kerok pembuat masalah yang tak dapat di temukannya setelah ia cari kemana-mana. Dari kamar laki-laki itu, kantin, atap sekolah, perpustakaan – meski mustahil anak itu di sana –, ruangan-ruangan lain, sampai toilet pria juga dikunjungi oleh Rukia.
Kira-kira dimana Ichigo bersembunyi? Yakin kalau semua penjuru sekolah sudah didatangi? Tapi sepertinya ada satu tempat yang terlewatkan dari pencarian adik Byakuya itu.
.
.
.
Bagai keledai yang terjatuh di lubang yang sama. Begitulah keadaan cowok yang punya dua adik perempuan itu sekarang. Lagi-lagi ia dikunci dalam sebuah ruangan. Kalau memang nasibnya harus terkurung ia lebih memilih diperangkap dalam ruangan guru judes itu saja daripada harus tertawan dalam ruangan penuh sarang laba-laba ini. Sudah berbangga hati karena dapat lolos dari hukuman pak tua pengajar rumus-rumus hitungan itu, tiba-tiba saja segerombolan manusia berkacamata mengerumuninya. Saat terbebas dari kerumunan tersebut, Ichigo sudah menemukan dirinya berada dalam ruang antah berantah yang dihuni barang-barang bekas serta beberapa hewan pengerat.
Meski tua pintu ruangan tempat ia berada sekarang tak mudah tumbang walau sudah ditendangnya berkali-kali, mencoba berteriak pun percuma karena walaupun ada yang mendengar teriakannya mereka tetap tak peduli. Penghuni sekolah ini seolah anti padanya, padahal ia tak melakukan hal-hal yang menyinggung koloni makhluk-makhluk kutu buku itu. Hanya berjalan santai sambil mendengarkan musik yang terpancar dari earphone dan sesekali bersiul bukanlah sesuatu yang salah menurut Ichigo. Lalu kenapa ia tiba-tiba diseret masuk dalam gudang tua ini saat melewati perpustakaan yang baru sekali dilihatnya sangat ramai pengunjung.
Ichigo menjelajahkan mata coklatnya ke segala sudut ruangan, mencari jalan atau sesuatu yang bisa membantunya keluar dari gubuk derita ini, tapi sayang selain penuh dengan barang-barang rongsokan tempat ini hanya punya satu pintu utama, satu jendela yang tak bisa terbuka, dan beberapa ventilasi. Lalu bagaimana caranya ia bisa keluar dari sini, jika saja tubuhnya melar ia pasti akan melewati celah-celah kecil penyaring udara itu. Frustasi karena tidak menemukan jalan keluar, Ichigo menyandarkan punggung lelahnya ke dinding penuh debu. Seragam putihnya terkontaminasi dengan noda-noda di sekitar ruangan.
Otaknya sudah tak mampu berpikir lagi karena perutnya yang meronta ingin diberi makan, napasnya mulai patah-patah akibat pengapnya udara, pandangannya pun juga mulai sayup.
'Sial, lagi-lagi mereka berhasil menindasku!', umpatan dalam hati dari seorang pemuda teraniaya yang mulai merosot dari posisi berdirinya, sepertinya ia akan jatuh pingsan.
.
.
.
Sudah tiga jam lebih Rukia berkeliling mencari Ichigo, niatnya yang ingin memberi pelajaran pada lelaki itu berubah menjadi rasa cemas. Sebagai salah satu pengajar di sekolah ini tentu Rukia tahu kalau murid-murid Karakura Academy tidak suka pada siswa baru yang punya tampang dan penampilan masa kini, apalagi yang bodoh dan sombong seperti Ichigo. Ia khawatir kalau laki-laki itu akan di kerjai habis-habisan oleh para murid sekolah ini, yah biarpun Ichigo kuat kalau satu lawan banyak pasti kalah kan?
"Maaf, bu Kuchiki." langkah Rukia terhenti saat ada seseorang yang menyapa sembari menarik pergelangan tangannya.
"Apakah anda sedang mencari anak baru itu?" tanya seorang siswa yang menghentikan langkah Rukia setelah guru manis itu memberikan respons.
"Apa kau tahu dia dimana, Hanatarou?" binar cerah terpancar dari kristal ungunya ketika siswa bermarga Yamada itu memberinya petunjuk keberadaan Ichigo dengan anggukan pelan. Tetapi bukannya langsung memberitahu dimana Ichigo berada, siswa kikuk itu malah menarik tangan Rukia sedikit menjauh dari keramaian. Saat dirasa tidak ada orang yang memperhatikan mereka barulah Hanatarou bersuara, "ta-tadi teman-teman membawa anak baru ke gudang tua di belakang gedung olahraga."
Terkejut atas informasi yang baru didengarnya, bergegas guru termuda di sekolah ini berlari menuju tempat Ichigo disekap. Berbagai pikiran buruk tentang keadaan Ichigo melayang-layang di benaknya, sedangkan Hanatarou Yamada mengiringi langkah tergesa guru idolanya dengan tatapan cemas dan berkaca-kaca. Entah takut ketahuan berkhianat oleh teman-temannya, atau berkaca-kaca karena sedih dengan kenyataan bahwa guru favoritnya sepertinya sudah melabuhkan hati.
.
.
.
Posisi Ichigo sekarang memang seperti orang pingsan, tetapi sebenarnya ia masih memiliki simpanan kesadaran 60%. Saat pintu gudang tiba-tiba terbuka, matanya menyipit akibat cahaya terang yang masuk bersamaan dengan seorang wanita mungil. Tetapi saking khawatirnya, wanita itu menyalahartikan keadaan Ichigo yang terbaring di lantai dengan mata terpejam. Segera saja ia menghampiri orang yang dikiranya pingsan itu, mengguncang-guncang tubuhnya sambil terus memanggil-manggil nama Ichigo. Ide jahil seketika menyala di otak siswa abadi saat melihat wajah panik gurunya yang cemas akan keadaannya. Bu Kuchiki sudah mengira ia tak sadarkan diri, jadi biarkan saja alurnya tetap seperti itu.
"Ichigo, kumohon bangunlah." Ichigo merasa pipinya ditepuk halus oleh jari-jari mungil Rukia, kepalanya juga sudah beralaskan pangkuan wanita yang hampir mengeluarkan air mata itu. Dalam jarak sedekat ini, aroma tubuh Rukia tercium jelas. Lebih jelas dan terasa lebih menenangkan dibanding sisa-sisa wanginya yang menempel di badan Chappy Si kelinci. Kalau begini Ichigo benar-benar bisa tak sadarkan diri alias tertidur, apalagi ketika usapan jemari lentik itu mulai berpindah ke rambut sewarna jeruknya.
Cemas karena panggilannya tidak mampu menyadarkan Ichigo akhirnya Rukia keluar mencari bantuan. Dengan dibantu dua orang satpam sekolah, Rukia berhasil membawa tubuh 'pingsan' Ichigo ke Ruang Kesehatan. Untungnya di sana masih ada dokter sekolah yang langsung memeriksa keadaan Ichigo saat ia sudah dibaringkan di ranjang perawatan. Bapak-bapak security yang membantu Rukia sudah kembali ke tempatnya jaga, jadi di ruang kesehatan tinggalah Ibu guru yang berwajah cemas, dokter yang berekspresi menahan tawa, serta murid tinggal kelas yang masih keasyikan pura-pura pingsan.
"Tidak perlu cemas, Kuchiki. Dia hanya tertidur." mengubah raut menahan tawanya menjadi tersenyum dokter berambut putih itu memberitahu Rukia.
"A-apa! Ja-jadi sedari tadi aku panik hanya karena orang tidur!" Rukia shock terapi mendengar kabar dari dokter sekolah. 'Dasar laki-laki kurang ajar, beraninya menipuku!' takut dianggap tidak sopan, Rukia hanya menggeram dalam hati. Tahu kalau mantan muridnya dalam mode siap meledak, dengan alasan ingin mencari makan siang, Joushiro Ukitake guru sekaligus dokter sekolah itu segera undur diri dari unit kesehatan. Saat keluar ia tak lupa menutup pintu dan memasang tanda 'Close'.
Suara pintu tertutup bagai aba-aba penyiksaan Rukia terhadap Ichigo. Tanpa menunggu sang pangeran tidur bangun, langsung saja mantan siswi sekolah menengah Karakura Academy itu mendaratkan pukulan bertubi-tubi ke body sixpack Ichigo. Yang dipukuli mulai merasakan sakit akibat hujaman kepalan tangan mulus itu semakin terasa keras dan kuat di tubuhnya, jadi terpaksa Ichigo membuka mata. Saat kelopak matanya terangkat, lagi-lagi terlihat orang yang sama sedang mengganggu tidurnya. Tidak peduli guru atau siapa pun, kali ini pengganggu itu akan ia beri pelajaran.
"Laki-laki kurang ajar, bodoh, penipu, beraninya kau mengerjaiku!" terlalu terbawa emosi Rukia tidak sadar kalau orang yang sedang dimaki dan dipukulinya sudah sadar dari 'pingsannya'.
Hap
Kedua tangan Rukia yang terkepal itu, berhasil di genggam Ichigo.
Brukk
Sengaja ditariknya si pemilik tangan hingga menimpa tubuhnya yang masih berbaring.
"Kyaa…"
Rukia yang kaget karena tubuhnya tiba-tiba tertarik dan terjatuh tepat di atas badan Ichigo hanya bisa menjerit. Matanya membesar terkejut mendapati posisinya yang begitu dekat dengan muridnya. Sedangkan si murid tersenyum penuh kemenangan melihat wajah tak berdaya gurunya yang tidak mampu melawan kekuatan tarikannya. Tapi bukan Rukia namanya kalau menyerah begitu saja. ia meronta sekuat tenaga agar terlepas dari kuncian kedua tangan besar Ichigo yang memegang erat pergelangan tangannya. Ichigo yang tidak ingin kehilangan kesempatan menyiksa Si guru judes, memindahkan kuncian tanggannya ke pinggang ramping milik gurunya sambil menaikkan posisi jatuh Rukia sehingga kini wajah mereka sejajar.
Seringai kemenangan Ichigo memudar tergantikan dengan wajah memerah terpesona melihat sosok cantik di depannya. Mata besar itu menampilkan keindahannya saat kacamata yang biasa di kenakan Rukia terjatuh. Kilauan ungu yang terpancar dari kedua bola mata itu tertangkap jelas oleh retina Ichigo, begitupun sebaliknya. Waktu seakan terhenti ketika mata mereka beradu pandang.
Saat melihat lingkaran indah itu, pandangan Ichigo seolah terhipnotis oleh kemilau yang terpancar dari bola keunguan tersebut. Ia hanya mampu terdiam mematung menatap indahnya mata besar Rukia yang berhiaskan bulu mata lentik, tetapi dalam hatinya tak henti kata-kata pujian terucap memuji mata cantik itu. Rasa rindu Ichigo yang sudah lama terpendam dalam hatinya seolah terobati ketika melihat salah satu panca indra milik sang guru. Rasa rindu akan keindahan mata seseorang yang sejak pertama dilihat sampai sekarang ini masih menghantuinya.
Semakin lama dipandang, entah mengapa Ichigo semakin yakin bahwa sosok pemilik mata indah yang pernah di temuinya beberapa tahun silam itu adalah Rukia. Keyakinannya semakin diperkuat saat jepit rambut yang dipakai Rukia untuk menghalau rambut bagian depannya ikut terjatuh menemani kacamatanya yang duluan menyapa lantai. Helaian rambut yang sejak kedatangan Ichigo selalu dijepit ke samping oleh Rukia, kini kembali pada tempat asalnya. Yaitu berada di antara kedua matanya.
Meski rambut hitam ini tak lagi sepanjang yang masih diingatnya, Ichigo yakin bahwa wajah cantik yang di bingkai rambut hitam pendek dengan poni yang berada di antara bola keunguan itu sama dengan wajah seseorang yang – walaupun disangkalnya – sangat ingin ditemuinya lagi. Oleh karena itu setelah sadar dari keterpanaannya tanpa ragu Ichigo berucap,
"Akhirnya aku menemukanmu."
TBC
