Roommate

Pairing(s): (Main) Ivan x Alfred. (Slight) Francis x Arthur, Ludwig x Feliciano, Gilbert x Antonio, Toris x Natalia.

-AU-

"Yap! Akhirnya selesai juga!" Seru Alfred girang. Sebuah koper terisi penuh dengan barang-barang ala seorang cowok remaja. Dan tentu saja, khas seorang Alfred., seorang cowok berumur 15 tahun yang baru akan masuk ke kelas satu SMA di World high, sebuah boarding-school internasional ternama.

"Hey, bloody git. Lama sekali kau. Cepat sedikit!" Panggil Arthur, kakak angkatnya yang berusia 21 tahun. Arthur bekerja sebagai sekretaris di sekolah baru Alfred dan mempunyai bos yang ia akui "sangat mesum, dasar si kodok." Walaupun ia tak pernah mau memberitahu Alfred siapakah, atau apakah, panggilan kodok itu ditujukan.

"Oke! Oke!"

"Wow! Besar sekali sekolah ini!" Gumam Alfred terkagum-kagum. Arthur meletakkan tangan di bibirnya dan berkata,"Jangan norak."

Alfred cemberut. Tapi ia bertemu dengan Toris dan beberapa teman SMPnya. Ia berlari meninggalkan Arthur untuk menyapa mereka.

"Semoga kita seruangan ya, Alfred-kun!" Kata Toris ceria. Alfred menatapnya dengan bingung. "Maksudnya...?" Tanya Alfred.

Tiba-tiba ada suara menyahut dari belakang Toris dan Alfred bergidik ngeri melihat seseorang berambut abu-abu dan berwajah pucat mengenakan seragam sekolah mereka, lengkap dengan sebuah syal yang melilit di lehernya.

"Nanti kalian akan menempati satu ruangan berdua," Kata orang bermata violet itu. "Huh, makanya aku tak suka tahun ajaran baru. Kenapa senior harus ikut pindah kamar?"

Alfred langsung tidak menyukai orang yang mungkin kakak kelasnya itu (karena dia memakai badge dengan warna yang berbeda, menandakan dia berasal dari kelas yang lebih atas).

"Hei! Tapi ini kan bagus untuk berbaur," Protes Alfred, sementara Toris sudah berlindung di belakangnya dengan gemetar. Orang itu menatap Alfred, menaikkan sebelah alisnya, dan tersenyum menyeramkan.

"Semoga aku tak sekamar denganmu, mulut lebar," Kata orang itu dingin.

"Tak bisa lebih setuju lagi," balas Alfred.

Orang itu mengacak rambut Alfred dengan kasar dan berbalik, syalnya berkibar di belakangnya.

"Apa-apaan dia itu?" Kata Alfred kesal sambil menunjuk punggung orang yang baru saja menjauh. Toris menghela nafas lega.

"Namanya Ivan Braginsky. Ayahnya adalah salah satu donatur terbesar sekolah ini. Kau harus hati-hati kalau bersikap didepannya. Dia bisa saja mengeluarkanmu dengan mudah," Kata Toris. Kemudian ia mengucapkan sampai jumpa kepada Alfred dan berlari ke arah Eduard, sahabatnya sejak SD.

Alfred mendengus kesal. Ia menarik kopernya sambil berjalan kearah papan pengumuman yang tadinya penuh dikerubuti oleh siswa-siswa.

"Alfred kirkland...kamar 21." Gumam Alfred. Tanpa repot-repot melihat siapa teman sekamarnya, Alfred menyeret kopernya ke asrama lantai tiga. Ia tidak tahu ada sepasang mata violet memandangnya dari kejauhan.

Alfred masuk ke kamarnya dan meletakkan kopernya di salah satu tempat tidur. Kamarnya lumayan luas, dengan dua tempat tidur, dua lemari, dua meja belajar serta satu pintu menuju kamar mandi.

Alfred bersenandung kecil dan mengganti baju seragamnya dengan baju bebas.

Saat ia sedang membuka kancing kemejanya, tangan seseorang menyusup ke balik celananya dan mulai mengusap-ngusap badan Alfred. Alfred menjerit keras.

"Wah, kau bukan Arthur. Aku salah orang ya?" Kata seorang pria berambut pirang bergelombang dengan aksen Prancis di kata-katanya. Alfred bergidik ngeri dan cepat-cepat mengkancingkan bajunya kembali sambil berteriak,"Siapa kau!"

"Moi? Aku kepala sekolahmu yang baru." Kata pria itu. Alfred mendengus tidak percaya. Mana ada kepala sekolah merangkap pedofil homo!

"Sudahlah, Francis. Tinggalkan dia," Terdengar sebuah suara dan muncul sebuah tangan di pundak orang yang dipanggil Francis. Francis menghela nafas dan berbalik,"Sudah beberapa kali aku memintamu untuk memanggilku 'pak' Francis, Ivan?"

Ivan tersenyum mirip psikopat. Francis bergumam tentang dokumen yang belum selesai dan keluar dari ruangan itu. Meninggalkan Alfred dan Ivan berdua, saling menatap dengan sebal.

"Apa yang kau lakukan disini, freak?" Tanya Alfred. Ivan mendecak dan berkata pelan, tapi terdengar jelas.

"Kau harus lebih sopan kepada seniormu, idiot," Balas Ivan sambil tetap tersenyum.

"Apa kau baru saja memanggilku idiot?" Kata Alfred sambil menggertakkan giginya.

"Da. Kupingmu bermasalah?"

"Dasar aneeh!" Jerit Alfred kesal dan memukul Ivan. Ivan menangkis dengan satu tangan dan memutar tangan Alfred ke belakang sehingga Alfred meringis kesakitan. Ivan mendorongnya ke dinding sehingga tubuh Ivan menghimpit Alfred ke dinding dengan kasar.

"Jangan memanggilku 'freak' lagi jika kau masih ingin menginjakkan kaki disekolah ini, dorogoy," kata Ivan, tepat di telinga Alfred. Bibirnya menggesek telinga Alfred. Alfred merasakan hembusan nafas Ivan di cuping telinganya yang sensitif dan merasakan bulu-bulu halus di lehernya berdiri.

"Lepaskan aku!" Alfred memberontak, tapi sia-sia karena Ivan masih menghimpitnya.

Setelah beberapa saat memberontak, Alfred menyerah dan berkata dengan suara pasrah, "Baiklah, baiklah. Aku tak akan mengganggumu lagi. Bisa tolong lepaskan aku?" Pinta Alfred.

Ivan tertawa kecil, tawa hambar tanpa emosi sebelum melepaskan tangan Alfred dan membiarkannya bernafas.

Alfred menggosok pergelangan tangannya yang sakit dengan sebal sambil memelototi Ivan.

Tiba-tiba, Ivan meraih pergelangan tangan Alfred dengan tangannya sendiri dan membawa tangan Alfred yang agak merah ke bibirnya, mengecup kulit halus itu dengan pelan. Alfred merinding disko dan menarik tangannya menjauh.

"Apa yang kau lakukan, dasar aneh!" Kata Alfred malu. Wajahnya memerah sedemikian rupa karena tangannya baru saja dikecup oleh seseorang yang baru dikenalnya. Ivan tersenyum kecil sambil menatap wajah Alfred dengan ekspresi aneh yang tak terbaca.

"Maaf soal tanganmu, da," Kata Ivan.

Alfred mendengus, tapi mengangguk pelan.

"Lalu, apa yang kau lakukan disini?" Tanya. Alfred bingung.

"Aku teman sekamarmu yang baru," Kata Ivan, menyatakan hal terparah yang bisa Alfred dengar dalam beberapa hari terakhir.

"K-kau? D-d-disini? Ber-bersamaku?" Gagap Alfred. Ivan tersenyum.

"Da. Memangnya menyeramkan sekali ya?" Tanya Ivan.

Alfred tak menggubris pernyataan terakhir Ivan. Ia menyambar blazer hitamnya yang tergeletak di tempat tidur dan berlari keluar kamar menuju kantor administrasi. Ia menemui seorang wanita berwajah keibuan yang memakai bunga di kepalanya.

"Permisi! Aku Alfred kirkland dan aku ingin kamarku dipindah! Kemana saja! Kumohon!"

Wanita itu mengerutkan dahi menatap Alfred dan mengambil sebuah buku tebal. Ia membuka buku itu dan matanya bergerak-gerak mencari sesuatu. Alfred menunggu dengan berdebar-debar, dan hatinya mencelos ketika wanita itu menggelengkan kepala dengan lemah.

"Maaf, tapi semua kamar sudah penuh. Kalau kau mau tidur di ruangan sapu sih, tidak masalah," Kata wanita itu dengan nada meminta maaf.

Alfred mengangguk lesu dan menyeret kakinya kembali ke kamarnya dan Ivan, atau lebih tepatnya lubang neraka.

Ketika ia membuka pintu, Ivan sedang duduk di depan jendela sambil bersenandung pelan dalam bahasa yang tidak bisa Alfred pahami. Mungkin Rusia atau sejenisnya. Ia menoleh ketika Alfred menutup pintu dan tersenyum ceria, "Bagaimana? Sukses pindah kamar?"

Alfred menggeleng. "Aku disuruh tidur di ruangan sapu. Tapi setelah kupikir-pikir, lebih baik di ruangan sapu daripada seruangan denganmu."

Alfred menarik kopernya keluar, tapi ketika tangannya sudah menyentuh gagang pintu Ivan tertawa hambar. "Oh ya? Kalau begitu semoga sukses,"

"Dan hati-hati, ada hantu gentayangan di ruangan sapu," Bisik Ivan. Harusnya sudah ada gesekan biola untuk menambah kesan horror, tapi nada Ivan saat mengatakan hantu sudah cukup untuk membuat Alfred beku di tempat.

"Ha-hantu? Kau bercanda?" Gagap Alfred. Ivan menggeleng dengan mimik muka yang serius.

"Aku serius. Tapi tadi katamu kau lebih suka tidur bersama hantu daripada tidur bersamaku. Semoga sukses, comrade," Kata Ivan. Ia berjalan ke tempat tidurnya sendiri dan membaringkan badan sambil menatap dinding, membelakangi Alfred.

Alfred bimbang. Ia tak mau sekamar dengan orang ini, tapi ia juga takut hantu.

Mana yang lebih menyeramkan, hantu atau Ivan?

Akhirnya Alfred menghela nafas panjang tanda kekalahan. Ia kembali menyeret koper ke samping tempat tidur dan menjatuhkan badannya ke tempat tidur dengan lelah.

Ivan menutup mulutnya dengan tangan untuk mencegahnya tertawa keras-keras karena ketololan Alfred. Pupil dari sepasang mata violet menipis sebelum akhirnya menutup.

Sepertinya ia menemukan mainan baru.

-TBC-

Hiks. Saya sedih *curhat* gatau kenapa.

review?