Disclaimer: Masashi Kishimoto
Matahari belum ada setengah jalan menuju ufuk barat. Langit masih berwarna biru terang. Awan-awan melintas angkasa dengan tenangnya, menandakan angin hari itu berhembus perlahan. Kala itu adalah libur musim panas, dimana cuaca lumayan terik dan memungkinkan untuk berkegiatan seharian. Tiga orang anak yang memilih kebun belakang rumah sebagai tempat petualangan mereka dan permainan klasik -petak umpet sebagai permainan pilihan mereka hari itu.
Dua dari tiga bocah kecil memanjat sebuah pohon yang menjulang, batangnya kokoh dan memiliki banyak cabang sehingga mudah untuk dipanjat bahkan oleh anak yang usianya baru sekitar enam tahun. Kedua bocah lelaki itu memanjat hingga cabang yang lumayan tinggi, dimana mereka bisa dengan leluasa melihat berbagai macam hal dari sana seperti mentari, langit, pepohonan, rumah mereka, bahkan laut yang letaknya jauh di pinggir kota. Dari atas itu pula mereka bisa memantau gerakan bocah kecil terakhir, teman mereka yang selalu kebagian jatah untuk mencari keduanya yang tengah bersembunyi.
"Kira-kira berapa lama ya?!" bocah lelaki dengan rambut pirang acak-acakan dan mata biru langit bergumam, serambi menyelidik dari balik dedaunan. Mencari sebuah sosok mungil yang juga sedang mencari mereka.
"Menurutmu?" timpal bocah lelaki lainnya, yang berambut dan warna mata hitam legam.
"Tak mungkin lebih cepat dibanding kemarin!" si pirang berkata dengan yakin.
"Ah, tidak juga," Tukas satunya setelah ia melihat seseorang dari kejauhan yang tengah berlari menuju ke arah mereka berdua. Tepatnya ke arah pohon yang tengah mereka tumpangi, "Kita sudah ketahuan!"
"Wah, kau benar!" bocah berambut pirang akhirnya bisa menemukan sudut pandang yang tepat untuk melihat sosok kawannya yang jauh di bawah.
"A-ah! Ketemu!" seru seorang gadis cilik yang terlihat tengah berlari-larian diantara pepohonan rindang sambil terus menatap kedua kawannya di atas. Ia berlari dengan penuh semangat, hingga rambut pendek berwarna indigo dan menggantung dibagian depannya melambai halus. "A-aku menemukan kalian! Ayo turun Naruto-kun, Sasuke-kun!" serunya lagi.
Lalu dari balik dahan-dahan pohon pada ketinggian sepuluh meter, dua orang anak laki-laki menampakkan wajah mereka. Namun kedua bocah lain yang berada di atas tak sesegera itu turun. Mereka malah dengan pandangan iseng terus memandangi kawan mereka yang ada di bawah.
"Susul kami kalau kau bisa, Hinata-chan!" si bocah pirang berteriak dari ujung pohon pada gadis cilik itu, sedangkan bocah lelaki lain terkekeh. Kedua pemuda itu tahu bahwa sang gadis cilik tidak mungkin dapat menyusul mereka, namun mereka menikmati saja keadaan yang seperti ini. Mengerjai Hinata adalah hal yang paling asyik untuk dilakukan.
"K-alau kalian tidak mau turun, aku tidak mau bermain dengan kalian lagi!" kehabisan akal, gadis cilik itu menggunakan ancaman sebagai senjata pamungkasnya yang mana tidak terlalu memberikan kontribusi berarti.
"Baik, baik, Hinata-chan. Kami akan turun segera..." si bocah pirang berkata dengan penekanan pada kata terakhir, kemudian melempar pandangan pada kawan di sampingnya.
Seolah mereka telah berkomunikasi hanya melalui pikiran, bocah satunya menimpali dengan kalimat, "Tapi tidak untuk saat ini," Kemudian mereka tertawa renyah.
"Suatu saat nanti aku pasti akan menyusul kalian," seru si gadis kecil dengan raut wajah tertekuk. Melihat reaksi gadis itu, dua bocah lainnya kembali tertawa.
Begitulah ketiga bocah itu, Uzumaki Naruto, Uchiha Sasuke dan Hinata Hyuga melakukan hal yang menyenangkan setiap harinya. Namun hari-hari penuh tawa itu tak dibatasi oleh libur musim panas yang hanya berlangsung sebulan. Di luar itu, tetap terjalin sebuah persahabatan di antara mereka yang entah sejak kapan sudah menjadi tradisi yang melekat.
Bahkan Naruto sering berspekulasi bahwa mereka sudah bersahabat sejak lahir, dimana kemudian Sasuke yang pintar menyangkal dua kata terakhir dengan berbagai alasan yang agak susah diterima otak si pirang. Dan kalau sudah muncul pertentangan begitu mereka akan tahan berdebat hingga mereka harus dipaksa berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing. Atau mereka akan meminta pendapat Hinata yang mana dianggap sebagai keputusan final, tanpa mengindahkan ketidakkonsistenan Hinata yang sehari memihak Naruto sehari memihak Sasuke agar adil. Yang terpenting bagi gadis itu adalah agar mereka tetap bersama.
.
.
.
Kebersamaan.
.
.
.
Waktu terus berlalu namun sebuah kata itu justru semakin terpatri erat di sanubari masing-masing dari ketiga anak yang kini telah berusia sebelas tahun. Karena itulah pemuda berambut pirang dan yang berambut hitam, kali ini ingin membagi penglihatan yang selama ini mereka nikmati sendiri kepada sahabatnya. Mereka membuat sebuah rumah pohon lengkap dengan tangga dari tali tambang dan pijakannya dari kayu agar gadis itu tidak menemui kesulitan untuk memanjat.
Sudah bertahun-tahun Hinata belum juga berhasil naik ke pohon itu. Tapi ia senantiasa mencoba, hingga hati kedua pemuda itu luluh juga dan akhirnya membuatkan Hinata sebuah rumah pohon. Walaupun setelah itu sekujur tubuh mereka penuh luka dan badan mereka terasa nyeri tiap malam hanya demi sebuah rumah pohon sederhana.
Tapi walau dibilang sederhana, repot juga membuatnya. Rumah pohon itu terletak di tempat yang lumayan tinggi, diantara beberapa cabang pohon yang besar dan kuat. Di dalamnya hanya seluas empat meter persegi, jadi hanya muat tiga atau empat orang saja. Tingginya kurang lebih satu setengah meter, membuat orang harus merunduk jika ada atau mau masuk ke dalam. Lantai, dinding dan atapnya terbuat dari kayu tapi tidak usah takut ambruk karena kuda-kudanya sudah dirancang kokoh. Dinding dan pintu yang juga dari kayu itu hanya setengah kali tingginya, membuat orang yang berada di dalam bisa menikmati pemandangan ke segala penjuru.
Oleh karena itu keduanya langsung tersenyum lebar ketika sang gadis yang masih berambut pendek itu sangat menyukai hadiah ini. "Terima kasih, Naruto-kun! Sasuke-kun!" ujar gadis itu dengan rona bahagia.
Mereka berdua sangat puas melihat wajah ceria gadis itu. Hitung-hitung sebagai kompensasi kerja keras mereka selama berhari-hari untuk membuatkan sebuah rumah pohon di pohon favorit mereka agar Hinata bisa ikut naik kesana.
"A-aku akan menyanyikan sesuatu," ujar Hinata yang wajahnya bersemu.
"Lagu apa?" tanya Sasuke.
"Eien no ai, kurasa." usul Hinata.
"Baiklah! Akan aku tunjukkan kemampuanku yang luarbiasa dalam bermain terompet!!" kata Naruto yang naik ke rumah pohon dengan membawa terompet kesayangannya penuh semangat.
"Eien no ai itu lagu easy-listening, dobe! Terompetmu tidak berguna kali ini," ujar Sasuke membuat bibir Naruto manyun.
"Hinata-chan ganti saja lagunya!! Tidak seru tahu! Masa hanya si teme ini terus yang pamer di depan Hinata-chan" protes Naruto. Hinata terkikik.
"T-tidak, aku akan menyanyi sementara kalian diam. Dengarkan saja, ini servis khusus untuk kalian"
Yoru no puurusaidi de
Hitori kiri suwatteiru
Hoshi no moto de anato o
Omotteiru
Omotteiru oh.
Isshoni anata to futari
Eien no ai o
Isshoni anata to futari
Eien no ai o
Gadis itu menghentikan nyanyiannya yang indah. "Terima kasih Naruto-kun, Sasuke-kun, kalian selalu melakukan banyak hal untukku. Kalian memang yang terbaik." ungkap gadis itu dengan tulus, membuat Sasuke dan Naruto tersentuh. Naruto spontan merangsek kedua sahabatnya itu dan berkata,
"Tentu saja, Hinata-chaan!! Kamu adalah sahabat kami yang penting!! Betul kan teme?!" sementara Sasuke mengangguk setuju.
Kemudian ketiganya menatap cakrawala yang berwarna kemerahan. Masih ada beberapa menit sebelum matahari berpisah dengan mereka di ufuk barat. Hari itu adalah akhir musim panas yang menyenangkan. Mereka bertekad setiap mereka sedang libur musim panas mereka akan menghabiskan waktu dan menanti tenggelamnya fajar sambil bermusik di rumah pohon itu.
.
.
.
Bahkan walau cuaca terlihat sedang tak ingin berkompromi sekalipun.
.
.
.
DHUAAR!!
Terdengar suara petir membahana. Hujan tiba-tiba turun dengan amat deras, nyaris membuat apapun di depan mata sama sekali tak terlihat. Suara butiran air yang menghantam tanah menimbulkan dentuman sangat keras. Sulit sekali untuk memfokuskan pendengaran pada suara lain selain suara hujan dan sesekali suara petir. Tiga sahabat yang saat itu menginjak usia tiga belas tahun menjadi kalang kabut. Mereka sama sekali tak menyangka hujan bakal turun selebat ini. Kalau tahu hujan akan turun, mereka tak akan bermain di rumah pohon hari itu karena pohon itu cukup jauh juga dari rumah.
Tapi sudah kepalang basah. Mereka sedang ada di rumah pohon ketika hujan turun, sehingga mereka hanya bisa mencoba melawan hujan untuk pulang ke rumah masing-masing, menuju tempat perlindungan yang lebih aman. Hanya ada dua buah payung di rumah pohon. Salah satu karena Hinata selalu memperhatikan hal-hal yang remeh dan satunya karena Naruto tak sengaja membawanya dalam tasnya bulan lalu. Ia meninggalkannya begitu saja disana sebab ia malas untuk membawanya. Ah, ada untungnya juga si jabrik itu sedikit malas.
"Ayo, cepat!" seru Sasuke yang sudah berada di bawah sambil memegangi payung. Menunggu kedua sahabatnya yang masih berusaha untuk turun.
Naruto turun duluan agar Hinata bisa memakai payung terakhir yang ada. Sesampainya di tanah, ia segera berlindung di bawah payung yang di pegang Sasuke. Lalu Hinata, secara hati-hati mulai menuruni tanga satu demi satu. Tangan kanannya berpegang pada tali, sedangkan tangan kirinya memegang payung.
Tiba-tiba Naruto berteriak panik, "Ah, aku lupa terompetku!"
"Dasar bodoh!" kata Sasuke, "Tinggal sajalah dulu. Hujan sangat deras,"
"Tidak! Aku akan mengambilnya! Kalau di sini bisa kena hujan dan jadi lembab!" Naruto bersikeras. Sasuke paham. Ia sendiri tidak mau sesuatu terjadi pada pianonya.
"A-aku akan mengambilnya Naruto-kun! Tenang saja!" ujar Hinata. Lalu gadis itu naik lagi ke atas. Diambilnya alat musik kesayangan sahabatnya itu dan ia kembali menuruni anak tangga. Naruto dan Sasuke menatap gadis itu turun.
Tapi sayang sekali, kali ini ia tak secermat tadi dalam memperhatikan langkahnya.
Gadis itu terpeleset dan jatuh.
"HINATA-CHAAN!!!!"
"Hinata!"
.
.
Kemudian semua berlalu sangat cepat sehingga saat mereka sadari, mereka sudah ada di rumah sakit, menunggu dengan was-was tentang apapun yang terjadi dengan sahabat mereka.
"Bagaimana keadaannya putri saya, dok?" Hyuga Hiashi bertanya dengan nada cemas pada dokter yang baru saja memeriksa kondisi Hinata.
"Tidak ada yang luka serius pada organ vitalnya, hanya patah tulang. Tapi kami akan melakukan check up ulang setelah dia sadar," kata dokter itu. Sedikitnya mereka yang mendengar berita itu dapat menarik nafas lega.
"Terima-kasih, Tsunade-sama!" kata Hiashi, kemudian dokter wanita itu mengangguk dan pergi.
"Aku mau melihat nee-chan ah!! Ayo, Neji nii-chan " seru gadis cilik yang mirip Hiashi.
"Tunggu aku Hanabi-chan!" anak lelaki yang dipanggil Neji itu berseru. Kemudian mereka berdua masuk dalam kamar pasien untuk memastikan bahwa saudara mereka baik-baik saja.
"Maafkan Naruto, Hiashi-jisan. Gara-gara Naruto, Hinata jadi.." Naruto yang sangat menyesal berkata, namun Hiashi memotongnya,
"Sudahlah Naruto. Aku sudah cukup bersyukur Hinata masih bersama kita. Kalau pun setelah ini ada hal yang hilang darinya, berjanjilah pada jisan kalian akan selalu menyayanginya seperti biasa. Janji?"
"Hn." Sasuke mengangguk
"Aku janji, jisan! Terima kasih!" kata Naruto. Kemudian pria itu meninggalkan mereka berdua untuk mengurus administrasi.
BRAK!!
Pintu tergebrak oleh Neji, membuat Naruto dan Sasuke terlonjak kaget. Bocah Hyuga itu menunjukkan mimik yang aneh. "Panggilkan dokter!" serunya.
"Kenapa?" tanya Sasuke.
"Hinata! Hinata sudah siuman!!" Neji berkata dengan nada panik.
"Syukurlah!" Naruto gembira.
"Iya! Dia memang siuman, tapiā¦" kemudian Neji melanjutkan kalimatnya dengan hal yang tak pernah Naruto dan Sasuke bayangkan sebelumnya.
TBC
