Hetalia Axis Powers © Himaruya Hidekaz

.

.

An AmeBel fanfiction

For 30 Days OTP Challenge

04 – On Date

Title: Not Bad

Summary: Kencan kali ini berbeda dari biasanya. Tak ada taman hiburan, tak ada keramaian, tak ada makanan manis. Hanya mengunjungi patu Liberty di malam hari dan obrolan tentang kebebasan.

.

.

"Nattie, hei... bangun, sayang,"

Suara Alfred dan tepukan lembut di pipi cukup membuat tidur Natalya terganggu. Perlahan ia membuka matanya. Rasa berdenyut tiba-tiba menyerang kepalanya. Penerbangan dari Minsk-Washington yang memakan waktu berjam-jam, belum lagi efek Jetlag yang membuatnya pusing dan sangat membutuhkan istirahat.

"Aw!" Natalya merintih memegangi kepalanya. Suaranya terdengar serak, khas orang bangun tidur.

"Ah, sakit ya? Maaf, aku membangunkanmu,"

Wanita itu masih belum menanggapi. Ia melihat pada jam digital yang berada di nakas masih menunjukkan waktu tengah malam. Dalam hati, sumpah serpah ia lontarkan untuk lelaki di depannya yang bahkan berani menunjukkan senyum tanpa dosa.

"Apa-apaan kau?!" menatap tajam Alfred.

"Jangan marah dulu, Nat. Dengarkan aku," Natalya masih setia menghadiahinya tatapan tajam, "aku tahu kau masih lelah. Tapi ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu. Pertama, gantilah pakaianmu, yang santai tak apa. Aku tunggu di ruang tamu." Alfred mengakhirinya dengan tepukan pada rambut Natalya yang masih berantakan.

Tanpa menunggu jawaban Natalya, Alfred keluar dari kamar. Natalya yang baru tersadar sepenuhnya, bangkit dari ranjang menuju kamar mandi dan mengganti pakaiannya seperti kata Alfred. Dalam hati ia bertanya-tanya alasan Alfred melakukan ini semua.

Beberapa menit kemudian Natalya menyusul Alfred yang tengah memainkan ponselnya di sofa ruang tamu. Piyama merah hatinya digatikan dengan setelan celana jeans dan sweater berwarna krem, tak lupa dengan pita ungu muda menghiasi rambutnya yang tergerai rapi.

Alfred tersenyum puas melihat Natalya yang mau menuruti perkataannya –jika tidak ingin disebut perintah, "Sudah siap, nona?" Diulurkan tangannya pada Natalya.

Bukannya menyambut uluran tangan Alfred, wanita itu justru memalingkan wajahnya.

"Baik, baik. Aku minta maaf! Kau boleh marah padaku, tapi kau harus ikut denganku sekarang."

Tanpa basa-basi, Alfred meraih tangan Natalya dan menyeretnya keluar rumah. Lebih tepatnya menuju mobil yang sudah terparkir di halaman. Personifikasi negara Belarus itu semakin dibuat binggung saat Alfred membukan pintu mobil untuknya.

Natalya menolak saat Alfred menyuruhnya untuk masuk, "Sebenarnya apa maksudmu, Alfred?"

"Umm... Apa ya? Aku hanya ingin mengajakmu kencan. Ahahaha..."

"Hah?!"

"Sudahlah, cepat masuk. Kau akan tahu nanti," satu kedipan mata diberikan.

Akhirnya setelah perdebatan singkat itu, Natalya mengalah. Dan mereka pun meninggalkan kediaman Alfred.

Selama perjalanan pun Natalya hanya tertidur. Awalnya ia ingin tetap terjaga, namun lagu-lagu yang diputarkan Alfred membuatnya semakin mengantuk. Hingga pada akhirnya, Alfred membangunkannya, lagi. "Kita sudah sampai,"

Begitu keluar dari mobil, keduanya disambut oleh sebuah kapal feri yang cukup mewah. Natalya semakin kebingungan melihat ini semua. Ia menoleh pada Alfred, meminta penjelasan.

"Kita di New York sekarang. Dan kapal ini akan membawa kita menyeberangi Sungai Hudson," Alfred menuntunnya menaiki kapal tersebut.

Natalya memilih diam. Sabenarnya ada ribuan pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Tapi ia tahan. Terlebih melihat ekspresi Alfred yang berbeda dari biasanya. Kali ini tawa ceria dan sifat optimisnya yang berlebihan hilang entah kemana. Digantikan dengan senyum tipis yang menggambarkan kebahagiaan sekaligus luka.

Kedua personifikasi negara tersebut memilih deck kapal sebagai tempat untuk melihat pemandangan sungai hudson pada malam hari. Mereka berdua hanya diam. Menikmati terpaan angin yang cukup kencang menerpa tubuh mereka. Kedua tangan itu masih menggenggam satu sama lain, tak ada yang berniat melepaskannya.

"Kau ingat hari ini tanggal berapa?" Alfred tiba-tiba memecah keheningan.

Natalya berpikir sejenak, berusaha mengingat perbedaan zona waktu dengan kampung halamannya, "Tanggal 3?" ujarnya ragu.

Alfred tertawa singkat, lalu dikecupnya punggung tangan Natalya.

"Tidak, sayang. Hari ini tanggal 4 Juli."

Tersadar oleh sesuatu, Natalya menatap Alfred yang masih enggan melepaskan tangannya, "Jadi hari ini..."

"Yah. Hari ini adalah hari kebebasanku. Kebebasan Amerika. Maka dari itu, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu. Aku ingin kau mengetahui lebih banyak hal tentangku. Kau siap, nona?" Lagi, Alfred mengecup tanggannya.

Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban. Natalya tak mengelak bahwa ia ingin mengetaui lebih banyak tentang Alfred. Tentang tawanya, lukanya, jatuh bangunnya, semuanya. Selama ini Alfred selalu bisa memahami dirinya. Kini giliran Natalya untuk memahami seorang Alfred F. Jones sebagai Alfred yang dicintainya dan sebagai Amerika yang adikuasa.

"Nah, coba kau lihat kesana!" Jarinya menunjuk sesuatu di depan sana.

Natalya pun mengikuti arah yang ditunjukkan. Sesuatu yang sebelumnya tak terlihat karena kurangnya pencahayaan, seketika menampakkan wujudnya begitu lampu sorot meneranginya dari bawah.

Sebuah patung setinggi 93 meter berbentuk seorang wanita yang memegang obor dan sebuah sabak ditangannya. Itu adalah Patung Liberty, maskot negara Amerika yang terkenal di dunia. Ini memang bukan pertamakali Natalya melihatnya, tapi baru kali ini dia kemari saat malam hari.

Kapal feri yang mereka tumpangi telah menepi di pulau Liberty yang merupakan tempat berdirinya patung kebanggaan rakyat Amerika itu. Alfred kembali membimbing wanitanya untuk menuruni kapal.

Setelah menginjakkan kaki di pulau Liberty, sang tuan rumah mengajak Natalya berkeliling mengamati patung Liberty dari bawah. Suasana tampak sepi karena memang tempat ini sudah tutup untuk wisata.

"Kau pasti tahu bahwa patung Liberty adalah lambang kebebasan bagi rakyatku. Aku mendapatkan ini dari Francis saat ulangtahunku yang ke seratus. Dia sudah banyak membantuku saat aku berjuang demi kebebasan. Dia juga seperti kakak bagiku, kau tahu?" Alfred tertawa sebentar, Natalya masih diam.

"Hei, Nat. Bagaimana perasaanmu saat berpisah dari kakakmu?" Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar.

Natalya diam sebentar. Ia mulai mengerti arah pembicaraan Alfred, "Awalnya aku merasa lega karena bisa lepas dari kekangan kakakku. Tapi bagaimana pun juga, kami telah hidup berdampingan selama ratusan tahun. Aku tidak bisa menghapus fakta itu,"

"Dan pada akhirnya aku kembali pada kakak. Namun kali ini aku kembali sebagai Republik Belarusia yang berdaulat, bukan lagi bagian dari Uni Soviet."

Senyum mengembang di wajah Alfred mendengarmya. Tangan yang sedari tadi menggenggam tangan Natalya, kini beralih mengelus rambut keperakannya.

"Gadis pintar. Itulah yang ingin kudengar darimu," kali ini bukan lagi elusan di kepala, tapi sebuah pelukan kencang yang membuat Natalya meronta ingin dilepaskan.

"Kau sendiri bagaimana?" tanya Natalya setelah Alfred melepaskan pelukannya.

Seketika raut wajahnya berubah. Sorot mata itu, seakan berbicara tentang lukanya. Natalya tahu. Ia mengerti. Maka dari itu, digenggamnya tangan Alfred.

"Aku... Aku hampir sama denganmu. Saat berpisah dari England, aku sebagai America merasa bebas, karena orang-orangku juga mnginginkan hal itu," jeda sebentar, "Kau lihat itu, Nat? Di kaki patung Liberty ada sebuah rantai yang terputus,"

Natalya melihatnya. Sebuah rantai yang membelenggu kaki kiri patung itu, tapi rantai tersebut telah terputus.

"Rantai yang terputus itu melambangkan kebebasan Amerika dari Inggris yang membelenggu selama ratusan tahun. Kami bukan lagi bagian dari mereka," lanjut Alfred.

Tanpa terasa mereka sudah sampai pada dasar patung yang berbentuk bintang.

"Tapi sebagai Alfred, aku menganggap Arthur seperti kakakku. Menjadi panutanku selama ini. karena itu, aku ingin lebih hebat darinya. Baik sebagai Alfred maupun America!"

Di latarbelakangi patung kebebasan, tawa dan optimisme Alfred kembali. Natalya ikut tersenyum melihatnya. Natalya tak menyangka, dibalik kegilaan Alfred selama ini, ia menyimpan sebuah keinginan yang begitu polos tapi memiliki tekad yang kuat.

Melanjutkan perjalanan dengan Alfred yang terus bercerita mengenai kondisi fisik Arthur yang memburuk ketika hari ini tiba. Dan bahkan membayangkan saat ini lelaki beralis tebal itu tengah merintih kesakitan seperti pria tua. Lalu tertawa terbahak-bahak.

Karena dirinya bukan pencerita yang baik, Natalya lebih memilih untuk diam dan mendengarkan. Lagi pula dia senang bisa melihat Alfred ceria kembali. Sejak meninggalkan rumah hingga sampai di sini dia lebih banyak bungkam. Mungkin Alfred lebih lega karena telah mengungkapkan perasaannya.

Saat ini meraka mulai memasuki patung Liberty. Pemandangan pertama yang menyambut mereka adalah sebuah tangga besi berbentuk spiral yang terhubung dari kaki hingga mahkota patung Liberty.

"Mau berlomba sampai ke puncak?" Tantang Alfred.

"Hah?! Kau gila! Aku masih sayang kakiku," tolak Natalya pada ide gila Alfred.

"Ayolah, hanya 354 anak tangga. Anggap saja kita naik ke lantai 22 dengan tangga darurat,"

"Itu sama saja, bodoh!"

"Baiklah, yang kalah harus mentraktir hamburger sepuasnya!" tanpa memperdulikan kemarahan Natalya, Alfred mulai berlari menaiki tangga.

"Hei, dengarkan aku!" Mau tak mau Natalya ikut menaiki tangga.

Tak mau kalah, Natalya mempercepat langkahnya. Ia mempimpin 3 anak tangga dari Alfred. Seratus anak tangga pertama, Natalya masih bisa menyaingi Alfred. Tapi pada anak tangga ke-189 kakinya tak kuat lagi melangkah. Jangankan melangkah, bergerak seinci saja tak sanggup. Ditambah ruangan yang sempit dengan ventilasi udura yang kurang memadai membuatnya sulit bernapas.

Tapi untungnya, Alfred dengan senang hati meminjamkan punggungnya. Awalnya Natalya menolak karena merasa masih kuat. Namun kakinya tak sekuat hatinya. Jadilah ia digendong Alfred sampai di puncak.

Sesampainya di puncak, keduanya merasa lelah bukan main. Tapi semua itu terbayar ketika melihat pemandangan kota New York pada malam hari dari mahkota patung Liberty. Meski sekarang menjelang fajar, tapi kota ini masih ramai. Ratusan kendaraan berlalulalang di jalan raya terlihat seperti semut. Rumah-rumah dan toko nampak sangat kecil dari atas sini. Gedung pencakar langit terlihat seperti pohon yang dipenuhi kunang-kunang.

Natalya tertawa menyadari pemikirannya barusan. Seperti anak kecil saja. Lagi pula ia belum pernah melihat kunang-kunang secara langsung.

Tanpa ia sadari, sedari tadi Alfred hanya mengamati perubahan ekspresinya. Dari putus asa karena kelelahan, berubah menjadi tatapan kagum, lalu tertawa sendiri entah karena apa. Baru kali ini, Alfred melihat Natalya merubah ekspersinya sebanyak ini dalam waktu kurang dari dua menit.

"Kau senang, Nat?"

Pertanyaan Alfred mengalihkan perhatiannya. Ia memandang herang pada Alfred, "Bukannya kau yang ulang tahunnhari ini?"

"Bukan, bukan. Ini adalah kencan kita. Jadi kita berdua harus senang. Aku sendiri sudah senang saat kau mau ikut denganku,"

Natalya belum menjawab. Ia mengalihkan kembali pandangannya pada kota New York. Sejujurnya ia merasa sedikit bersalah karena belum memberikan kado untuk Alfred, tapi selebihnya ia merasa sangat senang. Hari ini Alfred menunjukkan sisi lain dirinya. Sisi yang belum pernah di sentuh Natalya. Sekarang dan seterusnya ia ingin lebih banyak mengetahui tentang Alfred.

"Aku senang. Kencan hari ini tidak buruk juga. Dan Selamat ulang tahun untukmu."

04 – On Date

.

.

.

a/n: YATTAAA! Akhirnya selesai juga untuk hari ke-4. Dan berhubung ini spesial buat ultahnya Alfred jadi dipublish terpisah dari From Dawn Untill Twilight. Dan saya ga nyangka bisa bikin ginian *sobs* sampe 1500-an kata pula *sobs**sobs**sobs*

ah sedikit keterangan, tinggi patung Liberty sebenarnya hanya 46 m tapi kalau digabung dengan dasarnya tingginya jadi 93 m seperti yang saya tulis di atas.

Maaf kalau ada salah, saya belum pernah ke sana soalnya. Cuma bisa baca pengalaman orang-orang yang pernah wisata kesana *sobs again*

Dan terima kasih telah membaca! And then...

Happy Independence day, America (7/4)!